menu

Selasa, 17 Mei 2016

MENGENAL PENYAIR ACEH MUHAMAD RAIN MELALUI PUISI ILMU BUMI



MENGENAL PENYAIR ACEH MUHAMAD RAIN MELALUI PUISI ILMU BUMI


       Muhammad Rain Penyair kelahiran Peureulak, Aceh Timur 14 September 1981 ini kini ia giat mempelopori pembacaan puisi berkeliling dari kota ke kota, dari satu tempat ke tempat yang lain di wilayah Provinsi Aceh.
       Alumnus Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah Aceh ini sehari-harinya ia adalah guru SMAN 4 Langsa, Aceh dan aktif sebagai Dosen beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Provinsi Aceh. Ia juga menjadi Fasilitator Guru Bahasa Indonesia se-Aceh Timur tahun 2007 dan 2010. Dalam kesibukannya itu ia juga rajin menulis puisi, cerpen dan naskah drama. Di sini kita akan mengenal lebih dekat dengan Muhamad Rain melalui puis ILMU BUMI.


***

ILMU BUMI

tak ada yang ia minta
meskipun setiap hari kita memijaknya
ia hanya minta dipelihara dijaga

jika marah ranting pecah terbawa badai
itu marah yang biasa
bila marah kesal menjadi-jadi lantas ia murka
bumi lalu menjadi gempa
segala yang menjulang kembali rata
siapa yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya
kelak terkubur juga dalam pelukannya 

ia belajar dari pemberian
belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan
sebagai cirinya yang utama

bila laut berombak dan karang lepuh air
lalu mencebur daratan
bumi mengecil
planton-planton pesta pora
manusia mau ke mana?

jangan dirusak hutan
hutan kelak akan ingkar dari aksi menahan tsunami
jika gunung menyembul
tanda bumi siap menggelegar tak diwaspadai
jutaan makhluk jadi punah
peliharalah bumi seperti memelihara cinta
di sekujur hati

Banda Aceh 12 Juni 2012

       Berdaarkan paparan di atas kita ketahui bahwa puisi ILMU BUMI karya Muhammad Rain ini ditulis dengan menggunakan tipografi konvesional yang terdiri dari 5 bait dengan larik-larik yang bervariasi antara larik-larik pendek dan larik-larik yang panjang. Bait 1 terdiri dari 3 larik. Bait 2 terdiri dari 7 larik. Bait 3 terdiri dari 3 larik. Bait 4 terdiri dari 5 larik, dan bait 5 terdiri dari 7 larik. Jadi semua lariknya berjumlah 25 larik.
       Marilah kita awali analisis ini dengan mencermati bait 1 berikut di bawah ini.

1. tak ada yang ia minta
2. meskipun setiap hari kita memijaknya 
3. ia hanya minta dipelihara dijaga

       Bedasarkan paparan di atas kita ketahui bawa Bait 1 ini ditulis dengan menggunakan rima akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata minta di larik 1 yang bersajak dengan kata memijaknya di larik 2 dan kata dijaga di larik 3. Di sini juga ada rima aliterasi di larik 2 yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [m/me] pada kata meskipun yang bersajak dengan kata memijaknya di akhir larik. Di larik 3 juga ada rima aliterai yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [d/di] pada kata dipelihara yang bersajak dengan kata dijaga.
       Bait ini juga ditulis dengan menggunakan ritme yang terasa begitu dominan. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] di setiap kata tak ada yang, ia minta, setiap hari kita memijaknya, ia hanya minta dipelihara dijaga.
       Bait ini juga ditulis dengan menggunakan imaji auditif, di mana kita seakan benar-benar mendengar ucapan sang penyair yang mengatakan bahwa tak ada yang ia minta, meskipun setiap hari kita memijaknya, ia hanya minta dipelihara [dan] dijaga. Secara khusus kita juga seakan mendengar sang bumi bersuara meminta kita untuk memelihara dan menjaganya dari ulah dan perbuatan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Bait ini juga ditlis dengan menggunakan imaji visual kita seakan benar-benar melihat orang-orang menginjak bumi setiap hari, termasuk juga kita di dalamnya.
       Bait 1 ini sepenuhnya ditulis dengan menggunakan majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa: [bumi itu] tak ada yang ia minta, meskipun setiap hari kita memijaknya, ia hanya minta dipelihara [dan] dijaga. Di sini juga ada majas paradoks yaitu untuk menegaskan sesuatu dengan menggunakan dua ungkapan yang bertentangan. Hal ini ditandai dengan larik 1 tak ada yang ia minta padahal di larik 3 ia hanya minta dipelihara [dan] dijaga. Larik 3 ini juga adalah sebuah majas yaitu majas litotes yang mengecilkan arti untuk lebih mempertegas. Hal ini ditandai dengan klausa ia hanya.Padahal yang diinginkan bukan hanya tetapi pemeliharaan dan penjagaan secara intensif.
       Bait 1 ini diawali dengan larik tak ada yang ia minta. Yang dimaksud dengan ia di sini adalah bumi. Berikutnya ada meskipun setiap hari kita memijaknya. Yang dimaksud dengan menginjaknya di sini adalah melakukan perbuatan yang tak bertanggung jawab. Di antaranya adalah penebangan pohon secara besar-besaran yang tidak diimbangi dengan reboisasi yang memadai. Meninggalkan tanah gersang dan gundul. Pertambangan besar-besaran tanpa diimbangi dengan perbaikan lapisan tanah yang memadai. Meninggalkan lobang-lobang bekas galian yang memilukan. Berikutnya ada ungkapan ia hanya minta dipelihara dijaga. Klausa minta dipelihara [dan] dijaga di sini maksudnya adalah agar kelestarian bumi ini selalu dipelihara dengan baik. Hutan-hutannya, gunung-gunungnya, sungai-sungainya termasuk juga laut-luatnya tetap lestari. Jangan ada lagi yang membakar semak, areal persawahan dan hutan-hutannya.. Hal ini akan berakibat fatal dan memicu terjadinya pemanasan global. Jangan ada lagi yang membabat hutan secara besar-besaran. Hal ini berakibat fatal di samping bisa memicu terganggunya paru-paru dunia, juga bisa mendatangkan banjir dan tanah longsor. Jangan ada lagi tambang-tambang yang tak bertanggung jawab, hal ini akan merusak lingkungan dan konservasi tanah.
       Selanjutnya mari kita cermati bait 2 berikut di bawah ini

4. jika marah ranting pecah terbawa badai
5. itu marah yang biasa
6. bila marah kesal menjadijadi lantas ia murka
7. bumi lalu menjadi gempa
8. segala yang menjulang kembali rata
9. siapa yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya
10. kelak terkubur juga dalam pelukannya

Berdasarkan papara di atas kita jetahui bahwa  bait 2 ini ditulis dengan menggunakan rima akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada klausa yang biasa di akhir larik 5 yang bersajak dengan klausa ia murka, menjadi gempa, kembali rata, di atasnya dan pada klausa dalam pelukannya di akhir larik 6 – 10.
        Di sini juga ada rima tengah yang ditandai dengan pengulangan bunyi awalan [me/men] pada kata menjadijadi di tengah larik 6 yang bersajak dengan kata menjadi di larik 7 dan kata menjulang di larik 8. Di sini juga ada rima asonansi dan rima aliterasi. Di larik 4 ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata marah yang bersajak dengan kata ranting. Di sini juga ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a/ah] pada kata marah yang bersajak dengan kata pecah. Bait ini juga ditulis dengan menggunakan ritme yang terbentuk dari pengulangan kata. Hal ini ditandai dengan pengulangan kata marah di larik 4- 6 pada klausa jika marah, marah yang biasa dan klausa bilamarah. Berikutnya ada pengulangan kata yang di larik 5, 8 dan larik 9 pada klausa yang biasa, yang menjulang dan klausa yang begitu hebatpun. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [a] di akhir kata pada kata jika marah, terbawa badai, bila marah, ia murka, menjadi gempa, segala yang menjulang, kembali rata, siapa yang, berkuasa di atasnya, terkubur jua dan pada kata dalam pelukannya.
       Bait ini juga ditulis dengan menggunakan imaji visial. Kita sekan-akan benar-benar melihat ranting [pohon] terbang terbawa badai. Gempa bumi terjadi di mana-mana. Segala yang asalnya ada kini hilang ditelan bumi.
       Bait ini ditulis dengan majas paralellisme yang ditandai dengan dua ungkapan yang sejajar pada pada ungkapan jika marah ranting pecah terbawa badai di larik 4 yang sejajar dan berpasangan dengan ungkapan itu marah yang biasa di larik 5. bila marah kesal menjadijadi lantas ia murka di larik 6 yang sejajar dan berpasangan dengan ungkapan bumi lalu menjadi gempa di larik 7 siapa yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya di larik 9 yang sejajar dan berpasangan dengan ungkapan kelak terkubur juga dalam pelukannya di larik 10.
       Bait ini diawali dengan larik 4 – 6 jika ranting pecah terbawa badai itu marah yang biasa Yang dimaksud dengan ranting pecah di sini adalah pohon. Jadi jika ada pohon yang tumbang diterjang badai itu masih bencana biasa. Sedangkan bencana yang sebenarnya adalah bila marah kesal menjadijadi lantas ia murka, bumi lalu menjadi gempa, segala yang menjulang kembali rata, siapa yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya, kelak terkubur juga dalam pelukannya. Puncak dari semua bencana adalah ketika semua yang dulunya ada dan termasuk juga yang kuat tegap berdiri kokoh itu hilang ditelan bumi.
       Selanjutnya mari kita cermati bait 3 berikut di bawah ini.

11. ia belajar dari pemberian
12. belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan
13. sebagai cirinya yang utama

       Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 3 ini ditulis dengan menggunakan majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan ia belajar dari pemberian di larik 11, [bumi itu] belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan di larik 12. Bait ini juga ditulis dengan menggunakan majas ironis yang ditandai dengan klausa belajar dari pemberian. Padahal yang sebenarnya bukan belajar, malah bumilah yang sebenarnya banyak memberikan pelajaran kepada kita. Agar kita menyadari bahwa banyak sekali yang telah kita dapatkan dari pemberian bumi kepada kita. Baik berupa hasil tanaman, hasil hutan, hasil tambang, bahkan juga hasil lautnya. Bukankah laut itu juga merupakan bagian dari bumi ini? Berikutnya ada ungkapan belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan sebagai cirinya yang utama, Dalam hal ini maka pantaslah kita sebagai khalifah di muka bumi ini belajar keikhlasan lewat bumi yang telah dijadikanNya sebagai contoh keikhlasan. Dan kita harus meyakini ini.
       Selanjutnya mari kita cermati bait 4 di bawah ini.

14. bila laut berombak dan karang lepuh air
15. lalu mencebur daratan
16. bumi mengecil
17. planton-planton pesta pora
18. manusia mau ke mana?

       Bait 4 ini dibangun dengan imaji visual kita seakan-akan benar-benar melihat gelombang lalut menuju pantai dan menenggelamkan sebagian daratan, lalu bumi mengecil. Orang-orang berlarian, sebagian besarnya tak mampu menyelamatkan diri. Bait ini juga dibangun dengan majas enumerasio yang mengungkapkan bagian demi bagian dari kesatuan secara keseluruhan. Hal ini ditandai dengan ungkapan bila laut berombak dan karang lepuh air lalu mencebur daratan, bumi mengecil,[lalu] plantonplanton pesta pora, [lalu] manusia mau ke mana? Bait 4 ini diakhiri dengan majas retoris yang ditandai dengan tanda tanya [?]. Bait 4 ini diawali dengan larik bila laut berombak dan karang lepuh air lalu mencebur daratan. Yang dimaksud dengan laut berombak dan karang lepuh air di sini adalah datangnya gelombang laut gelombang pasang air laut yang panas. Ungkapan mencebur daratan maknanya gelombang pasang itu telah menenggelamkan daratan. Berikutnya bumi mengecil dan plantonplanton berpesta pora manusia mau ke mana? Inilah yang terjadi sebagaimana yang telah terjadi pada peristiwa tsunami beberapa tahun yanga lalu. Bait 4 ini di akhiri dengan pertanyaan retoris, manusia mau ke mana?
       Terakhir marilah kita cermati bait 5 berikut di bawah ini

19. jangan dirusak hutan
20. hutan kelak akan ingkar dari aksi menahan tsunami
21. jika gunung menyembul
22. tanda bumi siap menggelegar tak diwaspadai
23. jutaan makhluk jadi punah
24. peliharalah bumi
25. seperti memelihara cinta
23. di sekujur hati

       Bait 5 ini dibangun dengan rima akhir. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [i] pada kata tsunami di larik 18 yang bersajak dengan kata diwaspadai di larik 19, kata bumi di larik 21 dan katahati di larik 23. Di larik 17 ada pengulangan bunyi konsonan [n/an] ada kata jangan yang bersajak dengan kata hutan. Demikian juga di larik 18 ada pengulangan bunyi konsonan [n/an] ada katahutan yang bersajak dengan kata akan dan kata menahan. Di sini juga ada pengulangan bunyi vokal [i] pada kata ingkar yang bersajak dengan kata dari, kata aksi dan kata tsunami.Bait 5 ini juga diperindah dengan ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi [an] pada katajangan, hutan, hutan, akan, menahan, dan pada kata jutaan.Bait ini juga diperindah dengan ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi vokal [i] pada klausajangan dirusak, akan ingkar, dari aksi, menahan tsunami, jika gunung, bumi siap, tak diwaspadai, jadi punah, peliharalah bumi, seperti memelihara cinta, dan pada klausa di sekujur hati.Bait 5 ini juga dibangun dengan imaji auditif sekaligus juga imaji visual. Kita seakan mellbat sekaligus mendengar seseorang yang memberitahukan bahkan melarang agar kita jangan merusak hutan. Jika hutan itu rusak maka terbayang, kita seakan benar-benar melihat apa yang terjadi karenanya. Hutan tak bisa menahan air, akibatnya adalah datangnya bencana banjir melanda di mana-mana. Kita juga seakan melihat gunung berapi yang tak di waspadai tepatnya prediksi yang kurang tepat, lalu gnung itu meletus, lalu menyemburkan asap dan memuntahkan laharnya ke mana-mana. Pada saat yang sama kita juga seakan melihat jutaan makhluk hidup punah seketika.Di bait ini kita juga seakan mendengar anjuran bahkan peringatan kita harus memelihara bumi seperti juga kira memelihara cinta di hati kita.Bait 5 ini juga dibangun dengan majas ekslamasio, personifikasi, paralelisme, hiperbola, totem pro parte dan majas simile. Di larik 17 ada majas ekslamasio yang mengungkapkan seruan serius ditandai dengan larangan serius jangan di rusak hutan, meskipun di sini tak ada tanda baca seru [!]. Di larik 18 ada majas personifikasi yang ditandai dengan klausa hutan kelak akan ingkar. Di larik 19 ada majas paralelisme yang menggunakan 2 ungkapan yang setara. Hal ini ditandai dengan adanya klausa jika gunung [sudah] menyembul yang setara dengan klausa tanda[nya] bumi siap menggelegar. Di larik 20 ada majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan jutaan makhluk. Di larik 21 ada majas totem pro parte yang ditandai dengan ungkapan peliharalah bumi. Sedangkan larik 21 dan 22 merupakan satu kesatuan majas yaitu majas simile yang ditandai dengan kata seperti. Dfan terakhi oada larik 23 ada majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan sekujur hati.Bait 5 ini diawali dengan untaian larik jangan dirusak hutan. Ini adalah peringatan serius agar kita jangan merusak hutan. Unkapan ini mengingatkan kita pada kerusakan hutan akibat ulah tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan hutan di sini maksudnya adalah pembabatan hutandan penambangan besar-besaran. Ujung-ujungnya banjir bandang melanda di mana-mana, tanah longsor dll dsb.Di larik 18 ada klausa menahan tsunami. Secara denotatif kata tsunami adalah bencana yang pernah melanda di Aceh itu. Tetapi secara konotatif tsunami di sini adalah banjir bandang yang hampir sama dengan tsunami itu. Di larik 19 dan 20 ada ungkapan gunung menyembul tanda bumi siap menggelegar tak diwaspadai. Jutaan makhluk jadi punah. Ungkapan ini maknanya adalah bencana gunung meletus yang jika tidak antisipasi pasti akan memusnahkan jutaan makhluk hidup. Dan terakhir di larik 21-23 ada ungkapan peliharalah bumi seperti memelihara cinta di sekujur hati. Kata bumi di sini maksudnya adalah hutan, gunung dan hamparan tanahnya yang subur, termasuk juga hasil tambang yang berada di dalamnya. Berrrikutbanbg dimaksud dengan peliharalah bumi maksudnya adalah jagalah kelestarian alam lingkungan hidup dengan sepenuh hati. 
***
       Puisi Muhammad Rain ini berjudul ILMU BUMI. Judul ini mengingatkan kita pada mata pelajaran biografi yang diajarkan di sekolah-sekolah dan sampai di perguruan tinggi. Berdasarkan judulnya ini, maka puisi ini masuk dalam Puisi Pernasian. Puisi yang dikembangkaan oleh penyair-penyair ilmuan Perancis pada pertengahan abad ke 19. Di Indonesia puisi pernasian ini di antaranya dikembangkan oleh penyair dramawan WS Rendra di salah satunya puisi yang berjudul Potret Pembangunan yang bermuatan teori ekonomi dan sosiologi.Membaca ungkapan yang tertuang dalam larik-lariknya, puisi ini masuk dalam koridor puisi deskriptif impresionistik yang mengungkapkan kesan penyair Muhammad Rain tentang fenomena alam dan kelestariannya yang sudah terusik dan terus terusik oleh ulah tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab ditambah lagi dengan bencana alam yang datang tak terduga dan sulit ditebak.Puisi ILMU BUMI Muhammad Rain ini adalah puisi yang bermuatan geografi dan biologi yang berlatar belakang fenomena alam dan pelestarian alam yang berbaur dengan bencana alam yang datang tak terduga. Karenanya puisi ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan. Puisi ini juga ditulis dengan citarasa estetika puisi yang begitu puitis dengan amanat dan pesan moralnya yang mengarahkan kita pada kesadaran nasional betapa pentingnya memelihara kelestarian alam lingkungan agar terpelihara dari segala bencana yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan.Adapun amanat pesan moral yang terkandung dalam puisi ni tersurat jelas di bagian akhir yakni pada bait 5 larik 21- 23 yaitu peliharalah bumi seperti memelihara cinta di sekujur hati. Demikianlah kiranya apa yang diungkapkan Muhammad Rain penyair tanah rencong lewat puisi ini. Selamat menikmati.

Banjarmsin, 08012013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar