menu

Sabtu, 28 Mei 2016

ALLAH SWT DAN RASUL-NYA MELAKNAT PARA PENYAIR (?)



ALLAH SWT DAN RASUL-NYA MELAKNAT PARA PENYAIR (?)

       Sungguh tak ada yang lebih menyakitkan hati bagi para penyair selain daripada dilaknat oleh Allah SWT dan Rasul-nya. Kenapa? Karena jika itu memang benar adanya, maka semua penyair adalah manusia terkutuk dan tentu kelak akan mendapat siksa yang amat pedih. Karena syair termasuk bagian dari puisi, maka penulis puisi juga termasuk di dalamnya. Ironis sekali.


       Pertanyaannya adalah, “Apakah memang benar Allah SWT dan Rasul-Nya melaknat para penyair?” Untuk menjawab pertanyaan tsb. mari kita telusuri dengan cermat dan seksama tentang latar belakang dan lika-likunya sehingga Para Penyair itu jadi terlaknat.

       Yang pertama dan utama harus kita cermati adalah keterkaitan antara Nabi Muhammad SAW dengan para penyair dan bahkan keterkaitan dengan syair itu sendiri. Yang jelas Nabi Muhammad SAW diturunkan di daerah masyarakat jahiliyah. Masyarakat yang disamping terkenal dengan kejahiliyahannya, juga terkenal dengan para penyairnya yang amaty sangat piawai merangkai kata menjadi syair-syair yang sangat indah. Di sampig itu syair juga telah menjadi tradisi masyarakat Arab jahiliyah. Hal ini ditandai dengan adanya[q1]  sebuah pasar syair yang dikenal dengan nama Pasar ‘Uqadz tempat para penyair dari segala penjuru membacakan dan melantunkan syair-syair karya mereka. Dan untuk syair yang terbaik akan mendapatkan hadiah dan karyanya pun akan ditempalkan di dinding Kabah.

       Lalu bagaimana dengan penyataan pada judul artikel di atas? Untuk itu mari kita cermati asabab al-wurud, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut.

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ نَسِيرُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِاْلعَرْجِ إِذْ عَرَضَ شََاعِرٌ يُنْشِدُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: خُذُوا الشَّيْطَانَ أَوْ أَمْسِكُوا الشَّيْطَانَ لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا
       Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, “Ketika kami berjalan bersama Rasulullah Saw di al-’Araj, tiba–tiba (ada) seorang penyair yang membacakan syair (kepada kami) Maka Rasulullah pun berkata: ‘Tahan syaitan itu, Perut seseorang yang penuh dengan nanah lebih baik daripada (perut) yang penuh dengan syair”

       Dalam hadits lain diterangkan adanya larangan syair dan bersyair dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai berikut di bawah ini.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا
       Dari Abu Hurairah, ia berkata,  “Rasulullah saw bersabda, ‘Lambung seseorang yang penuh dengan nanah lebih baik daripada yang penuh dengan syair’.” H.r. Abu Daud

       Dalam hal larangan syair dan bersyair, para ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syair yang terlarang dalam hadits itu adalah syair-syair yang mengandung hujatan terhadap Rasulullah Saw. Untuk yang satu ini kaum muslimin telah sepakat bahwa jika di dalam syair itu terdapat kalimat yang mengandung hujatan kepada Rasulullah Saw, maka syair tsb terlarang dan akan membuat penyairnya menjadi kufur. 
       Adapun yang dimaksud dengan Lambung yang penuh dengan syair,  adalah ketika syair telah menguasainya dimana Penyair itu secara total lebih disibukkan dengan syair dan bersyair, sehingga tak ada lagi baginya kesempatan untuk membaca dan memahami al-Qur’an, tak ada lagi baginya kesempatan mempelajari & memahami ilmu-ilmu Islam lainnya. Sehingga apapun bentuknya, di dalam Islam syair dan bersyair menjadi tercela dan dilarang.

       Berdasarkan sabda Rasulullah Saw: “tahan Syaitan itu” dan “Lambung seseorang yang penuh dengan nanah lebih baik daripada yang penuh dengan syair’.” dan diperkuat lagi dengan firman Allah SWT dalam Surah Asysyu’ara ayat 224 yang Artinya: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Maka sebagian ulama secara mutlak melarang syair dan bersyair. Lebih jelasnya, Asbabun Nuzul turunnya Surah Asysyu’ara’ ayat 224 adalah karena telah terjadi persetruan antara dua penyair yang saling mencaci dan saling menghujat dengan menggunakan syair.  Selain itu Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itu merupakan rangkaian bahasa yang amat sangat tinggi nilai sastranya, jauh lebih tinggi dari semua syair-syair yang ada. Itulah sebabnya para penyair jahiliyah itu mengatakan Al Qur’an itu adalah syair yang dibuat oleh Muhammad. Mereka juga mengatakan bahwa Nabi Muhamad SAW itu adalah penyair tukang sihir. Karena mereka semua mengetahui bahwa Nabi Muhamad SAW itu tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca. Padahal tidaklah demikian adanya. Karena Allah SWT tidak mengajarkan membuat syair kepada Rasulullah. Hal ini semata-mata karena kedudukan beliau sebagai Rasul yang ditegaskan dalam Al Qur’an Surah Yasin ayat 69 yang artinya: “Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan” (Q.S. Yasin : 69).
   
       Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, sebagian ulama menganggap bahwa syair dan bersyair adalah merupakan pekerjaan syaitan yang sesat. Maka secara mutlak syair dan bersyair itu dilarang. Kenapa? Karena para ahli syair tersebut adalah pengikut orang-orang yang sesat, bukan pengikut orang-orang yang mendapat petunjuk.

       Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan orang yang sesat itu adalah para penyair dari kalangan orang-orang kafir jahiliyah. Adapun ahli tafsir yang lain berpendapat yang dimaksud dengan orang sesat itu adalah Syaitan. 

       Meskipun demikian. Di dalam Islam terdapat dua penjelasan tentang kedudukan syair. Ada hadits yang menjelaskan tentang larangan syair dan bersyair, dan ada pula hadits yang menjelaskan tentang membolehkan syair dan bersyair .   

      Berikut ada beberapa teks hadis yang menjelaskan kebolehan syair dan bersyair:

عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَدِفْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا فَقَالَ هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ بْنِ أَبِى الصَّلْتِ شَيْئًا قُلْتُ نَعَمْ قَالَ: هِيهِ فَأَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ: هِيهِ ثُمَّ أَنْشَدْتُهُ بَيْتًا فَقَالَ: هِيهِ حَتَّى أَنْشَدْتُهُ مِائَةَ بَيْتٍ
       Dari Amru bin al-Syarid dari Ayahnya, ia berkata, “Suatu ketika aku bersama Rasulullah saw, kemudian beliau berkata, ‘Apakah kamu mengetahui beberapa bait dari syair karya Umayyah bin ash-Shalt?’ Aku menjawab, ‘Ya’. Beliau berkata, ‘lantunkanlah!’, kemudian aku melantunkan satu bait. Beliau berkata, ‘lanjutkan’ kemudian aku melantunkan satu bait. Beliau berkata, ‘lanjutkan’. Hingga aku melantunkan sebanyak 100 bait (syair)” H.r. Muslim

       Imam an-Nawawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan berkenaan hadis yang menyebutkan persoalan Syairnya Umayyah, beliau berkata:

وَمَقْصُود الْحَدِيث أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَحْسَنَ شِعْر أُمِّيَّة , وَاسْتَزَادَ مِنْ إِنْشَاده لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِقْرَار بِالْوَحْدَانِيَّةِ وَالْبَعْث , فَفِيهِ جَوَاز إِنْشَاد الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ , وَسَمَاعه , سَوَاء شِعْر الْجَاهِلِيَّة وَغَيْرهمْ , وَأَنَّ الْمَذْمُوم مِنْ الشِّعْر الَّذِي لَا فُحْش فِيهِ إِنَّمَا هُوَ الْإِكْثَار مِنْهُ , وَكَوْنه غَالِبًا عَلَى الْإِنْسَان . فَأَمَّا يَسِيره فَلَا بَأْس بِإِنْشَادِهِ وَسَمَاعه وَحِفْظه
       Maksud hadis ini menunjukkan bahawa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menganggap baik syair Umayyah dan meminta tambahan syair terhadap apa yang ada di dalamnya dari pengakuannya terhadap ke-Esaan (Allah) dan hari akhir. Dan di dalamnya ada keterangan tentang bolehnya melantunkan syair yang tidak mengandungi kekejian, dan juga sekaligus mendengarkannya. Dalam hal ini sama saja kebolehannya, apakah syair itu merupakan syair Jahiliyyah atau syair yang lain. Yaitu syair yang tidak mengandung kekejian dan yang tidak berlebihan padanya. Adapun sedikit syair dengan cara melantunkan, mendengarnya, atau menghafalnya maka tidak mengapa. (Boleh-boleh saja)” Demikian pendapat an-Nawawi, dalam Syarah Shohih Muslim.

       Selain riwayat di atas ada lagi keterangan lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi sebagai berikut:

عن أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ فِي عُمْرَةِ الْقَضَاءِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ بَيْنَ يَدَيْهِ يَمْشِي وَهُوَ يَقُولُ خَلُّوا بَنِي الْكُفَّارِ عن سَبِيلِهِ الْيَوْمَ نَضْرِبْكُمْ عَلَى تَنْزِيلِهِ ضَرْبًا يُزِيلُ الْهَامَ عن مَقِيلِهِ وَيُذْهِلُ الْخَلِيلَ عن خَلِيلِهِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا ابْنَ رَوَاحَةَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَرَمِ اللَّهِ تَقُولُ الشِّعْرَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلِّ عَنْهُ يَا عُمَرُ فَلَهِيَ أَسْرَعُ فِيهِمْ مِنْ نَضْحِ النَّبْلِ
       Dari Anas bahwasanya Rasulullah Saw masuk ke Makkah pada masa umrah Qadha dan Abdullah bin Rawahah sedang berjalan di depan beliau sambil berkata, “Berikan jalan kepada anak orang-orang kafir. - Hari ini kami akan memukul kalian dirumah kalian. - Dengan pukulan yang menghilangkan kesedihan dari peraduannya. - Dan menjauhkan seorang kekasih dari kekasihnya.” Lalu Umar berkata kepadanya, ”wahai Ibnu Rawahah di hadapan Rasulullah Saw dan didalam Masjid al-haram (kenapa) kamu melantunkan syair?” kemudian Nabi Saw berkata kepada Umar, “Biarkan dia wahai Umar sebab hal itu lebih mempercepat dari siraman yang baik”

       Dalam riwayat yang lain Rasulullah Saw memuji syair salah seorang sahabat yang bernama Labid bin Rabi’ah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا الشَّاعِرُ كَلِمَةُ لَبِيدٍ: أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللهَ بَاطِلُ وَكَادَ ابْنُ أَبِي الصَّلْتِ يُسْلِمُ
       Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallhu ‘alaihi wa sallam beliau berkata, “Kalimat yang paling benar yang diucapkan oleh penyair adalah kalimat Labid: “Ketahuilah segala sesuatu yang selain Allah adalah batil (rusak dan binasa)”. Dan hampir saja Umayyah bin Abu al-Shalt memeluk Islam”. H.r. At-Thahawi

       Dalam riwayat lain Rasulullah Saw mengemukakan bahwasanya terdapat kandungan hikmah di balik bait-bait syair sebagaimana sabda Baginda Saw.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً
       Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya terdapat hikmah di antara (bait-bait) syair itu.” H.r. Al-Baihaqi.

       Dari paparan di atas kita ketahui sepertinya ada kontroversi tentang hukum syair dan bersyair. Di satu sisi Rasulullah saw tidak membenarkan (melarang) syair dan bersyair, tetapi disisi yang lain Rasulullah menyuruh sebahagian sahabat untuk bersyair, bahkan Baginda sendiri melantunkan syair sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi.
عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَمَثَّلُ الشِّعْرَ قَالَتْ رُبَّمَا تَمَثَّلَ شِعْرَ ابْنِ رَوَاحَةَ وَيَقُولُ وَيَأْتِيكَ بِالْأَخْبَارِ مِنْ لَمْ تُزَوِّدِ
       Dari al-Miqdam bin Syureh, dari Ayahnya, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah: ‘Apakah Rasulullah Pernah melantunkan syair?’ Aisyah menjawab, “Beliau pernah melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan: ‘Dan akan datang kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka’.”

       Dengan demikian maka dapat simpulkan bahwa larangan syair dan bersyair bersifat temporal. karena syair yang terlarang adalah syair yang menyalahi aturan-aturan syariat, dan syair yang tercela adalah syair-syair yang disusun untuk merendahkan martabat manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Demikian pula syair yang sangat menyibukkan melebihi dari kesibukan dalam membaca al-Qur’an dan beribadah kepada Allah.

       Adapun syair-syair dan puisi lainnya yang tidak berakibat melalaikan dan tidak sampai meninggalkan ibadah kepada Allah, dan yang bertujuan untuk menyadarkan manusia atau membangkitkan semangat kaum muslimin, dan syair yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka syair tersebut adalah syair yang dibolehkan dan bahkan mendapatkan posisi terpuji dalam Islam sebagaimana yang pernah diberikan kepada para ahli syair dari kalangan sahabat seperti Hassan, Labid, Abdullah bin Rawahah dan selainnya yang dikenal sebagai ahli syair pada masa mereka. Selain itu larangan mutlak untuk menyusun syair dan melantunkannya hanya dikhususkan kepada Rasulullah Saw dan tidak kepada umatnya.



 [q1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar