Ada Rindu Dilanda Badai
Hamberan Syahbana
Biasanya orang
mudik kan menjelang lebaran? Ini bukan lebaran, bahkan tahun baru pun sudah
lama berlalu. Lagi pula berpuluh lebaran yang lalu aku juga tidak mudik.
Sejujurnya ini bukan mudik, tapi lari dari Jakarta. Karena kini Jakarta bukan lagi
kota yang menjanjikan, tetapi bagiku lebih mendekati sebagai kota mati.
Keadaanku kini biasa-biasa
saja, bukan orang kaya. Mereka bingung, bahkan ada yang mempertanyakan kehalalan
uang yang kukirimkan selama ini. Uang halal atau hasil korupsi? Ah, jangan buruk
sangka. Mereka juga tahu bahwa aku bukan pejabat negara, bukan anggota DPR.
Semua uang yang ada adalah uangku sendiri. Apa yang bisa aku korupsi?
Tapi yang
menyesakkan dada ini, kudengar mereka tidak suka aku pulang kampung. Katanya kalau
pulang kampung, apa bedanya dengan mereka? Aku sama saja dengan mereka. Kalau
sama memangnya kenapa? Apa tidak boleh? Mereka bilang, ya boleh-boleh saja,
tapi lihat renovasi mesjid dan jembatan itu tidak selesai-selesai kan?
“Coba kalau kamu
masih di Jakarta, kamu bisa mengirim uang seperti biasa kan?” Teganya.mereka ya?
Apa tidak bisa tenggang rasa sedikit? Apa mereka lupa? Aku bukan pengusaha yang
sukses lagi. Aku bukan konglomerat lagi. Kini aku adal;ah mantan pengusaha yang
bangkrut total. Semua asset kekayaanku habis disita, kemudia di lelang untuk
membayar hutang-hgutangku. Itupun masih belum cukup.Mau bagaimana lagi? Akibatnya
tidak ada lagi uang kiriman untuk pembangunan di kampung halamanku.
***
“Ah, mengapa jadi
runyam begini? Apa salah kalau kita pulang kampung? Ini kan kampung halaman
kita,” guman istriku pada malam harinya.
“Kak Haji,
sebaiknya kita kembali ke Jakarta saja,” usul istriku.
“Tidak bisa
begitu. Ini kan kampung halaman kita sendiri? Kenapa kita harus kembali ke
Jakarta?”
“Mereka tidak
suka kita pulang kampung, Pak.”
“Siapa? Siapa
yang tidak senang?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
Mereka itu bisa
siapa saja. Ke Jakarta? Mau apa disana? Lagi pula mau tinggal di mana?
Barangkali bisa mengontrak rumah. Kontrakan rumah di Jakarta itu mahal. Atau
menumpang di rumah Ifin atau di rumah Dulah Tapi usaha Ifin dan Dulah juga belum
apa-apa. Lagi pula mereka masih menumpang sama mertua. Mengontrak? Mau dibayar
dengan apa? Di sana aku tidak bekerja. Mau makan apa?
“Ya makan nasi
lah, masa makan batu! Disini juga Bapak tidak kerja,” kata istriku.
Tidak kerja katanya? Aku ini kan petani!
Meskipun hanya diam di rumah. Tapi bagian hasil sawah-sawah dari para penggarap itu melebihi keperluan makan satu
tahun. Ditambah dengan hasil kebun kelapa. Itu jauh lebih baik dari pada kita
tinggal di Jakarta.
“Pokoknya Ibu
mau kembali ke Jakarta. Sakit telinga Ibu mendengar ocehan mereka. Apa Bapak
tidak tahu tadi sore mereka rapat di Balai Desa? ”
“Ya Bapak tahu,
tapi Bapak tidak ikut rapat, karena tidak diundang. Dan ocehan itu tidak perlu dibesar-besarkan,
lagi pula itu cuma segelintir.”
“Cuma
segelintir?” sanggah istriku. “Nanti jadi satu RT bahkan jadi satu kampung.”
Benar juga, waktu
jaya aku disanjung-sanjung, sekarang ya begini ini. Uang itu haram, hasil
korupsi. Entah apa lagi yang mereka tuduhkan? Padahal semuanya halal. Tak ada
sedikitpun uang haram. Tentu saja tidak semuanya berasal dari uang pribadiku.
Barangkali memang ada uang yang tidak halal. Tapi itu bukan kami. Maklum uang
kiriman itu lebih banyak berasal dari infak shodaqah dan sumbangan meski
berbeda profesi, dan berbeda keyakinan. Orang mau menyumbang masa harus aku
tolak?
“Amal ibadah itu
jangan diungkit-ungkit lagi. Nanti hilang pahalanya. Istigfar Bu.”
“Astaghfirullaahul adziim, kok jadi begini ya?”
“Sebenarnya itu
masalah biasa, nanti juga akan selesai dengan sendirinya. Asal sabar pasti ada
jalan keluarnya. Menghadapi keadaan ini aku tidak boleh gegabah. Kesalahan
sedikit saja akan fatal akibatnya. Sabar dan berpikiran jernih itulah kuncinya.”
“Enak saja Bapak
bilang sabar. Pokoknya kita harus ke Jakarta.”
“ Jangan, jangan pergi”
“ Keputusan Ibu
sudah bulat. Mereka juga tidak mengharapkan keberadaan kita.”
Inilah pertama
kalinya aku berbeda pendapat. Istriku kesal dan langsung masuk kamar lalu
menutup pintu dan tidak keluar-keluar lagi. Sementara di langit-pangit rumah,
seekor cecak jantan mengejar cecak betina dan hilang entah ke mana. Jam dinding
menunjukan pukul sepuluh malam. Aku terpaksa tidur di ruang tamu. Inilah
pertama kalinya kami tidur sendiri-sendiri di bawah satu atap.
Pukul dua lebih empat puluh tujuh menit, aku
masih belum bisa tidur. Apakah istriku sudah tertidur lelap? Subuhnya tak ada
sholat berjamaah, tak ada doa bersama, tak ada cium tangan suami. Yang lebih
kacau lagi, tidak ada sarapan bersama.
***
Warung Julak Bayah pagi itu penuh dengan langganannya. Tua-muda,
kakek-nenek sampai cucu-cucunya semua sarapan di warung. Rasanya aneh kalau ada
yang sarapan di rumah. Kalau sampai dua atau tiga hari tidak sarapan di warung,
keberadaannya dipertanyakan. Ada apa dengan dia? Sakitkah dia? Atau apakah?
Nampaknya sarapan di warung sudah menjadi kewajiban. Menunya juga khas kalau
tidak nasi kuning tentulah ketupat Kandangan. Seperti biasa sendau gurau
menyatu dengan berbagai informasi. Dalam waktu satu jam semua informasi mudah
didapat di sini.
Orang-orang di warung Julak Bayah begitu
asiknya menikmati katupat kandangan, menu khusus sarapan pagi. Perlahan
kudekati mereka, tiba-tiba semuanya terpaku tanpa suara. Kucoba menghampiri
mereka dengan senyuman, lalu kusalami satu persatu, kemudian kumemilih tempat
duduk, lalu kupesan satu porsi ketupat kandangan..
“Hei? Tidak
biasanya Pak Haji sarapan di warung,” sapa yang duduk disampingku.
“Sekali-sekali
makan katupat bersama kalian boleh kan?”
“Ya boleh lah,
masa tidak boleh?” sahut mereka bersamaan.
“Tidak ada
rencana kembali ke Jakarta Pak Haji?” tanya salah seorang remaja.
“Kita ini kan
seperti burung, jauh-jauh terbang akhirnya kembali ke sarang juga.”
“Tapi menurut
saya, sebaiknya Pak Haji bikin partai baru saja di Jakarta. Saya siap jadi
calegnya, kok. Saya yakin, satu kampung pasti memilih saya. Suara terbanyak
kan?” gurauan yang lain sambil tertawa.
“Ah kau ini.
Jadi sekretaris RT saja tidak becus, mau jadi anggota DPR,” celetuk yang lain.
Maka ramailah gelak tawa di warung Julak bayah.
Aku hanya
tersenyum sementara Julak Bayah menyerahkan porsi ketupat pesananku. Langsung kuambil
sedikit sambal binjai lalu kumasukan dan kuaduk pada kuah ketupat di piring.
Setelah berdoa maka santapan istmewa itu pun masuk ke mulutku. Luar biasa
nikmatnya.. Aroma binjai itu sangat tajam memancing selera.
“Masih suka
makan ketupat ya?” tanya yang lain ketika melihatku begitu berselera.
“Pastilah, ini
kan makanan kesukaan kita turun temurun. Sambal binjainya yang khas ini yang
bikin kita ketagihan,” jawabku tersenyum sambil menyapu keringat yang membasahi
dahiku.
“Kata orang di Jakarta
itu usaha apa saja bisa jadi duit ya?”
“Ah saja sama,
asal bisa melihat peluang, bisa jadi duit. Tergantung rezekinya.”
Tidak ada yang
istimewa dalam pembicaraan kami, semua biasa saja. Tidak seperti kabar burung
kemaren yang sampai ke telingaku. Konon kabarnya, di belakangku banyak ocehan,
ledekan, gibahan, sindiran, hujatan, bahkan caci maki yang tidak enak didengar.
Dan mereka juga tidak tahu bahwa aku sarapan disini karena ada cekcok di rumah.
Ini juga gara-gara ocehan mereka.
Pagi ini benar-benar terasa payah. Sehabis
sarapan kucoba mencairkan suasana tetapi tidak berhasil. Dengan hati gundah aku
joging sendiri sekeliling kampung. Baru beberapa ratus meter terasa ada yang
mengganjal di hatiku. Aku cepat-cepat pulang. Ternyata benar, istriku sudah
siap dengan barang bawaannya.
“Tunggu, tunggu.,” kataku. “Apa Ibu
benar-benar mau ke Jakarta?”
“Ya, kampung ini
makin panas. Ibu akan pergi bersama Ifin”
“ Ifin kan masih
di Jakarta, bagaimana mungkin?”
“ Dia akan
menjemput Ibu pagi ini. Tadi malam dia bilang akan datang pagi ini”
“Tidak bisa
begini! Kita pulang kampung bersama dan pergi juga harus bersama. Tapi Bapak
tidak setuju. Dan kita tetap tinggal disini! Lagi pula kalau kita pergi rumah
ini jadi kosong, akan menjadi sarang syaitan!” kataku keras dan geram. Inilah
pertama kalinya aku membentak istriku.
Belakangan ini
terasa sangat kacau. Sebenarnya aku sangat merindukan ketenangan. Bagaimana ini
bisa terjadi? Inikah yang dinamakan ada rindu dilanda badai.
***
Sebenarnya aku ingin hidup damai di desa ini,
rindu kampung halaman yang lama kutinggalkan. Ingin bernostalgia bagaimana
manisnya awal-awal hubungan kami dulu. Tapi semuanya gagal berantakan. Ini
gara-gara mereka tidak suka kami pulang kampung.
Tiba-tiba jauh di luar sana nampak
berpuluh-puluh warga bergegas bergerak menuju ke sini, dipimpin oleh seseorang
yang ganas dan beringas. Pasti mereka mau mengusir kami. Orang-orang itu kini
sudah berada di halaman.
Istriku juga garang siap menghadapi mereka
semua. Sorot matanya tajam menatap mereka satu persatu, eh mereka malah balik
menatap beringas menantang. Mereka tidak perlu mengusir kami. Nampaknya istriku tidak memerlukan pertimbanganku.
” Maaf, apa kalian
sedang bertengkar ya? Pasti ada yang tidak beres”
“ Mau mengusir
kami kan? Tidak perlu kalian usir!” bentak istriku menantang.
“Maaf Bu. Siapa
yang mau mengusir Ibu?” mereka semakin bingung..
“Kalian kan?
Pura-pura bingung? Ini hasil musyawarah kemaren kan?”
“Sabar, sabar Bu,” kucoba menenangkan istriku.
“Sebaiknya kalian tinggalkan kami, maaf kalau ada perbuatan kami yang
mengganjal di hati.”
“Tidak perlu! Mengapa kita harus minta
maaf?”
“Tunggu dulu,
tunggu dulu! Ada apa ini? Tidak ada yang mau mengusir kalian. Malah sebaliknya
kami sangat gembira menyambut kepulangan kalian ke desa ini. Sesuai dengan
keputusaan rapat, kami meminta kesediaan Pak Haji membimbing kami. Karena masih
banyak hal yang belum terselesaikan. Kami yakin, dengan turun tangannya Pak
Haji, semua pasti akan beres. Kami mohon kesediaan Pak Haji mengabulkan
permintaan kami.”
Semua rencana yang sudah dipersiapkan istriku buyar
seketika. Aku pura-pura berpikir, lama tak ada jawaban. Nampak sebagian mereka ragu
bahkan ada yang kecewa. Pelan-pelan kuanggukan kepala tanda setuju. Maka riuh
rendahlah sorak sorai mereka. .
Tiba-tiba saja
sebuah mobil taksi bandara berhenti di halaman, ternyata Iffin dan Dulah
beserta keluarga benar-benar datang ke kampung ini.
Rawasari Ujung Banjarmasin, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar