MENGENAL PENYAIR IBRAMSYAH AMANDIT
MELALUI PUISI
‘BAGAI PERAHU’
I
IBRAMSYAH AMANDIT
Ibramsyah Amandit adalah nama pena dari H. Ibramsyah bin H. Lawier yang lahir pada tanggal 9 Agustus 1943 di
Desa Tabihi Kanan, Kelurahan Karang Jawa, Kecamatan Padang Batung, Kandangan,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. Di kalangan
sastrawan Kalsel ia lebih dikenal dengan sebutan si Janggut Naga. Ibramsyah
Amandit mulai menulis sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1971 ia aktif dalam
diskusi dan pembacaan puisi Persada Club
Yogyakarta di bawah bimbingan Umbu Landu Paranggi. Di Insani Club di bawah bimbingan Emha Ainun Najib dan di rumah
pondokan bersama Abdul hadi WM.
Ibramsyah Amandit selain rajin menulis puisi ia juga rajin mendalami
ajaran tasawuf melalui guru-gurunya yaitu: KH Gusti Abdussamad, KH Ramli Tatah
Daun, KH Ahmad Arsyad, KH Muhammad Nur Tangkisung, KH Sam’ani, Guru H. Basman
Tinggiran, KH Abdul Mu’in yang membaiatnya dalam Thariqat Akhirul Zaman, dan KH Muhammad Zaini Ghani yang membaiatnya
dalam Thariqat Syamaniah.
Keakrabannya di dunia tasawuf membuat hampir seluruh puisinya kental dengan
pemikiran tasawuf. Hal ini dapat kita lihat dalam setiap puisinya yang pernah
dimuat dalam berbagai media.. Di antaranya yang dimuat di Mercu Suar Yogya (1971), Sampe
Balikpapan (1978), Banjarmasin Post
Banjarmasin, (1980-an). Puisi-puisinya juga pernah dimuat dalam antologi puisi
bersama antara lain Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan
Asap (1998 ). La Ventre de Kandangan
(2004), Sajak-sajak Bumi Selidah
(2005), Seribu Sungai Paris Berantai
(2006), Cinta rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di tahun Emas (2009), Konser
Kecermasan (2010), Menyampir Bumi
Leluhur (2010), Seloka Bisu Batu
Benawa (2011), Kalimantan Dalam Puisi
Indonesia (2011), Sungai Kenangan
(2012), Tadarus Rembulan (2013), Dan
dalam Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia (2014) Buku kumpulan puisinya Badai Gurun dalam Darah (Penerbit Tahura
Media, Banjarmasin, 2009).
Sebagai
sastrawan, Ibramsyah Amandit juga telah menerima beberapa penghargaan antara
lain. Tahun 1990 menerima Penghargaan Seniman Sastra dari Kantor Wilayah
Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan. Tahun 2006 menerima
Penghargaan Seniman Sastra dari Bupati Barito Kuala Provinsi Kalimantan
Selatan. Tahun 2009 menerima Penghargaan Hadiah Seni bidang Sastra dari
Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan. Dan tahun 2013 menerima Penghargaan
Astaprana dari Kesultanan Banjar.
Sehari-harinya di samping bertani ia jua seorang pencinta dan pemelihara
bonsai yang ikut bergabung dalam Perhimpunan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI).
Kini Ibramsyah Amandit bermukim di Desa Sidorejo, Kilometer 7 RT V Nomor 129,
Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala.
dengan contact person
081349503031.
Di
sini kita akan mengenal lebih dekat Penyair Ibramsyah Amandit melalui puisinya
yang berjudul Bagai Perahu .
II
BAGAI
PERAHU
Kali ini subuh lebih hangat
bumi berkeringat melemparku
ke renungan pagi
Benda-benda, alur kejadian
bersuara bagi pemeriksaan
lahir-batin
menating hasil curian
pada cahaya penglihatan
Kusimak esensi yang hakiki
Segala sesuatu sesungguhnya
guna berwaktu-waktu
dengan-Nya
aduh: payah juga perahu
dikayuh
sebelum terlihat di
pelabuhan
sebelum tiba-tiba dikaitkan
di poros cinta-Nya
Tamban, 22 Juni 2006
Puisi Bagai Perahu karya
Ibramsyah Amandit ini tampil dengan tipografi konvensional yang terdiri
dari 4 bait. Bait 1 dan 3 masing-masing terdiri dari 3
larik, sedangkan bait 2 dan 4 masing-masing terdiri dari 4 bait. Jadi seluruh
lariknya berjumlah 14 larik.
Marilah kita mulai mencermati bait 1 berikut ini.
1. Kali ini subuh lebih
hangat
2. bumi berkeringat
melemparku
3. ke renungan pagi
Bait 1 ini dibangun dengan rima yang unik
dan bervariasi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [ng/ngat] pada
ungkapan lebih hangat di ujung larik
1 yang bersajak dengan bumi berkeringat
di awal larik 2. Di sini juga ada rima yang dibentuk dengan pengulangan bunyi
vokal [i] pada kata kali ini di awal
larik 1 yang bersajak dengan kata bumi
di awal larik 2 dan kata pagi di
akhir larik 3. Secara khusus di larik 1 ada rima
aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [h] pada kata subuh yang bersajak dengan kata lebih dan kata hangat. Di larik 2 ada rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [e] pada
berkeringat yang bersajak dengan kata
melemparku. Di sini juga ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan
bunyi konsonan [b] pada kata bumi
yang bersajak dengan kata berkeringat.
Bait ini juga dibangun dengan majas
personifikasi yang ditandai dengan ungkapan subuh lebih hangat di larik 1 dan ungjkapan bumi berkeringat di larik 2. Sedangkan di larik 2 dan 3 ada
ungkapan [bumi] melemparku ke renungan
pagi. Bait ini juga dibangun dengan imaji
taktil di larik 1 dan 2. Kita seakan-akan turut merasakan subuh yang lebih
hangat dari biasanya dan juga turut merasakan hangatnya bumi yang berkeringat.
Di larik 3 juga ada imaji visual kita seakan-akan melihat seseorang yang sedang
merenung. Bait 1 ini juga dibangun dengan diksi yang berkaitan dengan suasana
di waktu subuh. Hal ini diawali dengan ungkapan Kali ini subuh lebih hangat bumi berkeringat melemparku ke renungan
pagi. Kata subuh di sini bisa dimaknai dari berbagai makna.
Pada tataran pertama secara harfiah klausa subuh lebih hangat di sini maknanya adalah memang benar-benar
suasana di waktu subuh yang lebih hangat dari biasanya. Kehangatan inilah yang
membuat subuh ini menjadi subuh yang amat spesial. Sehingga membuat bumi ini
menjadi panas dan berkeringat. Hal inilah yang membuat si Penyair merasakan
kehangatan, yang membuatnya terlempar ke renungan pagi. Pada tataran ke dua
yang dimaksud dengan subuh di sini
adalah sholatul fajar atau sembahyang subuh yang menghangatkan jiwa. Pertemuan
lewat sholat di subuh ini telah menghangatkan hatinya. Membuat jiwa semakin
dekat dengan-Nya. Ada sesuatu yang mampu menggetarkan hati sehingga terasa
seakan bumi pun turut berkeringat. Pada tataran ke tiga subuh adalah saat akan berakhirnya malam yang barangkali penuh
dengan kegelapan dan sebentar lagi akan datang siang yang dinanti-nanti, siang
yang terang benderang. Dengan demikian maka subuh
adalah masa transisi antara malam dan siang. Nampaknya Ibramsyah merasa
bahwa saat inilah yang paling tepat buat merenung.
Berdasarkan ketiga tataran tsb. di atas, maka kata merenung dapat dimaknai dengan berbagai makna. Pada tataran pertama
merenung adalah mengamati suasana di
waktu subuh. Bumi berkeringat dalam bentuk embun yang lembut membasahi bumi.
Pada tataran ke dua merenung maknanya
adalah tafakkur mensyukuri nikmat yang dilimpahkanNya di kala subuh. Sedangkan
pada tataran ke tiga merenung
maknanya adalah aktivitas menganalisis dan mengevaluasi sudah sejauh mana amal
perbuatan yang dilakukan selama ini. Dengan kata lain yang ini disebut dengan
tafakkur. Jika dikaitkan dengan judul BAGAI PERAHU maka subuh yang lebih hangat di sini bisa bermakna lain. Klausa Bagai Perahu adalah sebuah ungkapan
perumpamaan. Yang dimaksud bagai perahu
di sini adalah perjalanan hidup manusia menuju dermaga kehidupan abadi, yaitu
kehidupan sesudah mati. Dengan demikian klausa subuh yang lebih hangat di sini maknanya adalah sholat subuh yang
mencerahkan pikiran dalam upaya meningkatkan rasa keberimanan dan ketakwaan
kepadaNya. Berkaitan dengan judul maka klausa subuh lebih hangat di sini juga ungkapan yang harus dimaknai secara
khusus Pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang direnungkannya di subuh itu?
Untuk menjawabnya mari kita telusuri ungkapan-ungkapan di bait 2 berikut ini.
4. Benda-benda, alur
kejadian
5. bersuara bagi pemeriksaan
lahir-batin
6. menating hasil curian
7. pada cahaya penglihatan
Bait 2 ini dibangun dengan rima
akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi [an/n]
pada kata kejadian di larik 4 yang
bersajak dengan kata batin di larik 5
dan kata curian di larik 6 dan pada penglihatan di larik 7 Pengulangan tsb.
membentuk persajakan dengan pola a.a.a.a. Di sini juga ada rima awal yang ditandai dengan engulangan bunyi vokal [e] pada kata
benda-benda di awal larik 4 yang
bersajak dengan kata bersuara di awal
larik 5 dan pada kata menating di
awal larik 6. Berikutnya di sini juga ada rima
asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [e] di larik 4 pada
kata bendas-benda
yang
bersajak dengan kata kejadian.
Di sini juga ada rima aliterasi yang
ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [b] di larik 5 pada kata bersuara yang bersajak dengan kata bagi dan kata batin. Bait 2 ini juga dibangun dengan ritme yang terbentuk dari
pengulangan bunyi vokal [e] pada kata kata Benda-benda,
kejadian, bersuara, pemeriksaan, menating dan pada kata penglihatan. Di sini juga ada ritme yang terbentuk dari
pengulangan konsonan [n] pada kata
Benda-benda, kejadian, pemeriksaan, batin, menating, curian dan pada kata penglihatan. Bait 2 ini dibangun dengan
majas personifikasi yang ditandai
dengan ungkapan Benda-benda [yang] bersuara dan ungkapan [benda-benda
yang] menating hasil curian, pada cahaya
penglihatan
Bait 2 ini diawalli dengan ungkapan benda-benda
dan alur kejadian di larik 4.
Ungkapan ini memiliki sifat ambiguitas ganda. Dengan kata lain ungkapan ini
bisa dimaknai dari berbagai arah, kata kuncinya adalah alur kejadian. Secara makro yang dimaksud alur kejadian di sini adalah riwayat penciptaan alam semesta.
Termasuk juga penciptaan langit dan bumi beserta benda-benda yang berada di
antaranya. Secara mikro klausa alur
kejadian ini maknanya adalah riwayat cara mendapatkan benda-benda hak milik
perorangan. Hal ini ada kaitan yang erat dengan alur kejadian [itu] bersuara
bagi pemeriksaan lahir batin. Ungkapan bersuara
di sini adalah suara hati nurani. Apakah benda-benda tsb. didapat melalui jalan
yang sah ataukah lewat jalan yang tidak sah. Dengan kata lain apakah kepemilikan benda tsb melalui cara-cara yang
halal ataukah dengan cara-cara yang haram. Hal ini ditandai dengan klausa menating hasil curian. Bait ini ditutup
dengan ungkapan pada cahaya penglihatan,
yang maksudnya adalah melihat dengan hati nurani. Dengan kata lain semua benda
hak milik perorangan yang benar dan yang salah pun harus dikatakan salah.
Selanjutnya mari kita cermati bait 3 berikut ini
8. Kusimak esensi yang hakiki
9. Segala sesuatu
sesungguhnya
10. guna berwaktu-waktu
dengan-Nya
Bait 3 ini dibangun dengan rima
akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata sesungguhnya di larik 9 yang bersajak
dengan kata dengan-Nya di larik 10.
Secara khusus di larik 8 ada rima
asonansi yang ditandai pengulangan bunyi vokal [i] pada kata kusimak yang bersajak dengan kata esensi dan hakiki. Di larik 8 ini juga ada rima
aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [s] pada kata kusimak yang bersajak dengan kata esensi. Beriku di larik 9 juga ada rima aliterasi yang ditandai dengan
pengulangan bunyi konsonan [s] pada kata Segala
yang bersajak dengan kata sesuatu dan
kata sesungguhnya. Di larik 10 juga
ada rima asonansi yang ditandai
dengan pengulangan bunyi vokal [a] pada kata
guna yang bersajak dengan kata
berwaktu-waktu dan dengan kata
dengan-Nya.
Bait 3 ini diawali dengan larik kusimak
esensi yang hakiki. Sebenarnya kata esensi
punya arti yang sama dengan hakiki,
yaitu makna secara hakikat. Yang dimaksud dengan kusimak yang hakiki di sini adalah renungan spiritual memandang bahwa semua yang
ada di dunia ini pada hakikatnya adalah berasal dariNya dan akan kembali
kepadaNya. Demikian pula dengan hakikat diciptakannya jin
dan manusia adalah semata-mata untuk
mengabdi kepadaNya. Bait 3 ini ditutup dengan ungkapan guna berwaktu-waktu dengan-Nya. Ungkapan berwaktu-waktu dengannya maksudnya adalah bersamaNya dengan
menyebut dan mengingat namaNya melalui dsikir. Baik dzikir hati, dzikir suara
maupun dzikir perbuatan. Ungkapan ini maksudnya adalah tafakkur mendekatkan diri kepada-Nya melalui jalan hakiki. Dalam
bahasa sufinya adalah memasuki jalan
suluk tarekat dengan cara berdzikir, berolah pikir di aras hakikat dan pada
akhinya akan berujung dengan mengenal Tuhan secara ma’rifat. Hal ini sejalan
dengan pemahaman dalam khasanah sufistik, tasawuf atau mistik Islam bahwa
perjalanan spiritual itu dimulai dari menjalankan syariat, memasuki jalan suluk
tarekat dengan berdzikir, kemudian berolah pikir di aras hakekat, dan akhirnya
berujung pada mengenal Tuhan secara bermakrifat.
Selanjutnya mari kita
telisik secara cermat bait 4 atau bait terakhir berikut ini.
11. aduh: payah juga perahu
dikayuh
12. sebelum terlihat di
pelabuhan
13. sebelum tiba-tiba
dikaitkan
14. di poros cinta-Nya
Bait terakhir ini dibangun
dengan rima awal yang ditandai dengan
pengulangan bunyi kata [sebelum] pada
klausa sebelum terlihat di awal larik
12 yang bersajak dengan klausa sebelum
tiba-tiba di awal larik 13. Secara khusus di larik 11 ada rima asonansi yang ditandai dengan
pengulangan bunyi vokal [u] pada aduh yang bersajakl dengan kata juga kata perahu dan kata dikayuh. Di sini juga ada rima aliterasi yang ditandai dengan
bunyi konsonan [h] pada kata aduh, yang bersajak dengan kata payah dan kata perahu
dikayuh. Berikut di larik 12 ada rima asonansi yang ditandai dengan
pengulangan bunyi vokal [e] pada kata sebelum
yang bersajak dengan kata terlihat kata pelabuhan. Di larik 12 ini juga ada
rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [l] pada kata sebelum yang bersajak dengan kata terlihat dan kata pelabuhan. Bait ini
juga dibangun dengan majas metonimia
yang ditandai dengan perumpamaan pada klausa perahu dikayuh di larik 11 dan klausa di pelabuhan di larik 12. Di larik 11 juga ada majas ekslamasio yang ditandai dengan kata aduh meskipun tanpa tanda seru. Di sini juga ada majas anaphora yang ditandai dengan
adanya pengulangan kata sebelum di
awal larik yang berurutan yaitu di awal larik 12 dan larik 13. Terakhir di
larik 14 ada majas antropomorfisme
yang ditandai dengan penggabungan dua kata yautu kata poros dan cinta menjadi poros cinta yang membentuk makna baru.
Bait 4 ini diawali dengan larik aduh:
payah juga perahu dikayuh. Kata aduh
mengingatkan kita pada suatu keluhan atau rintihan. Hal ini dikuatkan dengan
ungkapan payah juga perahu dikayuh
sebelum terlihat di pelabuhan. Yang dimaksud dengan perahu disini adalah hidup dan kehidupan yang diumpamakan bagai sebuah perahu Sedangkan yang
dimaksud dengan pelabuhan di sini
adalah akhir kehidupan yaitu alam akhirat.
Berikutnya ada ungkapan sebelum tiba-tiba
dikaitkan di poros cinta-Nya, yaitu sebelum dipanggil ke haribaanNya.
Dengan kata lain sebelum berpulang ke rahmatullah. Jadi ungkapan payah juga perahu dikayuh sebelum
terlihat di pelabuhan maksudnya adalah betapa sulit perjalanan hidup
penuh dengan godaan sebelum tiba di pelabuhan. Sedangkan yang dimaksud dengan poros cintaNya adalah lingkaran
orang-orang yang disayangiNya dengan titik sentral junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW.
III
Puisi Ibramsyah Amandit ini berjudul BAGAI
PERAHU. Lewat ungkapan bagai perahu Ibramsyah Amandit mengingatkan kita
agar hendaknya selalu ingat bahwa kehidupan kita di dunia ini tak ubahnya
bagaikan perjalanan sebuah perahu menuju kehidupan abadi di alam akhirat kelak.
Membaca ungkapan-ungkapan yang ada ternyata puisi ini masuk dalam koridor puisi
metafisikal yang bersifat spiritual, tasawuf dan filosofis. Atau bisa juga disebut
puisi sufistik Islamis. Hal ini ditandai dengan ungkapan-ungkapan yang mengajak
kita merenungkan tentang hidup dan pengabdian seorang salik kepada Al Khaliq pemilik hakiki alam semesta ini.
.
Meskipun amanat dan pesan moralnya bernuansa sufistik ternyata di sini
juga ada pesan moral sisipan agar kita hendaknya janganlah mengambil yang bukan
hak kita. Hal ini ditandai dengan ungkapan menating
hasil curian. Itulah kiranya yang ingin diungkapkan Ibramsyah Amandit lewat
puisi BAGAI PERAHU ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar