MENGENAL PENYAIR MICKY
HIDAYAT
MELALUI PUISINYA YANG
BERJUDUL SAJAK UNTUKMU
I
MICKY HIDAYAT
Micky Hidayat (MH) adalah nama pena dari penyair yang bernama asli May
Hidayat, putra kedua dari tujuh bersaudara yang lahir di Banjarmasin subuh
Senin 4 Mei 1959 dari kedua orangtua Haji Hijaz Yamani [Alm] dan Hajjah Farida
Hanoum. Nama Micky Hidayat berasal ketika remaja tahun 70an ia sangat
mengidolakan Mick Jagger vokalis band rock
legendaris Inggris, Rolling Stone, dan Micky Michael Malkerbach vokalis band
rock Bentoel asal kota Malang, Jawa Timur. Hal ini berawal saat sekolah di STM,
teman-temannya menyapa dengan nama panggilan Micky. Ketika ia mulai
berkecimpung di dalam dunia kepenyairan, ia menulis nama di tiap sajak-sajaknya
dengan nama pena Micky Hidayat, nama itulah yang terus dipakainya hingga
sekarang.
Ia mulai menulis puisi, cerpen esai
sastra sejak tahun 1980-an. Karya-karyanya pernah dimuat dalam Surat Kabar
Harian Banjarmasin Post, Dinamika Berita
Banjarmasin, Berita Buana Jakarta, Pelita Jakarta, Terbit Jakarta, Merdeka
Jakarta, Suara Karya Jakarta, Prioritas Jakarta, Sinar Harapan Jakarta, Suara
Pembaharuan Jakarta, Republika
Jakarta, Jawa Pos Surabaya, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Berita Nasional Yogyakarta, Pikiran Rakyat Bandung, Analisa Medan, Lampung Post, Bali Pos. Tulisannya juga pernah dimuat di Pos Film Jakarta, Swadesi Jakarta, Simponi
Jakarta. Majalah Panji Masyarakat
Jakarta, Topik Jakarta, Hai Jakarta, Anita Cemerlang Jakarta, Horison
Jakarta. Antologi puisi tunggalnya yang sudah terbit antara lain adalah Ingin Jadi Penyair Yang (Banjarmasin,
1981), Percakapan Dalam Diam
(Banjarmasin, 1982), Jalan Sunyi
(Banjarmasin,1985), dan Meditasi Rindu
(Buku Pop Jakarta, 2009),
Puisinya juga dimuat dalam Antologi
Puisi Dahaga Banjarmasin Post
(Banjarmasin, 1981), Penyair ASEAN (Bali,1983),
Siklus Lima Penyair Kalsel (Banjarmasin,
1983), Terminal (Banjarmasin, 1984), Dengarlah Bicara Kami (Banjarmasin,
1984), Kota Kita (Banjarmasin, 1987),
Puisi Indonesia 87 (DKJ TIM Jakarta,1987),
Puisi Keprihatinan Sosial
(Banjarmasin, 1991), Kul Kul
(Denpasar,1992), Jendela Tanah Air
(Banjarmasin, 1995), Refleksi Setengah
Abad Indonesia (Surakarta, 1995), Jakarta
Dalam Puisi Mutakhir ( Jakarta, 2000), Ragam
Jejak Sunyi Tsunami (Medan,2005), Perkawinan
Batu (Jakarta, 2005), Seribu Sungai
Paris Barantai (Kotabaru, 2006).
MH juga sering mengikuti forum temu
sastra dan baca puisi, aktif sebagai pembicara dan moderator pada even forum
sastra baik di Kalimantan Selatan maupun di kota-kota lainnya di Indonesia
termasuk juga yang juga di Malaysia. Sebagai aktivis sastra ia juga aktif dalam
organisasi sastra dan kesenian. Di antaranya Penyair Muda Banjarmasin HPMB
tahun 80-an, Bengkel Sastra Banjarmasin (1983-1987). Badan Koordnasi Kesenian Nasional
Indonesia (BKKNI) Kalimantan Selatan, Ketua Komisi Sastra Dewan Kesenian
Kalimantan Selatan, Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin periode
2004-2007, Ketua III DPP Komunitas Sastra Indonesia. dan Kordinator Daerah KSI
Kalimantan Selatan. Tahun 1997 MH tercatat sebagai pemegang rekor MURI Pembaca Puisi Terlama selama 5,5 jam Di Indonesia. Pada tahun
2008 MH menerima Hadiah Seni bidang
sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Dan pada tahun 2010 menerima Angugerah Seni bidang sastra dari Gubernur
Kalimantan Selatan.
Di sini kita akan mengenal lebih dekat
dengan Penyair Indonesia asal Kalimantan Selatan Micky Hidayat melalui puisiya
yang berjudul Sajak Untukmu.
II
Sajak
Untukmu
bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiramu
bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku,
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu
bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu
bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu
bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu
Puisi Sajak Untukmu karya Micky Hidayat ini ditulis dengan tipografi
konvensional yang terdiri dari 5 buah bait dua seuntai. Seluruh lariknya berjumlah
10 larik. Sajak dua seuntai ini biasa juga disebut dengan distikon. Puisi ini
seluruh kata dan larik-lariknya ditulis tanpa menggunakan huruf kapital. Puisi
ini seluruhnya ditulis dengan mewggunakan diksi, rima, ritme, citraan dan
majas-majas yang indah, tertata rapi, tepat dan proporsional. Sehingga puisi
ini menarik untuk dibaca dan dinikmati, dihayati dan direnungkan, dicermati dan
ditelisik, digelar-sastrakan dan menarik juga untuk di dibicarakan. Untuk lebih
mudah kita menikmati puisi ini mari kita telisik puisi ini secara bertahap bait
demi bait berikut ini
Untuk itu
marilah kita cermati bait 1 berikut di bawah ini.
1. bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
2. adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu
Bait 1 ini ditulis dengan menggunakan
diksi dan ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya aku lirik dalam puisi ini menyeru-nyeru nama yang selalu dirindu.
Kerinduan dan harapan akan kehadiran yang begitu dirindu. Kehadiran yang begitu
dirindu dalam pusi ini bisa siapa saja. Tetapi setelah kita membaca larik-larik
di bait 1 ini berkali-kali dan kita renungkan dalam-dalam ternyata yang begitu
dirindu dalam puisi ini sepertinya bukanlah seorang manusia, tetapi Dia adalah
Zat Yang Maha Sempurna, Dia yang memang sangat kita rindukan selama ini. Ialah
Allah SWT.
Bait 1 ini juga ditulis dengan
menggunakan rima akhir yang menawan
hati. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam ungkapan setiap rinduku di larik 1 yang bersajak
dengan ungkapan mengharap kehadiranmu di
larik 2. Bait 1 ini juga ditulis dan diperindah dengan menggunakan Rima
Asonansi dan Rima Aliterasi. Lebih jelasnya larik 1 ditulis dengan
menggunakan Rima Asonansi ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam
kalusa bila kuseru-seru yang bersajak dengan namamu
dan dengan ungkapan dalam setiap rinduku.
Di sni juga ada rime yang
ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam kata kuseru-seru, namamu, rinduku, rinduku dan dalam kata kehadiramu. Di sini juga ada ritme yang
terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] dalam kata kuseru-seru, setiap, mengharap dan dalam kata kehadiranmu. Berikutnya di sini juga ada ritme yang terbentuk dari
pengulangan bunyi konsonan [r] dalam kata kuseru-seru,
rinduku, rinduku, mengharap dan dalam kata kehadiranmu.
Bait ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan
mendengar ucapan dan seruan Si
Perindu kepada yang Begitu Dirindu.
Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku,
[itu] adalah [karena] rinduku yang [senantiasa] mengharap kehadiramu. Bait ini juga
dibangun dan diperindah dengan majas
paralellisme yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan
perasaan yang begitu rindu. Hal ini ditandai dengan kata bila di larik 1 dan kata adalah
di larik 2. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
[itu] adalah [karena] rinduku yang [senantiasa] mengharap kehadiramu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan
kata adalah
dalam ungkapan setiap rinduku adalah
rinduku yang mengharap kehadiramu. Di sini juga ada majas personifikasi yang ditandai dengan rinduku yang mengharap
kehadiramu.
Selanjutnya marilah kita cermati bait 2
berikut ini
3. bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku,
4. adalah kesepianku ingin selalu bersamamu
Bait 2 ini dibangun dengan diksi dan
ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini merindukan yang dirindu dalam setiap
sepinya. Meski dalam kesepian ia ingin selalu bersama yang dirindunya. Bait 2
ini juga dibangun dengan rima akhir
yang menawan hati. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam
ungkapan setiap sepiku di larik 3
yang bersajak dengan ungkapan selalu
bersamamu di larik 4. Bait 2 ini juga dibangun dengan ritme yang indah,
ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [u] dalam kata kurindu-rindu, dirimu, rinduku,setiap
sepiku, kesepianku dan dalam kata
bersamamu. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi
vokal [i] dalam kata bila, kurindu-rindu,
dirimu. setiap sepiku, kesepianku dan dalam kata ingin. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan
bunyi vokal [e] dalam kata setiap sepiku,
kesepianku, selalu dan dalam kata
beramamu.
Bait 2 ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan
mendengar ucapan dan seruan Si
Perindu kepada yang Begitu Dirindu.
Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap
sepiku, ini] adalah [karena
dalam] kesepianku [aku] ingin selalu bersamamu Bait 2 ini juga
dibangun dan diperindah dengan majas
paralellisme, yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan
perasaan yang begitu rindu. Hal ini ditandai dengan kata bila di larik 3 dan kata adalah
di larik 4. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku, [ini] adalah [karena dalam] kesepianku [aku] ingin selalu bersamamu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan kata adalah
dalam ungkapan setiap sepiku adalah
kesepianku rinduku yang ingin selalu
bersamamu. Di sini juga ada majas
personifikasi yang ditandai dengan kesepianku
yang selalu bersamamu. bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku, adalah
kesepianku ingin selalu bersamamu
Selanjutnya marilah kita cermati bait 3
berikut ini
5. bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
6. adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu
Bait 3 ini dibangun dengan diksi dan
ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini merasa kesepian itu kini sudah
berubah menjadi pisau yang sudah menikam dan meluikainya. Itu semata-mata
karena ketidak-berdaya- annya di hadapan yang dirindunya. Bait 3 ini juga
dibangun dengan ritme yang indah, ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi
vokal [e] di dalam kata sepi, menikam,
melukaiku dan pada kata
ketidak-berdayaanku. Di bait ini juga ada ritme yang terbentuk dari
pengulangan bunyi vokal [i] dalam kata
bila, sepi, jadi, pisau, menikam, melukaiku, ketidakberdayaanklu dan pada
kata depan di. Bait ini sepenuhnya
dibangun dengan imaji auditif. Kita
seakan mendengar ucapan dan seruan Si Perindu kepada yang Begitu Dirindu. Untuk itu mari kita
resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila sepi [ini] jadi pisau [yang
telah] menikam dan melukaiku [itu] adalah [karena] ketidakberdayaanku di hadapanmu Bait ini juga dibangun dan
diperindah dengan majas paralellisme,
yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang
begitu rindu. Hal ini ditandai dengan kata bila
di larik 5 dan kata adalah di larik
6. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila sepi [ini] jadi pisau [yang
telah] menikam dan melukaiku [itu] adalah [karena] ketidakberdayaanku di hadapanmu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan
kata adalah
dalam ungkapan pisau [yang telah] menikam dan melukaiku [itu] adalah [karena] ketidakberdayaanku di hadapanmu
Selanjutnya marilah kita cermati bait 4
berikut ini
7. bila lukaku meneteskan darah di batu
8. adalah kekerasan hatiku mencintaimu
Bait 4 ini dibangun dengan diksi dan
ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini merasa bahwa lukanya yang meneteskan darah di batu itu adalah kirena kekerasan
hatinya mencintai yang sangat
dicintainya. Bait ini juga dibangun dengan ritme yang indah, ritme yang
terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] di dalam kata meneteskan, kekerasan dan pada kata mencintaiku. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari
pengulangan bunyi vokal [u] dalam kata
lukaku, batu, hatiku dan pada kata depan
mencintaiku.
Bait 3 ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan
mendengar ucapan dan seruan Si
Perindu kepada yang Begitu dicinta.
Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila lukaku [ini] meneteskan darah di batu, [itu] adalah kekerasan hatiku [dalam]
mencintaimu. Bait 3 ini juga dibangun dan diperindah dengan majas paralellisme, yang menggunakan dua
ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang begitu rindu. Hal ini
ditandai dengan kata bila di larik 7
dan kata adalah di larik 8. Sehingga
kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila
lukaku [ini] meneteskan darah di
batu, [itu] adalah kekerasan hatiku [dalam] mencintaimu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan
kata luka
[yang] menetaskan adarah di batu adalah
kekerasan hatiku mencintaimu
Selanjutnya marilah kita cermati bait 5
berikut ini
9. bila ternyata kau tak mencintaiku
10.aku tetap menulis sajak-sajak untukmu
Bait 5 ini dibangun dengan diksi dan
ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini menyatakan bahwa seandainya saja
ternyata dia tak mencintainya sang aku
tetap akan menulis sajak-sajak untuknya
yang selalu dirindu, untuknya yang selalu dicinta.sebagaimana yang
diungkapkannya bila ternyata kau tak
mencintaiku aku [akan] tetap
[selalu] menulis sajak-sajak untukmu. Bait
5 ini juga dibangun dengan ritme yang indah, ritme yang terbentuk dari
pengulangan bunyi vokal [e] di dalam kata
ternyata, mencintaiku, tetap dan dalam kata menulis Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan
bunyi konsonan [k] dalam kata kau,
mencintaiku, aku, sajak-sajak dan dalam untukmu.
Bait 5 ini sepenuhnya dibangun dengan imaji
auditif. Kita seakan mendengar
ucapan dan seruan Si Penulis sajak kepada
yang Begitu dicinta. Untuk itu mari
kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila ternyata kau tak mencintaiku aku [akan] tetap [selalu] menulis
sajak-sajak untukmu
Bait 5 ini juga dibangun dan diperindah
dengan majas paralellisme, yang
menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang begitu
mencintai. Hal ini ditandai dengan kata bila
di larik 9 dan kata adalah di larik
10. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila ternyata kau tak mencintaiku aku tetap menulis sajak-sajak
untukmu
III
Puisi Micky Hidayat ini berjudul Sajak
Untukmu. Membaca judul puisi ini diketahui bahwa Micky Hidayat adalah
termasuk penyair yang lebih senang
mengguakan kata Sajak dari pada kata puisi
dalam maksud yang sama. Kata sajak
mengingatkan kita pada salah satu bentuk karya sastra yang digunakan sebagai
media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui susunan dan tatanan kata
larik dan bait. Sedangkan kata Untukmu
ini menyatakan bahwa sajak ini tentu diperuntukan atau dipersembahkan kepada
sesorang yang istimewa. Karena puisi ini didalam penulisannya tidak ada
menggunakan hutuf kapital, maka puisi ini sifatnya menjadi multi tafsir dengan
ambiguitas ganda. Hal ini ditandai dengan penggunaan kata kau dan mu yang multi
tafsir.
Pada tataran pertama puisi ini termasuk
dalam jenis puisi liris romansa yang berisi luapan perasaan cinta dan kasih
sayang yang amat dalam antara sosok Sang
Aku dalam puisi ini dengan seseorang
yang begitu dirindu, yang begitu dicinta. Pada tataran kedua puisi ini
masuk dalam koridor puisi metafisikal
platonik. Puisi metafisikal yang
bersifat filosofis dalam perenungan antara aku
dan tuhanku. Sedangkan puisi platonik diambil dari nama filosof
Plato. adalah puisi yang sepenuhnya bersifat spiritual, sejalan dengan istilah
cinta platonik cinta non nafsu jasmaniah.
Berdasarkan analisis pada tataran ke
dua. Maka kata ganti mu dan kau di sini bukanlah sosok manusia,
tetapi Dialah Tuhan Yang Esa Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dalam
istilah lain puisi ini masuk dalam koridor puisi sufistik yang berbicara
tentang cinta antara Salik dengan Al Khalik.
Puisi ini berbicara tentang cinta seorang hamba dengan Tuhan Ar Rahman Ar Rahim
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karena
KasihNya Dia selalu dan tak pernah berhenti memberi berbagai nikmat di
dunia ini, termasuk nikmat udara dan air yang sangat diperlukan dalam kehidupan
manusia dan mahluk hidup lainnya di dunia ini. Kita bebas bernafas menghirup
udara dan oksigen ytahng terkandung di dalamnya. Kita juga bebas mengambil dan
menggunakan air untuk keperluan hidup sehari-hari. Dan banyak lagi
nikmat-nikmat lainnya. Untuk itu kita wajib membalas cinta dan kasih sayangNya
dengan pengaabdian yang tak pernah henti. Maka patutlah apa yang diungkapkan
Micky Hidayat dalam larik terakhirnya bila
ternyata kau tak mencintaiku aku tetap menulis sajak-sajak untukmu.
Puisi Micky Hidayat ini memancarkan
kerinduan dan kecintaannya yang tak pernah hilang kepada kekasih yang sangat
dirindu dan yang sangat dicinta. Baik Sang kekasih secara horinzontal sesama
mahluk tuhan, maupun kekasih secara vertikal yaitu Allah SWT yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Itulah kiranya amanat dan pesan moral yang ingin
diungkapkannya dalam puisi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar