menu

Rabu, 18 Mei 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 1



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 1

01

       Hari masih pagi baru pukul enam empat puluh menit. Tetapi bagi Bram Baswenda yang mulai bekerja hari ini  terasa begitu lama menunggu apel Upacara Bendera. Dia sudah siap sejak pukul enam. Begitulah kebiasaan Bram Baswenda sebelum menginjakkan kaki di bumi Amuk Hantarukung1 ini. Sebagai anak kost, ia sudah biasa hidup hemat. Itulah yang diajarkan kepadanya selama di panti asuhan.
       Hidupnya selama ini memang bergantung pada hasil kerja serabutan mahasiswa, dari jual jasa pengetikan komputerisasi tugas perkuliahan sampai pengetikan skripsri, termasuk juga printing dan penjilidannya. Di samping itu ia juga ikut aktif mengajar sebagai guru honorer di beberapa sekolah swasta dan ikut dalam bimbingan belajar Ujian Nasional. Selain itu ia juga aktif jadi panitia ini dan itu, termasuk juga jadi tukang ojek.
      Setelah  lama  menunggu  baru  terlihat ada beberapa siswa yang datang lebih awal. Ternyata itu adalah siswa petugas kebersihan hari ini. Tak lama kemudian barulah siswa-siswa  mulai  berdatangan,  disusul  guru-guru  dan pegawai tata usaha termasuk juga Kepala Sekolah.
       Hari pertama kerja, ia mengawalinya dengan mengikuti Upacara Bendera. Hampir tak ada yang berbeda dengan Upacara Bendera semasa ia masih di SMP dulu. Satu-satunya yang berbeda adalah pakaian seragam siswa. Yang putra memakai celana panjang dan yang putri semuanya memakai jilbab, sama dengan seragam Madrasah Tsanawiyah. Pada waktu dia SMP dulu, dia wajib memakai celana pendek dan para siswinya juga tak ada yang memakai jilbab.
       Hari pertama masuk kerja tentu masih belum banyak yang dikenalnya di sini, kecuali Ibu Jubaidah yang duduk di sebelah kiri dan Pak Firman Jaya Samudera yang duduk di sebelah kanannya. Itu pun hanya sebelum mengajar di kelas masing-masing. Begitu berbunyi bel ganti jam pelajaran ke dua guru-guru itu pun bergegas ke kelas sesuai dengan jadual mengajar  masing-masing. Ada guru yang bergegas menuju ke laboratorium untuk  pembelajaran  praktikum Biologi dan Sains. Dan guru olah raga tentu langsung ke lapangan. Hanya ia saja yang masih duduk di ruang guru, karena memang belum mendapat tugas mengajar.  
       Diam-diam dikeluarkannya dari tasnya buku novel Selalu Saja ada Gelombang Cinta di Beranda itu karya Hamberan Syahbana yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu.  
       Saat asik-asiknya membaca novel tanpa diketahuinya ada seorang ibu guru berjilbab merah delima, sejak tadi berdiri di ambang pintu sedang memperhatikannya. Ibu guru yang cantik itu tidak sadar bahwa ada yang lain dari cara ia memandang guru baru ini. Ia merasa seperti berada di wilayah medan magnit yang begitu kuat menariknya. Daya magnit itu semakin kuat, bahkan ia merasa ada sesuatu yang membuatnya langsung tertarik. Apakah ini pertanda bahwa ia mulai membuka hatinya yang terkunci selama ini? Ataukah memang guru baru ini yang mempunyai daya tarik luar bisa? Ia tak tahu pasti, yang jelas diam-diam ia mulai menyukai guru baru ini. 
       “Nggak keluar, Pak Bram?” sapa ibu itu dengan senyum ramahnya.
       “Nggak, Bu,” jawab Bram membalas senyuman ibu berjilbab merah delima itu.
       “Kenapa?”
       “Nggak apa-apa.”
       “O. Bapak suka baca novel juga ya?”
       “Iya Bu. kadang-kadang.” 
       “Kok kadang-kadang?”
       “Iya kadang-kadang kalau lagi tak ada kerjaan.”  
       “Apa judulnya, Pak?”
       “Ini Bu,” katanya memperlihatkan cover buku itu. 
       Ibu itu membaca judulnya lalu manggut-manggut Selalu Saja Ada Gelombang Cinta di Beranda itu..
      “Wah  ini  novel  Pak  Hamberan  Syahbana  yang  di fesbuk itu ya?”
       “Iya Bu. E Ibu suka fesbukan juga ya?”
       “Ya kadang-kadang.”
       “Kok kadang-kadang?”  
       “Iya kadang-kadang. Itu juga kalau kebetulan anak saya ada di rumah.”
       “Memangnya anak Ibu itu biasanya ke mana Bu?”
       ‘Ia itu mondok di pesantren. Oh iya, kita belum berkenalan, Pak.”
       Ibu itu mengulurkan tangan diiringi dengan senyum ramahnya. Bram pun menyambut dengan senyum yang sama ramahnya.
       “Saya Guru Bimbingan dan Konseling. Nama saya Risnawati Merah Delima. Di sini saya biasa dipangggil Ibu Risna.”
       “Saya Bram Baswenda. Ibu bisa memanggil saya Bram atau Pak Bram.”
       “Padahal saya sukanya menyebut Pak Baswenda, hehehe” sahut ibu itu mulai berani bercanda sambil duduk di kursi kosong yang ada di samping kanan Bram.
       “Iya Bu. Begitu juga boleh, hehehe,” jawab Bram mulai ikutan bercanda.
       “Benar nih?”
       “Benar.”
       “Mendengar namanya, Bapak pasti bukan orang Banua sini ya?”
       “Ya namanya memang bukan nama orang banua, tapi saya asli orang Banua juga lho, Bu? Ya orang Kalimantan Selatan juga. Malah setengahnya ada darah Lok Sadu-nya juga lho, Bu?”
       “Ah Pak Baswenda bercanda ya? Mana ada orang banua namanya seperti itu?”
       “Lho? Itu John Tralala, Bu? Ia asli urang banua. Padahal nama urang banua itu kan biasanya  Ardiansyah, Hormansyah, Hamberansyah, Tajuddin, Syarifuddin, Aminuddin. Nah, yang ini? Namanya John Tralala? hahaha.”
       “O iya ya. Benar juga ya? Hahaha.”
       Ada satu lagi Bu.”
       “Siapa, Pak?”
       “Itu Bu, Deny Indrayana. Itu kan nama orang Sunda? Itu asli Banjarbaru kelahiran Kotabaru Bu?”
       “Benar juga ya? Kalo Pak Baswenda sendiri, di mana?”
       “Di mana apanya Bu?”
       “Oh iya, pertanyaannya kurang jelas. Maksudnya, Pak Baswenda tingggal di mana? Di Kandangan? Atau di dekat sekolah sini juga?”
       “Di Kandangan. Masa di dekat sini? Maksudnya itu ngontrak bersama teman yang sama-sama baru diangkat. Kan di sini masih belum tahu, Bu?”
       “Nggak mau tinggal di sini ya? Kalau mau saya bisa mencarikan rumah di sini.”
       “Wah, kayaknya nggak tuh, Bu.”
       “Benar nggak mau?  Padahal  tinggal  di sini enak lho, Pak.”
       “Enak apanya, Bu?”
       “Ya enak aja, hehehe.”
       “Nggak bias begitu saja Bu? Harus ada alasannya .”
       “Ya, yang jelas kalau kamu tinggal di sini pasti enak. Semua serba praktis, dan banyak kemudahan ada di sini.”
       “Misalnya kemudahan apa, Bu?” 
       “Di sini lebih strategis, lebih praktis dibanding dengan desa-desa di sekitarnya.”
       “Wah, asik deh. Saya jadi penasaran nih, Bu?”
       “Pertama, dekat dengan sekolah. Jadi Pak Baswenda bisa on time terus dan tak akan terlambat. Kedua, di sini ada pasar desa yang buka tiap hari meski hanya setengah hari. Segala macam keperluan ada di pasar itu. Termasuk juga warung soto lengkap dengan sate ayamnya.”
       “Wah, asik juga tuh. Di mana pasarnya itu, Bu?”
       “Dekat, sangat dekat sekali. Kalau kita keluar dari sekolah ini, di jalan bersapal itu belok kanan. Berjalan hanya sekitar lima puluh meter, sampai deh. Di kanan jalan itulah pasarnya, Pak.”
       “Tapi tadi pagi tidak ada pasar di sana Bu.”
       “Pasarnya masih belum buka.”
       “O gitu ya Bu? Bukankah warung sate itu adanya di sebelah Mesjid Syu’ada itu, Bu?”
       “Yang itu namanya Sate Idar. Yang jualan sate itu namanya Dardi. Warung sate ini sudah ada sejak dua puluh tahun yang lalu. Sedang yang di pasar itu namanya Sate Amat. Yang jualan sate itu namanya Amat. Warung itu baru buka sekitar tiga tahun ini saja.”
       “Wah, jadi lapar nih, Bu?” 
       “Lapar ya?  Makan aja.” 
       “Makan apaan?”
       “Ya makan nasi, masa makan batu? Hahaha.”
       “Wah ibu bisa aja. Makan di mana? Ini kan di sekolah?”  
       Kan di kantin sekolah ada nasi kuning? Makan yu?”
       “Ah nggak ah. Nanti saja. Hahaha.” 
       “Pak Baswenda, bagaimana? Mau nggak?”
       “Wah, mau apanya, Bu?”
       “Ya, mau yang itu tadi. Maksudnya pindah rumah ke sini.”
       ”Lho? Rumah kontrakan di Kandangan itu dikontrak enam bulan. Masa langsung pindah?”
       “Benar juga ya?”
       Hanya dalam beberapa menit kedua guru itu sudah akrab seperti sudah kenal lama. Tiba-tiba masuk pesuruh sekolah membawa minuman lengkap dengan koenya. Kemudian ia menaruh termos besar berisi teh hangat. Di situ juga ada water heater buat mau minum kopi instant. Di meja itu juga sudah tersedia sejumlah gelas kosong untuk guru-guru. Biasanya guru-guru menuang sendiri. Yang mau kopi juga harus bikin sendiri. Kan ada water heater? 
       Tiba-tiba terdengar bunyi bel tanda istirahat pertama, beberapa orang guru mulai berdatangan memasuki ruang guru. Ada yang langsung duduk di kursi masing-masing, ada yang mengambil gelas dan mengisinya dengan teh atau kopi. Ibu Risna cepat berdiri meninggalkan ruang guru, karena Ibu Jubaidah  sudah  datang dan  akan duduk  di kursinya.  Hampir semua guru sudah duduk di kursi masing-masing, kecuali kursi yang di samping kiri Bram masih kosong.
       Bram berdiri mengambil teh dan koe, lalu kembali ke kursinya. Hanya dalam waktu sramailah ruang guru ini dengan canda dan sendau gurau guru-guru. Sebagai orang baru Bram berupaya menyesuaikan diri menjadi pendengar yang baik. Sesekali ia ikut mengiyakan dan ikut tertawa jika memang ada obrolan yang lucu. Tiba-tiba Pak Firman juga ikut tertawa sambil masuk ruangan. Ia tersenyum ramah kepada Bram Baswenda. Sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Ternyata benar.
       “Pak Bram dipanggil Kepala Sekolah.”
       “Sekarang ya Pak.”
       “Ya, barangkali berkaitan dengan tugas mengajar.”
       “Iya,  Pak.”
       Bram sepat berdiri dan pergi menemui Kepala Sekolah. Sebentar kemudian ia sudah sampai di depan pintu ruang Kepala Sekolah. Berdiri sebentar, tarik nafas dan ia pun mengetuk pintu.
       “Masuk, Bram.”
       Suara itu masih tegar dan berwibawa sama seperti saat masih di kampus. Wajah dan senyum itu juga masih senyum aktivis kampus yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu.
       “Assalamu alaikum.”
       “Wa alaikum salam. Silahkan duduk.”
       Bram  menganguk hormat  lalu  duduk  di kursi tamu yang ada di ruang itu. Tetapi kali ini ada perasaan yang berbeda. Ada rasa segan bahkan sedikit tegang. Maklum ini bukanlah Kak Abdul Sani yang ketua BEM di kampusnya dulu, tetapi ia seorang kepala sekolah atasan langsungnya di sini. 
       “Pak Bram, rasanya baru beberapa bulan saja kita berpisah  ya?”
       “Iya, Pak. Ternyata sudah lima tahunan ya?”
       “O ya? Sudah lima tahun lebih ya? Saya jadi kepala di sini haru sejak tahun kemaren. Pak Bram, masih menulis ya?”
       “Ya, masih Pak Tetapi tidak segencar dulu. Kadang-kadang saja, kalau lagi tak ada kegiatan lain, Pak.”
       “Lalu kegiatan Pramuka-nya bagaimana?”
       “Sekarang nggak lagi Pak.”
       “Padahal saya mau Pak Bram bersedia membina pramuka di gugus depan sekolah.” 
       “Ya Pak. Saya bersedia.”
        “Iya, kita bicarakan nanti saja, kalau diperlukan tambahan Pembina. Hari ini khusus membicarakan tugas mengajar saja. Sesuai dengan ijazah, Pak Bram bertugas mengajar Bahasa Inggris kelas sembilan. Waktu kita sekolah dulu, ini namanya kelas tiga.”
       “Iya Pak.”
       “Mengenai buku pegangan, kamu bisa menghubungi Petugas Perpustakaan.”
       Demikian pembicaraan resmi Bram sebagai guru baru dengan Kepala Sekolah sebagai atasan langsung di sini, selanjutnya percakapan beralih pada pembicaraan tidak resmi yaitu kangen-kangenan dan bertukar cerita pengalaman masing-masing selama ini.    
***
       Sepanjang perjalanan pulang, Bram teringat kembali  tentang Ibu Risna yang bersedia mencarikan rumah dekat sekolah.  Ia  penasaran  apanya yang hebat di Desa Amuk Hantarukung ini?
       Di sepanjang jalan nampak biasa-biasa saja. Di kiri kanan jalan berjajar rumah penduduk. Itu juga biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Satu-satunya yang berbeda hanyalah di sini hawanya sejuk dan segar terasa dominant. Itu adalah efek dari pepohonan yang ada di mana-mana. Bukankah daun-daun itu biasanya melepas oksigen di siang hari? Nah oksigen itulah yang membuat udara terasa sejuk dan menyegarkan.
       Diam-diam terbayang kembali wajah ibu berjilbab merah
delima tadi. Ibu itu bukan hanya ramah tetapi juga menawan di balik kesederhanaan yang melekat pada dirinya. Senyumnya juga renyah menawan bagi setiap lelaki yang memandangnya. Tentu saja bagi Bram itu hanya sebatas mengagumi saja, karena Ibu Risna ini juga berusia jauh lebih tua di atasnya.
       Ternyata Ibu Risna itu juga teringat dan terbayang kembali wajah guru yang baru diangkat itu. Diam-diam ia terpikat juga oleh ketampanan guru baru yang telah menawan hatinya itu.
       Sejak kematian suaminya setahun yang lalu, baru kali ini ia merasa ada lelaki yang menggetarkan hatinya. Sayang guru baru itu jauh lebih muda darinya, lebih pantas sebagai adik ketimbang pasangannya. Coba saja seandainya lebih tua, atau sekurangya seumurannya pastilah ia akan berusaha untuk mendapatkannya. Meski demikian ia tak bisa mendustai hatiya. Sejujurnya ia memang tertarik dengan Bram Baswenda itu.
       Salahkah jika ia menyukai Pak guru yang usianya lebih muda? Adakah aturan yang melarang seorang Ibu Guru jatuh hati pada Pak Guru yang lebih muda? Tidak ada kan? Jadi boleh-boleh saja kan? Ya, boleh memang boleh dan tak ada aturan yang melarang. Hanya saja ada ukuran kepatutan dan kepantasan. Lagi pula belum tentu guru baru itu juga jatuh hati padanya, kan?
       “Astagfirullah.”
       Mengapa ia berpikiran yang bukan-bukan? Ia  tidak boleh berpikiran semacam itu. Cukup hanya berteman.

***
       Julak Idar memandang jauh ke luar jendela. Yang tampak adalah kebun kelapa yang tumbuh seperti hutan kelapa. Itulah kebiasaan menanam bibit kelapa tanpa jarak yang beraturan. Meski demikian, dari kebun kelapa inilah sebagian biaya hidup keluaganya selama ini ditambah dengan bagi hasil dari sawah-sawahnya yang dikerjakan oleh kerabat keluarga.
       Sebenarnya bukan itu yang ada dipikirannya, saat ini pikirannya melayang ke masa lalu.   
        Dua puluh tahun yang lalu Julak Idar itu adalah seorang jawara, pendekar yang sangat ditakuti di Banua Anam ini, Guru kuntau yang muridnya ada di mana-mana. Ternyata istrinya juga ada di mana-mana. Dan banyak juga yang diceraikannya. Satu-satunya istri yang bertahan adalah ibunya Rahmadi itu. Yaitu kembang Desa Panjaringan yang jauh dari sini. Sayang istrinya itu meninggal saat Rahmadi masih kecil. Itulah sebabnya sampai sekarang ia tak pernah kawin-kawin lagi. Sejak itu ia pulang kampung dan tinggal menetap sebagai guru kuntau di kampung halaman sendiri, tetu saja sambil membesarkan anaknya yang semata wayang itu.
       Rahmadi Saputra itulah nama lengkapnya, biasa dipanggil Madi Bungas karena penampilannya memang tampan. Ia tumbuh subur menjadi remaja yang disukai banyak wanita. Senyumnya sangat menawan membuat banyak gadis tergila-gila. Bahkan sering terjadi adu mulut dan pertengkaran di antara gadis-gadis yang bersaing mendapatkan cintanya. 
      Banyak gadis-gadis yang menyatakan cintanya. Namun ia harus memilih hanya satu di antara mereka. Yaitu seorang gadis yatim piatu namanya adalah Rahayu Agustina yang biasa dipanggil Agus, teman sepermainan dan teman sekelas sejak di SMPN Hantarukung sampai di SMAN 1 Kandangan.  Tanpa banyak pertimbangan dipinanglah si belahan jiwa itu dan langsung dilaksanakan pernikahan. seluruh rangkaian acara pernikahan dan perkawinan itu dilaksanakan di rumah Julak Idar sendiri.
       Hari itu sangat meriah. Betapa gagahnya Rahmadi dalam Pakaian Pangantin Banjar berwarna kuning diantar oleh rombongan Kesenian Kuda Gipang Carita. Dan lebih meriah lagi ketika ke dua mempelai itu dinaikkan ke bahu Pausungan1 untuk melakukan ritual adat usung jinggung. Begitu cantiknya Agustina serasi benar dengan Rahmadi yang begitu tampan. Mereka berdua seakan-akan sedang menari. Padahal tidak. Sebenarnya pausungan itulah yang menari-nari diikuti bunyi irama gamelan dan tarian Kuda Gipang itu.
      Julak Idar sebagai tokoh panguntauan2 sudah pasti hari itu juga dimeriahkan dengan acara Bakuntau3 atau pencak silat yang berlangsung begitu meriah. Inilah hiburan yang paling dinanti-nanti. Hampir semua orang merapat dan mengelilingi gelanggang bakuntau tersebut.
        Bakuntau ini diawali dengan pemberitahuan dari  protokol  bahwa acara hiburan itu menampilkan pesilat undangan khusus dari beberapa Perguruan Kuntau yang ada di Kalimantan Selatan. Selanjutnya mulailah ditiup serunai yang bunyinya melengking tinggi diiringi dengan bunyi tetabuhan babun gendang dan gong mengiringinya. Mulailah tiap perguruan menampilkan pesilat-pesilatnya membawakan bunga jurus-jurus andalan masing-masing. Tidak terkecuali guru-gurunya pun ikut tampil ke tengah gelanggang. Maka riuh rendahlah sorak-sorai dan tepuk tangan penonton menambah semakin meriah acara itu, dan para pesilatnya pun semakin tambah bersemangat.
       Berikut dilanjutkan dengan adu ketangkasan sepasang pesilat dengan jurus-jurus andalan masing-masing. Acara ini diakhiri dengan tampilnya para pendekar guru-guru kuntau dengan patikaman4 jurus pamungkas yang dibalas dengan anti patikaman masing-masing perguruan.

***
       Malam harinya dilaksanakan acara khataman Al Qur’an. Nampak Rahayu Agustina mempelai wanita itu dikelilingi ibu-ibu yang ikut mengkhatamkannya. Prosesi batamat Al Qur’an itu dipimpin oleh Ustazah Maimunah yang tak asing lagi di lingkungan Desa Hantarukung dan nekitarya.. Begitulah tradisi di kampung ini. Sayangnya perkawinan itu tidak bertahan lama. Ternyata perkawinan yang nampak bahagia itu berubah menjadi duka. Karena baru dua bulan berjalan, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya penyakit itu. Suami tercinta tertular penyakit muntaber dan tidak dapat melewati masa kritis akhirnya berpulang ke rahmatullah.  
       Tak terasa sudah dua tahun berlalu Rahayu Agustina hidup menjanda. Meski sempat mengalami stress berat, tetapi kini ia sudah dapat menerima kenyataan bahwa suaminya itu sudah meninggal. Dan dia pun sudah mengikhlaskan takdir dan ketentuan dariNya Yang Maha Kuasa. Dan Julak Idar tetap memperlakukannya sebagai menantu bahkan menganggapnya seperti anak sendiri. Demikian juga Agustina memperlakukan mantan mertunya itu sebagai ayah sendiri. Dia yang memasak, dia yang mencuci pakaian, dia yang membersihkan rumah dan dia yang berbelanja ke pasar, termasuk juga yang merawat dan memelihara kebersihan alkah keluarga yang ada di samping rumah.
       Kini Agustina kembali sendiri lagi seperti waktu sebelum bersuami. Tentu saja dia bukan seorang gadis lagi, tetapi kini dia adalah seorang janda. Meskipun janda tetapi dia masih tetap cantik seperti dulu. Bahkan kini lebih cantik, dengan sedikit riasan saja dia hanya beda-beda tipis dengan artis papan atas. Meski demikian ia masih saja belum bersuami. Bukan berarti tak ada yang mau, tetapi yang datang umumnya lelaki yang sudah beristri. Bahkan ada yang sudah punya istri dua dan tiga. Mana mau dia menjadi perebut suami orang? Di samping itu Julak Idar juga tak tega membiarkannya menjadi istri ke dua apalagi menjadi ke tiga dan jauh lagiyang ke empat apalagi menjadi istri ke tiga.
       Agustina sangat menyadari itu semua, dia harus menjaga kehormatan mantan mertuanya. Ia juga sengaja membatasi keberadaannya di luar rumah. Ia hanya keluar rumah jika ada perlunya, misalnya ke pasar desa, ke majlis ta’lim. Selebihnya ia hanya berdiam diri di rumah saja. Itulah yang dia lakukan selama bertahun-tahun belakangan ini. Akhirnya keadaan ini disadari juga oleh Julak Idar bahwa Agustina perlu juga ke luar rumah bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.  
        Dang10, cobalah jalan-jalan keluar mencari udara segar, jangan bakuhup11 di rumah saja.”
       “Inggih Abah,” jawab Agustina dengan hormatnya. 
       “Nanti dikira orang Abah yang melarang.”
       “Inggih Abah.”
       “Jalan-jalanlah seperti orang itu. Meskipun kamu seorang perempuan, kamu bebas makan dan minum di warung yang kamu suka. Kamu kan tahu sendiri? Di sini seorang perempuan mawarung12 itu biasa. Tidak seperti di Banjarmasin atau di kota-kota lainnya. Di sana perempuan mewarung dianggap kurang sopan. Tetapi di sini? Itu biasa saja.”
       “Boleh ya Bah? Abah tidak marah?”  
       “Kenapa mesti marah? Kamu kan bukan anak-anak lagi? Nggak ada yang melarang.” 
       “Inggih Abah, kaina ulun jalan-jalan cari angin,” jawabnya malu-malu tapi mau.
       “Nah gitu dong. Masa perempuan cantik bakuhup di rumah melulu.”
       “Apa tidak mencurigakan, Bah?”
       “Mencurigakan bagaimana?”
       “Ya mencurigakan gitu. Biasanya kan ulun13 jarang ke luar? Apalagi mewarung? Jangan-jangan nanti dikira mencari laki ke mana-mana.”
       “Bagus itu.”
        “Bagus apanya, Abah?”
       “Ya bagus aja. Lagi pula kan Idang14 tidak harus selamaya menjanda. Nanti dikira nggak laku-laku” 
       “Ah, Abah gitu ah? Memangnya dagangan yang nggak laku-laku? Hehehe.”
       “Dagangan? Nggak lah. Kan Idang itu menantu Abah? Meski cuma mantan tapi bagi Abah Idang sudah Abah anggap anak sendiri. ”
       “Ulun juga  sudah  menganggap  Abah  sebagai Abah ulun sendiri. Nah, kalau ulun kawin lagi? Siapa yang mengurus keperluan Abah sehari-hari?”
      “Itu tak usah dipikirkan. Abah bisa mengurus diri Abah sendiri. Lagi pula siapa tahu suami Idang itu nantinya mau tinggal serumah dengan kita di sini. Tak ada masalah kan?”
        “Memangnya ada yang mau? Hehehe”
        “Ya, barangkali saja ada, hahaha”
        “Siapa? Siapa Abah?”
        “Ya siapa saja. Hahaha.”
        “Ah siapa yang mau sama janda? Memangnya Abah mau ulun menjadi istri kedua?”
       “Ya, tentu saja tidak.  Di SMP itu kan ada guru baru?  Siapa tahu dia itu ...?”
      “Ah Abah ini. Mana mungkin? Kan di sana ada ibu guru yang masih jomblo.”
       “Namanya juga usaha. Siapa tahu ada hasilnya? Hehehe.”
       “Hah, usaha apaan? Nggak lucu ah.”
       “Sudahlah, jangan banyak pertimbangan. Cepat sana pergi makan ketupat di warung. Mumpung masih pagi. Terlambat sedikit saja bisa habis katupatnya,”
       Diam-diam Agustina membenarkan juga ucapan Abah. Memang itulah yang selama ini dipendamnya dalam hati. Sebenarnya ia juga ingin seperti dulu lagi sarapan katupat Kandangan di warung.
       Alhamdulillah, Abah sudah memahaminya, bahkan sudah menyarankannya begitu. Beberapa hari kemudian ia sudah sering terlihat sarapan di warung katupat kandangan Acil Mirna yang ada di muara jalan menuju ke SMPN Hantarukung
itu. Orang-orang yang makan di warung ini tidak seramai warung yang lain. Karena warung ini bukanya agak siangan sedikit, di mana orang-orang sudah mangatupat15 di warung lain. Di warung ini pelanggannya sebagian besar pelanggannya adalah PNS yang sengaja mampir sarapan di sini.

***

       Pagi ini nampak Agustina duduk di warung ketupat kandangan. Di sini juga ada tiga Bapak-bapak dan dua Ibu-ibu yang berseragam PNS. Salah satunya adalah Ibu Risnawati kakak sepupunya itu. Ada juga dua lelaki dan dua perempuan yang bukan PNS.  
       Seperti biasa meskipun orangnya tidak banyak tetapi suasananya tetap menyenangkankan. Kenapa? Karena semua trending topik yang masih hangat dibicarakan juga di warung ini.
       Agustina duduk di samping Ibu Risna, lalu memesan satu porsi ketupat kandangan.
       E Agus? Tidak biasanya kamu sarapan di sini,” sapa Ibu Risna tersenyum ramah. 
       “Sekali-sekali makan katupat bersama Ibu-ibu boleh kan?” sahutnya balik bertanya dengan senyum ramahnya.
       “Ya boleh lah, masa tidak boleh?”
       Sebentar kemudian ramailah pembicaraan di warung itu. Agustina hanya senyam-senyum sendiri. Sebentar kemudian Acil Mirna menyerahkan ketupat pesanannya. Diambilnya sedikit sambal binjai, diaduk-aduknya di kuah ketupat. Setelah berdoa maka santapan istmewa itu pun masuk ke mulutnya. Luar biasa nikmatnya, aroma binjai tajam memancing selera.
       “Masih suka ketupat ya?” tanya Ibu Risna.
       “Iya, pastilah. Ini kan makanan kesukaan kita turun temurun? Sambal binjainya ini yang membuat kita ketagihan,” jawabnya tersenyum menyapu keringat yang membasahi dahi.
       “Benar nih sambal binjainya? Atau ada sambal binjai yang lain?”
       “Ah Ibu. Ya sambal yang ini lah. Memangnya ada sambal
binjai yang lain?”
       “Ya pastilah ada. Ssst, ini rahasia lho. Bagi kita sesama … tentu ada binjai yang lain,” bisik Ibu Risna sekali lagi.
      “Ah Ibu ini ada-ada saja, hahaha.”
       Keduanya ketawa-ketiwi cekikikan tanpa menghiraukan pelanggan yang lain. Meski Ibu Risna ini sepupu Agustina sendiri, tetapi ia selalu menyebutnya Ibu Risna. Kecuali jika berada di lingkungan kelurga ia biasa menyebutnya dengan panggilan Ka Risna.
       “Hei, kalau ada kabar gembira bagi-bagi dong,” kata ibu guru yang duduk di ujung.”  
       “E mau tau aja, rahasia dong, hehehe,” sahut Ibu Risna tertawa kecil.
       Tidak ada yang istimewa dalam pembicaraan pagi ini, semua biasa saja. Awalnya Agustina makan ketupat kandangan di warung ini tidak ada maksud apa-apa selain sarapan. Bukan untuk mengincar lelaki apalagi untuk mencari suami, ia hanya sekedar mengikuti anjuran Julak Idar mantan mertuanya itu. Baginya makan ketupat di sini karena hanya memang di warung inilah yang masih ada ketupatnya di atas pukul delapan pagi. Sedangkan warung ketupat yang lain biasanya pada jam-jam seperti ini sudah habis. Lagi pula ia agak siangan datang, maka warung ketupat inilah satu-satunya pilihan yang ada.
       Sepertinya kali ini ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menarik perhatiannya. Tiba-tiba saja ada seseorang lelaki yang melempar senyum ke arahnya. Senyum itu kerling itu wajah itu semuanya sangat familiar baginya. Senyum itu sama persis senyum almarhum suamiya.
       Setelah diperhatikannya ternyata bukan hanya itu  tetapi semua yang ada pada almarhum suaminya juga ada pada orang ini. Tiba-tiba saja Agustina merasa dadanya berdebar-debar, menggelegar-gelegar bagai langit mau runtuh. Badannya panas dingin dan seluruh tubuhnya gemetar. Karena tiba-tiba saja di depannya ada Rahmadi Saputra almarhum suaminya itu.
       “Benar. Tidak salah lagi. Ini adalah Ka Madi. Tidak salah
lagi ini pasti Ka Madi,” katanya di dalam hati. “Astaghfirullah. Tidak mungkin!”
       Untung ia cepat sadar bahwa itu bukan suaminya. Hampir saja dia berteriak memanggil nama suaminya yang sudah tiada itu. Untung ia cepat sadar, suaminya tidak mungkin makan ketupat kandangan di sini. Ia kan sudah meninggal dua tahun yang lalu? Tetapi orang itu asik juga. Ah bagaimana ini? Bagaimana pula jika lelaki itu memang benar-benar ... ?
       “Astaghfirullah, mengapa aku jadi berpikir yang bukan-bukan?” 
       Ternyata keberadaan yang mirip  almarhum suaminya itu sangat menggoncang menggoncang hatinya. Berkali-kali ia mencuri pandang, ternyata lelaki itu juga sama. Berkali-kali pula mereka beradu pandang dan bertatapan, saling adu kerling dan saling berbalas senyum. Lalu sama-sama tertunduk malu. Sementara Agustina masih menyantap katupatya lelaki itu sudah berdiri membayar harga ketupat yang dimakannya, lalu menghidupkan kendaraan bebeknya dan langsung pergi menuju SMPN Hantarukung.
       Diam-diam Agustina memperhatikannya tanpa berkedip bahkan sampai lelaki itu tak terlihat lagi  ia masih saja menatap jalan yang menuju ke SMP itu.
       “Itu Bram Baswenda, tertarik ya?” bisik Ibu Risna.
      “E Ibu, tertarik apaan?” jawabnya tersipu-sipu.
      “E, nggak usah ngeles, tertarik kan? Itu guru SMP yang baru diangkat.”
      “E siapa yang nanya?” sahutnya.
       Padahal ia memang tertarik. Baru kali inilah ia tertarik pada seseorang, karena guru baru itu memang mirip almarhum suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar