MENGENAL NAILIYA NIKMAH MELALUI PUISI
MUSIM CINTA BUKAN UNTUK KITA
I
Nailiya Nikmah JKF (Nai) Alumnus Pascasarjana FKIP Universitas Lambung
Mangkurat ini, lahir di Banjarmasin pada tangga 19 Desember 1980. Tetapi Nai menjalani masa remajanya yang indah
itu di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan. Perempuan pencinta hujan ini mengaku
menyukai dunia sastra, gemar membaca dan tulis menulis sejak di usia anak-anak.
Hal ini terbukti bahwa di waktu kecil itu Nai
pernah menjuarai lomba baca puisi. Sastrawati yang satu ini dalam kesehariannya
adalah dosen Bahasa Indonesia di Politeknik Negeri Banjarmasin, Nai juga aktif
di organisasi Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin dan di Forum
Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan. Di samping menulis Nai juga
sering menjadi pembicara pada seminar, pelatihan, workshop, diskusi, bedah buku
seputar kesusastraan dan keterampilan berbahasa.
Beberapa tulisannya berupa cerpen, puisi dan esai telah dibukukan antara
lain dalam Nyanyian Tanpa Nyanyian
(Antologi cerpen 9 Penulis Perempuan Kalimantan Selatan), Menulis itu Mudah (esai bersama), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi Lingkungan Hidup/Puisi bersama), Rindu Rumpun Ilalang (antologi cerpen
tunggalnya), Kalimantan dalam Prosa
Indonesia, Pelangi di Pelabuhan (Kumpuan Cerpen FLP), Para Kekasih (Antologi Bersama-Puisi Religius Indonesia) Ketika Api Bicara (Antologi Cerpen
HSU), Senja di Teluk Wandoma
(Antologi Cerpen Nasional bersama), Malam
Kumpai Batu (Antologi Kisdap bersama), Kiat
Menulis dan Cerpen Pilihan (bersama penulis HSU).
Cerpennya yang berjudul Mangadap
Langit terpilih sebagai juara harapan III Lomba Menulis Cerpen Bahasa
Banjar, yang dilaksanakan Disbudpar Kalimantan Selatan. Dan di sini kita akan
menikmati salah satu puisinya yang berjudul Musim Cinta Bukan untuk Kita.
II
Musim
Cinta Bukan untuk Kita
sungguh aneh hujan kali ini
terasa janggal di telinga
mungkin karena kemarin
kita ucapkan selamat jalan
pada kuncup sepanjang taman
bangku dan lampu sudutnya
melentingkan fatamorgana
seperti hujan tetapi bukan
seperti bukan tetapi hujan
kodok bernyanyi sepenuh malam
memanggil musim cinta tapi
bukan untuk kita
Flamboyan, 28
November 2012
Puisi Musim Cinta Bukan untuk Kita
karya Nailiya Nikmah ini tampil dengan tipografi konvensional yang terdiri dari
dua bait. Bait pertama ada 5 larik dan di bait ke dua ada 7 larik. Jadi semua
lariknya berjumlah 12 larik. Puisi ini semua lariknya ditulis tanpa menggunakan
huruf kapital. Diksi dan ungkapan yang digunakan juga adalah kata-kata biasa
dan bersahaja yang cukup familiar dalam kehidupan sehari-hari. Tapi bukan
berarti puisi ini hambar dan tidak menarik. Justru kekuatan puisi ini terletak
pada kesederhanaan diksi dan ungkapan-ungkapan tsb. Mengapa? Karena puisi ini
adalah puisi imajis. Puisi yang
memaksimalkan bahasa sederhana, bersahaja dan non-hiperbolis. Puisi ini sudah
menarik sejak kita membaca judulnya yaitu Musim
Cinta Bukan untuk Kita. Dalam judul ini sudah tersurat sebuah pesan moral
yang menentang adanya musim bercinta.
Frasa musim cinta di sini adalah
suatu waktu tertentu untuk bercinta secara bebas, baik secara sendiri-sendiri,
secara berkelompok, sampai bercinta secara massal. Sebagai seorang penulis FLP
pesan moral ini adalah perioritas utama dalam setiap karya-karyanya. Tentu saja
tidak harus nampak hitam putih terang benderang, cukuplah secara tersirat
melalui simbol dan sentilan-sentilan halus. Salah satunya adalah lewat ungkapan
di larik-larik terakhir puisi ini dalam untaian kata kodok bernyanyi sepenuh malam memanggil
musim cinta tapi bukan untuk kita.
Untuk dapat lebih memahami, menghayati dan menikmati puisi ini marilah
kita telisik lebih dalam lagi. Untuk itu marilah awali dengan mencermati bait 1
berikut ini.
1. sungguh aneh hujan kali ini
2. terasa janggal di telinga
3. mungkin karena kemarin
4. kita ucapkan selamat jalan
5. pada kuncup sepanjang taman
Bait 1 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang biasa digunakan
sehari-hari, tetapi di tangan Nai ungkapan yang biasa itu menjelma jadi
ungkapan yang tidak biasa. Kata-kata biasa tsb. telah menjadi untaian kata-kata
bersayap, berkias dan begitu puitis. Hal ini ditandai dengan adanya hujan yang aneh, yang terasa janggal di
telinga dan ucapan selamat jalan pada
kuncup sepanjang taman. Sehingga membuat indah ungkapannya, enak dibacanya,
menyentuh hati dihayati, sedap dinikmati, membiaskan penuh makna ketika
direnungkan dan terakhir pantas dibicarakan.
Untuk itu mari kita resapi bersama untaian puitis tsb. berikut ini. ”sungguh aneh hujan kali ini terasa janggal
di telinga, mungkin karena kemarin
kita ucapkan selamat jalan pada kuncup sepanjang taman.”
Bait 1 ini diawali dengan pernyataan sungguh
aneh hujan kali ini. Di sini jelas sekali ada keinginan Nei untuk menghadirkan
gambaran imaji ada keanehan dalam hujan saat itu. Kata ungkapan sungguh aneh di sini maksudnya adalah khusus dan spesial. Hal ini ditandai
dengan bunyi hujan yang terasa janggal di telinga. Kenapa janggal? O Tenyata
kejanggalan tsb. dikarenakan ucapkan
selamat jalan pada kuncup sepanjang taman. Secara denotatif kata kuncup maknanya adalah benar-benar bunga yang masih kuncup. Tetapi secara
konotatif kuncup di sini bisa
bermakna gadis belia yang belum mengenal
godaan dunia. Atau bisa juga suatu masa yang masih dalam tahap
perkembangan. Masa-masa menjelang saat
tahap yang penuh dengan godaan, bujuk dan rayu yang penuh bisa. Dan sebentar
lagi kuncup-kuncup itu akan mekar dan selanjutnya akan datang kumbang-kumbang dan
serangga lainnya yang siap mengisap sari madunya. Dalam dunia tumbuhan
datangnya kumbang-kumbang tsb memang sangat diperlukan sebagai bagian dari
proses pembuahan. Tetapi dalam dunia puisi hal tsb adalah ungkapan perumpamaan
hilangnya kesucian seorang belia sebagaimana yang diungkapkan oleh Chairil
Anwar dalam lariknya kutahu kau bukan
yang dulu lagi, bak kembang, sari
sudah terbagi. (Penerimaan- Chairil Anwar)
Bait 1 ini juga dibangun dengan rima
akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [i] secara tidak
sempurna pada kata kali ini di akhir larik 1 yang
bersajak dengan kata kemarin
di akhir larik 3. Di sini juga ada pengulangan bunyi konsonan [n/an] pada
kata jalan di akhir larik 4 ya6ng bersajak dengan kata taman
di larik 5. Di sini juga ada rima
asonansi yang terbentuk dari pengulangan
bunyi vokal dalam satu larik yang sama. Di sini juga ada rima aliterasi yang terbentuk dari pengulagan bunyi konsonan pada larik
yang sama.
Di larik 1 ada pengulangan bunyi
vokal [u] pada kata sungguh yang bersajak
dengan kata hujan, pengulangan
bunyi vokal [i] paga kali dan kata ini. Di larik 2
pengulangan bunyi vokal [e/te] pada kata terasa yang bersajak dengan kata telinga di akhir larik. Di larik 3 ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [k]
pada kata karena yang bersajak
dengan kata kemarin. Berikut di larik 4 ada pengulangan bunyi [a/an] pada kata ucapkan
yang bersajak dengan jalan.
Bait 1 ini juga dibangun dengan imaji
visual (citraan penglihatan), Imaji
auditif (citraan pendengaran) dan imaji taktual (citraan
perasaan/perabaan). Di larik 1 ada imaji
taktual, kita seakan turut merasakan dinginnya cuaca di kala hujan. Di
larik 2 ada imaji aiditif, kita
seakan ikut mendengar bunyi hujan yang janggal. Sepertinya itu bunyi rintik
hujan, yang terkadang teduh dan terkadang turun hujan deras dengan lebatnya.
Kata janggal di sini maksudnya aneh saja. Artinya tak terduga bahwa hari ini masih ada hujan. Kenapa? Untuk
menjawabnya kita perlu mencermati ungkapan di larik 3 dan di larik 4. Di larik
3 ada imaji auditif dan sekaligus juga imaji visual. Kita seakan melihat dan mendengar tayangan prakiraan
cuaca bahwa hari ini keadaan cuaca antara
berawan sampai cerah. Itu artinya bahwa hari ini tidak ada hujan. Di
larik 4 kita seakan mendengar ucapan selamat jalan. Barangkali karena prakiraan
cuaca itulah maka kita seakan ikut
mengucapkan selamat jalan pada kuncup sepanjang taman. Karena sebentar lagi
kuncup-kuncup akan mekar menjadi bunga. Terakhir di larik 5 ada imaji visual kita seakan melihat barisan
kuncup-kuncup bunga yang siap bermekaran.
Bait ini sepenuhnya dibangun dengan majas
perifrase karena semua lariknya merupakan satu kesatuan majas perifrase. Hal ini ditandai dengan
ungkapan panjang sebagai pengganti ungkapan yang pendek. Bait ini juga merupakan
satu kesatuan majas paralelisme. Yang
ditandai dengan menggunakan dua rangkaian larik yang setara yaitu sungguh aneh hujan kali ini terasa janggal
di telinga, yang setara dengan rangkaian larik kemarin kita ucapkan selamat jalan pada kuncup sepanjang taman. Kedua
larik tsb dibatasi dengan mungkin karena. Larik 1 dan larik 2
merupakan satu kesatuan majas inverse
yang ditandai dengan mendahulukan predikatnya [sungguh aneh] sebelum subjeknya
[hujan kali ini]
Selanjutnya mari kita cermati bait 2 berikut
ini
6. bangku dan lampu sudutnya
7. melentingkan fatamorgana
8. seperti hujan tetapi bukan
9. seperti bukan tetapi hujan
10. kodok bernyanyi sepenuh malam
11. memanggil musim cinta tapi
12. bukan untuk kita
Bait 2 ini dibangun diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan taman, hujan dan musik simponi alam yang bernama nyanyian
sekumpulan kodok. Ketiga hal tsb merupakan satu kesatuan pesona yang saling
berkait karena adanya hujan. Sungguh begitu terasa adanya kekuatan bahasa
sederhana, ungkapan yang tidak menggebu-gebu tetapi syahdu dan santun dan
menyentuh. Di larik 6 dan 7 ada bangku
dan lampu sudutnya melentingkan fatamorgana. Kata bangku ini jika dikaitkan dengan judul musim cinta bisa berarti
tempat duduk sepasang kekasih untuk bermesra-mesra. Sedangkan untaian kata lampu sudutnya melentingkan fatamorgana ini
maksudnya adalah lampu sudut dengan sinar remang-remangnya menambah indahnya
suasana serasa berada di suatu tempat
yang gimana gitu? Hal ini ditandai dengan ungkapan di larik 8 dan 9 seperti hujan tetapi bukan, seperti bukan
tetapi hujan. Sedangkan kata
fatamorgana sendiri adalah suatu
pandangan semu di padang pasir bagi musafir yang kehausan. Dari jauh nampak
seperti air tetapi ketika sampai tenyata di sana tak ada air sama sekali. Akhirnya
bait 2 ini ditutup dengan larik 10, 11 dan 12 kodok bernyanyi sepenuh malam memanggil
musim cinta tapi bukan untuk kita.
Secara denotatif ungkapan kodok
bernyanyi sepenuh malam memanggil
musim cinta benar-benar bunyi kodok yang bersahut-sahutan sepanjang malam.
Tetapi ungkapan ini secara konotatif bisa berarti godaan bujuk rayu yang datang
dari berbagai arah dan berbagai cara agar ikut masuk dalam lingkaran asmara
kenikmatan sesaat. Bisa melalui dunia gemilang remang-remang, himpitan ekonomi,
dan perangkap yang dipasang di mana-mana. Dan ternyata memang tidak sedikit
yang sudah terperangkap dan keasikan malang melintang di dunia malam. Baik yang
secara sembunyi-sembunyi maupun yang seara terang benderang.
Bait 2 ini dibangun dan diperindah dengan rima akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan
bunyi vokal [a] pada kata sudutnya di
akhir larik 6 yang bersajak dengan kata fatamorgana
di akhir larik 7 dan kata kita di
akhir larik 12. Di sini juga ada pengulangan bunyi konsonan [n] pada kata bukan di akhir larik 8 yang bersajak
dengan kata hujan di akhir larik 9. Bait ini juga dibangun dengan rima awal yang ditandai dengan
pengulangan bunyi vokal [e] pada kata melentingkan di awal larik 7 yang bersajak dengan kata memanggil di awal larik 11. Di sini juga
ada pengulangan bunyi vokal [e/se] bahkan pengulangan secara utuh pada kata seperti
di awal larik 8 dan larik 9. Di sini juga ada rima awal yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [b] pada
kata bangku di awal larik 6 yang bersajak
dengan kata bukan di awal larik
12. Bait ini juga diperindah dengan rima
asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal dalam satu larik yang
sama. Di larik 6 ada pengulangan bunyi vokal [u] pada kata bangku, lampu
dan pada kata sudutnya. Di larik 8
dan larik 9 ada pengulangan bunyi secara utuh menyeluruh pada kata seperti, tetapi, hujan dan kata bukan.
Di larik 11 ada pengulangan bunyi vokal [a/ta] pada kata cinta yang bersajak
dengan kata tapi.
Bait 2 ini juga dibangun dengan imaji
visual di mana kita seakan benar-benar melihat indahnya suasana taman. Di
sana ada bangku dan lampu sudutnya yang
melentingkan fatamorgana seperti hujan tetapi bukan, seperti bukan tetapi hujan.
Di sini juga ada imaji auditif di
mana kita seakan benar-benar turut mendengar bunyi kodok-kodok bersahut-sahutan bernyanyi sepenuh malam memanggil-manggil
di musim bercinta.
Bait 2 ini juga sepenuhnya diperkuat dan diperindah dengan majas enumerasio yang menguraian satu
demi satu rangkaian pandangan mata. Hal
ini ditandai dengan ungkapan
Di sini ada bangku dan ada lampu sudut yang bagaikan fatamorgana membiaskan harapan seperti hujan tetapi bukan, seperti
bukan tetapi hujan. Lalu di sana juga ada bunyi kodok yang bersahut-sahutan menandakan bahwa kodok-kodok itu
sedang tebar pesona di antara mereka.
Di sini juga ada majas oksimoron
yang mengungkapkan suatu pertentangan yang ditandai dengan ungkapan seperti hujan tetapi bukan dan
sebaliknya seperti bukan tetapi hujan. Di
sini juga ada majas personifikasi
yang ditandai dengan ungkapan kodok
bernyanyi sepenuh malam.
III
Puisi Nailiya Nikmah ini berjudul Musim
Cinta Bukan untuk Kita. Frasa Musim
Cinta mengingatkan kita pada musim-musim yang lain. Di antaranya adalah
musim hujan, musim kemarau, musim rambutan, musim durian dan banyak lagi
musim-musim yang lainnya. Musim rambutan ditandai dengan banyaknya rambuan
dijual dengan harga relatif murah di berbagai tempat dan di jalan-jalan. Musim
hujan ditandai dengan banyaknya turun hujan yang terjadi hampir setiap hari.
Musim hujan juga sering diiringi dengan terjadinya bencana banjir, tanah
longsor yang melanda di mana-mana. Lalu bagaimanakah dengan musim cinta? Apakah musim cinta ditandai
dengan banyaknya orang yang bercinta? Apakah musim cinta juga mengakibatkan
bencana di mana-mana? Apakah musim cinta juga ditandai dengan banyaknya orang
bercinta? Jika kita kaitkan dengan judul Musim
Cinta Bukan untuk Kita, maka jawabnya tentu: Ya. Klausa bukan untuk kita menandakan bahwa musim
cinta yang dimaksud adalah musim cinta yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain
cinta yang dimaksud adalah cinta yang tidak sesuai dengan norma sosial apalagi
norma agama. Dalam hal ini betapa halusnya sindiran yang digunakannya yaitu
bunyi kodok yang bersahutan di malam hari saat hujan sepanjang malam.
Puisi ini nampaknya memang hanya bicara tentang taman yang juga
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rumah hunian. Tetapi jika kita
telisik lebih cermat dan lebih dalam lagi, ternyata puisi ini hanya sarana alat
untuk mengungkapkan sehuah pesan moral yang begitu berharga. Lewat puisi ini
Nailiya secara samar-samar dan secara tidak langsung telah mewarning kita agar
jangan sampai terjerumus dalam koridor musim
cinta. Betapa halusnya Nai memberi rambu-rambu lewat puisi ini. Lewat larik
sungguh aneh hujan kali ini. Ternyata
puisi ini juga adalah puisi deskriptif
impresionis yang mengungkapkan kesan penulisnya terhadap gejolak yang cukup
memperihatinkan selama ini. Itulah kiranya amanat dan pesan moral yang ingin
disampaikan secara terselubung lewat puisi MUSIM CINTA BUKAN UNTUK KITA inim
Kupasan pian terhadap puisi penyair terpilih sangat khas. Cara pembahasanya bisa dipahami oleh pembaca awam sekali pun. Dan ini tentu sangat membantu dalam mendekatkan puisi kepada penikmatnya. Tabik.
BalasHapusTerima kasih lah sudah singgah di sini
HapusTerima kasih jua atas apreisiasinya lah