RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 1
01
Hari masih
pagi baru pukul enam empat puluh menit. Tetapi bagi Bram Baswenda yang mulai
bekerja hari ini terasa begitu lama
menunggu apel Upacara Bendera. Dia sudah siap sejak pukul enam. Begitulah
kebiasaan Bram Baswenda sebelum menginjakkan kaki di bumi Amuk Hantarukung1
ini. Sebagai anak kost, ia sudah biasa hidup hemat. Itulah yang diajarkan
kepadanya selama di panti asuhan.
Hidupnya
selama ini memang bergantung pada hasil kerja serabutan mahasiswa, dari jual
jasa pengetikan komputerisasi tugas perkuliahan sampai pengetikan skripsri,
termasuk juga printing dan penjilidannya. Di samping itu ia juga ikut aktif
mengajar sebagai guru honorer di beberapa sekolah swasta dan ikut dalam
bimbingan belajar Ujian Nasional. Selain itu ia juga aktif jadi panitia ini dan
itu, termasuk juga jadi tukang ojek.
Setelah lama menunggu
baru terlihat ada beberapa siswa
yang datang lebih awal. Ternyata itu adalah siswa petugas kebersihan hari ini.
Tak lama kemudian barulah siswa-siswa
mulai berdatangan, disusul
guru-guru dan pegawai tata usaha
termasuk juga Kepala Sekolah.
Hari
pertama kerja, ia mengawalinya dengan mengikuti Upacara Bendera. Hampir tak ada
yang berbeda dengan Upacara Bendera semasa ia masih di SMP dulu. Satu-satunya
yang berbeda adalah pakaian seragam siswa. Yang putra memakai celana panjang
dan yang putri semuanya memakai jilbab, sama dengan seragam Madrasah
Tsanawiyah. Pada waktu dia SMP dulu, dia wajib memakai celana pendek dan para
siswinya juga tak ada yang memakai jilbab.
Hari
pertama masuk kerja tentu masih belum banyak yang dikenalnya di sini, kecuali
Ibu Jubaidah yang duduk di sebelah kiri dan Pak Firman Jaya Samudera yang duduk
di sebelah kanannya. Itu pun hanya sebelum mengajar di kelas masing-masing.
Begitu berbunyi bel ganti jam pelajaran ke dua guru-guru itu pun bergegas ke
kelas sesuai dengan jadual mengajar masing-masing.
Ada guru yang bergegas menuju ke laboratorium untuk pembelajaran
praktikum Biologi dan Sains. Dan guru olah
raga tentu langsung ke lapangan. Hanya ia saja yang masih duduk di ruang guru,
karena memang belum mendapat tugas mengajar.
Diam-diam
dikeluarkannya dari tasnya buku novel Selalu Saja ada Gelombang Cinta di
Beranda itu karya Hamberan Syahbana yang baru dibelinya beberapa hari yang
lalu.
Saat
asik-asiknya membaca novel tanpa diketahuinya ada seorang ibu guru berjilbab
merah delima, sejak tadi berdiri di ambang pintu sedang memperhatikannya. Ibu
guru yang cantik itu tidak sadar bahwa ada yang lain dari cara ia memandang
guru baru ini. Ia merasa seperti berada di wilayah medan magnit yang begitu kuat menariknya. Daya magnit itu
semakin kuat, bahkan ia merasa ada sesuatu yang membuatnya langsung tertarik.
Apakah ini pertanda bahwa ia mulai membuka hatinya yang terkunci selama ini?
Ataukah memang guru baru ini yang mempunyai daya tarik luar bisa? Ia tak tahu
pasti, yang jelas diam-diam ia mulai menyukai guru baru ini.
“Nggak
keluar, Pak Bram?” sapa ibu itu dengan senyum ramahnya.
“Nggak,
Bu,” jawab Bram membalas senyuman ibu berjilbab merah delima itu.
“Kenapa?”
“Nggak
apa-apa.”
“O. Bapak
suka baca novel juga ya?”
“Iya Bu.
kadang-kadang.”
“Kok
kadang-kadang?”
“Iya kadang-kadang
kalau lagi tak ada kerjaan.”
“Apa
judulnya, Pak?”
“Ini Bu,”
katanya memperlihatkan cover buku itu.
Ibu itu
membaca judulnya lalu manggut-manggut Selalu Saja Ada Gelombang Cinta di
Beranda itu..
“Wah ini
novel Pak Hamberan
Syahbana yang di fesbuk itu ya?”
“Iya Bu.
E Ibu suka fesbukan juga ya?”
“Ya
kadang-kadang.”
“Kok
kadang-kadang?”
“Iya
kadang-kadang. Itu juga kalau kebetulan anak saya ada di rumah.”
“Memangnya anak Ibu itu biasanya ke mana Bu?”
‘Ia itu
mondok di pesantren. Oh iya, kita belum berkenalan, Pak.”
Ibu itu
mengulurkan tangan diiringi dengan senyum ramahnya. Bram pun menyambut dengan
senyum yang sama ramahnya.
“Saya
Guru Bimbingan dan Konseling. Nama saya Risnawati Merah Delima. Di sini saya
biasa dipangggil Ibu Risna.”
“Saya
Bram Baswenda. Ibu bisa memanggil saya Bram atau Pak Bram.”
“Padahal
saya sukanya menyebut Pak Baswenda, hehehe” sahut ibu itu mulai berani bercanda
sambil duduk di kursi kosong yang ada di samping kanan Bram.
“Iya Bu.
Begitu juga boleh, hehehe,” jawab Bram mulai ikutan bercanda.
“Benar
nih?”
“Benar.”
“Mendengar namanya, Bapak pasti bukan orang Banua sini ya?”
“Ya
namanya memang bukan nama orang banua, tapi saya asli orang Banua juga lho, Bu?
Ya orang Kalimantan Selatan juga. Malah setengahnya ada darah Lok Sadu-nya juga
lho, Bu?”
“Ah Pak
Baswenda bercanda ya? Mana ada orang banua namanya seperti itu?”
“Lho? Itu John Tralala, Bu? Ia asli urang
banua. Padahal nama urang banua itu kan biasanya
Ardiansyah, Hormansyah, Hamberansyah, Tajuddin, Syarifuddin, Aminuddin.
Nah, yang ini? Namanya John Tralala? hahaha.”
“O iya
ya. Benar juga ya? Hahaha.”
“Ada satu lagi Bu.”
“Siapa,
Pak?”
“Itu Bu,
Deny Indrayana. Itu kan nama orang Sunda? Itu asli Banjarbaru kelahiran
Kotabaru Bu?”
“Benar
juga ya? Kalo Pak Baswenda sendiri, di mana?”
“Di mana
apanya Bu?”
“Oh iya,
pertanyaannya kurang jelas. Maksudnya, Pak Baswenda tingggal di mana? Di
Kandangan? Atau di dekat sekolah sini juga?”
“Di
Kandangan. Masa di dekat sini? Maksudnya itu ngontrak bersama teman yang
sama-sama baru diangkat. Kan di
sini masih belum tahu, Bu?”
“Nggak
mau tinggal di sini ya? Kalau mau saya bisa mencarikan rumah di sini.”
“Wah,
kayaknya nggak tuh, Bu.”
“Benar
nggak mau? Padahal tinggal
di sini enak lho, Pak.”
“Enak
apanya, Bu?”
“Ya enak
aja, hehehe.”
“Nggak
bias begitu saja Bu? Harus ada alasannya .”
“Ya, yang
jelas kalau kamu tinggal di sini pasti enak. Semua serba praktis, dan banyak
kemudahan ada di sini.”
“Misalnya
kemudahan apa, Bu?”
“Di sini
lebih strategis, lebih praktis dibanding dengan desa-desa di sekitarnya.”
“Wah,
asik deh. Saya jadi penasaran nih, Bu?”
“Pertama,
dekat dengan sekolah. Jadi Pak Baswenda bisa on time terus dan tak akan
terlambat. Kedua, di sini ada pasar desa yang buka tiap hari meski hanya
setengah hari. Segala macam keperluan ada di pasar itu. Termasuk juga warung
soto lengkap dengan sate ayamnya.”
“Wah,
asik juga tuh. Di mana pasarnya itu, Bu?”
“Dekat,
sangat dekat sekali. Kalau kita keluar dari sekolah ini, di jalan bersapal itu
belok kanan. Berjalan hanya sekitar lima puluh meter, sampai deh. Di kanan
jalan itulah pasarnya, Pak.”
“Tapi
tadi pagi tidak ada pasar di sana Bu.”
“Pasarnya
masih belum buka.”
“O gitu
ya Bu? Bukankah warung sate itu adanya di sebelah Mesjid Syu’ada itu, Bu?”
“Yang itu
namanya Sate Idar. Yang jualan sate itu namanya Dardi. Warung sate ini sudah
ada sejak dua puluh tahun yang lalu. Sedang yang di pasar itu namanya Sate
Amat. Yang jualan sate itu namanya Amat. Warung itu baru buka sekitar tiga
tahun ini saja.”
“Wah,
jadi lapar nih, Bu?”
“Lapar
ya? Makan aja.”
“Makan
apaan?”
“Ya makan
nasi, masa makan batu? Hahaha.”
“Wah ibu
bisa aja. Makan di mana? Ini kan di sekolah?”
“Kan di kantin sekolah ada nasi kuning? Makan yu?”
“Ah nggak
ah. Nanti saja. Hahaha.”
“Pak
Baswenda, bagaimana? Mau nggak?”
“Wah, mau
apanya, Bu?”
“Ya, mau
yang itu tadi. Maksudnya pindah rumah ke sini.”
”Lho?
Rumah kontrakan di Kandangan itu dikontrak enam bulan. Masa langsung pindah?”
“Benar
juga ya?”
Hanya
dalam beberapa menit kedua guru itu sudah akrab seperti sudah kenal lama.
Tiba-tiba masuk pesuruh sekolah membawa minuman lengkap dengan koenya. Kemudian
ia menaruh termos besar berisi teh hangat. Di situ juga ada water heater buat
mau minum kopi instant. Di meja itu juga sudah tersedia sejumlah gelas kosong
untuk guru-guru. Biasanya guru-guru menuang sendiri. Yang mau kopi juga harus
bikin sendiri. Kan ada water heater?
Tiba-tiba
terdengar bunyi bel tanda istirahat pertama, beberapa orang guru mulai
berdatangan memasuki ruang guru. Ada yang langsung duduk di kursi
masing-masing, ada yang mengambil gelas dan mengisinya dengan teh atau kopi.
Ibu Risna cepat berdiri meninggalkan ruang guru, karena Ibu Jubaidah sudah datang
dan akan duduk di kursinya. Hampir semua guru sudah duduk di kursi
masing-masing, kecuali kursi yang di samping kiri Bram masih kosong.
Bram
berdiri mengambil teh dan koe, lalu kembali ke kursinya. Hanya dalam waktu
sramailah ruang guru ini dengan canda dan sendau gurau guru-guru. Sebagai orang
baru Bram berupaya menyesuaikan diri menjadi pendengar yang baik. Sesekali ia
ikut mengiyakan dan ikut tertawa jika memang ada obrolan yang lucu. Tiba-tiba
Pak Firman juga ikut tertawa sambil masuk ruangan. Ia tersenyum ramah kepada
Bram Baswenda. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Ternyata
benar.
“Pak Bram
dipanggil Kepala Sekolah.”
“Sekarang
ya Pak.”
“Ya,
barangkali berkaitan dengan tugas mengajar.”
“Iya, Pak.”
Bram sepat
berdiri dan pergi menemui Kepala Sekolah. Sebentar kemudian ia sudah sampai di
depan pintu ruang Kepala Sekolah. Berdiri sebentar, tarik nafas dan ia pun
mengetuk pintu.
“Masuk,
Bram.”
Suara itu
masih tegar dan berwibawa sama seperti saat masih di kampus. Wajah dan senyum
itu juga masih senyum aktivis kampus yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu.
“Assalamu
alaikum.”
“Wa alaikum salam. Silahkan duduk.”
Bram menganguk hormat lalu
duduk di kursi tamu yang ada di
ruang itu. Tetapi kali ini ada perasaan yang berbeda. Ada rasa segan bahkan sedikit tegang. Maklum ini bukanlah
Kak Abdul Sani yang ketua BEM di kampusnya dulu, tetapi ia seorang kepala
sekolah atasan langsungnya di sini.
“Pak
Bram, rasanya baru beberapa bulan saja kita berpisah ya?”
“Iya,
Pak. Ternyata sudah lima tahunan ya?”
“O ya?
Sudah lima tahun lebih ya? Saya jadi kepala di sini haru
sejak tahun kemaren. Pak Bram, masih menulis ya?”
“Ya,
masih Pak Tetapi tidak segencar dulu. Kadang-kadang saja, kalau lagi tak ada
kegiatan lain, Pak.”
“Lalu
kegiatan Pramuka-nya bagaimana?”
“Sekarang
nggak lagi Pak.”
“Padahal
saya mau Pak Bram bersedia membina pramuka di gugus depan sekolah.”
“Ya Pak.
Saya bersedia.”
“Iya, kita
bicarakan nanti saja, kalau diperlukan tambahan Pembina. Hari ini khusus
membicarakan tugas mengajar saja. Sesuai dengan ijazah, Pak Bram bertugas
mengajar Bahasa Inggris kelas sembilan. Waktu kita sekolah dulu, ini namanya
kelas tiga.”
“Iya
Pak.”
“Mengenai
buku pegangan, kamu bisa menghubungi Petugas Perpustakaan.”
Demikian
pembicaraan resmi Bram sebagai guru baru dengan Kepala Sekolah sebagai atasan
langsung di sini, selanjutnya percakapan beralih pada pembicaraan tidak resmi
yaitu kangen-kangenan dan bertukar cerita pengalaman masing-masing selama
ini.
***
Sepanjang
perjalanan pulang, Bram teringat kembali
tentang Ibu Risna yang bersedia mencarikan rumah dekat sekolah. Ia
penasaran apanya yang hebat di
Desa Amuk Hantarukung ini?
Di
sepanjang jalan nampak biasa-biasa saja. Di kiri kanan jalan berjajar rumah
penduduk. Itu juga biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Satu-satunya yang
berbeda hanyalah di sini hawanya sejuk dan segar terasa dominant. Itu adalah
efek dari pepohonan yang ada di mana-mana. Bukankah daun-daun itu biasanya
melepas oksigen di siang hari? Nah oksigen itulah yang membuat udara terasa
sejuk dan menyegarkan.
Diam-diam
terbayang kembali wajah ibu berjilbab merah
delima tadi. Ibu itu bukan hanya ramah tetapi juga
menawan di balik kesederhanaan yang melekat pada dirinya. Senyumnya juga renyah
menawan bagi setiap lelaki yang memandangnya. Tentu saja bagi Bram itu hanya
sebatas mengagumi saja, karena Ibu Risna ini juga berusia jauh lebih tua di
atasnya.
Ternyata
Ibu Risna itu juga teringat dan terbayang kembali wajah guru yang baru diangkat
itu. Diam-diam ia terpikat juga oleh ketampanan guru baru yang telah menawan
hatinya itu.
Sejak
kematian suaminya setahun yang lalu, baru kali ini ia merasa ada lelaki yang
menggetarkan hatinya. Sayang guru baru itu jauh lebih muda darinya, lebih
pantas sebagai adik ketimbang pasangannya. Coba saja seandainya lebih tua, atau
sekurangya seumurannya pastilah ia akan berusaha untuk mendapatkannya. Meski
demikian ia tak bisa mendustai hatiya. Sejujurnya ia memang tertarik dengan
Bram Baswenda itu.
Salahkah
jika ia menyukai Pak guru yang usianya lebih muda? Adakah aturan yang melarang
seorang Ibu Guru jatuh hati pada Pak Guru yang lebih muda? Tidak ada kan? Jadi boleh-boleh saja kan? Ya, boleh memang boleh dan tak ada aturan yang
melarang. Hanya saja ada ukuran kepatutan dan kepantasan. Lagi pula belum tentu
guru baru itu juga jatuh hati padanya, kan?
“Astagfirullah.”
Mengapa ia
berpikiran yang bukan-bukan? Ia tidak
boleh berpikiran semacam itu. Cukup hanya berteman.
***
Julak Idar
memandang jauh ke luar jendela. Yang tampak adalah kebun kelapa yang tumbuh
seperti hutan kelapa. Itulah kebiasaan menanam bibit kelapa tanpa jarak yang beraturan.
Meski demikian, dari kebun kelapa inilah sebagian biaya hidup keluaganya selama
ini ditambah dengan bagi hasil dari sawah-sawahnya yang dikerjakan oleh kerabat
keluarga.
Sebenarnya bukan itu yang ada dipikirannya, saat ini pikirannya melayang
ke masa lalu.
Dua
puluh tahun yang lalu Julak Idar itu adalah seorang jawara, pendekar yang
sangat ditakuti di Banua Anam ini, Guru kuntau yang muridnya ada di mana-mana.
Ternyata istrinya juga ada di mana-mana. Dan banyak juga yang diceraikannya.
Satu-satunya istri yang bertahan adalah ibunya Rahmadi itu. Yaitu kembang Desa
Panjaringan yang jauh dari sini. Sayang istrinya itu meninggal saat Rahmadi
masih kecil. Itulah sebabnya sampai sekarang ia tak pernah kawin-kawin lagi.
Sejak itu ia pulang kampung dan tinggal menetap sebagai guru kuntau di kampung
halaman sendiri, tetu saja sambil membesarkan anaknya yang semata wayang itu.
Rahmadi
Saputra itulah nama lengkapnya, biasa dipanggil Madi Bungas karena
penampilannya memang tampan. Ia tumbuh subur menjadi remaja yang disukai banyak
wanita. Senyumnya sangat menawan membuat banyak gadis tergila-gila. Bahkan
sering terjadi adu mulut dan pertengkaran di antara gadis-gadis yang bersaing
mendapatkan cintanya.
Banyak gadis-gadis
yang menyatakan cintanya. Namun ia harus memilih hanya satu di antara mereka.
Yaitu seorang gadis yatim piatu namanya adalah Rahayu Agustina yang biasa
dipanggil Agus, teman sepermainan dan teman sekelas sejak di SMPN Hantarukung
sampai di SMAN 1 Kandangan. Tanpa banyak
pertimbangan dipinanglah si belahan jiwa itu dan langsung dilaksanakan
pernikahan. seluruh rangkaian acara pernikahan dan perkawinan itu dilaksanakan
di rumah Julak Idar sendiri.
Hari itu
sangat meriah. Betapa gagahnya Rahmadi dalam Pakaian Pangantin Banjar berwarna
kuning diantar oleh rombongan Kesenian Kuda Gipang Carita. Dan lebih meriah
lagi ketika ke dua mempelai itu dinaikkan ke bahu Pausungan1 untuk melakukan
ritual adat usung jinggung. Begitu cantiknya Agustina serasi benar dengan
Rahmadi yang begitu tampan. Mereka berdua seakan-akan sedang menari. Padahal
tidak. Sebenarnya pausungan itulah yang menari-nari diikuti bunyi irama gamelan
dan tarian Kuda Gipang itu.
Julak Idar
sebagai tokoh panguntauan2 sudah pasti hari itu juga dimeriahkan dengan acara
Bakuntau3 atau pencak silat yang berlangsung begitu meriah. Inilah hiburan yang
paling dinanti-nanti. Hampir semua orang merapat dan mengelilingi gelanggang
bakuntau tersebut.
Bakuntau
ini diawali dengan pemberitahuan dari
protokol bahwa acara hiburan itu
menampilkan pesilat undangan khusus dari beberapa Perguruan Kuntau yang ada di
Kalimantan Selatan. Selanjutnya mulailah ditiup serunai yang bunyinya
melengking tinggi diiringi dengan bunyi tetabuhan babun gendang dan gong
mengiringinya. Mulailah tiap perguruan menampilkan pesilat-pesilatnya
membawakan bunga jurus-jurus andalan masing-masing. Tidak terkecuali
guru-gurunya pun ikut tampil ke tengah gelanggang. Maka riuh rendahlah
sorak-sorai dan tepuk tangan penonton menambah semakin meriah acara itu, dan
para pesilatnya pun semakin tambah bersemangat.
Berikut
dilanjutkan dengan adu ketangkasan sepasang pesilat dengan jurus-jurus andalan
masing-masing. Acara ini diakhiri dengan tampilnya para pendekar guru-guru
kuntau dengan patikaman4 jurus pamungkas yang dibalas dengan anti
patikaman masing-masing perguruan.
***
Malam
harinya dilaksanakan acara khataman Al Qur’an. Nampak Rahayu Agustina mempelai wanita
itu dikelilingi ibu-ibu yang ikut mengkhatamkannya. Prosesi batamat Al Qur’an
itu dipimpin oleh Ustazah Maimunah yang tak asing lagi di lingkungan Desa Hantarukung
dan nekitarya.. Begitulah tradisi di kampung ini. Sayangnya perkawinan itu
tidak bertahan lama. Ternyata perkawinan yang nampak bahagia itu berubah
menjadi duka. Karena baru dua bulan berjalan, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya
penyakit itu. Suami tercinta tertular penyakit muntaber dan tidak dapat
melewati masa kritis akhirnya berpulang ke rahmatullah.
Tak
terasa sudah dua tahun berlalu Rahayu Agustina hidup menjanda. Meski sempat
mengalami stress berat, tetapi kini ia sudah dapat menerima kenyataan bahwa
suaminya itu sudah meninggal. Dan dia pun sudah mengikhlaskan takdir dan
ketentuan dariNya Yang Maha Kuasa. Dan Julak Idar tetap memperlakukannya
sebagai menantu bahkan menganggapnya seperti anak sendiri. Demikian juga
Agustina memperlakukan mantan mertunya itu sebagai ayah sendiri. Dia yang
memasak, dia yang mencuci pakaian, dia yang membersihkan rumah dan dia yang
berbelanja ke pasar, termasuk juga yang merawat dan memelihara kebersihan alkah
keluarga yang ada di samping rumah.
Kini Agustina kembali sendiri lagi seperti
waktu sebelum bersuami. Tentu saja dia bukan seorang gadis lagi, tetapi kini
dia adalah seorang janda. Meskipun janda tetapi dia masih tetap cantik seperti
dulu. Bahkan kini lebih cantik, dengan sedikit riasan saja dia hanya beda-beda
tipis dengan artis papan atas. Meski demikian ia masih saja belum bersuami.
Bukan berarti tak ada yang mau, tetapi yang datang umumnya lelaki yang sudah
beristri. Bahkan ada yang sudah punya istri dua dan tiga. Mana mau dia menjadi
perebut suami orang? Di samping itu Julak Idar juga tak tega membiarkannya
menjadi istri ke dua apalagi menjadi ke tiga dan jauh lagiyang ke empat apalagi
menjadi istri ke tiga.
Agustina
sangat menyadari itu semua, dia harus menjaga kehormatan mantan mertuanya. Ia
juga sengaja membatasi keberadaannya di luar rumah. Ia hanya keluar rumah jika
ada perlunya, misalnya ke pasar desa, ke majlis ta’lim. Selebihnya ia hanya
berdiam diri di rumah saja. Itulah yang dia lakukan selama bertahun-tahun
belakangan ini. Akhirnya keadaan ini disadari juga oleh Julak Idar bahwa
Agustina perlu juga ke luar rumah bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
“Dang10,
cobalah jalan-jalan keluar mencari udara segar, jangan bakuhup11
di rumah saja.”
“Inggih
Abah,” jawab Agustina dengan hormatnya.
“Nanti
dikira orang Abah yang melarang.”
“Inggih
Abah.”
“Jalan-jalanlah seperti orang itu. Meskipun kamu seorang perempuan, kamu
bebas makan dan minum di warung yang kamu suka. Kamu kan tahu sendiri? Di sini seorang perempuan mawarung12
itu biasa. Tidak seperti di Banjarmasin
atau di kota-kota lainnya. Di sana perempuan mewarung dianggap kurang sopan. Tetapi di
sini? Itu biasa saja.”
“Boleh ya
Bah? Abah tidak marah?”
“Kenapa
mesti marah? Kamu kan bukan anak-anak lagi? Nggak ada yang melarang.”
“Inggih
Abah, kaina ulun jalan-jalan cari angin,” jawabnya malu-malu tapi mau.
“Nah gitu
dong. Masa perempuan cantik bakuhup di rumah melulu.”
“Apa
tidak mencurigakan, Bah?”
“Mencurigakan bagaimana?”
“Ya
mencurigakan gitu. Biasanya kan ulun13 jarang ke luar? Apalagi
mewarung? Jangan-jangan nanti dikira mencari laki ke mana-mana.”
“Bagus
itu.”
“Bagus apanya, Abah?”
“Ya bagus
aja. Lagi pula kan Idang14 tidak harus selamaya menjanda.
Nanti dikira nggak laku-laku”
“Ah, Abah
gitu ah? Memangnya dagangan yang nggak laku-laku? Hehehe.”
“Dagangan? Nggak lah. Kan Idang itu menantu Abah? Meski cuma mantan tapi
bagi Abah Idang sudah Abah anggap anak sendiri. ”
“Ulun
juga sudah menganggap Abah sebagai
Abah ulun sendiri. Nah, kalau ulun kawin lagi? Siapa yang mengurus keperluan
Abah sehari-hari?”
“Itu tak
usah dipikirkan. Abah bisa mengurus diri Abah sendiri. Lagi pula siapa tahu
suami Idang itu nantinya mau tinggal serumah dengan kita di sini. Tak ada
masalah kan?”
“Memangnya ada yang mau? Hehehe”
“Ya,
barangkali saja ada, hahaha”
“Siapa?
Siapa Abah?”
“Ya
siapa saja. Hahaha.”
“Ah
siapa yang mau sama janda? Memangnya Abah mau ulun menjadi istri kedua?”
“Ya,
tentu saja tidak. Di SMP itu kan ada guru baru?
Siapa tahu dia itu ...?”
“Ah Abah
ini. Mana mungkin? Kan di sana ada ibu guru yang masih jomblo.”
“Namanya
juga usaha. Siapa tahu ada hasilnya? Hehehe.”
“Hah,
usaha apaan? Nggak lucu ah.”
“Sudahlah, jangan banyak pertimbangan. Cepat sana pergi makan ketupat di warung. Mumpung masih pagi.
Terlambat sedikit saja bisa habis katupatnya,”
Diam-diam
Agustina membenarkan juga ucapan Abah. Memang itulah yang selama ini
dipendamnya dalam hati. Sebenarnya ia juga ingin seperti dulu lagi sarapan
katupat Kandangan di warung.
Alhamdulillah, Abah sudah memahaminya, bahkan sudah menyarankannya
begitu. Beberapa hari kemudian ia sudah sering terlihat sarapan di warung
katupat kandangan Acil Mirna yang ada di muara jalan menuju ke SMPN Hantarukung
itu. Orang-orang yang makan di warung ini tidak
seramai warung yang lain. Karena warung ini bukanya agak siangan sedikit, di
mana orang-orang sudah mangatupat15 di warung lain. Di warung ini pelanggannya
sebagian besar pelanggannya adalah PNS yang sengaja mampir sarapan di sini.
***
Pagi ini
nampak Agustina duduk di warung ketupat kandangan. Di sini juga ada tiga
Bapak-bapak dan dua Ibu-ibu yang berseragam PNS. Salah satunya adalah Ibu
Risnawati kakak sepupunya itu. Ada juga dua lelaki dan dua perempuan yang bukan PNS.
Seperti
biasa meskipun orangnya tidak banyak tetapi suasananya tetap menyenangkankan.
Kenapa? Karena semua trending topik yang masih hangat dibicarakan juga di
warung ini.
Agustina
duduk di samping Ibu Risna, lalu memesan satu porsi ketupat kandangan.
“E Agus?
Tidak biasanya kamu sarapan di sini,” sapa Ibu Risna tersenyum ramah.
“Sekali-sekali makan katupat bersama Ibu-ibu boleh kan?” sahutnya balik bertanya dengan senyum ramahnya.
“Ya boleh
lah, masa tidak boleh?”
Sebentar
kemudian ramailah pembicaraan di warung itu. Agustina hanya senyam-senyum
sendiri. Sebentar kemudian Acil Mirna menyerahkan ketupat pesanannya.
Diambilnya sedikit sambal binjai, diaduk-aduknya di kuah ketupat. Setelah
berdoa maka santapan istmewa itu pun masuk ke mulutnya. Luar biasa nikmatnya,
aroma binjai tajam memancing selera.
“Masih
suka ketupat ya?” tanya Ibu Risna.
“Iya,
pastilah. Ini kan makanan kesukaan kita turun temurun? Sambal binjainya
ini yang membuat kita ketagihan,” jawabnya tersenyum menyapu keringat yang
membasahi dahi.
“Benar
nih sambal binjainya? Atau ada sambal binjai yang lain?”
“Ah Ibu.
Ya sambal yang ini lah. Memangnya ada sambal
binjai yang lain?”
“Ya
pastilah ada. Ssst, ini rahasia lho. Bagi kita sesama … tentu ada binjai yang
lain,” bisik Ibu Risna sekali lagi.
“Ah Ibu
ini ada-ada saja, hahaha.”
Keduanya ketawa-ketiwi
cekikikan tanpa menghiraukan pelanggan yang lain. Meski Ibu Risna ini sepupu
Agustina sendiri, tetapi ia selalu menyebutnya Ibu Risna. Kecuali jika berada
di lingkungan kelurga ia biasa menyebutnya dengan panggilan Ka Risna.
“Hei,
kalau ada kabar gembira bagi-bagi dong,” kata ibu guru yang duduk di ujung.”
“E mau
tau aja, rahasia dong, hehehe,” sahut Ibu Risna tertawa kecil.
Tidak ada
yang istimewa dalam pembicaraan pagi ini, semua biasa saja. Awalnya Agustina
makan ketupat kandangan di warung ini tidak ada maksud apa-apa selain sarapan.
Bukan untuk mengincar lelaki apalagi untuk mencari suami, ia hanya sekedar
mengikuti anjuran Julak Idar mantan mertuanya itu. Baginya makan ketupat di
sini karena hanya memang di warung inilah yang masih ada ketupatnya di atas
pukul delapan pagi. Sedangkan warung ketupat yang lain biasanya pada jam-jam
seperti ini sudah habis. Lagi pula ia agak siangan datang, maka warung ketupat
inilah satu-satunya pilihan yang ada.
Sepertinya kali ini ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menarik
perhatiannya. Tiba-tiba saja ada seseorang lelaki yang melempar senyum ke
arahnya. Senyum itu kerling itu wajah itu semuanya sangat familiar baginya.
Senyum itu sama persis senyum almarhum suamiya.
Setelah
diperhatikannya ternyata bukan hanya itu
tetapi semua yang ada pada almarhum suaminya juga ada pada orang ini.
Tiba-tiba saja Agustina merasa dadanya berdebar-debar, menggelegar-gelegar
bagai langit mau runtuh. Badannya panas dingin dan seluruh tubuhnya gemetar.
Karena tiba-tiba saja di depannya ada Rahmadi Saputra almarhum suaminya itu.
“Benar.
Tidak salah lagi. Ini adalah Ka Madi. Tidak salah
lagi ini pasti Ka Madi,” katanya di dalam hati.
“Astaghfirullah. Tidak mungkin!”
Untung ia
cepat sadar bahwa itu bukan suaminya. Hampir saja dia berteriak memanggil nama
suaminya yang sudah tiada itu. Untung ia cepat sadar, suaminya tidak mungkin
makan ketupat kandangan di sini. Ia kan sudah meninggal dua tahun yang lalu?
Tetapi orang itu asik juga. Ah bagaimana ini? Bagaimana pula jika lelaki itu
memang benar-benar ... ?
“Astaghfirullah, mengapa aku jadi berpikir yang bukan-bukan?”
Ternyata
keberadaan yang mirip almarhum suaminya
itu sangat menggoncang menggoncang hatinya. Berkali-kali ia mencuri
pandang, ternyata lelaki itu juga sama. Berkali-kali pula mereka beradu pandang
dan bertatapan, saling adu kerling dan saling berbalas senyum. Lalu sama-sama
tertunduk malu. Sementara Agustina masih menyantap katupatya lelaki itu sudah
berdiri membayar harga ketupat yang dimakannya, lalu menghidupkan kendaraan
bebeknya dan langsung pergi menuju SMPN Hantarukung.
Diam-diam
Agustina memperhatikannya tanpa berkedip bahkan sampai lelaki itu tak terlihat
lagi ia masih saja menatap jalan
yang menuju ke SMP itu.
“Itu Bram
Baswenda, tertarik ya?” bisik Ibu Risna.
“E Ibu,
tertarik apaan?” jawabnya tersipu-sipu.
“E, nggak
usah ngeles, tertarik kan? Itu guru SMP yang baru diangkat.”
“E siapa
yang nanya?” sahutnya.
Padahal
ia memang tertarik. Baru kali inilah ia tertarik pada seseorang, karena guru
baru itu memang mirip almarhum suaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar