RINDU DI
BUMI AUK HANTARUKUNG BAGIAN 05
05
Bram baru saja
selesai sholat Magrib, terdengar ada yang mengetuk pintu, ternyata itu petugas
hotel mengantarkan nasi kotak jatah makan malam peserta Aruh Sastra dari
Panitia. Sehabis makan malam tiga sekawan sastrawan Kalsel ini bersiap-siap
mengikuti Acara Pembukaan Aruh Sastra. Penyair Janggut Naga sudah siap sedia sejak satu jam
yang lalu. Di usianya yang sudah berkepala tujuh penyair ini masih aktif
mengikuti beberapa pertemuan penyair, baik tingkat daerah maupun tingkat
nasional. Termasuk juga pertemuam dengan sastrawan negeri jiran. Malam ini
seperti biasa ia tak pernah lupa dengan tongkat saktinya yang selalu setia
menemani.
Kini ketiga sastrawan itu siap-siap berangkat ke Acara Pembukaan Aruh
Sastra Kalsel X tahun 2013 di Gedung Bina Satria Banjarbaru. Raji Leonada dan
Penyair Janggut Naga bersama peserta lainnya sedang menunggu mobil jemputan di
depan hotel. Ketika Bram mau keluar kamar tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ternyata itu tarpon dari Ayu yang semakin genit saja belakangan ini.
“Assalamu alaikum Ayu.”
“Wa alaikum salam Kak Bramku sayang. Yayang sudah makan apa belum?”
“Sudah.”
“Makan apa Kak Bramku sayang?”
“Makan nasi kotak dari panitia.”
“Kak Bramku sayang sekarang sedang apa?”
“Mau berangkat ke pembukaan Aruh Sastra itu.”
“Kak Bram sayang, di sana banyak gadisnya kan?”
“Ya, sudah tentu banyak gadisnya. Memangnya masalah buat Ayu?”
“Awas ya! Kak Bram jangan macam-macam ya.”
“Lho kok gitu? Kenapa?”
“Kak Bram kan Ayu yang punya?”
“Lho kok gitu? Kenapa?”
“Kan kita sudah jadian. Jadi Bram itu sudah
pasti Ayu yang punya?”
“Kapan jadiannya? Kan Aku tak pernah menembak Ayu?”
“Kak Bram nakal.”
“Kok nakal? Nakal apanya? Aku kan tidak pernah nembak Ayu?”
“Tanpa ditembak-tembak pun kan Ayu sudah nyerah duluan?”
“Lho kok gitu?”
“Ah Kak Bram ngomongnya kok gitu, kok gitu melulu”
“Ya. Bingung aja.”
“Kalau begitu besok Ayu mau nyusul ke Banjarbaru.”
“Jangan. Jangan ke Banjarbaru. Lagi pula buat apa?”
“Nah tu kan? Kak Bram takut kan?”
“Takut? Kok takut? Takut apaan?”
“Yaaa takut giitu.”
“Lho kok takut giitu? Giitu apa?”
“Sebenarnya yang takut itu Ayu.”
“Kok Ayu yang takut? Takut apaan?”
“Yaaaa takut aja.”
“Harus ada alasannya dong.”
“Ayu takut Kak Bram ketemuan lagi sama mantan-mantan Kak Bram.”
“Cemburu ya?”
“Ya pastilah itu.”
“Pokoknya Ayu jangan ke Banjarbaru. Kan hari Minggu aku sudah kembali?”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Bram cepat membuka pintu. Tenyata itu
adalah salah seorang sastrawati yang juga menginap di hotel itu.
“Bram, mobil jemputan sudah datang.”
Bram cepat mengunci pintu dan siap berangkat ke acara Pembukaan ASKS X
itu.
“Kak Bram. Itu suara gadis ya?”
“Iya itu suara gadis. Memangnya kenapa Ayu?”
“Kak Bram nakal.”
“Nakal apaan?”
“Pokoknya besok Ayu mau ke Banjarbaru menyusul Kak Bram.”
“Jangan, jangan ke Banjarbaru. Jangan ke Banjarbaru ya? Tunggu ya. Besok
kan hari Sabtu. Nah besoknya lagi kan hari Minggu. Tunggu ya.”
“Ya. Ayu mau saja nunggu sampai hari Minggu asalkan Kak Bram jangan
nakal.”
“Ya, iya.”
“Kak Bram janji ya?”
“Iya janji. Cukup dulu ya. Kak Bram ditunggu teman-teman nih. Assalamu
alaikum.”
“Wa alaikum salam.”
***
Ketika Bram dan para sastrawan lainnya
sedang asik-asiknya mengikuti pembukaan Aruh Sastra, nun jauh di sana di bumi Amuk Hantarukung Ayu resah dan
gelisah. Saat ini ia tak ingin ada seorang pun yang mengambil Kak Bram dari sisinya. Menurutnya hanya
dialah satu-satunya yang berhak menjadi kekasih Kak Bram. Tetapi tiba-tiba
terpikir olehnya bahwa ia adalah seorang janda. Ia takut kekasihnya itu
mengetahuinya. Padahal ia ingin secepatnya Kak Bram menikahinya. Dia harus
berusaha membuat Kak Bram benar-benar mencintainya, Ia ingin Kak Bram itu
benar-benar takluk dengan kecantikan, keangunannya dan kesantunannya. Ia ingin
Kak Bram benar-benar tergila-gila padanya. Hanya satu yang ditakutkannya,
jangan sampai Kak Bram mengetahui bahwa ia adalah seorang janda. Itu saja.
Memang sampai saat ini Kak Bram belum mengetahuinya. Ayu pun sadar bahwa
rahasia ini nanati pasti akan terbongkar juga. Untuk itu ia harus membuat Kak
Bram tak bisa berpindah kelain hati sebelum mengetahui rahasia itu. Itulah yang
sangat mengganggu tidurnya saat ini.
Meski malam sudah semakin larut, tetapi Ayu masih tak bisa tidur.
Sebentar-sebentar terdengar bunyi
burung hantu
yang menakutkan itu. Bahkan terkadang
terdengar lolongan anjing menyeramkan. Meski ia sudah berusaha memejamkan mata
tetapi tetap saja tak bisa tidur. Ia masih memikirkan Kak Bram yang ada di
Banjarbaru.
Mana ada lelaki yang tampan seperti Kak Bram tak punya pacar? Mana ada
perempuan yang tak suka pada lelaki seperti Kak Bram? Itu sudah pasti, ia
sangat disukai banyak wanita. Dan sudah pasti banyak juga mantan-mantannya.
Yang sangat ditakutkannya adalah CLBK di sana. Mungkin saja kan? Seandainya ia punya sayap ia sudah
terbang menyusulnya ke Banjarbaru.
***
Pukul 20.30 tadi
sesampainya di Bina Satria peserta ASKS X disambut oleh sastrawan Banjarbaru
yang tergabung dalam panitia. Gedung Bina Satria malam ini bertabur sastrawan
se Kalimantan Selatan. Nampak ceria wajah-wajah cerah yang puitis.
Kangen-kangenan senyum-senyuman salam-salaman dan ada juga yang peluk-pelukan.
Di acara Pembukaan itu Bram bertemu
dengan rekan-rekan sesama peserta Aruh sastra. Di antaranya ada Fadly Zour dan
M Johansyah dari Tanah Bumbu, Helwatin Najwa dari Kotabaru, Ibramsyah Amandit,
Rock Syamsuri Sabri, Maskuni dan A.A Ajang dari Barito Kuala.Ada juga Aboe
Fadhil dan Abdurrahman El Husaini dari Kabupaten Banjar. Tidak ketinggalan juga
sastrawan A. Syarmidin, Aliman Syahrani, dan Akhmad Husaini dari Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Taberi Lipani dari Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Harun Al
Rasyid dan Fahruraji Asmuni dari kabupaten Hulu Sungai Utara. Fahmi Wahid dan
Imam Balangan Bukhari dari Kabupaten Balangan. A.T Bacco dari Kabupaten
Tabalong dan lain-lain yang dia lupa namanya.
Bram duduk tenang memperhatikan beberapa
sastrawan yang saling tegur sapa kangen-kangenan. Ada Taberi Lipani dan
kawan-kawan dengan busana khusus Sanggar Lalaya Barabai lengkap
dengan parang laisnya. Sedang delegasi
dari
Kandangan hadir
dengan pakaian Dayak Meratus lengkap dengan asesorisnya.
Pukul 21.00 WIT Aruh Sastra Kalimantan
Selatan X dimulai dan dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pariwisata, Seni
Budaya, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Kalimantan Selatan. Aneh, ada sesuatu
mengganjal di hatinya. Ada apa ini?
Tiba-tiba saja HP-nya berbunyi tanda ada SMS yang masuk. Besar dugaan Bram itu
pasti dari SMS Lebay. Ternyata benar.
“Kok Bapak Keren sombong ya? Kenapa
Bapak Keren selalu menghindar?”
“Menghindar gimana? Ketemu saja tidak.”
“Lho? Kita kan sudah
berkali-kali ketemu.”
“O gitu ya? Di mana?”
“Ya di Aruh Sastra ini lah pastinya.”
“Masa? Tapi aku nggak pernah merasa.”
“Nggak pernah gimana? Bapaknya aja yang
cuek.”
”O gitu ya?”
“Ya iya lah. Cukup dulu ya. Nanti kita
sambung lagi lewat dunia maya.”
“Lho? Kok lewat dunia maya?”
Kali ini tak ada jawaban. Si Lebay itu
memang sudah menutup HP-nya. Kini ia tak bisa focus mengikuti acara Pembukaan
ASKS, SMS Lebay itu mengganggu pikirannya. Semua pembicara yang tampil di
podium menjadi tidak penting lagi. Yang di pikirkannya hanya gadis Lebay itu
tadi. Ia mencoba mengingat kembali wajah-wajah yang ditemuinya sore tadi. Tak
ada satupun yang mencurigakan. Kemudian ia mencoba melihat-lihat undangan yang
ada di Gedung Bina Satria itu. Barangkali saja si Lebay itu ada di sini. Atau
ia juga salah seorang peserta Aruh Sastra ini. Aneh, yang timbul di pikirannya
justru Ayu yang ingin menyusulnya ke sini. Bagaimana jika Ayu benar-benar
menyusul? Bagaimana pula jika Gadis Lebay itu benar-benar ada di kota ini? Pastilah
akan terjadi perang dunia ke empat di
sini. Yang itu jangan sampai
terjadi dan
tidak boleh terjadi. Akhirnya acara pembukaan itupun selesai, Bram masih saja
gelisah. Bahkan sampai semua peserta keluar Gedung Bina Satria, hatinya masih tetap
gelisah.
Kini semua peserta Aruh sastra berjalan
kaki ke Panggung Bundar untuk ikut menyaksikan pembacaan puisi dan gelar
sastra. Sesampainya di tempat acara gelar sastra ia langsung mengambil tempat
duduk di barisan depan. Sebentar kemudian acara gelar sastra itu diulai. Meski
matanya terarah ke pentas, tetapi hatinya memikirkan yang lain. Meski acara
baca puisi dan gelar sastra disajikan silih berganti, tetapi satupun tak ada
yang terkesan di hatinya, karena suasana hatinya sedang kacau. Kini terbayang
berbagai kemungkinan jika Ayu dan si Lebay itu bertemu di sini. Akhirnya ia pun
kembali ke Hotel Qarina sebelum acara itu berakhir.
***
Aruh Sastra Kalimantan Selatan X itu sudah
sebulan berlalu. Sekarang sudah bulan November awal dari Musim Penghujan.
Sejatinya musim penghujan ini adalah rahmat bagi masyarakat di Desa Wasah,
Hantarukung, Simpur dan desa-desa lainnya. Karena di bulan November inilah awal
dari aktivitas bercocok tanam, yang diawali dengan menyemai bibit padi yang
biasa disebut menaradak37. Tetapi sebenarnya bukan
itu yang dipikirkan Bram saat ini.
Di pagi ini ada yang sangat mengganggu pikirannya. SMS lebay yang
diterimanya Oktober lalu di Banjarbaru itulah yang masih menganggu pikirannya.
Bahkan SMS itu pun masih belum dihapusnya, ia perlu mengklarifikasi dan
konfirmasi yang akurat tentang isi SMS itu. Ia masih berharap SMS itu tidak
benar. Tetapi anehnya ia masih menyimpan dan membacanya berkali-kali. Inilah
yang membuatnya geram bahkan tubuhnya jadi gemetaran berkeringat dingin.
Padahal Aruh Sastra itu sudah sebulan berlalu, tetapi dampaknya masih terasa
sampai saat ini. Reunian, kangen-kangenan Sastrawan
banua38 itupun sudah sebulan berlalu, tetapi prahara yang
melanda hatinya itu tetap saja masih terasa sampai saat ini.
Diam-diam dibukanya SMS Lebay itu, tubuhnya langsung gemetaran, keringat
dingin pun otomatis keluar dari pori-pori kulitnya. Inilah yang membuatnya jadi
serba salah.
“Bapak
keren tdk tahu ya? Kalau Ayu yang Bapak cintai itu adalah seorang janda.
Mendingan Bapak jadiannya sama saya. Gini-gini saya masih perawan asli. Boleh
dicoba lho Pak.”
Itulah
bunyi SMS yang mengganjal di hatinya. Ia cepat menutup SMS itu. Awaluya ia
ingin menghapus SMS itu, tetapi tak bisa. Mulanya ia tak percaya dengan SMS
lebay itu, ia mengira itu hanya ulah orang yang usil.
Sekembalinya dari Aruh Sastra itu, ia melihat ada yang ganjil dengan
perempuan-perempuan di sini. Setiap melewati sekumpulan gadis, mereka
menyembunyikan sesuatu. Bahkan murid-muridnya pun sama. Sepertinya
mereka itu sengaja menyembunyikan sesuatu. Mereka itu pasti membicarakan
hubungannya dengan Ayu itu juga. Lalu? Kalau ternyata Ayu benar-benar janda,
apakah ia harus mengakhiri hubungannya?
Yang jadi
pikirannya saat ini adalah, mengapa rahasia besar itu baru terbuka sekarang?
Mengapa rahasia itu baru terbuka ketika ia benar-benar sudah mencintai Ayu?
Mengapa orang-orang di sini merahasiakannya? Mengapa pula Abah tidak mau
berterus terang bahwa Ayu itu bukan anaknya tetapi mantan menantunya? Padahal
pilihannya sudah bulat jatuh pada Ayu. Hanya tinggal menunggu waktu ia pasti
akan menikahinya. Tetapi tiba-tiba ada SMS lebay yang menguak rahasia itu.
Haruskah ia membatalkan niatnya menyunting Ayu yang sudah janda itu? Haruskah
ia batalkan keinginannya memperistri Ayu yang sudah merampok hatinya itu? Dan
masih ada berpuluh pertanyaan lagi yang saling tabrak saling tubruk di hatinya.
Memang itu memerlukan keberanian super ekstra untuk membatalkannya. Tak
terbayangkan apa yang bakal terjadi nanti? Bagaimana sikap Abah angkatnya itu?
Tentu saja Julak Idar akan memihak kepada Ayu. Semua pertanyaan saling silang itu sangat memusingkan kepalanya.
Sungguh tak pernah terbayangkan
bahwa perempuan berjilbab biru
yang cantik itu
ternyata seorang janda. Padahal janda muda itu telah
berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini adalah sebuah
dilemma bagai buah simalakama yang tak mudah diatasi. Mengapa dulu ia mau saja
terpikat dengan senyum perempuan berjilbab biru itu? Padahal di luar masih
banyak senyum-senyum yang tidak kalah menariknya? Pertanyaannya sekarang adalah
apakah ia harus tetap memilih memperistri janda muda itu?
Untuk mengurangi kepalanya yang semakin pusing ia
mencoba menyalakan laptop. Hanya dalam beberapa detik ia sudah berada di dunia
maya. Untuk sementara bisa melupakan masalah yang memusingkan kepalanya barusan
tadi. Kini ia memasuki jejaring sosial fesbuk. Di mana ada ribuan link
pertemanannya, baik yang mempunyai minat dan kegemaran yang sama, maupun yang
berbeda. Di samping sastrawan dan budayawan ada juga yang lintas minat, hobi,
etnis dan lintas profesi.
“Asik main game ya?” tanya Ibu Risna yang tiba-tiba sudah berdiri di
depannya.
“E Ibu,” sahutnya terkejut tiba-tiba.
“Main apa?”
“Nggak bisa main game Bu.”
“Ah masa? Nggak bisa apa nggak
mau?”
“Benar Bu. Saya nggak bisa main game.”
“Lho itu? Sedang apaan?”
“Sedang fesbukan Bu, hehehe.”
“O gitu ya?”
“Iya Bu. Kok Ibu nggak duduk seperti biasanya?”
“Maunya sih duduk ngobrol, tapi sebentar lagi kan istirahat?”
“O iya Bu.”
Entah apa entah mengapa? Biasanya kalau ia sedang sendiri, pasti Ibu
Risna ini langsung datang. Ibu inilah guru
yang paling akrab dengannya. Entah mengapa
pula ia merasa enak berbincang-bincang dengan Ibu yang satu ini. Bahkan Ibu
guru ini juga mengasikkan buat curhat-curhatan. Keduanya pun tertawa kecil
seperti biasanya. Keceriaan kegembiraan selalu menyegarkan setiap saat. Untuk
sementara hal ini bisa menghilangkan kegalauan hatinya.
***
Pagi ini Julak Idar nampak risau. Sepertinya
ada sesuatu yang merisaukan
hati Guru Kuntau yang sangat disegani dan ditakuti di Banua Anam
ini. Ia memandang jauh keluar jendela. Nampak kebun kelapa mengepung rumahnya
dari berbagai arah. Sebenarnya tak ada yang berubah dengan kebun kelapa ini.
Sama seperti belasan tahun yang lalu. Yaitu pohon-pohon kelapa yang tumbuh tak
beraturan bagaikan hutan tumbuh liar tanpa jarak yang tertata rapi. Sebenarnya
ia bukan memikirkan pohon-pohon kelapa itu, tetapi ia sedang gundah gulana
memikirkan kejanggalan pada Ayu belakangan ini. Sebulan yang lalu Ayu tidak
seresah ini, ia begitu gembira dan percaya diri. Wajahnya masih bersinar karena
ia ia masih merasa menemukan sosok suaminya yang sudah meninggal itu di dalam
diri Kak Bram. Tetapi kini tak ada lagi keceriaan itu, tak ada harapan lagi. Kini ia kembali stress
seperti pada saat suaminya meninggal dulu, karena tiba-tiba saja Kak Bram
berubah 1800. Sedang asik-asiknya memadu cinta ternyata sepulangnya
dari Aruh Sastra, lelaki yang sangat dicintainya itu tiba-tiba saja berubah.
Ayu menyadari bahwa ini pasti karena Kak Bram sudah mengetahui bahwa ia adalah
seorang janda. Apakah kegembiraan yang baru dirasakannya itu hilang begitu
saja?
Beberapa hari belakangan ini Ayu tak
pernah lagi melihat lelaki idamannya itu. Kak Bram tak pernah datang lagi, tak
ada lagi telpon-telponan dan SMS-SMS-an. Dengan tidak adanya Kak Bram
belakangan ini menyadarkannya bahwa ia telah melakukan kesalahan besar menjalin hubungan dengan lelaki
itu. Kenapa? Karena ia
terlalu bersemangat mengejar cintanya tanpa mempertimbangkan bahwa ia hanyalah
seorang janda, dan itu pasti akan berpengaruh buruk di belakang hari. Hilanglah
kini semua harapan yang indah itu. Dan hari-harinya kembali sepi seperti dua
tahun yang lalu. Setiap hari ia selalu meratap memeluk guling. Matanya kembali hampa dan ia pun mulai
berbisik bicara dengan guling yang dipeluknya itu. Tak terasa air mata Julak Idar jatuh
berlinang membasahi pipinya.
“Kak Bram mau makan apa? Jarang asam
kapala patin? Papuyu baubar bambalnya sambal binjaikah?” katanya sambil mengelus dan
membelai guling itu.
Kini hati Julak Idar kembali miris
seperti dua tahun yang lalu. Mendengar
ocehan Idang-nya yang stress berat itu hatinya kembali sedih. Melihat keadaan
Ayu yang kembali terganggu ingatannya ini, membuat Julak Idar merasa seakan ada
beribu sembilu menyayat-nyayat hatinya. Tak terasa air matanya jatuh berlinang.
Ia berada di persimpangan jalan antara memihak mantan menantunya dan
anak angkatnya. Apakah ia harus memihak pada Ayu yang sudah dianggapnya sebagai
anaknya sendiri? Ataukah ia harus memihak pada Bram yang juga sudah menjadi
anak angkat yang disayanginya itu? Tentu saja ia tak bisa memilih salah satu di
antaranya. Padahal ia sudah terlanjur menyayangi keduanya. Dalam hal ini ia
harus mampu menyelamatkan kedua insan yang sudah dianggapnya sebagai anaknya
sendiri. Tetapi bagaimana caranya? Apakah ia harus memohon kepada Bram agar
segera menikahi Ayu? Ataukah memaksanya segera menikahi Ayu? Tidak. Ia tak akan
pernah melakukannya. Itu sama saja dengan menyakiti hatinya sendiri.
***
Sudah berminggu-minggu ini Bram nampak
murung dan termangu seorang diri di rumahnya. Bahkan kini sudah terbawa-bawa ke
tempat tugasnya. Jiwanya benar-benar tergoncang menghadapi masalah yang sama
sekali tak terduga ini. Kini ia menjadi pendiam dan tak banyak bicara.
“Pak Baswenda ada pesan dari Julak Idar,”
sapa Ibu Risna tiba-tiba.
“Ah Ibu. Bikin kaget aja.
Pesan apaan Bu?”
“Ya pesan seperti biasa. Ya
biasa lah. Pak Baswenda diminta datang ke rumah.”
“Sekarang ya Bu?”
“Ya nanti lah, sehabis pulang kerja. Kok
semangat sekali. Kangen ya?”
“Hahaha, kangen apaan?”
“Ya, kangen lah. Bapak sudah jarang
ketemuan ya? Lagi berantem
ya?”
“Ya nggak lah. Masa berantem.”
Bram terperanjat mendengar gurauan Ibu Risna yang sangat mengejutkan
itu. Sejatinya ia memang kangen bahkan sangat kangen, sekaligus kesal. Inilah
yang membuatnya menjaga jarak belakangan ini. Apakah ia harus meninggalkan
rumah itu? Tinggal di rumah itu berarti bersedia menjadi suami Ayu.
Sebenarnya tak ada masalah jika ia kawin dengan Ayu. Meski janda tetapi kan janda kembang? Itu tidak jauh beda dengan
ABG, karena usianya memang masih muda. Ayu juga hanya beda-beda tipis dengan
artis papan atas. Bahkan ia berada di atas dari artis-artis kebanyakan yang
tanpa bulu mata palsu dan sepatu tumit tinggi penampilannya hanya biasa-biasa
saja. Ayu? Tanpa yang dua itu, penampilan, kecantikan dan keanggunannya sudah
luar biasa. Lalu, masalahnya apa?
Sebenarnya tak ada masalah, Ayu ini sama persis dengan almarhumah
Yunita. Itulah sebabnya begitu melihat Ayu, ia langsung kelepak-kelepak jatuh
cinta pada pandangan pertama. Satu-satunya masalah adalah ia pernah sesumbar
tak mau kawin dengan seorang janda. Ia terpengaruh dengan prinsip Zainuddin
dalam Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
karya Hamka yang berprinsip Pantang Pemuda Makan Sisa.
BB boleh bekas tetapi pacar harus gadis. Kendaraan dan rumah tinggal
boleh seken tetapi istri harus perawan. Itulah
sebabnya ia tak pernah berbuat nakal di
luar jalur. Karena kalau ke luar lingkaran kata nenek itu berbahaya.
Nah sekarang? Orang yang sudah merampok
hatinya itu bukan seorang gadis lagi tetapi seorang janda. Sekarang ia jadi
serba salah antara harus datang dan tidak datang memenuhi pesan Abah angkatnya
itu.
***
Sesuai pembicaraannya dengan Ibu Risna tadi, kini ia tidak bisa langsung
pulang tetapi harus singgah dulu ke rumah Abah angkatnya. Seperti biasa ia
melintas jalan-jalan tembus di sela-sela rumah dan pepohonan. Sebentar kemudian
ia sudah berada di bawah pohon yang rindang di dekat rumah Abah angkatnya itu.
Tiba-tiba degup jantungnya jadi semakin kencang dan dadanya jadi
berdebar-debar. Padahal tadinya biasa-biasa aja. Ia diam sebentar sekedar
menenangkan diri. Setelah dirinya agak tenang iapun menuju ke rumah itu.
“Assalamu alaikum Abah.”
“Wa alaikum salam. Mari masuk Guru.”
Seperti biasa ia masuk dan langsung duduk di ruang tamu.
“Maaf, Abah tinggal ke dalam sebentar ya”
“Ya silakan Abah.”
Sementara Abah angkatnya masuk ke dalam ia bertanya-tanya dalam hatinya
“Di manakah Ayu? Dari tadi tak kelihatan batang hidungnya.”
Bram melamun dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling bertabrakan di
benaknya.
“Guru, mari masuk sebentar”
Suara Abah tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Seperti biasa ia mengikut
Abahi masuk ke ruang dalam, ternyata di sini sudah tersaji santapan makan siang
yang memancing selera. Lebih-lebih lagi perutnya memang sudah lapar.
“Guru, mari kita makan sama-sama. Idang sedang tidak enak badan jadi
Abah masak sendiri saja. Mari dimakan masakan Abah yang seadanya ini.”
Pantas saja Ayu tidak kelihatan batang hidungya, ternyata ia sakit.
Miris juga hatinya mendengar Ayu sakit.
“Memangnya Ayu sakit apa Abah? Sudah berapa hari sakitnya Abah? Sudah
dibawa ke dokter?”
Abah bingung. Bagaimana menjawab pertanyaan yang datang bertubi-tubi
itu? “Sakitnya tidak seberapa parah. Kata Mantri Amat hanya kelelahan dan
sedikit flu. Panasnya sudah turun. Besok-besok juga sudah sembuh.”
“Ayu-nya ada di mana Abah?”
“Tuh ada di dalam.”
“Alhamdulillah,” bisik Julak Idar.
Ternyata anak angkatnya ini masih perhatian terhadap Ayu. Syukurlah.
Berarti masih ada harapan mempertemukan keduanya di pelaminan. Ia senyam-senyum
sendiri melihat Bram gelisah. Bram cepat menyelesaikan makan siangnya, karena
ia ingin cepat-cepat melihat keadaan Ayu.
“Permisi Abah ulun hendak melihat Ayu.”
“Ya, masuk saja.”
Bram langsung masuk, padahal tadi maunya hanya sekedar bertamu, ternyata
Ayu sakit. Ia tak tega kalau hanya bertamu, karena Ayu ini adalah perempuan
yang telah berhasil memikat hatinya.`Apalagi ketika melihat Ayu terbaring lemah
di tempat tidur. Sepasang mata yang bening itu masih terpejam dan paras yang
cantik itu tampak pucat. Ia menatap wajah Ayu lebih lama, hatinya tersentuh.
Tiba-tiba saja Ayu meracau bergumam antara terdengar dan tidak, sementara
matanya masih terpejam.
“Kak Bram, kenapa setibanya dari Banjarbaru langsung berubah? Apa salah Ayu? Kak Bram jangan tinggalkan Ayu.”
Begitulah ocehan Ayu yang sangat menyedihkan. Bram tak bisa berbuat banyak selain hanya
mendengarkan saja. Ia memang tak punya satu katapun yang bisa diucapkan, karena
salah bicara justru akan menjadi harapan palsu. Dijawab sesuai prinsip, tentu
akan lebih menyakitkan lagi. Akhirnya ia memilih diam. Sebentar kemudian Ayu
bangun.
“Kak Bram? Sudah lama ya?” tanyanya hampir tak terdengar.
“Nggak juga, Baru aja. Sudah mau makan ya?”
“Ya sudah, tapi sedikit. Itu juga nasi bubur,”jawab Abah.
“Duduk dulu lah Guru. Ada sesuatu yang harus Abah bereskan,”
“Ya silakan Abah.”
Ayu belum bisa banyak bicara. Tubuhnya masih layu dan sinar matanya juga
sayu. Ia berusaha bangkit tetapi Bram cepat mencegahnya.
“Jangan bangun. Sebaiknya istirahat saja.”
“Ayu mau bangun. Bosan rasanya berbaring terus.”
“Tapi kan Ayu masih sakit?”
“Biar! Kan sudah terlanjur sakit?”
“Lho kok terlanjur sakit? Memangnya apaan?”
“Apaan-apaan? Kak Bram tuh yang apaan?”
“Ya, ya, nggak usah dibicarakan lagi. Ayu kan masih sakit?”
“Kak Bram janji ya? Jangan tinggalkan Ayu”
“Iya janji.”
Waduh! Gimana nih? Mengapa pakai janji-janji segala. Bukankah janji itu
adalah utang yang harus ditepati? Sekarang semuanya jadi serba salah. Memang
itu kesalahannya sendiri. Kenapa ia begitu lemahnya saat berhadapan dengan Ayu.
Lalu harus bagaimana? Seharusnya ia tidak memberikan harapan apa-apa. Tetapi
tak bisa. Kenapa? Ya itulah manusia. Kadang begitu kadang begini. Ia punya
prinsip bahkan pernah sesumbar “Pantang Pemuda Makan Sisa.” Itu
diucapakannya berulang-ulang. Nah kini? Haruskah ia mengingkari prinsipnya itu?
Bukankah mencintai seorang janda itu tidak ada salahnya? Bahkan ada juga
selebriti yang seleranya adalah janda-janda. Jadi tidak ada salahnya kan?
Hubungan Bram dan Ayu itu bukan cinta sementara. Apalagi si Ayu yang
sudah pernah bersuami, itu bukan lagi cinta monyet. Tak perduli apapun yang
akan terjadi Ayu sudah tidak sabar lagi menunggu.
“Kak Bram tidak ingkar janji kan?”
“Janji apaan?”
“Nah tu kan? Benar kan dugaan Ayu?”
“Benar apaan?”
“Kak Bram jangan mencari-cari alasan. Bilang saja jika tidak suka.”
“Jika apa?”
“Ya jika, … jika jika.”
“Sudah jangan berpikir yang bukan-bukan. Yang penting Ayu sehat dulu.
Minum obat secara teratur dan makan yang banyak supaya lekas sembuh.”
“Pokoknya katakan dulu Kak Bram saying sama Ayu.”
Ayu merengak-rengek iba, Bram terharu juga karenanya. Sementara itu Abah
mengintip dari lobang di dinding tengah.
“Gampang itu, Yang penting Ayu harus sehat dulu.”
“Kak Bram jangan mengalihkan pembicaraan, katakan dulu yang tadi itu.
Kalau nggak mau, berarti benar kan dugaan Ayu?”
“Kamu ini sakit beneran atau pura-pura sakit?”
Astagfirullah! Teganya ia menuduh Ayu pura-pura sakit. Padahal Ayu benar-benar sakit. Ayu
tersinggung, ia tak mau bicara lagi. Ia sengaja membalikan badan membelakangi
Bram. Tiba-tiba ia jadi segugukan. Ia berusaha menghentikan segugukan tapi tak
bisa. Bahkan kini terdengar isak tangisnya. Bram bingung apakah ia harus menanyakan mengapa Ayu
menangis. Itu artinya ia masih
masih mencintai Ayu. Dan itu sangat bertentangan dengan prinsip Pantang
Pemuda Makan Sisa. Dan ia harus putus dengan Ayu secara dian-diam. Kalau
berlambat-lambat, ia malah takut dia-nya yang tak bisa melepaskan diri.
Sayangnya ia masih ragu, karena ia memang masih mencintai Ayu.
Ayu masih segugukan menahan tangis. Julak Idar tidak tahan mendengar
isak tangis Ayu. Ia keluar dari tempat pengintaiannya, dan tiba-tiba sudah
berdiri di samping Bram.
“Apakah Ayu sudah minum obat?”
“Idang tidak mau minum obat. Bagaimana mau sembuh?”
”Mana obatnya Abah? Biar ulun yang meminumkannya.”
“Waduh! Abah juga tidak tahu. Di mana ya?”
Bram dan Julak Idar mencari-cari obat itu. Pelan-pelan Ayu membalikan
badan. Julak Idar dan Bram masih mencari-cari obat yang disembunyikannya itu,
ternyata obat itu masih belum ditemukan juga.
“Idang taruh di mana obat itu?”
“Di sini nih,” jawabnya sambil menunjuk ngawur.
“Di mana obatnya Dang?”
“Ada.”
“Di mana obatnya, Ayu? Obatnya dminum ya. Mau sakit selamanya? Tidak kan?”
“Tidak sembuh juga tak apa-apa. Biar mati sekalian.”
“Jangan mati dulu. Minum obat aja ya.”
“Sembuh juga nggak ada artinya.”
“Astagfirullah, baingat-ingat39
Dang. Kada bulih40 Dang ai
kaya itu.”
Abah semakin bingung. Ini tidak bisa dianggap entang. Abah sadar betul
ini adalah penyakit yang tak ada obatnya. Obatnya adalah kawin dengan anak
angkatnya. Sejatinya memang itulah keinginan Abah dari semula, tetapi baru
sekarang ia menyadari bahwa masalahnya Ayu adalah seorang janda. Apakah anak angkatnya
itu sudah mengetahuinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar