menu

Jumat, 20 Mei 2016

MENGENAL PENYAIR MICKY HIDAYAT MELALUI PUISINYA YANG BERJUDUL SAJAK UNTUKMU



MENGENAL PENYAIR MICKY HIDAYAT
MELALUI PUISINYA YANG BERJUDUL SAJAK UNTUKMU

I
MICKY HIDAYAT

       Micky Hidayat (MH) adalah nama pena dari penyair yang bernama asli May Hidayat, putra kedua dari tujuh bersaudara yang lahir di Banjarmasin subuh Senin 4 Mei 1959 dari kedua orangtua Haji Hijaz Yamani [Alm] dan Hajjah Farida Hanoum. Nama Micky Hidayat berasal ketika remaja tahun 70an ia sangat mengidolakan Mick Jagger vokalis band rock legendaris Inggris, Rolling Stone, dan Micky Michael Malkerbach vokalis band rock Bentoel asal kota Malang, Jawa Timur. Hal ini berawal saat sekolah di STM, teman-temannya menyapa dengan nama panggilan Micky. Ketika ia mulai berkecimpung di dalam dunia kepenyairan, ia menulis nama di tiap sajak-sajaknya dengan nama pena Micky Hidayat, nama itulah yang terus dipakainya hingga sekarang.


       Ia mulai menulis puisi, cerpen esai sastra sejak tahun 1980-an. Karya-karyanya pernah dimuat dalam Surat Kabar Harian Banjarmasin Post, Dinamika Berita Banjarmasin, Berita Buana Jakarta, Pelita Jakarta, Terbit Jakarta, Merdeka Jakarta, Suara Karya Jakarta, Prioritas Jakarta, Sinar Harapan Jakarta, Suara Pembaharuan Jakarta, Republika Jakarta, Jawa Pos Surabaya, Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Berita Nasional Yogyakarta, Pikiran Rakyat Bandung, Analisa Medan, Lampung Post, Bali Pos.  Tulisannya juga pernah dimuat di Pos Film Jakarta, Swadesi Jakarta, Simponi Jakarta. Majalah Panji Masyarakat Jakarta, Topik Jakarta, Hai Jakarta, Anita Cemerlang Jakarta, Horison Jakarta. Antologi puisi tunggalnya yang sudah terbit antara lain adalah Ingin Jadi Penyair Yang (Banjarmasin, 1981), Percakapan Dalam Diam (Banjarmasin, 1982), Jalan Sunyi (Banjarmasin,1985), dan Meditasi Rindu (Buku Pop Jakarta, 2009),

       Puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Dahaga Banjarmasin Post (Banjarmasin, 1981), Penyair ASEAN (Bali,1983), Siklus Lima Penyair Kalsel (Banjarmasin, 1983), Terminal (Banjarmasin, 1984), Dengarlah Bicara Kami (Banjarmasin, 1984), Kota Kita (Banjarmasin, 1987), Puisi Indonesia 87 (DKJ TIM Jakarta,1987), Puisi Keprihatinan Sosial (Banjarmasin, 1991), Kul Kul (Denpasar,1992), Jendela Tanah Air (Banjarmasin, 1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia (Surakarta, 1995), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir ( Jakarta, 2000), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Medan,2005), Perkawinan Batu (Jakarta, 2005), Seribu Sungai Paris Barantai (Kotabaru, 2006).  

      MH juga sering mengikuti forum temu sastra dan baca puisi, aktif sebagai pembicara dan moderator pada even forum sastra baik di Kalimantan Selatan maupun di kota-kota lainnya di Indonesia termasuk juga yang juga di Malaysia. Sebagai aktivis sastra ia juga aktif dalam organisasi sastra dan kesenian. Di antaranya Penyair Muda Banjarmasin HPMB tahun 80-an, Bengkel Sastra Banjarmasin (1983-1987). Badan Koordnasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalimantan Selatan, Ketua Komisi Sastra Dewan Kesenian Kalimantan Selatan, Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin periode 2004-2007, Ketua III DPP Komunitas Sastra Indonesia. dan Kordinator Daerah KSI Kalimantan Selatan. Tahun 1997 MH tercatat sebagai pemegang rekor MURI Pembaca Puisi Terlama  selama 5,5 jam Di Indonesia. Pada tahun 2008 MH menerima Hadiah Seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Dan pada tahun 2010 menerima Angugerah Seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan.
       Di sini kita akan mengenal lebih dekat dengan Penyair Indonesia asal Kalimantan Selatan Micky Hidayat melalui puisiya yang berjudul Sajak Untukmu.   

II

Sajak Untukmu

bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiramu

bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku,
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku  mencintaimu

bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

       Puisi Sajak Untukmu karya Micky Hidayat ini ditulis dengan tipografi konvensional yang terdiri dari 5 buah bait dua seuntai. Seluruh lariknya berjumlah 10 larik. Sajak dua seuntai ini biasa juga disebut dengan distikon. Puisi ini seluruh kata dan larik-lariknya ditulis tanpa menggunakan huruf kapital. Puisi ini seluruhnya ditulis dengan mewggunakan diksi, rima, ritme, citraan dan majas-majas yang indah, tertata rapi, tepat dan proporsional. Sehingga puisi ini menarik untuk dibaca dan dinikmati, dihayati dan direnungkan, dicermati dan ditelisik, digelar-sastrakan dan menarik juga untuk di dibicarakan. Untuk lebih mudah kita menikmati puisi ini mari kita telisik puisi ini secara bertahap bait demi bait berikut ini

       Untuk itu marilah kita cermati bait 1 berikut di bawah ini.

1. bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
2. adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu

       Bait 1 ini ditulis dengan menggunakan diksi dan ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya aku lirik dalam puisi ini menyeru-nyeru nama yang selalu dirindu. Kerinduan dan harapan akan kehadiran yang begitu dirindu. Kehadiran yang begitu dirindu dalam pusi ini bisa siapa saja. Tetapi setelah kita membaca larik-larik di bait 1 ini berkali-kali dan kita renungkan dalam-dalam ternyata yang begitu dirindu dalam puisi ini sepertinya bukanlah seorang manusia, tetapi Dia adalah Zat Yang Maha Sempurna, Dia yang memang sangat kita rindukan selama ini. Ialah Allah SWT.

       Bait 1 ini juga ditulis dengan menggunakan rima akhir yang menawan hati. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam ungkapan setiap rinduku di larik 1 yang bersajak dengan ungkapan mengharap kehadiranmu di larik 2. Bait 1 ini juga ditulis dan diperindah dengan menggunakan Rima Asonansi dan Rima Aliterasi. Lebih jelasnya larik 1 ditulis dengan menggunakan Rima Asonansi ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam kalusa bila kuseru-seru yang bersajak dengan  namamu dan dengan ungkapan dalam setiap rinduku.

       Di sni juga ada rime yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam kata kuseru-seru, namamu, rinduku, rinduku dan dalam kata kehadiramu. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] dalam kata kuseru-seru, setiap, mengharap dan dalam kata kehadiranmu. Berikutnya di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan [r] dalam kata kuseru-seru, rinduku, rinduku, mengharap dan dalam kata kehadiranmu.

       Bait ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan  mendengar ucapan dan seruan Si Perindu kepada yang Begitu Dirindu. Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku, [itu] adalah [karena] rinduku yang [senantiasa] mengharap kehadiramu. Bait ini juga dibangun dan diperindah dengan majas paralellisme yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang begitu rindu. Hal ini ditandai dengan kata bila di larik 1 dan kata adalah di larik 2. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku [itu] adalah [karena] rinduku yang [senantiasa] mengharap kehadiramu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan kata  adalah dalam ungkapan setiap rinduku adalah rinduku yang mengharap kehadiramu. Di sini juga ada majas personifikasi yang ditandai dengan rinduku yang mengharap kehadiramu.

    Selanjutnya marilah kita cermati bait 2 berikut ini 

3. bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku,
4. adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

       Bait 2 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini merindukan yang dirindu dalam setiap sepinya. Meski dalam kesepian ia ingin selalu bersama yang dirindunya. Bait 2 ini juga dibangun dengan rima akhir yang menawan hati. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] dalam ungkapan setiap sepiku di larik 3 yang bersajak dengan ungkapan selalu bersamamu di larik 4. Bait 2 ini juga dibangun dengan ritme yang indah, ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [u] dalam kata kurindu-rindu, dirimu, rinduku,setiap sepiku, kesepianku dan dalam kata bersamamu. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [i] dalam kata bila, kurindu-rindu, dirimu. setiap sepiku, kesepianku dan dalam kata ingin. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] dalam kata setiap sepiku, kesepianku, selalu dan dalam kata beramamu.

       Bait 2 ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan  mendengar ucapan dan seruan Si Perindu kepada yang Begitu Dirindu. Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku, ini] adalah [karena dalam] kesepianku [aku] ingin selalu bersamamu Bait 2 ini juga dibangun dan diperindah dengan majas paralellisme, yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang begitu rindu. Hal ini ditandai dengan kata bila di larik 3 dan kata adalah di larik 4. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku, [ini] adalah [karena dalam] kesepianku [aku] ingin selalu bersamamu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan kata  adalah dalam ungkapan setiap sepiku adalah kesepianku rinduku yang ingin selalu bersamamu. Di sini juga ada majas personifikasi yang ditandai dengan kesepianku yang selalu bersamamu. bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku, adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

    Selanjutnya marilah kita cermati bait 3 berikut ini 

5. bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
6. adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

       Bait 3 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini merasa kesepian itu kini sudah berubah menjadi pisau yang sudah menikam dan meluikainya. Itu semata-mata karena ketidak-berdaya- annya di hadapan yang dirindunya. Bait 3 ini juga dibangun dengan ritme yang indah, ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] di dalam kata sepi, menikam, melukaiku dan pada kata ketidak-berdayaanku. Di bait ini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [i] dalam kata bila, sepi, jadi, pisau, menikam, melukaiku, ketidakberdayaanklu dan pada kata depan di. Bait ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan  mendengar ucapan dan seruan Si Perindu kepada yang Begitu Dirindu. Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila sepi [ini] jadi pisau [yang telah] menikam dan melukaiku [itu] adalah [karena] ketidakberdayaanku di hadapanmu Bait ini juga dibangun dan diperindah dengan majas paralellisme, yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang begitu rindu. Hal ini ditandai dengan kata bila di larik 5 dan kata adalah di larik 6. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila sepi [ini] jadi pisau [yang telah] menikam dan melukaiku [itu] adalah [karena] ketidakberdayaanku di hadapanmu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan kata  adalah dalam ungkapan pisau [yang telah] menikam dan melukaiku [itu] adalah [karena] ketidakberdayaanku di hadapanmu

    Selanjutnya marilah kita cermati bait 4 berikut ini 

7. bila lukaku meneteskan darah di batu
8. adalah kekerasan hatiku  mencintaimu

       Bait 4 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini merasa bahwa lukanya yang meneteskan darah di batu itu adalah kirena kekerasan hatinya  mencintai yang sangat dicintainya. Bait ini juga dibangun dengan ritme yang indah, ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] di dalam kata meneteskan, kekerasan dan pada kata mencintaiku. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [u] dalam kata lukaku, batu, hatiku dan pada kata depan mencintaiku.

       Bait 3 ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan  mendengar ucapan dan seruan Si Perindu kepada yang Begitu dicinta. Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila lukaku [ini] meneteskan darah di batu, [itu] adalah kekerasan hatiku [dalam] mencintaimu. Bait 3 ini juga dibangun dan diperindah dengan majas paralellisme, yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang begitu rindu. Hal ini ditandai dengan kata bila di larik 7 dan kata adalah di larik 8. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila lukaku [ini] meneteskan darah di batu, [itu] adalah kekerasan hatiku [dalam] mencintaimu. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan kata  luka [yang] menetaskan adarah di batu  adalah kekerasan hatiku mencintaimu

    Selanjutnya marilah kita cermati bait 5 berikut ini 

9. bila ternyata kau tak mencintaiku
10.aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

       Bait 5 ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang indah dan puitis. Betapa indahnya sang sosok aku dalam puisi ini menyatakan bahwa seandainya saja ternyata dia tak mencintainya sang aku tetap akan menulis sajak-sajak untuknya yang selalu dirindu, untuknya yang selalu dicinta.sebagaimana yang diungkapkannya bila ternyata kau tak mencintaiku aku [akan] tetap [selalu] menulis sajak-sajak untukmu. Bait 5 ini juga dibangun dengan ritme yang indah, ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [e] di dalam kata ternyata, mencintaiku, tetap dan dalam kata menulis Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi konsonan [k] dalam kata kau, mencintaiku, aku, sajak-sajak dan dalam untukmu. Bait 5 ini sepenuhnya dibangun dengan imaji auditif. Kita seakan  mendengar ucapan dan seruan Si Penulis sajak kepada yang Begitu dicinta. Untuk itu mari kita resapi uacapan dan seruan tersebut berikut ini. bila ternyata kau tak mencintaiku aku [akan] tetap [selalu] menulis sajak-sajak untukmu

       Bait 5 ini juga dibangun dan diperindah dengan majas paralellisme, yang menggunakan dua ungkapan yang sejajar untuk menegaskan perasaan yang begitu mencintai. Hal ini ditandai dengan kata bila di larik 9 dan kata adalah di larik 10. Sehingga kedua larik ini bisa disatukan menjadi bila ternyata kau tak mencintaiku aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

III

     Puisi Micky Hidayat ini berjudul Sajak Untukmu. Membaca judul puisi ini diketahui bahwa Micky Hidayat adalah termasuk penyair yang lebih senang mengguakan kata Sajak dari pada kata puisi dalam maksud yang sama. Kata sajak mengingatkan kita pada salah satu bentuk karya sastra yang digunakan sebagai media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui susunan dan tatanan kata larik dan bait. Sedangkan kata Untukmu ini menyatakan bahwa sajak ini tentu diperuntukan atau dipersembahkan kepada sesorang yang istimewa. Karena puisi ini didalam penulisannya tidak ada menggunakan hutuf kapital, maka puisi ini sifatnya menjadi multi tafsir dengan ambiguitas ganda. Hal ini ditandai dengan penggunaan kata kau dan mu yang multi tafsir.

       Pada tataran pertama puisi ini termasuk dalam jenis puisi liris romansa yang berisi luapan perasaan cinta dan kasih sayang yang amat dalam antara sosok Sang Aku dalam puisi ini dengan seseorang yang begitu dirindu, yang begitu dicinta. Pada tataran kedua puisi ini masuk dalam koridor puisi metafisikal platonik. Puisi metafisikal yang bersifat filosofis dalam perenungan antara aku dan tuhanku. Sedangkan puisi platonik diambil dari nama filosof Plato. adalah puisi yang sepenuhnya bersifat spiritual, sejalan dengan istilah cinta platonik cinta non nafsu jasmaniah.

       Berdasarkan analisis pada tataran ke dua. Maka kata ganti mu dan kau di sini bukanlah sosok manusia, tetapi Dialah Tuhan Yang Esa Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dalam istilah lain puisi ini masuk dalam koridor puisi sufistik yang berbicara tentang cinta antara Salik dengan Al Khalik. Puisi ini berbicara tentang cinta seorang hamba dengan Tuhan Ar Rahman Ar Rahim yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Karena  KasihNya Dia selalu dan tak pernah berhenti memberi berbagai nikmat di dunia ini, termasuk nikmat udara dan air yang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya di dunia ini. Kita bebas bernafas menghirup udara dan oksigen ytahng terkandung di dalamnya. Kita juga bebas mengambil dan menggunakan air untuk keperluan hidup sehari-hari. Dan banyak lagi nikmat-nikmat lainnya. Untuk itu kita wajib membalas cinta dan kasih sayangNya dengan pengaabdian yang tak pernah henti. Maka patutlah apa yang diungkapkan Micky Hidayat dalam larik terakhirnya bila ternyata kau tak mencintaiku aku tetap menulis sajak-sajak untukmu.

       Puisi Micky Hidayat ini memancarkan kerinduan dan kecintaannya yang tak pernah hilang kepada kekasih yang sangat dirindu dan yang sangat dicinta. Baik Sang kekasih secara horinzontal sesama mahluk tuhan, maupun kekasih secara vertikal yaitu Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Itulah kiranya amanat dan pesan moral yang ingin diungkapkannya  dalam puisi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar