menu

Minggu, 29 Mei 2016

PENGGUNAAN CITRAAN DALAM PUISI ’SAJAK SEBATANG POHON KARET’ KARYA SANDI FIRLY



PENGGUNAAN CITRAAN DALAM  PUISI ’SAJAK SEBATANG POHON KARET’ KARYA SANDI FIRLY

SANDI FIRLY

       Sandi Firly yang lahir pada tanggal 16 Oktober 1975 di Kuala Pembuang Kabupaten Seruyan Provinsi Kalimantan Tengah. Alumni FISIP Universitas Islam Kalimantan ini sehari-harinya ia adalah seorang wartawan tepatnya Redaktur Pelaksana merangkap redaktur ruang Cakrawala Sastra dan Budaya di SKH Radar Banjarmasin, lalu hijrah ke Bandung dipercayakan sebagai Pimpinan Redaksi SKH Radar Bandung dan sekarang kembali lagi ke Kalimantan Selatan aktif sebagai Redaktur Pelaksana SKH Media Kalimantan.
 
       Ia mulai menulis sejak tahun 1990-an yang awal-awalnya ia sering diminta teman-teman SMA-nya menuliskan surat-surat cinta untuk cewek yang disukainya. Dan dari kebisaan inilah yang mengantarkannya secara serius menggeluti dunia tulis menulis. Puisi-puisinya ikut dimuat dalam antologi bersama. Antara lain dalam Antologi Puisi Bulan Ditelan Kutu (Banjarmasin, 2004), dalam Antologi Puisi Taman Banjarbaru, (Banjarbaru, 2006) dan dalam Antologi Puisi Konser Kecemasan, Sajak-sajak Peduli Lingkungan Hidup Penyair Kalimantan Selatan (Banjarmasin, 2010).

       Ia juga piawai dalam menulis cerpen. Beberapa judul di antaranya telah dibukukan bersama Harie Insani Putra dalam kumpulan cerpen Perempuan yang Memburu Hujan (2007). Salah satu cerpennya yang berjudul Perempuan Balian yang dimuat dalam Harian Kompas juga ikut terpilih dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Surat Kabar Kompas 2012.

       Selain itu ia juga rajin menulis novel antara lain novel Rumah Debu (2010), novel Lampau (2013) dan novel Hanya Sebutur Debu (2014). Dan Novelnya yang berjudul Rumah Debu telah mengantarkannya menjadi salah satu dari 15 penulis terpilih dalam Ubud Writer and Readers Festival 2011 di Bali.

       Pada tahun 2007 atas dedikasinya Sandi Firly menerima Penghargaan Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Selanjutnya di sini kita akan mengenal lebih dekat lagi dengan Sandi Firly melalui PENGUNAAN CITRAAN dalam puisinya yang berjudul Sajak Sebatang Pohon Karet yang ada di halaman 146 buku Konser Kecemasan, Sajak-sajak Peduli Lingkungan Hidup Penyair Kalimantan Selatan, berikut di bawah ini

***

       Salah satu dari Sembilan Bahan Pokok yang diperlukan dalam menulis sebuah puisi adalah Citraan, yaitu gambaran perasan yang diungkapkan penyair dalam untaian kata-kata dalam sebuah puisi. Citraan yang baik gambaran yang mampu membuat pembaca turut merasakan apa yang digambarkan penyair dalam sebuah puisi. Sehingga ketika membaca sebuah puisi pembaca merasa seakan-akan berada di tempat kejadian sehingga seolah-olah dapat melihat, dapat mendengar dan dapat merasakan apa yang digambarkan penulisnya.

       Di dalam sebuah puisi citraan itu terdiri dari Citraan Penglihatan, Citraan Pendengaran, Citraan Perabaan, Citraan Penciuman, Citraan Pencecapan dan bisa juga berupa Citraan gerak.

       Citraan penglihatan adalah citraan yang ditimbulkan oleh indera penglihatan (mata). Citraan penglihatan mampu memberi rangsangan kepada indera penglihatan sehingga pembaca merasa seakan-akan bena-benar melihat apa yang digambarkan penyair. Ketika penyairnya mengungkapkan tentang laut, maka pembaca pun turut merasakan seakan benar-benar melihat laut dengan gelombang dan ombak-ombaknya yang berkejaran menuju pantai. Demikian pula jika penyairnya mengungkapkan tentang alam pegunungan, pembaca dapat merasakan seakan-akan benar-benar melihat pengunungan dengan segala keindahannya.

       Citraan pendengaran adalah citraan yang dihasilkan dengan cara mengungkapkan bunyi suara, sehingga pembaca merasa seolah-olah benar-benar mendengar bunyi suara yang digambarkan dalam sebuah puisi. Manakala penyairnya mengungkapkan temntang bunyi seruling anak gembala di tengah sawah, pembaca juga turut merasakan seakan-akan benar-benar mendengar bunyi seruling itu. Atau ketika penyair mengunkapkan bunyi gelegar guntur di langit, maka pembaca juiga seakan mendengar bunyi guntur menggelegar memecah angkasa.

       Citraan perabaan adalah citraan yang dapat dirasakan oleh indera peraba (kulit). Pada saat membacakan atau mendengarkan larik-larik puisi, bila terdapat diksi sesuatu yang dapat dirasakan kulit, misalnya dingin, panas, lembut, kasar, maka pembaca pun turut merasakan dingin, panas, lembuit dan kasarnya esuatu tsb.

       Citraan penciuman adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera penciuman. Citraan ini tampak saat kita membaca atau mendengar kata-kata tertentu, kita seperti mencium aroma atau bau sesuatu. 

       Citraan pencecapan adalah citraan yang berhubungan dengan kesan atau gambaran yang dihasilkan oleh indera pencecap. Sehingga pembaca seolah-olah mencicipi sesuatu yang menimbulkan rasa tertentu, pahit, manis, asin, pedas, enak, nikmat, dan sebagainya.

       Citraan gerak adalah gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Maka pembaca pun meradsa seakan ikut bergerak. Untuk lebih jelasnya terntang penggunaana citraan tsb. Marilah kita lihat cermati penggunaan citraan pada puisi Sajak Sebatang Pohon  Karet Karya Sandi Firly
     
***

Sajak Sebatang Pohon Karet

Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi
seperti pasukan Abrahah di tepi hutan ini
berderap, menerbangkan debu hitam batubara
dan tanah kering merah bata

Pepohonan sunyi burung
embun lesap sebelum mencium daun
angin kaku, kehilangan peta arah
pada subuh beraroma barah

Tanah terang, anak penakik getah datang
wajahnya pucat lesi bulan kesiangan
telah terbayang harga karet turun beribu-ribu
sebab berserbuk, kesat kain belacu

Nadiku tersekat berlarat-larat
dalam bola mata anak penakik getah yang sekarat
tepi hutan, tepi kematian
suaranya kian menghilang

Kubayangkan arakan ababil datang dari samudera sunyi a,v
menghujani gajah-gajah besi dengan batu api
langit terbakar, berkibar, menerbangkan lelatu
tepi hutan ini pun berubah menjadi abu

bulan awal tahun 2008
(Konser Kecemasan hal. 146)

       Sajak Sebatang Pohon Karet karya Sandi Firly ini sepenuhnya ditulis dengan Citraan Pendengaran dan juga sekaligus menggunakan Citraan Penglihatan. Untuk lebih jelasnya marilah kita cermati paparan bait-bait puisi ini.

       Untuk itu marilah kita cermati bait 1 sebagai berikut di bawah ini

1. Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi
2. seperti pasukan Abrahah di tepi hutan ini
3.berderap, menerbangkan debu hitam batubara
4. dan tanah kering merah bata

       Bait 1 ini diawali dengan Citraan Pendengaran yang ditandai dengan ungkapan Aku telah menyaksikan dilarik 1. Di mana pembaca seakan mendengar seseorang yang mengatakan, “Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi.”  Juga seakan mendengar bunyi deru mesin truk-truk besar dalam Aku telah menyaksikan gajah-gajah besi di larik 1 dan  2 dalam ungkapan seperti pasukan Abrahah di tepi hutan ini. Di sini juga ada Citraan Penglihatan. Pembaca seakan-akan melihat debu batubara dan debu merah bata beterbangan I sepanjang jalan yang dilalui.

       Berikutnya mari kita cermati penggunaan Citraan di bait 2 di bawah ini.

5. Pepohonan sunyi burung
6. embun lesap sebelum mencium daun
7. angin kaku, kehilangan peta arah
8. pada subuh beraroma barah

       Bait 2 ini dibangun dengan Citraan Penglihatan di mana pembaca seakan melihat tak burung di pohon-pohon yang di selimuti debu hitam batubara.

       Selanjutnya kita cermati penggunaan Citraan di bait 3 di bawah ini
       
09. Tanah terang, anak penakik getah datang
10. wajahnya pucat lesi bulan kesiangan
11. telah terbayang harga karet turun beribu-ribu
12. sebab berserbuk, kesat kain belacu

       Bait 3 ini juga ditulis dengan menggunakan Citraan Penglihatan, di mana pembaca seakan melihat pagi sudah mulai terang dan nampak anak-anak penakik getah karet dengan wajah pucat membayangkan harga getah karet akan turun beribu-ribu karena ada serbuk batu bara secara kesat mata terlihat seperti debu yang menempel di kain belacu.

       Berikutnya mari kita cermati penggunaan Citraan di bait 4 di bawah ini

13. Nadiku tersekat berlarat-larat
14. dalam bola mata anak penakik getah yang sekarat
15. tepi hutan, tepi kematian
16. suaranya kian menghilang

       Di bait 4 ini Sandi Firly kembali membuka bait ini dengan Citraan Pendengaraan dan dilanjutlan dengan  Citraan Penglihatan. 

       Di larik 13 ada penggunaan Citraan Pendengaran membuat pembaca seakan benar-benar mendengar ucapan Nadiku tersekat berlarat-larat. Kemudian digunakan lagi Citraan Penglihatan membuat pembaca seakan melihat bola mata anak penakik getah karet itu terlihat sedih bahkan sepertinya ia sekarat di tepi hutan itu ia menanti kematian. Du sini juga ada penggunaan Citraan Pendegaran, di mana pembaca seakan mendengar suara ratapan anak itu akan menghilang bersama usianya yang sebentar lagi juga hampir selesai.

       Berikutnya mari kita cermati penggunaan Citraan di bait 5 di bawah ini

17. Kubayangkan arakan ababil datang dari samudera sunyi
18. menghujani gajah-gajah besi dengan batu api
19. langit terbakar, berkibar, menerbangkan lelatu
20. tepi hutan ini pun berubah menjadi abu

       Bait 5 ini kembali lagi diawali dengan menggunakan Citraan Pendengaran yang ditandai dengan ungkapan di larik 17, sehingga membuat pembaca seakan benar-benar mendengar ucapan ”Kubayangkan arakan ababil datang dari samudera sunyi.”
       Di sini juga ada penggunakan Citraan Penglihatan yang amat dahsyat, pembaca seakan melihat arakan burung ababil beterbangan datang dari samudera sunyi. Lalu ababil itu menghujani gajah-gajah besi dengan batu api, dan langit pun terbakar menerbangkan lelatu di mana-mana, dan tepi hutan itupun dalam sekejap berubah menjadi abu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar