MENGENAL PENYAIR
ACEH MUHAMAD RAIN MELALUI PUISI ILMU BUMI
Muhammad Rain Penyair kelahiran
Peureulak, Aceh Timur 14 September 1981 ini kini ia giat mempelopori pembacaan
puisi berkeliling dari kota ke kota, dari satu tempat ke tempat yang lain di
wilayah Provinsi Aceh.
Alumnus Pascasarjana Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia Unsyiah Aceh ini sehari-harinya ia adalah guru SMAN 4
Langsa, Aceh dan aktif sebagai Dosen beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan
Swasta di Provinsi Aceh. Ia juga menjadi Fasilitator Guru Bahasa Indonesia
se-Aceh Timur tahun 2007 dan 2010. Dalam kesibukannya itu ia juga rajin menulis
puisi, cerpen dan naskah drama. Di sini kita akan mengenal lebih dekat dengan
Muhamad Rain melalui puis ILMU BUMI.
***
ILMU
BUMI
tak
ada yang ia minta
meskipun
setiap hari kita memijaknya
ia
hanya minta dipelihara dijaga
jika
marah ranting pecah terbawa badai
itu
marah yang biasa
bila
marah kesal menjadi-jadi lantas ia murka
bumi
lalu menjadi gempa
segala
yang menjulang kembali rata
siapa
yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya
kelak
terkubur juga dalam pelukannya
ia
belajar dari pemberian
belajar
dari keikhlasan dan meyakini kehidupan
sebagai
cirinya yang utama
bila
laut berombak dan karang lepuh air
lalu
mencebur daratan
bumi
mengecil
planton-planton
pesta pora
manusia
mau ke mana?
jangan
dirusak hutan
hutan
kelak akan ingkar dari aksi menahan tsunami
jika
gunung menyembul
tanda
bumi siap menggelegar tak diwaspadai
jutaan
makhluk jadi punah
peliharalah
bumi seperti memelihara cinta
di
sekujur hati
Banda
Aceh 12 Juni 2012
Berdaarkan paparan di atas kita ketahui
bahwa puisi ILMU BUMI karya Muhammad Rain ini ditulis dengan menggunakan
tipografi konvesional yang terdiri dari 5 bait dengan larik-larik yang
bervariasi antara larik-larik pendek dan larik-larik yang panjang. Bait 1
terdiri dari 3 larik. Bait 2 terdiri dari 7 larik. Bait 3 terdiri dari 3 larik.
Bait 4 terdiri dari 5 larik, dan bait 5 terdiri dari 7 larik. Jadi semua
lariknya berjumlah 25 larik.
Marilah kita awali analisis ini dengan
mencermati bait 1 berikut di bawah ini.
1.
tak ada yang ia minta
2.
meskipun setiap hari kita memijaknya
3.
ia hanya minta dipelihara dijaga
Bedasarkan paparan di atas kita ketahui
bawa Bait 1 ini ditulis dengan menggunakan rima akhir yang tertata rapi. Hal
ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata minta di larik
1 yang bersajak dengan kata memijaknya di larik 2 dan kata dijaga
di larik 3. Di sini juga ada rima aliterasi di larik 2 yang ditandai dengan
pengulangan bunyi konsonan [m/me] pada kata meskipun yang bersajak
dengan kata memijaknya di akhir larik. Di larik 3 juga ada rima aliterai
yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [d/di] pada kata dipelihara
yang bersajak dengan kata dijaga.
Bait ini juga ditulis dengan menggunakan
ritme yang terasa begitu dominan. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi
vokal [a] di setiap kata tak ada yang, ia minta, setiap hari kita
memijaknya, ia hanya minta dipelihara dijaga.
Bait ini juga ditulis dengan menggunakan
imaji auditif, di mana kita seakan benar-benar mendengar ucapan sang penyair
yang mengatakan bahwa tak ada yang ia minta, meskipun setiap hari kita
memijaknya, ia hanya minta dipelihara [dan] dijaga. Secara khusus kita juga
seakan mendengar sang bumi bersuara meminta kita untuk memelihara dan
menjaganya dari ulah dan perbuatan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Bait ini juga ditlis dengan menggunakan imaji visual kita seakan benar-benar
melihat orang-orang menginjak bumi setiap hari, termasuk juga kita di dalamnya.
Bait 1 ini sepenuhnya ditulis dengan
menggunakan majas personifikasi yang ditandai dengan ungkapan yang
menyatakan bahwa: [bumi itu] tak ada yang ia minta, meskipun setiap hari kita
memijaknya, ia hanya minta dipelihara [dan] dijaga. Di sini juga ada majas
paradoks yaitu untuk menegaskan sesuatu dengan menggunakan dua ungkapan
yang bertentangan. Hal ini ditandai dengan larik 1 tak ada yang ia minta
padahal di larik 3 ia hanya minta dipelihara [dan] dijaga. Larik
3 ini juga adalah sebuah majas yaitu majas litotes yang mengecilkan arti
untuk lebih mempertegas. Hal ini ditandai dengan klausa ia hanya.Padahal
yang diinginkan bukan hanya tetapi pemeliharaan dan penjagaan secara
intensif.
Bait 1 ini diawali dengan larik tak
ada yang ia minta. Yang dimaksud dengan ia di sini adalah bumi.
Berikutnya ada meskipun setiap hari kita memijaknya. Yang dimaksud
dengan menginjaknya di sini adalah melakukan perbuatan yang tak
bertanggung jawab. Di antaranya adalah penebangan pohon secara
besar-besaran yang tidak diimbangi dengan reboisasi yang memadai. Meninggalkan
tanah gersang dan gundul. Pertambangan besar-besaran tanpa diimbangi dengan
perbaikan lapisan tanah yang memadai. Meninggalkan lobang-lobang bekas galian
yang memilukan. Berikutnya ada ungkapan ia hanya minta dipelihara dijaga.
Klausa minta dipelihara [dan] dijaga di sini maksudnya adalah
agar kelestarian bumi ini selalu dipelihara dengan baik. Hutan-hutannya,
gunung-gunungnya, sungai-sungainya termasuk juga laut-luatnya tetap lestari.
Jangan ada lagi yang membakar semak, areal persawahan dan hutan-hutannya.. Hal
ini akan berakibat fatal dan memicu terjadinya pemanasan global. Jangan ada
lagi yang membabat hutan secara besar-besaran. Hal ini berakibat fatal di
samping bisa memicu terganggunya paru-paru dunia, juga bisa mendatangkan banjir
dan tanah longsor. Jangan ada lagi tambang-tambang yang tak bertanggung jawab,
hal ini akan merusak lingkungan dan konservasi tanah.
Selanjutnya mari kita cermati bait 2
berikut di bawah ini
4.
jika marah ranting pecah terbawa badai
5.
itu marah yang biasa
6.
bila marah kesal menjadijadi lantas ia murka
7.
bumi lalu menjadi gempa
8.
segala yang menjulang kembali rata
9.
siapa yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya
10.
kelak terkubur juga dalam pelukannya
Berdasarkan
papara di atas kita jetahui bahwa bait 2
ini ditulis dengan menggunakan rima akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai
dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada klausa yang biasa di akhir larik
5 yang bersajak dengan klausa ia murka, menjadi gempa, kembali rata,
di atasnya dan pada klausa dalam pelukannya di akhir larik 6 – 10.
Di sini juga ada rima tengah yang
ditandai dengan pengulangan bunyi awalan [me/men] pada kata menjadijadi
di tengah larik 6 yang bersajak dengan kata menjadi di larik 7 dan kata menjulang
di larik 8. Di sini juga ada rima asonansi dan rima aliterasi. Di larik 4 ada
rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata marah
yang bersajak dengan kata ranting. Di sini juga ada rima asonansi yang
ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a/ah] pada kata marah yang
bersajak dengan kata pecah. Bait ini juga ditulis dengan menggunakan
ritme yang terbentuk dari pengulangan kata. Hal ini ditandai dengan pengulangan
kata marah di larik 4- 6 pada klausa jika marah, marah yang biasa
dan klausa bilamarah. Berikutnya ada pengulangan kata yang di larik 5, 8
dan larik 9 pada klausa yang biasa, yang menjulang dan klausa yang
begitu hebatpun. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan
bunyi vokal [a] di akhir kata pada kata jika marah, terbawa badai, bila
marah, ia murka, menjadi gempa, segala yang menjulang, kembali rata, siapa
yang, berkuasa di atasnya, terkubur jua dan pada kata dalam pelukannya.
Bait ini juga ditulis dengan menggunakan
imaji visial. Kita sekan-akan benar-benar melihat ranting [pohon] terbang
terbawa badai. Gempa bumi terjadi di mana-mana. Segala yang asalnya ada kini
hilang ditelan bumi.
Bait ini ditulis dengan majas
paralellisme yang ditandai dengan dua ungkapan yang sejajar pada pada ungkapan jika
marah ranting pecah terbawa badai di larik 4 yang sejajar dan berpasangan
dengan ungkapan itu marah yang biasa di larik 5. bila marah kesal
menjadijadi lantas ia murka di larik 6 yang sejajar dan berpasangan dengan
ungkapan bumi lalu menjadi gempa di larik 7 siapa yang begitu
hebatpun berkuasa di atasnya di larik 9 yang sejajar dan berpasangan dengan
ungkapan kelak terkubur juga dalam pelukannya di larik 10.
Bait ini diawali dengan larik 4 – 6 jika
ranting pecah terbawa badai itu marah yang biasa Yang dimaksud dengan
ranting pecah di sini adalah pohon. Jadi jika ada pohon yang tumbang diterjang
badai itu masih bencana biasa. Sedangkan bencana yang sebenarnya adalah bila
marah kesal menjadijadi lantas ia murka, bumi lalu menjadi gempa, segala yang
menjulang kembali rata, siapa yang begitu hebatpun berkuasa di atasnya, kelak
terkubur juga dalam pelukannya. Puncak dari semua bencana adalah ketika semua
yang dulunya ada dan termasuk juga yang kuat tegap berdiri kokoh itu hilang
ditelan bumi.
Selanjutnya mari kita cermati bait 3
berikut di bawah ini.
11.
ia belajar dari pemberian
12.
belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan
13.
sebagai cirinya yang utama
Berdasarkan
paparan di atas kita ketahui bahwa bait 3 ini ditulis dengan menggunakan majas
personifikasi yang ditandai dengan ungkapan ia belajar dari pemberian di
larik 11, [bumi itu] belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan di
larik 12. Bait ini juga ditulis dengan menggunakan majas ironis yang ditandai
dengan klausa belajar dari pemberian. Padahal yang sebenarnya bukan
belajar, malah bumilah yang sebenarnya banyak memberikan pelajaran kepada kita.
Agar kita menyadari bahwa banyak sekali yang telah kita dapatkan dari pemberian
bumi kepada kita. Baik berupa hasil tanaman, hasil hutan, hasil tambang, bahkan
juga hasil lautnya. Bukankah laut itu juga merupakan bagian dari bumi ini?
Berikutnya ada ungkapan belajar dari keikhlasan dan meyakini kehidupan
sebagai cirinya yang utama, Dalam hal ini maka pantaslah kita sebagai
khalifah di muka bumi ini belajar keikhlasan lewat bumi yang telah dijadikanNya
sebagai contoh keikhlasan. Dan kita harus meyakini ini.
Selanjutnya mari kita cermati bait 4 di
bawah ini.
14.
bila laut berombak dan karang lepuh air
15.
lalu mencebur daratan
16.
bumi mengecil
17.
planton-planton pesta pora
18.
manusia mau ke mana?
Bait 4 ini dibangun dengan imaji visual
kita seakan-akan benar-benar melihat gelombang lalut menuju pantai dan
menenggelamkan sebagian daratan, lalu bumi mengecil. Orang-orang berlarian,
sebagian besarnya tak mampu menyelamatkan diri. Bait ini juga dibangun dengan
majas enumerasio yang mengungkapkan bagian demi bagian dari kesatuan secara
keseluruhan. Hal ini ditandai dengan ungkapan bila laut berombak dan karang
lepuh air lalu mencebur daratan, bumi mengecil,[lalu] plantonplanton pesta
pora, [lalu] manusia mau ke mana? Bait 4 ini diakhiri dengan majas retoris yang
ditandai dengan tanda tanya [?]. Bait 4 ini diawali dengan larik bila laut
berombak dan karang lepuh air lalu mencebur daratan. Yang dimaksud dengan laut
berombak dan karang lepuh air di sini adalah datangnya gelombang laut gelombang
pasang air laut yang panas. Ungkapan mencebur daratan maknanya gelombang pasang
itu telah menenggelamkan daratan. Berikutnya bumi mengecil dan plantonplanton
berpesta pora manusia mau ke mana? Inilah yang terjadi sebagaimana yang telah
terjadi pada peristiwa tsunami beberapa tahun yanga lalu. Bait 4 ini di akhiri
dengan pertanyaan retoris, manusia mau ke mana?
Terakhir marilah kita cermati bait 5
berikut di bawah ini
19.
jangan dirusak hutan
20.
hutan kelak akan ingkar dari aksi menahan tsunami
21.
jika gunung menyembul
22.
tanda bumi siap menggelegar tak diwaspadai
23.
jutaan makhluk jadi punah
24.
peliharalah bumi
25.
seperti memelihara cinta
23.
di sekujur hati
Bait
5 ini dibangun dengan rima akhir. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi
vokal [i] pada kata tsunami di larik 18 yang bersajak dengan kata diwaspadai di
larik 19, kata bumi di larik 21 dan katahati di larik 23. Di larik 17 ada
pengulangan bunyi konsonan [n/an] ada kata jangan yang bersajak dengan kata
hutan. Demikian juga di larik 18 ada pengulangan bunyi konsonan [n/an] ada
katahutan yang bersajak dengan kata akan dan kata menahan. Di sini juga ada
pengulangan bunyi vokal [i] pada kata ingkar yang bersajak dengan kata dari,
kata aksi dan kata tsunami.Bait 5 ini juga diperindah dengan ritme yang terbentuk
dari pengulangan bunyi [an] pada katajangan, hutan, hutan, akan, menahan, dan
pada kata jutaan.Bait ini juga diperindah dengan ritme yang terbentuk dari
pengulangan bunyi vokal [i] pada klausajangan dirusak, akan ingkar, dari aksi,
menahan tsunami, jika gunung, bumi siap, tak diwaspadai, jadi punah,
peliharalah bumi, seperti memelihara cinta, dan pada klausa di sekujur
hati.Bait 5 ini juga dibangun dengan imaji auditif sekaligus juga imaji visual.
Kita seakan mellbat sekaligus mendengar seseorang yang memberitahukan bahkan
melarang agar kita jangan merusak hutan. Jika hutan itu rusak maka terbayang,
kita seakan benar-benar melihat apa yang terjadi karenanya. Hutan tak bisa
menahan air, akibatnya adalah datangnya bencana banjir melanda di mana-mana.
Kita juga seakan melihat gunung berapi yang tak di waspadai tepatnya prediksi
yang kurang tepat, lalu gnung itu meletus, lalu menyemburkan asap dan
memuntahkan laharnya ke mana-mana. Pada saat yang sama kita juga seakan melihat
jutaan makhluk hidup punah seketika.Di bait ini kita juga seakan mendengar
anjuran bahkan peringatan kita harus memelihara bumi seperti juga kira
memelihara cinta di hati kita.Bait 5 ini juga dibangun dengan majas ekslamasio,
personifikasi, paralelisme, hiperbola, totem pro parte dan majas simile. Di
larik 17 ada majas ekslamasio yang mengungkapkan seruan serius ditandai dengan
larangan serius jangan di rusak hutan, meskipun di sini tak ada tanda baca seru
[!]. Di larik 18 ada majas personifikasi yang ditandai dengan klausa hutan
kelak akan ingkar. Di larik 19 ada majas paralelisme yang menggunakan 2
ungkapan yang setara. Hal ini ditandai dengan adanya klausa jika gunung [sudah]
menyembul yang setara dengan klausa tanda[nya] bumi siap menggelegar. Di larik
20 ada majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan jutaan makhluk. Di larik
21 ada majas totem pro parte yang ditandai dengan ungkapan peliharalah bumi.
Sedangkan larik 21 dan 22 merupakan satu kesatuan majas yaitu majas simile yang
ditandai dengan kata seperti. Dfan terakhi oada larik 23 ada majas hiperbola
yang ditandai dengan ungkapan sekujur hati.Bait 5 ini diawali dengan untaian
larik jangan dirusak hutan. Ini adalah peringatan serius agar kita jangan
merusak hutan. Unkapan ini mengingatkan kita pada kerusakan hutan akibat ulah
tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Kerusakan hutan di sini maksudnya
adalah pembabatan hutandan penambangan besar-besaran. Ujung-ujungnya banjir
bandang melanda di mana-mana, tanah longsor dll dsb.Di larik 18 ada klausa
menahan tsunami. Secara denotatif kata tsunami adalah bencana yang pernah
melanda di Aceh itu. Tetapi secara konotatif tsunami di sini adalah banjir
bandang yang hampir sama dengan tsunami itu. Di larik 19 dan 20 ada ungkapan
gunung menyembul tanda bumi siap menggelegar tak diwaspadai. Jutaan makhluk
jadi punah. Ungkapan ini maknanya adalah bencana gunung meletus yang jika tidak
antisipasi pasti akan memusnahkan jutaan makhluk hidup. Dan terakhir di larik
21-23 ada ungkapan peliharalah bumi seperti memelihara cinta di sekujur hati.
Kata bumi di sini maksudnya adalah hutan, gunung dan hamparan tanahnya yang
subur, termasuk juga hasil tambang yang berada di dalamnya. Berrrikutbanbg
dimaksud dengan peliharalah bumi maksudnya adalah jagalah kelestarian alam
lingkungan hidup dengan sepenuh hati.
***
Puisi Muhammad Rain ini berjudul
ILMU BUMI. Judul ini mengingatkan kita pada mata pelajaran biografi yang
diajarkan di sekolah-sekolah dan sampai di perguruan tinggi. Berdasarkan
judulnya ini, maka puisi ini masuk dalam Puisi Pernasian. Puisi yang dikembangkaan
oleh penyair-penyair ilmuan Perancis pada pertengahan abad ke 19. Di Indonesia
puisi pernasian ini di antaranya dikembangkan oleh penyair dramawan WS Rendra
di salah satunya puisi yang berjudul Potret Pembangunan yang bermuatan teori
ekonomi dan sosiologi.Membaca ungkapan yang tertuang dalam larik-lariknya,
puisi ini masuk dalam koridor puisi deskriptif impresionistik yang
mengungkapkan kesan penyair Muhammad Rain tentang fenomena alam dan
kelestariannya yang sudah terusik dan terus terusik oleh ulah tangan-tangan
yang tidak bertanggung jawab ditambah lagi dengan bencana alam yang datang tak
terduga dan sulit ditebak.Puisi ILMU BUMI Muhammad Rain ini adalah puisi yang
bermuatan geografi dan biologi yang berlatar belakang fenomena alam dan pelestarian
alam yang berbaur dengan bencana alam yang datang tak terduga. Karenanya puisi
ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan. Puisi ini juga ditulis dengan
citarasa estetika puisi yang begitu puitis dengan amanat dan pesan moralnya
yang mengarahkan kita pada kesadaran nasional betapa pentingnya memelihara
kelestarian alam lingkungan agar terpelihara dari segala bencana yang
diakibatkan oleh kerusakan lingkungan.Adapun amanat pesan moral yang terkandung
dalam puisi ni tersurat jelas di bagian akhir yakni pada bait 5 larik 21- 23
yaitu peliharalah bumi seperti memelihara cinta di sekujur hati. Demikianlah
kiranya apa yang diungkapkan Muhammad Rain penyair tanah rencong lewat puisi
ini. Selamat menikmati.
Banjarmsin,
08012013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar