Jannatun Naim
Cerpen Hamberan Syahbana
Cerpen Hamberan Syahbana
Tanah wakap itu sebentar lagi pahalanya akan terhenti. Karena Jannatun Na’im itu belum juga terwujud. Padahal semua biaya dan bahan bangunan sudah tersedia. Tapi pembangunan Jannatun Na’im itu terhambat. Yang sangat menyakitkan hati justru penghambatnya itu adalah kakakku sendiri, Kak Burhan. Sungguh sangat memalukan.
“Ka Burhan sudah ada di kota. Besok
pastilah kak Burhan ada di sini”.
“Bagus itu,” ucap istriku. “Artinya sampian bisa reuni sapadangsanakan. “
“Bagus apanya? Reuni? Dia pulang kampung untuk mengambil tanah wakap itu ”
“Astagfirullah! Bagaimana mungkin?“
“Ya, itulah yang sangat mengganggu pikiranku.”
“Bagus itu,” ucap istriku. “Artinya sampian bisa reuni sapadangsanakan. “
“Bagus apanya? Reuni? Dia pulang kampung untuk mengambil tanah wakap itu ”
“Astagfirullah! Bagaimana mungkin?“
“Ya, itulah yang sangat mengganggu pikiranku.”
Tanpa kusadari tiba-tiba saja ada seseorang berdiri di ambang pintu.
Lelaki itu nampak kusuh tak terawat. Kurus, berewok, bertopi pet hitam, rambut
gondrong dan berkacamata hitam. Ada tompel hitam di pipi kirinya. Sesaat aku tak
mengenal siapa lelaki itu.
“Assalamu alaikum.“ salam lelaki itu.
Salam itu terdengar layu, tapi suara itu sangat familiar bagiku. Bahkan
aku langsung merasa sangat akrab dengan suara itu. Tapi itu suara siapa ya?
Dimana ya aku pernah mendengar suara itu? Kuperhatikan dengan seksama lelaki
itu dari kepala sampai kaki. Kupandangi wajah lelaki asing itu. Lelaki itupun
memandangku. Cukup lama kami berpamdangan tanpa ada yang bersuara. Ternyata itu
adalah suara kakakku Ka Burhan. Pasti.
“Wa alaikum salam“ sahutku dan istriku
masih kebingungan.
Ka Burhan menaruh tas ranselnya di lantai, melepas kacamata hitamnya,
melepas topi. Ternyata itu wig gondrong yang menyatu dengan topinya. Dan tompel
yang ada di pipi itu juga palsu. Kamipun bersalaman, ada rasa haru di antara
kami. Ka Burhan memelukku lama sekali, hingga terasa ada air mata meleleh di
pipi kami masing-masing.
“Ka Burhan baru datang dari perjalanan jauh sudah pasti sangat lelah.
Sebaiknya Ka Burhan istirahat saja,“ usul istriku.
“Ya, sebaiknya Ka Burhan istirahat saja.”
“Tidak perlu!“ “Kalau begitu, buatkan kopi untuk Ka Burhan,“ pintaku
pada aistriku.
Sementara isteriku masuk ke dalam, Aku dan Ka Burhan masih diam. Ada
kekakuan diantara kami, seakan ada jurang pemisah di antara kami. Sesekali
kulirik kakakku yang lama meninggalkan kampung halaman ini. Tampak raut muka
yang payah dan lelah, tak ada tanda-tanda kesangaran dan kegarangan. Padahal
konon katanya ini adalah sosok yang sangat ditakuti orang di seberang sana.
Tiba-tiba adik bungsuku Riduan telah berdiri di ambang pintu. Nafasnya
masih ngos-ngosan. Setelah mengucapkan salam dia pun berpelukan dengan Ka
Burhan lama sekali. Kemudian tanpa ada basa basi, mereka masing-masing duduk di
kursi tamu.
Ka Burhan melepas jaketnya yang butut, sehingga jelas kulihat tubuh yang kurus tak terurus. Ka Burhan diam sejenak, lalu kami saling tatap saling pandang dalam tatapan hampa.
Ka Burhan melepas jaketnya yang butut, sehingga jelas kulihat tubuh yang kurus tak terurus. Ka Burhan diam sejenak, lalu kami saling tatap saling pandang dalam tatapan hampa.
“Kita sudah lengkap di rumah ini. Jadi
aku tidak perlu lagi mengumpulkan kalian.“
Ka Burhan membuka suara sambil menyalakan rokok lalu mengisapnya
dalam-dalam.
“Ka, gawat!,“ kata Riduan. “Semua patok-patok yang ada di tanah itu sudah habis semua. Ada orang yang membuangnya. Semua habis, termasuk papan nama Jannatun Na’im juga hilang “
“Ka, gawat!,“ kata Riduan. “Semua patok-patok yang ada di tanah itu sudah habis semua. Ada orang yang membuangnya. Semua habis, termasuk papan nama Jannatun Na’im juga hilang “
“Aku yang membuang semua itu. Tanah itu memang menjadi bagianku kan?”
“Satu lagi Kak,” sambung Riduan. “Tadi malam ada yang mau membakar balai desa, tetapi keburu diketahui orang.“
“Satu lagi Kak,” sambung Riduan. “Tadi malam ada yang mau membakar balai desa, tetapi keburu diketahui orang.“
“Itu bukan aku yang membakarnya! Apa kalian juga menuduhku? Jangan
sembarangan menuduh orang!”
Ka Burhan bangkit dan marah bukan main. Kami terkejut di tempat duduk.
Baru kali ini kulihat kesangaran dan kebengisan kakakku yang ditakuti orang
itu.
“Buat apa kulakukan semua itu? Kedatanganku adalah untuk membereskan
soal tanah warisan. Bukan mau membakar balai desa. Akh, itu fitnah!”
Ka Burhan semakin marah, ia mengeluarkan pistolnya. Kuterperanjat,
gugup, takut. Bingung harus berbuat apa melihat Ka Burhan yang mulai kalap.
“Ah, sungguh keterlaluan orang-orang di desa ini! Mentang-mentang aku
mau mengambil tanah itu, dakwaan kalian tujukan kepadaku! Kalian ini berpikir
seenaknya saja. Lagi pula apa untungnya bagiku? “
Istriku datang membawa tiga gelas kopi, ia gemetar itu terlihat jelas
pada gelas-gelas kopi yang turut bergetar. Ia menaruhnya di atas meja dan
berdiri sebentar.
”Ka Burhan sebaiknya istirahat dahulu. Kamarnya sudah saya siapkan.
Barangkali masih kecapean atau pegal-pegal. Kaina ulun kiyawakan Julak Mamar
paurutan yang terkenal disini. Kalau sudah hilang lelahnya, sudah segar,
barulah pembicaraan ini diteruskan kembali.“
“Hei, kamu jangan ikut campur! Ini urusan kami bertiga bersaudara. Lagi
pula ini bukan urusan perempuan!,“ bentak Ka Burhan menakutkan.
Istriku terkejut, ia ketakutan, gemetar seluruh tubuhnya lalu
cepat-cepat ia masuk ke dalam.
“Sabar, sabar Ka Burhan. Sebaiknya kopi ini diminum dulu nanti keburu dingin. Setelah itu baru kita bicara lagi,“ kucoba menenangkannya.
“Sabar, sabar Ka Burhan. Sebaiknya kopi ini diminum dulu nanti keburu dingin. Setelah itu baru kita bicara lagi,“ kucoba menenangkannya.
Ka Burhan menyimpan pistolnya lalu duduk dan meminum kopinya, kulihat Ka
Burhan menikmatinya.
”Kalian memang benar-benar serakah! Tanah yang secuil ini pun mau kalian
ambil. Dasar tamak! Serakah!“
“Tapi Ka, tanah ini sudah diwakapkan almarhum ayah kita.”
“Yang diwakapkan itu kan hanya hasil kebunnya saja bukan tanahnya! Tanah
ini adalah bagianku, miliku. Yang lainnya? Sudah kalian sikat semua!”
“Itu tidak benar, Ka.” jelasku.
“Buktinya? Tak ada bagianku kan? Waktu itu aku dinyatakan telah
meninggal kan? Tega kalian memutuskan secara sepihak. Seharusnya kalian
mencariku. Bahkan isteriku yang hamil tua pun kalian usir, kan? Dasar tak
berprikemanusiaan!“
“Itu hanya kekeliruan dan kekeliruan itu sudah diperbaiki. Warisan
dibagi ulang. Ka Burhan sudah mendapatkan bagian. Ka, dengarlah penjelasan kami
“
“Ah tidak perlu! Itu hanya akal-akalan kalian saja, kan? Pokoknya siapa
pun tidak ada yang boleh mengambil tanah itu. Ini sudah menjadi keputusanku!”
Tiba-tiba muncul Suci istri Ka Burhan bersama Marni anaknya. Terlihat
jelas Ka Burhan sangat terkejut, tak menduga akan berjumpa dengan istrinya.
Kulihat Ka Burhan memperhatikan kedua wanita itu dengan seksama.
“Suci? Kau kah ini Suci?
“Alhamdulillah, akhirnya kita berjumpa disini. Bang, ini Marni anak kita
Bang.”
Marni bingung, benarkah ini ayahnya? Ayah dan anak ini saling berpandangan, bertatapan dengan penuh rasa haru.
Marni bingung, benarkah ini ayahnya? Ayah dan anak ini saling berpandangan, bertatapan dengan penuh rasa haru.
Ka Burhan menatap gadis kecil yang sangat mirip ibunya, “Marni, sini.
Ini aku ayahmu. Ayo.” Marni mendekati ayahnya.
“O jadi kalian sudah lama tinggal di desa ini?”
“Ya, Bang, Abang pergi kemana? Lama benar Abang meninggalkan kami.”
Burhan terkulai layu, nampak wajahnya penuh dengan penyesalan karena
telah menuduh kami mengusir istrinya.
“Bang, saya sudah mendengar semuanya.
Sungguh tega Abang menuduh mereka yang bukan-bukan. Padahal Abang sudah
mendapat bagian waris yang adil. Sawah dan ladang bagian Abang saya pinjamkan
kepada orang lain. Hasil bagiannya melebihi untuk makan satu tahun. Mereka juga
telah membuatkan sebuah rumah, lengkap dengan kiosnya sekalian dengan modalnya.
Abang sungguh keterlaluan.
“Maafkanlah aku, aku titip anak dan istriku.” Kak Burhan bersiap-siap
pergi.
“Abang mau kemana lagi?,” tanya istrinya.
“Abang mau kemana lagi?,” tanya istrinya.
“Aku cape jadi buronan, aku ingin menyerahkan diri pada polisi. Dan
masalah tanah itu sudah aku ikhlaskan. Teruskanlah pembangunan Pesantren
Jannatun Na’im itu. Adik-adikku mari peluklah aku.” Kami pun berpelukan lama
sekali
Alhamdulillah, akhirnya selamat juga amal jariah orang tuaku.
Subhanallah, terima kasih Ya Allah, atas taufik dan hidayahMu kepada kakak
kami.
Tiba-tiba saja, “Dor dordordor!“ peluru-peluru polisi itu pun menembus
tubuh Ka Burhan yang jatuh terkapar dilantai bersimbah darah. Inna lillaahi wa
inna ilaihi roojiuun. Terimalah taubat Kaka kami ini Ya Allah.
Banjarmasin, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar