RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 06
06
Sepulangnya dari rumah Abah seminggu yang
lalu Bram jadi makin bingung dan semakin kacau balau. Bahkan ia merasa sebagai
orang yang paling munafik karena telah bermuka dua. Di mulut berkata ya di hati
berkata lain. Seyogyanya ia harus membuang prinsip yang kaku “Pantang Pemuda
Makan Sisa”. Meski Ayu seorang janda tetapi ia bukan barang sisa. Hanya
nasibnya saja yang malang, baru kawin dua bulan suaminya sudah
meninggal. Untuk ini ia harus kembali menjadi Bram yang mencintai Ayu dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Meski ia seorang janda tapi masih cantik
menawan. Itu tidak bisa dianggap barang sisa. Ia seorang manusia yang sama
sekali bukan barang.
Waktu sudah menunjukkan pukul duabelas malam tetapi ia masih tak bisa
tidur juga. Biasanya di saat galau seperti ini, ia mengembara di dunia maya. Ia
langsung teringat link pertemanannya dengan Mas Bro Lipani si Penyair Romantis
dari Kota Apam. Ia pun membuka laptopnya dan terus masuk ke sosial media fesbuk. Sebentar
kemudian dia sudah berada di antara puluhan bahkan ratusan status dari berbagai
kalangan. Seperti biasa di beranda itu ada Lipani yang mengungkapkan suasana romantis dan rindu. Tetapi kali ini ia
lagi tak tertarik dengan status-status galau, karena ia ingin curhat tentang
kegalauannya sendiri. Tentu saja bukan lewat status yang sangat terbuka luas
tetapi harus lewat inbox.
”Halo mat malam Mas Bro Lipani. Apa
kabar?”
Setelah bersabar menunggu beberapa
saat, muncullah jawabannya di inbox itu.
”Alhamdulillah baik. Mat malam juga Mas
Bro Bram.”
”Mas Bro. Aku mau curhat nih.”
”O ya. Curhat aja. Ada apa ya? Lagi
galau ya?”
”Iya nih Mas Bro. Saya ini kan lagi
jatuh cinta?”
”O ya? Bagus itu. Cewekya pasti cantik.
Mana cantiknya dengan mantanmu dulu?”
”Bukan hanya cantik, tetapi sama persis
bagai kembar identik.”
”Lalu masalahnya di mana?”
”Satu-satunya masalah adalah status
cewek itu.”
”Janda? Ceweknya sudah janda?”
”Nah itu dia masalahnya.”
”Iya saya ngerti. Tapi Mas Bro cinta dia kan?”
”Ya pasti lah. Itu sebabnya aku mau
curhat nih.”
”Lalu dia-nya kaya gimana?”
”Wah kalau dia lebih gawat lagi.
Namanya juga janda. Maunya ya langsung kawin.”
”Ya sudah, kawin aja.”
”Kok kawin? Masa kawin dengan janda.
Apa kata dunia? Pasti banyak yang mengejek saya?”
“Cuek aja. Yang penting Mas Bro bahagia.”
“Tapi .. “
“Ya, cuek aja. Palingan hanya sebentar. Nanti juga akan tenang dengan
sendirinya.”
“Makasih sarannya ya.”
“Yaa, sama-sama.”
Diam-diam ia membenarkan saran Mas bro Lipani itu. Masuk akal juga,
tetapi ia ragu.”
***
Pagi ini warung katupat yang dekat
rumah Bram selalu penuh dengan pelanggan tetapnya. Di sini hampir semua orang tak ada yang sarapan di
rumah. Ternyata mereka bukan hanya sarapan tetapi juga bersosialisasi. Inilah
salah satu kearifan lokal yang masih bertahan. Kebiasaan mewarung ini ternyata
lebih signifikan dalam memperkokoh tali silaturrahim antar warga. Mewarung
adalah salah satu sarana komunikasi dan
informasi konvensional yang efektif antat warga masyararakat perdesaan, karena di sini juga dibicarakan
masalah yang lagi hangat. Dari masalah lokal sampai masalah internasioal,
tetapi pagi ini agak lain. Belakangan ini beredar kabar burung tak sedap yang
sudah menjadi buah bibir di mana-mana. Karena belakangan ini di Desa Wasah,
Sungai Kacil. Simpur, Kapuh, Hamparaya, Garunggang, Hantarukung dan Halayung
diam-diam telah terkontaminasi isu tak sedap yang diam-diam merambat bagai api
dalam sekam.
Awalnya hanya bisik-bisik dari mulut ke mulut, kini sudah merambat ke
seluruh pelosok desa. Konon katanya guru baru itu sudah jarang datang ke rumah
Julak Idar karena ia sudah mengetahui bahwa Agustina itu adalah seorang janda.
Terbetik kabar bahwa ia tak mau dijodohkan dengan yang janda. Kabar miring itu
sudah mulai memancing banyak gadis yang diam-diam mulai tebar pesona. Terbetik
juga kabar bahwa gadis-gadis dari luar begitu agresif. Bahkan ada yang berani
bertamu hingga larut malam. Dan bukan rahasia lagi hampir tiap hari selalu ada
yang datang bertamu. Untungnya gadis-gadis itu bukan warga setempat, tetapi
orang kampung sebelah bahkan ada juga yang datang dari kota Kandangan. Anehnya Ketua RT Kepala Desa
tokoh masyarakat bahkan pemuka agama, tak ada yang keberataan.
Sebenarnya tak ada yang aneh jika Bram digandrungi dan diidamkan banyak
wanita, karena memang pantas digandrungi dan diidamkan. Bagi
perempuan-perempuan itu, ditinjau dari sudut manapun ia tetap menarik. Apa yang
mereka sukai ada pada Bram ini. Bahkan ia juga digandrungi ibu-ibu dan
bapak-bapak yang diam-diam ingin menjadi mertuanya. Kini dia jadi kebanjiran
kiriman. Ada sarapan pagi, makan siang dan buat makan
malam. Ada koe buatan sendiri dan buah-buahan dari
kebun sendiri. Meski semuanya itu sudah diketahui oleh Julak Idar dan Ayu.
Namun keduanya tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu keajaiban yang menuntaskan semua ketidak
nyamanan itu. Tentu pasti ada yang tidak suka bahkan sangat membencinya.
***
Di
luar nampak langit semakin kelabu, tandanya sebentar lagi tentu akan hujan
turun. Namanya juga musim hujan. Jadi tiada hari tanpa hujan. Kalau tidak pagi
tentu sore hujannya. Atau bisa juga malam harinya. Julak Idar nampak gelisah menunggu kehadiran
para jawara murid-murid pilihannya. Di tengah kamar tamu itu telah tersedia
tigabelas gelas kosong dan belasan kemasan kecil kopi instant merek ternama.
Semuanya sudah siap hanya menunggu air panas dan pisang goreng panas. Sekarang
tinggal menunggu murid-murid pilihannya. Tak lama kemudian seorang demi seorang
mulai berdatangan. Seperti biasa lazimnya seorang murid yang datang selalu saja
bersalaman dan mencium tangan Sang Guru. Seperti biasa salah saorang dari murid
tertua masuk ke dalam sebentar lalu keluar lagi membawa dua buah termos berisi
air panas. Kemudian ia masuk lagi dan keluarnya membawa dua buah piring besar
berisi pisang goreng panas.
Saat ini seperti biasa Ayu bertugas menyediakan air panas dan menggoreng
pisang yang baru ditebang sore tadi, sedang Julak Idar bersama murid-muridnya
bersendau gurau kangen-kangenan satu sama lain. Acara kangen-kangenan ini bisa
berlangsung hingga larut malam, dan acara pokok baru dimulai setelah semua
uneg-uneg habis dikeluarkan. Sekarang pisang goreng panas sudah dua kali
ditambah dan kopinya juga sudah berkali-kali ditambah di gelas
masing-masing.
“Malam ini kita khusus membicarakan kabar burung yang beredar luas
akhir-akhir ini.”
Itulah kalimat pertama yang diucapkan Julak Idar. Itu adalah kalimat
pembuka yang sangat tidak biasa dan membuat semua murid-muridnya terkejut,
diam, bungkam seribu bahasa, tak berani berkata apa-apa. Tak ada seorangpun
yang berani bicara. Kabar burung itu adalah karena ulah anak angkatnya sendiri.
Mana mungkin mereka berani berkomentar? Ini bukan masalah biasa dan tidak bisa
dianggap enteng. Sedikit saja salah bicara bisa bias menjadi bomerang yang akan
mencelakai diri sendiri.
“Kalian sudah dengar kan?”
Tak ada seorang pun yang berani menjawab. Mereka hanya menganguk sambil
berpandangan penuh tanda tanya satu sama lain. Abah nampak marah dan
kecewa, tidak ada yang berani
macam-macam.
“Iya kan?!” tanyanya sekali lagi dengan suara tinggi.
“Iya, iya Abah, iya Abah,” jawab mereka serantak.
“Bagaimana menurut kalian?”
“Bagaimana apanya Abah?” tanya muridnya yang duduk di pojok ruangan.
“Ya bagaimana apanya Abah?” tanya yang lain juga.
“Bagaimana menurut kalian tentang kabar burung itu?” tanyanya semakin
gusar.
Murid-muridnya semakin bingung tidak tahu harus menjawab apa. Meski
marah Julak Idar tetap berusaha agar kemarahannya itu tak terlihat. Sementara
di balik dinding, Ayu sedang menyimak semua pembicaraan dengan cemas resah dan
gelisah. Nampaknya nasib Kak Bram akan ditentukan berdasarkan hasil pembicaraan
para jawara malam ini. Apakah Kak Bram harus diusir karena ulahnuya? Ataukah
masih diberi kesempatan memperbaiki perbuatannya yang memalukan itu? Meski
demikian Ayu tetap berharap semoga tidak terjadi apa-apa dengan Kak Bram yang
sangat dicintainya itu.
“Menurut ulun sebaiknya kita lihat akar masalahnya dulu,” usul seorang
muridnya.
“O gitu ya? Lalu menurut kamu apa yang jadi akar masalahnya?”
“Akar masalahnya adalah … anu,..anu,” jawab yang mengusulkan tadi gugup.
Sebenarnya ia bisa menjawab pertanyaan itu,
tapi ia takut kena semprot. Akar
masalah masalahnya adalah anak angkat kesayangan Julak Idar sendiri.
“Nggak usah takut. Bilang saja apa adanya. Kan kamu sendiri yang mengusulkan tadi?”
“Ya Abah. Tapi … tapi … ”
“Tapi apa?”
“Dia itu takut Abah,” sela muridnya yang lain lagi.
“Takut? Aku kan tidak makan manusia? Lalu menurut kalian akar
masalahnya apa?” tanyanya kepada muridnya yang menyela tadi. Tetapi orang itu
juga takut menjawabnya. Julak Idar pun menunjuk muridnya satu satu, dan tetap
tak ada yang berani menjawab.
“Ya aku mengerti. Maksud kalian akar masalahnya adalah Guru Ibas itu kan? Benar kan?”
Semua muridnya masih tak berani menjawab. Tetapi ekspressi dan pandangan
mata mereka membenarkannya. Hanya saja tak berani mengatakannya lewat
kata-kata. Padahal Julak Idar sangat mengharapkan akan ada solusi yang tepat.
Itulah sebabnya ia mengumpulkan murid-murid pilihannya untuk mendiskusikan
masalah ini. Ia mencoba bersabar barangkali ada solusi yang bisa mengakomodir
semuanya. Ditatapnya satu satu murid pilihannya itu untuk memastikan siapa di
antara mereka yang diperkirakan dapat diharapkan. Tetapi mereka tetap saja
bungkam.
“Kenapa diam saja? Barangkali di antara kalian ada yang punya ide?”
“Biasanya kan … ,” ujar yang duduk di sampingnya.
“Lalu … lalu …” desak Julak Idar tak sabar menunggu.
“Ya biasanya kan akar masalahnya itu ….”
“Terus… teruskan lanjutannya, ” desak Abah.
Ia jadi gelisah karena hingga larut malam masih belum ada juga jalan
keluar yang baik dan tepat. Meski demikian ia masih belum putus asa bahkan tak
akan pernah putus asa. Meski ia berada pada dua pilihan yang sulit tetapi ia
tetap sadar bahwa Bram itu anak angkat kesayangannya. Apapun yang bakal
terjadi ia tetap akan selalu menjadi pelindung utama anak angkatnya itu. Hal
ini juga sudah diketahui murid-muridnya. Itulah sebabnya mereka takut
mengeluarkan pendapat. Kini Julak dar fokus pada muridnya yang mengusulkan
tadi. Ditatapnya kembali muridnya itu. Ia yakin pasti anak itu mempunyai ide
jalan keluar yang baik.
“Coba ulangi lagi, apa katamu tadi?”
“Maaf Abah, ulun tak berani meneruskannya. Abah.”
“Kenapa? Takut? Tak usah takut. Silakan lanjutkan usul kamu tadi.”
“Abah tidak marah kan?”
“Tidak. Saya tidak akan marah.”
“Begini Abah. Akar masalahnya itu sementinya memang harus dimatikan.
Ibarat sebatang pohon yang ditebang, pohon itu tetap akan bertunas kembali.”
“Jadi maksud kamu yang menjadi biang masalah itu harus di …”
Semuanya langsung terkejut karena tidak menduga sama sekali bahwa Julak
Idar akan berkata seperti itu. Lebih-lebih lagi Ayu yang tengah mengintip dari
lobang kecil di dinding kamarnya. Betapa ngeri dan menakutkannya jika kalimat
itu diteruskan. Seakan terlihat jelas Kak Bram menjadi bulan-bulanan orang
sekampung. Betapa ngeri jika kalimat itu diteruskan. Astaghfirullah! Bukankah
sambungan kalimat itu adalah harus dilenyapkan? Maksudnya harus dibunuh,
minimal harus diusir.
“Ampun Abah. Bukan begitu maksud ulun Abah.”
“Lalu maksud kamu apa?”
“Ampun Abah. Akar masalahnya ini memang harus dilenyapkan. Kalau tidak
cepat dilenyapkan sudah tentu akan semakin berkembang dan semakin meluas dan
pasti semakin tak bisa dihentikan lagi.”
“Tidak bisa begitu,” sela yang lain.
”Itu namanya main hakim sendiri. Negara kita negara hukum,”sahut yang
lain lagi.
“Alhamdulillah,” bisik Ayu di dalam hati. Berarti masih terbuka harapan
bisa bertemu kembali dengan Kak Bram, hatinya jadi lega. Berarti tak perlu
dikhawatirkan. Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
“Ulun mengikut apa yang Abah putuskan saja. Apapun itu akan ulun
dukung,” ujar salah seorang yang dari tadi tidak bersuara apa-apa.
“Tidak bisa begitu. Saya memanggil kalian
justru untuk mendengarkan saran dan pendapat kalian. Kan sudah ada yang mengusulkan? Kita harus
melenyapkan akar masalahnya.”
“Tapi sebelum melenyapkan akar masalah itu, kita harus menentukan
sebenarnya apa sih akar masalahnya? Sebenarnya siapa sih akar masalahnya?”
sahut murid yang duduk di pojok kiri ruangan.
“Memang akar masalahnya a ..“ jawabnya tak berani meneruskan ucapannya.
“Maksud kamu akar masalahnya Guru Ibas itu?”
“I…. i … iya, iya Abah,” jawabnya tergagap-gagap.
“Jadi maksud kamu kita harus melenyapkan Guru Ibas itu?”
Semuanya terkejut. Melenyapkan berarti menghilangkan nyawa orang itu,
tetapi ia anak angkat Julak Idar sendiri.
“Iya Abah. Kita harus secepatnya melenyapkan akar masalahnya.”
“Maksud kamu kita harus membu ..
,” tanya Abah penasaran.
“Bu .. bu … bukan, bukan itu maksudnya Abah,” jawabnya masih
tergagap-gagap.
“Lalu? Maksud kamu kita harus mengusirnya dari desa ini?”
“Bukan. Juga bukan itu maksudnya.”
“Sebenarnya apa sih maksud kamu?”
“Begini Abah, Bukankah selama ini dia itu kan sama-sama anu dengan dia?”
“Sama-sama anu bagaimana?” tanya Julak Idar pura-pura tidak
mengerti.
Muridnya itu pun
menyandingkan telunjuk kanan dan telunjuk kirinya berhadap-hadapan. Lalu ibu jarinya yang kiri
menjunjuk ke dalam di mana Ayu tengah mengintip. Dan ibu jarinya yang kanan
menunjuk ke luar rumah. Maksudnya adalah anak angkat kesayangan Julak Idar
sendiri. Sekarang barulah mereka bisa bernafas lega. Itu maksudnya adalah
mengawinkan keduanya. Bukankah kedua insan itu tengah dilanda asmara? Dan keduanya harus dikawinkan.
***
Lonceng pulang sudah lama dibunyikan, tetapi
Bram masih belum pulang. Ia menyadari bahwa tak bisa lama-lama di ruang guru
ini. Apalagi Pak Pesuruh sekolah itu sudah dua kali bolak-balik keluar masuk
ruangan.
“O ya, maaf Pak. Saya terlambat keluar ya?“
“Tidak apa-apa Pak. Kalau masih ada yang mau Bapak kerjakan silakan Pak.
Rumah saya dekat sini kok.”
“O ya, saya juga mau keluar sekarang.”
“Kalau sudah selesai memang sebaiknya Bapak keluar. Tapi kalau Bapak mau
di dalam juga tak apa-apa. Silakan Pak,” kata Pak Pesuruh itu senyam-senyum
penuh arti.
“O, iya Pak saya keluar nih.”
“Mau di dalam juga tak apa-apa. Aman Pak.”
Pak Pesuruh itu mengedipkan mata kanannya. Itu adalah hal yang teraneh
dilihatnya hari ini. Maksudnya apa ya? Apakah Pesuruh ini seorang banci? Tidak.
Tidak mungkin. Sedikitpun tak ada tanda-tanda itu. Bahkan Pak Pesuruh ini
terlihat macho dan jelas sekali benar-benar lelaki sejati. Bram cepat berdiri
mau keluar, e pesuruh itu lagi-lagi senyam-senyum mengedipkan mata kanannya.
Kali ini diiringi dengan isyarat ibu jarinya menunjuk ke arah luar. Nampaknya
Pesuruh sekolah ini sama sekali bukan banci. Berarti kedipan matanya tadi
adalah isyarat rahasia bahwa ada sesuatu di luar ruangan ini. Sepertinya ada
gadis. Tapi siapa ya?
Ia penasaran ingin melihatnya. Ia cepat keluar dan,. Astagfirullah! Itu kan Ayu?
Terlihat Ayu diam tak bicara apa-apa. Pelan-pelan Ayu menatapnya, sayu
dan iba. Bram jelas melihat ada keinginan yang tertahan. Ia tahu betul wajah
seperti itu biasanya ingin bicara banyak.
Siang ini ia nekad menemui Bram. Bram
perlahan duduk disampingnya. Meski berdampingan mereka tidak bicara apa-apa,
malah keduanya saling diam. Sementara di halaman nampak sepasang kupu-kupu
beterbangan di sela-sela bunga yang ada di taman sekolah. Bram mulai
mencuri-curi pandang. Dilihatnya ada nuansa rindu di wajah Ayu. Nampak jelas
ada perubahan drastis pada Ayu yang wajahnya kotor berantakan tak terurus
semakin kurus. Meski demikian kecantikannya tetap masih bersinar, karena semua
itu tak‘kan mampu menghilangkan kecantikan perempuan
yang dikiranya masih gadis ini.
“Kak Bram ayo kita pulang,” ajaknya tiba-tiba suaranya yang hampir tak
terdengar.
“Pulang?”
“Ya pulang.”
“Pulang ke mana?” tanyanya terkejut.
Masa ia harus pulang bersama Ayu? Apa kata
orang? Bukankah selama ini ia berusaha menjauh.
“Kak Bram kita pulang yu,” desak Ayu
sekali lagi.
“Pulang ke mana?”
“Ya ke mana saja.”
“Kita kan tidak serumah?”
“Nggak apa-apa. Kita kan bisa pulang ke rumah mana saja?”
“Apa?”
“Ayo kita pulang. Sebentar lagi sore.”
:Ya tapi
pulangnya kemana?”
“Kan tadi Ayu sudah bilang? Ke rumah mana
saja.”
“Ke rumah Abah?”
“Boleh, bisa juga tuh.”
“Wah!”
“Kenapa? Nggak mau?”
“Bukan. Bukan itu maksudnya.”
“Ya sudah. Ke rumah Kak Bram saja.”
“Jangan! Jangan ke rumah aku.”
“Kenapa? Kak Bram Nggak mau?”
“Bukan, bukan nggak mau. Tapi ... ”
“Tapi apa?”
“Waduh, gimana ya? Susah
menjelaskannya nih.”
“Nggak usah bingung. Ayo cepat kita pulang Kak Bram nanti keburu sore.”
“Lho? Ayu pulang naik apa? Mana kendaraan Ayu?”
“Nggak ada. Ayu pulang ikut Kak Bram saja.”
“Tidak bisa begitu. Apa kata orang nanti?”
“Ah masa bodoh.”
“Tadi Ayu ke sini naik apa?”
“Diantar.”
“Diantar siapa?”
“Itu,” jawab Rahayu menunjuk dua orang yang ada di warung di depan
sekolah.
“Apa? Yang di warung itu?”
“Iya.”
Astagfirullah! Itu kan dua orang yang mengikutinya tadi pagi? Kedua orang
itu menatap tajam kepadanya. Itu apa maksudnya? Bagaimana mungkin Ayu diantar
oleh dua penguntit itu? Perangkap apa yang sedang mereka rencanakan? Apakah Abah
angkatnya yang ada di balik semua ini? Cukup lama juga Bram mempertimbangkan
bagaimana caranya agar bisa selamat dari kedua penguntit itu. Apakah ia harus
menghilang diam-diam melalui jalan pintas di belakang sekolah? Lalu bagaimana
dengan kendaraan bebeknya yang akan tertinggal di sekolah? Ataukah ia harus
mengikuti keinginan Ayu pulang bersamanya? Akhirnya dengan berat hati ia
memutuskan pulang bersama Ayu dalam satu kendaraan. Dalam keadaan panik ini ia sempat mengingat semua doa-doa dan bacaan
yang pernah dipelajarinya dulu. Ia mulai membaca basmalah dan shalawat.
Sementara Ayu memperhatikan mulut Bram yang kumat-kamit itu, ia bertanya-tanya
di dalam hati doa apa yang dibaca lelaki pujaannya ini? Dia tidak mengetahui
bahwa yang diucapkan lelaki idamannya ini adalah doa-doa agar bisa selamat dari
berbagai ancaman marabahaya yang tengah menghadangnya saat ini.
“Ayo kita berangkat,” ajak Bram tiba-tiba.
“Pulang?”
“Iya,” sahutnya dan langsung berdiri.
“Kak Bram mau ke mana?”
“Mengambil kendaraan, Ayu tunggu di sini ya.”
Ayu mengangguk matanya berkaca-kaca kegirangan melihat lelaki idamannya
menuju ke parkiran guru yang ada di kiri halaman sekolah. Sebentar kemudian ia
sudah berada di depan Ayu. Tanpa disuruh Ayu langsung naik ke kendaraan dan
duduk di belakang Bram. Agak risih juga nampaknya, karena inilah pertama kali
boncengan dengan lekaki yang digandrunginya ini. Meski awalnya ia agak risih
dan malu-malu, tetapi itu hanya sebentar. Ternyata asik juga boncengan dengan
lelaki idaman. Kini ia tak risih lagi, malah gembira dan manja. Sebenarya sudah
lama ia menginginkan berdua seperti ini, rupanya baru saat ini keinginannya itu
kesampaian. Kalau dulu, ini hanya sebuah impian, tetapi sekarang, ini adalah
kenyataan. Meski baru pertama kali mereka boncengan, ia tak malu-malu memeluk
erat lelaki idamannya ini. Kini mereka sudah meluncur di Jalan Bukhari trans
Kandangan - Kalumpang ini.
Bram bingung, mau pulang ke mana? Sementara ia berpikir mau pulang ke
mana, Ayu malah makin lengket menempel kaya perangko di belakang lelakinya ini.
Diam-diam Bram juga menikmatinya. Mereka terlihat semakin mesra, asik bersendau
gurau sepanjang Jalan. Rasanya ada yang aneh. Mereka bukannya pulang ke rumah
malah melantur ke mana-mana. Sepintas lalu Bram sangat menikmati perjalanan ini
sehingga lupa tujuan semula. Padahal sebenarnya ia tidak sengaja
berputar-putar. Justru ia sangat bingung. Mau pulang ke mana? Hal ini sama
sekali tak diketahui Ayu yang sudah terlanjur menikmati perjalanan ini.
Meskipun ia tahu bahwa yang dilalui ini bukan jalan pulang ke rumah, tetapi ia
diam saja. Sebaliknya Bram menyadari benar bahwa setiap saat bisa saja ia
bertemu orang yang tidak menyukai yang dilakukannya ini. Ternyata benar yang
dua orang tadi mengikutinya. Itu jelas terlihat di kaca spionnya. Ia cepat
berbelok ke arah lain langsung masuk jalan pintas di bawah pohon kelapa dan
pemukiman penduduk.
”Kak Bram? Memangnya Kak Bram mau ngajak Ayu ke mana?”
”Jalan-jalan aja,” jawab Bram berbohong sekenanya saja.
”Ya, tapi jalannya ke mana? Kalau diteruskan ini bisa sampai ke Asam,
Bilui dan Kalumpang, Balimau bahkan bisa
sampai ke Margasari.”
”Kalau Ayu maunya begitu, Kak Bram mengikut saja.”
”Jangan! Itu terlalu jauh, Tadinya kan kita mau pulang?”
”Kalau begitu terserah maunya Ayu saja.”
”Kita makan sate Idar yu?”
”Tapi kita kan sudah jauh?”
”Bagaimana kalau kita makan dipinggir jalan saja?”
”Makan apa di pinggir
jalan?”
”Kan ada warung seafood? Jam segini biasanya
sudah ada yang buka.”
”Ayo,” jawab Bram setelah merasa aman.
Mereka pun berhenti di cafe seafood yang buka di Desa Pamujaan Simpur
itu. Setelah memarkir kendaraan keduanya mencari tempat duduk. Seperti biasa
seorang pelayan datang mendekati mereka.
”Mau makan apa Mas? Ikan mas Bakar? Ikan mas goreng? Nila? Atau udang
goreng tepung?”
”Ayu mau makan apa?”
”Ikan mas bakarnya pasti enak ya?”
”Iya Mbak.”
”Ikan mas bakar dua ya?” pesan Bram.
”Minumnya apa ya Mas?”
”Es teh dua ya.”
Pelayan itu memberitahukan pesanan Bram kepada Bosnya. Sebentar kemudian
ia datang membawa pesanan itu. Keduanya asik menyantap dan menikmati ikan mas
bakar. Sebenarnya bagi Ayu bukan ikan mas bakarnya itu yang istimewa, tetapi
makan bersama lelaki yang sangat dicintainya ini yang membuatnya sangat
bahagia. Inilah makan bersama yang paling istimewa baginya.
Baru saja mereka selesai makan tiba-tiba saja dua penguntit tadi nampak dari jauh menuju ke
arah mereka. Bram cepat-cepat berdiri mau membayar tetapi tiba-tiba dua
penguntit tadi terus berlalu tanpa menghiraukan mereka. Aneh, ada apa ini?
***
Sore ini sesampainya di rumah, Ayu langsung
sholat Ashar. Sehabis sholat ia menghempaskan badannya di tempat tidur. Tak
pernah ia merasa sebahagia ini hingga terbawa sampai malam harinya. Sepanjang
malam pikirannya mengingat kembali saat-saat yang indah bersama Kak Bram sore
tadi. Meski hanya beberapa jam tetapi rasanya itu sudah cukup berarti baginya.
Ia jadi ketawa-ketiwi sendiri saat teringat Kak Bram melarikan motor bebeknya
menghindari dua orang yang mengejar mereka. Padahal kedua orang itu adalah
murid Abah yang khusus ditugaskan menjaga keselamatan Kak Bram. Ia teringat
saat Kak Bram menghindari kelompok geng motor itu. Padahal mereka itu sudah
dicegat oleh murid-murid Abah. Mereka diancam akan dihabisi jika masih
mengganggu.
Masih
segar dalam ingatannya lelaki yang sangat dicintainya itu mencari jalan pintas
meski harus memutar beberapa kilometer agar terhindar dari dua penguntit itu.
Tentu saja Ayu sangat menikmatinya. Betapa senangnya dibonceng masuk kampung
keluar kampung sampai jauh keluar perbatasan Kecamatan Simpur. Betapa senangnya
Ayu dilihat gadis-gadis yang mengincar lelaki idamannya ini. Senyum kemenangan
itupun menghiasi bibirnya yang selalu diumbarnya kepada gadis-gadis di
sepanjang jalan yang dilaluinya bersama lelakinya ini. Betapa bangganya ia
memperlihatkan bahwa ialah satu-satunya perempuan yang disayang lelaki ini.
Akhirnya iapun tertidur pulas bersama mimpi indahnya.
***
Bram bingung, padahal hampir saja ia dapat melupakan
janda yang dikiranya masih gadis itu. Mengapa ia mau begitu saja ajakan Ayu
memboncengnya ke mana-mama? Bukankah itu sama saja dengan memberitahukan kepada
masyarakat bahwa mereka sudah baikan? Padahal itu hanyalah suatu keterpaksaan
agar Ayu tidak nekad berbuat yang tidak-tidak. Bukankah jika cintanya tidak
berbalas, ia basa saja nekad? Anehnya ternyata dia juga sangat menikmatinya.
Haruskah ia kembali mencintai Ayu? Bukankah itu sama saja dengan menelan
ludahnya kembali? Dia benci tetapi juga rindu. Inikah benci tapi rindu?
Meski
sudah larut malam ia masih tak bisa tidur. Biasanya kalau sudah seperti ini ia
menyalakan tv yang waktunya sudah disetting. Sehingga tidak jarang ia-nya
tertidur dan tv-nya main sendiri dan
akan mati sendiri. Tetapi tidak saat ini? Meski tv-nya sudah lama mati, ia
masih belum bisa tidur juga. Satu-satunya cara harus fesbukan sekedar membuat
mata bisa mengantuk. Ia pun membuka laptop dan memasang modemnya. Hanya dalam
waktu sekejap ia sudah berada di dunia maya. Jari-jarinya mulai menari di
lantai keyboard membuat status galau yang dirasakannya saat ini.
“Tadi
sore aku ketakutan bagaikan hewan buruan yang dikejar-kejar puluhan anjing
pemburu.” Ternyata statusnya ini disukai beberapa fesbuker, dan ada juga si
Omboy yang mengomentari statusnya. “Bram tak usah takut. Aku lihat kejadiannya
sore tadi itu.”
“Omboy, memangnya kamu ada di mana?”
“Di warung Sate Idar.”
Wah!
Kebetulan nih ada teman buat curhat. Ia langsung memindahkan komentarnya ke
inbox Omboy.
“Gimana ceritanya tiba-tiba kamu ada di sini? Bukannya kamu ada di
Babirik sana?”
“Kan sebentar lagi libur? Aku pulang kampung
duluan.”
“Wah
kebeneran nih. Aku bisa curhat-cuhatan.”
”Curhat? Sesama cowok dilarang curhat-curhatan.”
“O
gitu ya? Masa sih?”
“Hahaha. Memangnya kamu mau curhat apa?”
“Ya
yang tadi sore kamu ada di warung sate? Kamu kenal nggak dua orang yang
mengejarku itu?”
“O, itu
si Teja dan Apri. Mereka itu orang kepercayaan Julak Idar. Orangnya sangar tapi
cukup ramah dan santun.”
“O gitu
ya? Kamu kenal mereka? Keluarga kamu ya?”
“Iya,
mereka saudara sepuku aku.”
“Jadi,
aku dikerjain? Kok nggak ada yang ngasih tahu?”
“Mereka itu tinggal di Parigi Halayung. Dia juga ingin mendirikan perguruan kuntau.”
“Waw
asik dong. Jadi aku bisa belajar kuntau di situ.”
“Lho? Kan camermu itu master kuntau ternama di
sini?”
“Camer apaan? Jadinya aja belum?”
“Sebentar lagi juga jadi mertua kan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar