menu

Selasa, 31 Mei 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 06



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 06
06

        Sepulangnya dari rumah Abah seminggu yang lalu Bram jadi makin bingung dan semakin kacau balau. Bahkan ia merasa sebagai orang yang paling munafik karena telah bermuka dua. Di mulut berkata ya di hati berkata lain. Seyogyanya ia harus membuang prinsip yang kaku “Pantang Pemuda Makan Sisa”. Meski Ayu seorang janda tetapi ia bukan barang sisa. Hanya nasibnya saja yang malang, baru kawin dua bulan suaminya sudah meninggal. Untuk ini ia harus kembali menjadi Bram yang mencintai Ayu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Meski ia seorang janda tapi masih cantik menawan. Itu tidak bisa dianggap barang sisa. Ia seorang manusia yang sama sekali bukan barang.


       Waktu sudah menunjukkan pukul duabelas malam tetapi ia masih tak bisa tidur juga. Biasanya di saat galau seperti ini, ia mengembara di dunia maya. Ia langsung teringat link pertemanannya dengan Mas Bro Lipani si Penyair Romantis dari Kota Apam. Ia pun membuka laptopnya dan terus masuk ke sosial media fesbuk. Sebentar kemudian dia sudah berada di antara puluhan bahkan ratusan status dari berbagai kalangan. Seperti biasa di beranda itu ada Lipani yang mengungkapkan suasana romantis dan rindu. Tetapi kali ini ia lagi tak tertarik dengan status-status galau, karena ia ingin curhat tentang kegalauannya sendiri. Tentu saja bukan lewat status yang sangat terbuka luas tetapi harus lewat inbox.

        ”Halo mat malam Mas Bro Lipani. Apa kabar?”
         Setelah bersabar menunggu beberapa saat, muncullah jawabannya di inbox itu.
        ”Alhamdulillah baik. Mat malam juga Mas Bro Bram.”
        ”Mas Bro. Aku mau curhat nih.”
        ”O ya. Curhat aja. Ada apa ya? Lagi galau ya?”
        ”Iya nih Mas Bro. Saya ini kan lagi jatuh cinta?”
        ”O ya? Bagus itu. Cewekya pasti cantik. Mana cantiknya dengan mantanmu dulu?”
        ”Bukan hanya cantik, tetapi sama persis bagai kembar identik.”
        ”Lalu masalahnya di mana?”
        ”Satu-satunya masalah adalah status cewek itu.”
        ”Janda? Ceweknya sudah janda?”
        ”Nah itu dia masalahnya.”
        ”Iya saya ngerti. Tapi  Mas Bro cinta dia kan?”
        ”Ya pasti lah. Itu sebabnya aku mau curhat nih.”
        ”Lalu dia-nya kaya gimana?”
        ”Wah kalau dia lebih gawat lagi. Namanya juga janda. Maunya ya langsung kawin.”
        ”Ya sudah, kawin aja.”
        ”Kok kawin? Masa kawin dengan janda. Apa kata dunia? Pasti banyak yang mengejek saya?”
       “Cuek aja. Yang penting Mas Bro bahagia.”
       “Tapi .. “
       “Ya, cuek aja. Palingan hanya sebentar. Nanti juga akan tenang dengan sendirinya.”
       “Makasih sarannya ya.”
       “Yaa, sama-sama.”
       Diam-diam ia membenarkan saran Mas bro Lipani itu. Masuk akal juga, tetapi ia ragu.”

***
        Pagi ini warung katupat yang dekat rumah Bram selalu penuh dengan pelanggan tetapnya. Di sini hampir semua orang tak ada yang sarapan di rumah. Ternyata mereka bukan hanya sarapan tetapi juga bersosialisasi. Inilah salah satu kearifan lokal yang masih bertahan. Kebiasaan mewarung ini ternyata lebih signifikan dalam memperkokoh tali silaturrahim antar warga. Mewarung adalah salah satu sarana komunikasi dan  informasi konvensional yang efektif antat warga masyararakat  perdesaan, karena di sini juga dibicarakan masalah yang lagi hangat. Dari masalah lokal sampai masalah internasioal, tetapi pagi ini agak lain. Belakangan ini beredar kabar burung tak sedap yang sudah menjadi buah bibir di mana-mana. Karena belakangan ini di Desa Wasah, Sungai Kacil. Simpur, Kapuh, Hamparaya, Garunggang, Hantarukung dan Halayung diam-diam telah terkontaminasi isu tak sedap yang diam-diam merambat bagai api dalam sekam.

       Awalnya hanya bisik-bisik dari mulut ke mulut, kini sudah merambat ke seluruh pelosok desa. Konon katanya guru baru itu sudah jarang datang ke rumah Julak Idar karena ia sudah mengetahui bahwa Agustina itu adalah seorang janda. Terbetik kabar bahwa ia tak mau dijodohkan dengan yang janda. Kabar miring itu sudah mulai memancing banyak gadis yang diam-diam mulai tebar pesona. Terbetik juga kabar bahwa gadis-gadis dari luar begitu agresif. Bahkan ada yang berani bertamu hingga larut malam. Dan bukan rahasia lagi hampir tiap hari selalu ada yang datang bertamu. Untungnya gadis-gadis itu bukan warga setempat, tetapi orang kampung sebelah bahkan ada juga yang datang dari kota Kandangan. Anehnya Ketua RT Kepala Desa tokoh masyarakat bahkan pemuka agama, tak ada yang keberataan.

       Sebenarnya tak ada yang aneh jika Bram digandrungi dan diidamkan banyak wanita, karena memang pantas digandrungi dan diidamkan. Bagi perempuan-perempuan itu, ditinjau dari sudut manapun ia tetap menarik. Apa yang mereka sukai ada pada Bram ini. Bahkan ia juga digandrungi ibu-ibu dan bapak-bapak yang diam-diam ingin menjadi mertuanya. Kini dia jadi kebanjiran kiriman. Ada sarapan pagi, makan siang dan buat makan malam. Ada koe buatan sendiri dan buah-buahan dari kebun sendiri. Meski semuanya itu sudah diketahui oleh Julak Idar dan Ayu. Namun keduanya tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu keajaiban yang menuntaskan semua ketidak nyamanan itu. Tentu pasti ada yang tidak suka bahkan sangat membencinya. 

***

       Di luar nampak langit semakin kelabu, tandanya sebentar lagi tentu akan hujan turun. Namanya juga musim hujan. Jadi tiada hari tanpa hujan. Kalau tidak pagi tentu sore hujannya. Atau bisa juga malam harinya.  Julak Idar nampak gelisah menunggu kehadiran para jawara murid-murid pilihannya. Di tengah kamar tamu itu telah tersedia tigabelas gelas kosong dan belasan kemasan kecil kopi instant merek ternama. Semuanya sudah siap hanya menunggu air panas dan pisang goreng panas. Sekarang tinggal menunggu murid-murid pilihannya. Tak lama kemudian seorang demi seorang mulai berdatangan. Seperti biasa lazimnya seorang murid yang datang selalu saja bersalaman dan mencium tangan Sang Guru. Seperti biasa salah saorang dari murid tertua masuk ke dalam sebentar lalu keluar lagi membawa dua buah termos berisi air panas. Kemudian ia masuk lagi dan keluarnya membawa dua buah piring besar berisi pisang goreng panas.

       Saat ini seperti biasa Ayu bertugas menyediakan air panas dan menggoreng pisang yang baru ditebang sore tadi, sedang Julak Idar bersama murid-muridnya bersendau gurau kangen-kangenan satu sama lain. Acara kangen-kangenan ini bisa berlangsung hingga larut malam, dan acara pokok baru dimulai setelah semua uneg-uneg habis dikeluarkan. Sekarang pisang goreng panas sudah dua kali ditambah dan kopinya juga sudah berkali-kali ditambah di gelas masing-masing. 

       “Malam ini kita khusus membicarakan kabar burung yang beredar luas akhir-akhir ini.”

       Itulah kalimat pertama yang diucapkan Julak Idar. Itu adalah kalimat pembuka yang sangat tidak biasa dan membuat semua murid-muridnya terkejut, diam, bungkam seribu bahasa, tak berani berkata apa-apa. Tak ada seorangpun yang berani bicara. Kabar burung itu adalah karena ulah anak angkatnya sendiri. Mana mungkin mereka berani berkomentar? Ini bukan masalah biasa dan tidak bisa dianggap enteng. Sedikit saja salah bicara bisa bias menjadi bomerang yang akan mencelakai diri sendiri.

       “Kalian sudah dengar kan?”

       Tak ada seorang pun yang berani menjawab. Mereka hanya menganguk sambil berpandangan penuh tanda tanya satu sama lain. Abah nampak marah dan kecewa,  tidak ada yang berani macam-macam.

       “Iya kan?!” tanyanya sekali lagi dengan suara tinggi.
       “Iya, iya Abah, iya Abah,” jawab mereka serantak.
       “Bagaimana menurut kalian?”
       “Bagaimana apanya Abah?” tanya muridnya yang duduk di pojok ruangan.
       “Ya bagaimana apanya Abah?” tanya yang lain juga.
       “Bagaimana menurut kalian tentang kabar burung itu?” tanyanya semakin gusar.

       Murid-muridnya semakin bingung tidak tahu harus menjawab apa. Meski marah Julak Idar tetap berusaha agar kemarahannya itu tak terlihat. Sementara di balik dinding, Ayu sedang menyimak semua pembicaraan dengan cemas resah dan gelisah. Nampaknya nasib Kak Bram akan ditentukan berdasarkan hasil pembicaraan para jawara malam ini. Apakah Kak Bram harus diusir karena ulahnuya? Ataukah masih diberi kesempatan memperbaiki perbuatannya yang memalukan itu? Meski demikian Ayu tetap berharap semoga tidak terjadi apa-apa dengan Kak Bram yang sangat dicintainya itu.

      “Menurut ulun sebaiknya kita lihat akar masalahnya dulu,” usul seorang muridnya.
       “O gitu ya? Lalu menurut kamu apa yang jadi akar masalahnya?”
       “Akar masalahnya adalah … anu,..anu,” jawab yang mengusulkan tadi gugup. Sebenarnya ia bisa menjawab pertanyaan itu,  tapi ia takut kena semprot.  Akar masalah masalahnya adalah anak angkat kesayangan Julak Idar sendiri.
       “Nggak usah takut. Bilang saja apa adanya. Kan kamu sendiri yang mengusulkan tadi?” 
       “Ya Abah. Tapi … tapi … ”
       “Tapi apa?”
       “Dia itu takut Abah,” sela muridnya yang lain lagi.
       “Takut? Aku kan tidak makan manusia? Lalu menurut kalian akar masalahnya apa?” tanyanya kepada muridnya yang menyela tadi. Tetapi orang itu juga takut menjawabnya. Julak Idar pun menunjuk muridnya satu satu, dan tetap tak ada yang berani menjawab.
       “Ya aku mengerti. Maksud kalian akar masalahnya adalah Guru Ibas itu kan? Benar kan?”

       Semua muridnya masih tak berani menjawab. Tetapi ekspressi dan pandangan mata mereka membenarkannya. Hanya saja tak berani mengatakannya lewat kata-kata. Padahal Julak Idar sangat mengharapkan akan ada solusi yang tepat. Itulah sebabnya ia mengumpulkan murid-murid pilihannya untuk mendiskusikan masalah ini. Ia mencoba bersabar barangkali ada solusi yang bisa mengakomodir semuanya. Ditatapnya satu satu murid pilihannya itu untuk memastikan siapa di antara mereka yang diperkirakan dapat diharapkan. Tetapi mereka tetap saja bungkam.

       “Kenapa diam saja? Barangkali di antara kalian ada yang punya ide?”
       “Biasanya kan … ,” ujar yang duduk di sampingnya.
       “Lalu … lalu …” desak Julak Idar tak sabar menunggu.
       “Ya biasanya kan akar masalahnya itu ….”
       “Terus… teruskan lanjutannya, ” desak Abah.

       Ia jadi gelisah karena hingga larut malam masih belum ada juga jalan keluar yang baik dan tepat. Meski demikian ia masih belum putus asa bahkan tak akan pernah putus asa. Meski ia berada pada dua pilihan yang sulit tetapi ia tetap sadar bahwa Bram itu anak angkat kesayangannya. Apapun yang bakal terjadi ia tetap akan selalu menjadi pelindung utama anak angkatnya itu. Hal ini juga sudah diketahui murid-muridnya. Itulah sebabnya mereka takut mengeluarkan pendapat. Kini Julak dar fokus pada muridnya yang mengusulkan tadi. Ditatapnya kembali muridnya itu. Ia yakin pasti anak itu mempunyai ide jalan keluar yang baik.

       “Coba ulangi lagi, apa katamu tadi?”
       “Maaf Abah, ulun tak berani meneruskannya. Abah.”
       “Kenapa? Takut? Tak usah takut. Silakan lanjutkan usul kamu tadi.”
       “Abah tidak marah kan?”
       “Tidak. Saya tidak akan marah.”   
       “Begini Abah. Akar masalahnya itu sementinya memang harus dimatikan. Ibarat sebatang pohon yang ditebang, pohon itu tetap akan bertunas kembali.”
       “Jadi maksud kamu yang menjadi biang masalah itu harus di  …”

       Semuanya langsung terkejut karena tidak menduga sama sekali bahwa Julak Idar akan berkata seperti itu. Lebih-lebih lagi Ayu yang tengah mengintip dari lobang kecil di dinding kamarnya. Betapa ngeri dan menakutkannya jika kalimat itu diteruskan. Seakan terlihat jelas Kak Bram menjadi bulan-bulanan orang sekampung. Betapa ngeri jika kalimat itu diteruskan. Astaghfirullah! Bukankah sambungan kalimat itu adalah harus dilenyapkan? Maksudnya harus dibunuh, minimal harus diusir.

       “Ampun Abah. Bukan begitu maksud ulun Abah.”
       “Lalu maksud kamu apa?”
       “Ampun Abah. Akar masalahnya ini memang harus dilenyapkan. Kalau tidak cepat dilenyapkan sudah tentu akan semakin berkembang dan semakin meluas dan pasti semakin tak bisa dihentikan lagi.”
       “Tidak bisa begitu,” sela yang lain.
       ”Itu namanya main hakim sendiri. Negara kita negara hukum,”sahut yang lain lagi.
       “Alhamdulillah,” bisik Ayu di dalam hati. Berarti masih terbuka harapan bisa bertemu kembali dengan Kak Bram, hatinya jadi lega. Berarti tak perlu dikhawatirkan. Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
       “Ulun mengikut apa yang Abah putuskan saja. Apapun itu akan ulun dukung,” ujar salah seorang yang dari tadi tidak bersuara apa-apa.
       “Tidak bisa begitu. Saya memanggil kalian justru untuk mendengarkan saran dan pendapat kalian. Kan sudah ada yang mengusulkan? Kita harus melenyapkan akar masalahnya.”
       “Tapi sebelum melenyapkan akar masalah itu, kita harus menentukan sebenarnya apa sih akar masalahnya? Sebenarnya siapa sih akar masalahnya?” sahut murid yang duduk di pojok kiri ruangan.
      “Memang akar masalahnya a ..“ jawabnya tak berani meneruskan ucapannya.
       “Maksud kamu akar masalahnya Guru Ibas itu?”
       “I…. i … iya, iya Abah,” jawabnya tergagap-gagap.
       “Jadi maksud kamu kita harus melenyapkan Guru Ibas itu?”

       Semuanya terkejut. Melenyapkan berarti menghilangkan nyawa orang itu, tetapi ia anak angkat Julak Idar sendiri.

       “Iya Abah. Kita harus secepatnya melenyapkan akar masalahnya.”
       “Maksud kamu kita harus membu ..  ,” tanya Abah penasaran.
       “Bu .. bu … bukan, bukan itu maksudnya Abah,” jawabnya masih tergagap-gagap.
       “Lalu? Maksud kamu kita harus mengusirnya dari desa ini?”
       “Bukan. Juga bukan itu maksudnya.”
       “Sebenarnya apa sih maksud kamu?”
       “Begini Abah, Bukankah selama ini dia itu kan sama-sama anu dengan dia?”
       “Sama-sama anu bagaimana?” tanya Julak Idar pura-pura tidak mengerti. 

       Muridnya itu pun menyandingkan telunjuk kanan dan telunjuk kirinya berhadap-hadapan. Lalu ibu jarinya yang kiri menjunjuk ke dalam di mana Ayu tengah mengintip. Dan ibu jarinya yang kanan menunjuk ke luar rumah. Maksudnya adalah anak angkat kesayangan Julak Idar sendiri. Sekarang barulah mereka bisa bernafas lega. Itu maksudnya adalah mengawinkan keduanya. Bukankah kedua insan itu tengah dilanda asmara? Dan keduanya harus dikawinkan.

***
       Lonceng pulang sudah lama dibunyikan, tetapi Bram masih belum pulang. Ia menyadari bahwa tak bisa lama-lama di ruang guru ini. Apalagi Pak Pesuruh sekolah itu sudah dua kali bolak-balik keluar masuk ruangan.

       “O ya, maaf Pak. Saya terlambat keluar ya?“
       “Tidak apa-apa Pak. Kalau masih ada yang mau Bapak kerjakan silakan Pak. Rumah saya dekat sini kok.”
       “O ya, saya juga mau keluar sekarang.”
       “Kalau sudah selesai memang sebaiknya Bapak keluar. Tapi kalau Bapak mau di dalam juga tak apa-apa. Silakan Pak,” kata Pak Pesuruh itu senyam-senyum penuh arti.
       “O, iya Pak saya keluar nih.”
       “Mau di dalam juga tak apa-apa. Aman Pak.”

       Pak Pesuruh itu mengedipkan mata kanannya. Itu adalah hal yang teraneh dilihatnya hari ini. Maksudnya apa ya? Apakah Pesuruh ini seorang banci? Tidak. Tidak mungkin. Sedikitpun tak ada tanda-tanda itu. Bahkan Pak Pesuruh ini terlihat macho dan jelas sekali benar-benar lelaki sejati. Bram cepat berdiri mau keluar, e pesuruh itu lagi-lagi senyam-senyum mengedipkan mata kanannya. Kali ini diiringi dengan isyarat ibu jarinya menunjuk ke arah luar. Nampaknya Pesuruh sekolah ini sama sekali bukan banci. Berarti kedipan matanya tadi adalah isyarat rahasia bahwa ada sesuatu di luar ruangan ini. Sepertinya ada gadis. Tapi siapa ya?

       Ia penasaran ingin melihatnya. Ia cepat keluar dan,. Astagfirullah! Itu kan Ayu? 
       Terlihat Ayu diam tak bicara apa-apa. Pelan-pelan Ayu menatapnya, sayu dan iba. Bram jelas melihat ada keinginan yang tertahan. Ia tahu betul wajah seperti itu biasanya ingin bicara banyak.

       Siang ini ia nekad menemui Bram. Bram perlahan duduk disampingnya. Meski berdampingan mereka tidak bicara apa-apa, malah keduanya saling diam. Sementara di halaman nampak sepasang kupu-kupu beterbangan di sela-sela bunga yang ada di taman sekolah. Bram mulai mencuri-curi pandang. Dilihatnya ada nuansa rindu di wajah Ayu. Nampak jelas ada perubahan drastis pada Ayu yang wajahnya kotor berantakan tak terurus semakin kurus. Meski demikian kecantikannya tetap masih bersinar, karena semua itu tak‘kan mampu menghilangkan kecantikan perempuan yang dikiranya masih gadis ini.   

       “Kak Bram ayo kita pulang,” ajaknya tiba-tiba suaranya yang hampir tak terdengar.
       “Pulang?”
       “Ya pulang.”
       “Pulang ke mana?” tanyanya terkejut.

       Masa ia harus pulang bersama Ayu? Apa kata orang? Bukankah selama ini ia berusaha menjauh. 

       “Kak Bram kita pulang yu,” desak Ayu  sekali lagi.
       “Pulang ke mana?”
       “Ya ke mana saja.”
       “Kita kan tidak serumah?”
       “Nggak apa-apa. Kita kan bisa pulang ke rumah mana saja?”
       “Apa?”
       “Ayo kita pulang. Sebentar lagi sore.”
       :Ya tapi pulangnya kemana?”
       Kan tadi Ayu sudah bilang? Ke rumah mana saja.”
       “Ke rumah Abah?”
       “Boleh, bisa juga tuh.”
       “Wah!”
       “Kenapa?  Nggak mau?”
       “Bukan. Bukan itu maksudnya.”
       “Ya sudah. Ke rumah Kak Bram saja.”
       “Jangan! Jangan ke rumah aku.” 
       “Kenapa? Kak Bram Nggak mau?”
       “Bukan, bukan nggak mau. Tapi ... ”
       “Tapi apa?”
       “Waduh, gimana ya? Susah menjelaskannya nih.”
       “Nggak usah bingung. Ayo cepat kita pulang Kak Bram nanti keburu sore.”
       “Lho? Ayu pulang naik apa? Mana kendaraan Ayu?”
       “Nggak ada. Ayu pulang ikut Kak Bram saja.”
       “Tidak bisa begitu. Apa kata orang nanti?”
       “Ah masa bodoh.”
       “Tadi Ayu ke sini naik apa?”
       “Diantar.”
       “Diantar siapa?”
       “Itu,” jawab Rahayu menunjuk dua orang yang ada di warung di depan sekolah.
       “Apa? Yang di warung itu?”
       “Iya.”

       Astagfirullah! Itu kan dua orang yang mengikutinya tadi pagi? Kedua orang itu menatap tajam kepadanya. Itu apa maksudnya? Bagaimana mungkin Ayu diantar oleh dua penguntit itu? Perangkap apa yang sedang mereka rencanakan? Apakah Abah angkatnya yang ada di balik semua ini? Cukup lama juga Bram mempertimbangkan bagaimana caranya agar bisa selamat dari kedua penguntit itu. Apakah ia harus menghilang diam-diam melalui jalan pintas di belakang sekolah? Lalu bagaimana dengan kendaraan bebeknya yang akan tertinggal di sekolah? Ataukah ia harus mengikuti keinginan Ayu pulang bersamanya? Akhirnya dengan berat hati ia memutuskan pulang bersama Ayu dalam satu kendaraan. Dalam keadaan panik ini  ia sempat mengingat semua doa-doa dan bacaan yang pernah dipelajarinya dulu. Ia mulai membaca basmalah dan shalawat. Sementara Ayu memperhatikan mulut Bram yang kumat-kamit itu, ia bertanya-tanya di dalam hati doa apa yang dibaca lelaki pujaannya ini? Dia tidak mengetahui bahwa yang diucapkan lelaki idamannya ini adalah doa-doa agar bisa selamat dari berbagai ancaman marabahaya yang tengah menghadangnya saat ini.

       “Ayo kita berangkat,” ajak Bram tiba-tiba.
       “Pulang?”
       “Iya,” sahutnya dan langsung berdiri.
       “Kak Bram mau ke mana?”  
       “Mengambil kendaraan, Ayu tunggu di sini ya.”

       Ayu mengangguk matanya berkaca-kaca kegirangan melihat lelaki idamannya menuju ke parkiran guru yang ada di kiri halaman sekolah. Sebentar kemudian ia sudah berada di depan Ayu. Tanpa disuruh Ayu langsung naik ke kendaraan dan duduk di belakang Bram. Agak risih juga nampaknya, karena inilah pertama kali boncengan dengan lekaki yang digandrunginya ini. Meski awalnya ia agak risih dan malu-malu, tetapi itu hanya sebentar. Ternyata asik juga boncengan dengan lelaki idaman. Kini ia tak risih lagi, malah gembira dan manja. Sebenarya sudah lama ia menginginkan berdua seperti ini, rupanya baru saat ini keinginannya itu kesampaian. Kalau dulu, ini hanya sebuah impian, tetapi sekarang, ini adalah kenyataan. Meski baru pertama kali mereka boncengan, ia tak malu-malu memeluk erat lelaki idamannya ini. Kini mereka sudah meluncur di Jalan Bukhari trans Kandangan - Kalumpang ini.

      Bram bingung, mau pulang ke mana? Sementara ia berpikir mau pulang ke mana, Ayu malah makin lengket menempel kaya perangko di belakang lelakinya ini. Diam-diam Bram juga menikmatinya. Mereka terlihat semakin mesra, asik bersendau gurau sepanjang Jalan. Rasanya ada yang aneh. Mereka bukannya pulang ke rumah malah melantur ke mana-mana. Sepintas lalu Bram sangat menikmati perjalanan ini sehingga lupa tujuan semula. Padahal sebenarnya ia tidak sengaja berputar-putar. Justru ia sangat bingung. Mau pulang ke mana? Hal ini sama sekali tak diketahui Ayu yang sudah terlanjur menikmati perjalanan ini. Meskipun ia tahu bahwa yang dilalui ini bukan jalan pulang ke rumah, tetapi ia diam saja. Sebaliknya Bram menyadari benar bahwa setiap saat bisa saja ia bertemu orang yang tidak menyukai yang dilakukannya ini. Ternyata benar yang dua orang tadi mengikutinya. Itu jelas terlihat di kaca spionnya. Ia cepat berbelok ke arah lain langsung masuk jalan pintas di bawah pohon kelapa dan pemukiman penduduk. 

       ”Kak Bram? Memangnya Kak Bram mau ngajak Ayu ke mana?”
       ”Jalan-jalan aja,” jawab Bram berbohong sekenanya saja.
       ”Ya, tapi jalannya ke mana? Kalau diteruskan ini bisa sampai ke Asam, Bilui dan  Kalumpang, Balimau bahkan bisa sampai ke Margasari.”
       ”Kalau Ayu maunya begitu, Kak Bram mengikut saja.”
       ”Jangan!  Itu  terlalu jauh, Tadinya kan kita mau pulang?”
       ”Kalau begitu terserah maunya Ayu saja.”
       ”Kita makan sate Idar yu?”
       ”Tapi kita kan sudah jauh?”
       ”Bagaimana kalau kita makan dipinggir jalan saja?”
       ”Makan apa di  pinggir jalan?” 
       Kan ada warung seafood? Jam segini biasanya sudah ada yang buka.”
       ”Ayo,” jawab Bram setelah merasa aman.

       Mereka pun berhenti di cafe seafood yang buka di Desa Pamujaan Simpur itu. Setelah memarkir kendaraan keduanya mencari tempat duduk. Seperti biasa seorang pelayan datang mendekati mereka.

       ”Mau makan apa Mas? Ikan mas Bakar? Ikan mas goreng? Nila? Atau udang goreng tepung?”
       ”Ayu mau makan apa?”
       ”Ikan mas bakarnya pasti enak ya?”
       ”Iya Mbak.”
       ”Ikan mas bakar dua ya?” pesan Bram.
       ”Minumnya apa ya Mas?”
       ”Es teh dua ya.”

       Pelayan itu memberitahukan pesanan Bram kepada Bosnya. Sebentar kemudian ia datang membawa pesanan itu. Keduanya asik menyantap dan menikmati ikan mas bakar. Sebenarnya bagi Ayu bukan ikan mas bakarnya itu yang istimewa, tetapi makan bersama lelaki yang sangat dicintainya ini yang membuatnya sangat bahagia. Inilah makan bersama yang paling istimewa baginya.

       Baru saja mereka selesai makan tiba-tiba saja dua  penguntit tadi nampak dari jauh menuju ke arah mereka. Bram cepat-cepat berdiri mau membayar tetapi tiba-tiba dua penguntit tadi terus berlalu tanpa menghiraukan mereka. Aneh, ada apa ini?  

***

       Sore ini sesampainya di rumah, Ayu langsung sholat Ashar. Sehabis sholat ia menghempaskan badannya di tempat tidur. Tak pernah ia merasa sebahagia ini hingga terbawa sampai malam harinya. Sepanjang malam pikirannya mengingat kembali saat-saat yang indah bersama Kak Bram sore tadi. Meski hanya beberapa jam tetapi rasanya itu sudah cukup berarti baginya. Ia jadi ketawa-ketiwi sendiri saat teringat Kak Bram melarikan motor bebeknya menghindari dua  orang yang mengejar mereka. Padahal kedua orang itu adalah murid Abah yang khusus ditugaskan menjaga keselamatan Kak Bram. Ia teringat saat Kak Bram menghindari kelompok geng motor itu. Padahal mereka itu sudah dicegat oleh murid-murid Abah. Mereka diancam akan dihabisi jika masih mengganggu.

       Masih segar dalam ingatannya lelaki yang sangat dicintainya itu mencari jalan pintas meski harus memutar beberapa kilometer agar terhindar dari dua penguntit itu. Tentu saja Ayu sangat menikmatinya. Betapa senangnya dibonceng masuk kampung keluar kampung sampai jauh keluar perbatasan Kecamatan Simpur. Betapa senangnya Ayu dilihat gadis-gadis yang mengincar lelaki idamannya ini. Senyum kemenangan itupun menghiasi bibirnya yang selalu diumbarnya kepada gadis-gadis di sepanjang jalan yang dilaluinya bersama lelakinya ini. Betapa bangganya ia memperlihatkan bahwa ialah satu-satunya perempuan yang disayang lelaki ini. Akhirnya iapun tertidur pulas bersama mimpi indahnya.

***
       Bram bingung, padahal hampir saja ia dapat melupakan janda yang dikiranya masih gadis itu. Mengapa ia mau begitu saja ajakan Ayu memboncengnya ke mana-mama? Bukankah itu sama saja dengan memberitahukan kepada masyarakat bahwa mereka sudah baikan? Padahal itu hanyalah suatu keterpaksaan agar Ayu tidak nekad berbuat yang tidak-tidak. Bukankah jika cintanya tidak berbalas, ia basa saja nekad? Anehnya ternyata dia juga sangat menikmatinya. Haruskah ia kembali mencintai Ayu? Bukankah itu sama saja dengan menelan ludahnya kembali? Dia benci tetapi juga rindu. Inikah benci tapi rindu? 

       Meski sudah larut malam ia masih tak bisa tidur. Biasanya kalau sudah seperti ini ia menyalakan  tv yang waktunya sudah disetting. Sehingga tidak jarang ia-nya tertidur dan tv-nya  main sendiri dan akan mati sendiri. Tetapi tidak saat ini? Meski tv-nya sudah lama mati, ia masih belum bisa tidur juga. Satu-satunya cara harus fesbukan sekedar membuat mata bisa mengantuk. Ia pun membuka laptop dan memasang modemnya. Hanya dalam waktu sekejap ia sudah berada di dunia maya. Jari-jarinya mulai menari di lantai keyboard membuat status galau yang dirasakannya saat ini.

       “Tadi sore aku ketakutan bagaikan hewan buruan yang dikejar-kejar puluhan anjing pemburu.” Ternyata statusnya ini disukai beberapa fesbuker, dan ada juga si Omboy yang mengomentari statusnya. “Bram tak usah takut. Aku lihat kejadiannya sore tadi itu.”
       “Omboy, memangnya kamu ada di mana?”
       “Di warung Sate Idar.”
       Wah! Kebetulan nih ada teman buat curhat. Ia langsung memindahkan komentarnya ke inbox Omboy.
       “Gimana ceritanya tiba-tiba kamu ada di sini? Bukannya kamu ada di Babirik sana?”
       “Kan sebentar lagi libur? Aku pulang kampung duluan.”
       “Wah kebeneran nih. Aku bisa curhat-cuhatan.”
       ”Curhat? Sesama cowok dilarang curhat-curhatan.”
       “O gitu ya?  Masa sih?”
       “Hahaha. Memangnya kamu mau curhat apa?”
       “Ya yang tadi sore kamu ada di warung sate? Kamu kenal nggak dua orang yang mengejarku itu?”
      “O, itu si Teja dan Apri. Mereka itu orang kepercayaan Julak Idar. Orangnya sangar tapi cukup ramah dan santun.”
      “O gitu ya? Kamu kenal mereka? Keluarga kamu ya?”
       “Iya, mereka saudara sepuku aku.”
       “Jadi, aku dikerjain? Kok nggak ada yang ngasih tahu?”
       “Mereka itu tinggal di Parigi Halayung. Dia juga ingin mendirikan perguruan kuntau.”    
       “Waw asik dong.  Jadi  aku bisa belajar kuntau di situ.”
       “Lho? Kan camermu itu master kuntau ternama di sini?”
        “Camer apaan? Jadinya aja belum?”
       “Sebentar lagi juga jadi mertua kan?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar