MENIKMATI
PUISI
GELEPAR
RUMPUT KHATULISTIWA
KARYA
DEWI NURHALIZAH
I
Pada waktu membaca
judul essei ini pertanyaan yang timbul di benak kita adalah, Apakah puisi bisa dinikmati? Mungkinkah kita bisa menikmati puisi,
sementara informasi yang disajikan teramat sedikit? Jawabnya adalah Tentu saja Bisa.
Kenapa tidak? Bagaimana caranya?
Kita bisa menikmati
puisi dengan cara (1). mendengar
pembacaan sebuah puisi, (2). menghayati
dan membaca sendiri, (3). menyaksikan
pagelaran gelar sastra puisi, (4). menyaksikan
pagelaran musikalisasi puisi, (5). membaca
analisis ulasan sebuah puisi.
Berikut mari kita nikmati puisi yang berjudul Gelepar
Rumput Khatulistiwa karya Dewi Nurhlizah Penyair Perempuan dari
Probolinggo berikut di bawah ini.
II
Gelepar Rumput
Khatulistiwa
ketika mendung hitam menetas hujan
merubuhkan pepadian rontok pula dedaunan
saat kencang angin humbalang segal
ketika mendung hitam menetas hujan
merubuhkan pepadian rontok pula dedaunan
saat kencang angin humbalang segal
buah ranum gugur sebelum masa petik tiba
kala kali meluap membawa sampah dan muntah
hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah
sekat-sekat telah terpancang kuat
berlapis antara kaya atau melarat
sekarat dalam kesumat
kala kali meluap membawa sampah dan muntah
hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah
sekat-sekat telah terpancang kuat
berlapis antara kaya atau melarat
sekarat dalam kesumat
arus bergulung gelombang menghantam
salah musim runtuh kemapanan beralas dendam
telah jatuh berdentam terberai damba
tawa-tawa pongah menginjak kepala
halilintar menyambar
otak terbakar jiwa terkapar
dalam gelegar makar
lalu aku mau bilang apa
rerumput tercerabut akar
tanpa naungan
Probolinggo, 022013
salah musim runtuh kemapanan beralas dendam
telah jatuh berdentam terberai damba
tawa-tawa pongah menginjak kepala
halilintar menyambar
otak terbakar jiwa terkapar
dalam gelegar makar
lalu aku mau bilang apa
rerumput tercerabut akar
tanpa naungan
Probolinggo, 022013
Berdasarkan paparan diatas kita ketahui bahwa puisi Gelepar Rumput Khatulistiwa ini ditulis dengan tipografi
konvensional terdiri 5 bait. Bait 1 terdiri dari 4 larik. Bait 2 terdiri dari 5
larik. Bait 3 terdiri dari 4 larik. Bait 4 terdiri dari 3 dan bait ke 5 terdiri
dari 3 larik. Semuanya berjumlah 19 larik.
Ditinjau dari diksi ungkapannya, puisi ini adalah puisi deskriptif
impresionistik yang mengungkapkan kesan penyair terhadap fernomina alam tahunan
berupa bencana alam yang biasa terjadi sekitar
November sampai Maret bahkan bisa
sampai bjlan April. Hal ini ditandai dengan ungkapan mendung, hujan, kali meluap, arus bergulung,
gelombang menghantam, halilintar menyambar dan ungkapan
tercerabut akar tanpa naungan.
Untuk lebih jelasnya marilah kita awali
dengan mencermati bait 1 berikut di bawah ini.
1.- ketika mendung hitam menetas hujan
2.- merubuhkan pepadian rontok pula dedaunan
3.- saat kencang angin humbalang segala
4.- buah ranum gugur sebelum masa petik tiba
2.- merubuhkan pepadian rontok pula dedaunan
3.- saat kencang angin humbalang segala
4.- buah ranum gugur sebelum masa petik tiba
Berdasarkan paparan di atas kita ketahui
bahwa bait 1 ini ditulis dengan ungkapan yang berkaitan musim hujan dan banjir,
yang ditandai dengan ungkapan mendung
hitam, hujan, pepadian rontok, angin, dan ungkapan gugur sebelum masa petik.
Bait ini ditulis dengan menyajikan rima
akhir yang tertata rapi, yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau
[n/an] pada kata hujan di larik 1
yang bersajak dengan kata dedaunan di
larik 2. Berikutnya ada pengulangan
bunyi vokal [a] pada kata segala di
larik 3 yang bersajak dengan kata tiba
di larik 4.
Bait ini ditulis dengan menyajikan citraan
penglihatan kita seakan melihat cuaca
mendung dan hujan deras. Sawah-sawah yang terendam banjir.
kerugian dan korban bencana alam
akibat dari serangan angin badai dan puting beliung.
Bait ini ditulis dengan menyajikan majas personifikasi yang ditandai dengan
kata menetas di larik 1. Di sini juga
ada majas paralellisme yang ditandai
dengan merubuhkan pepadian yang
sejajar dengan rontok pula dedaunan
di larik 2. Berikutnya di larik 3 ada majas
inversi yang ditandai dengan kata angin
yang mendahui kata kencang.
Selanjutnya mari kita cermati bait 2 berikut ini.
5.- kala kali meluap membawa sampah dan muntah
6.- hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah
7.- sekat-sekat telah terpancang kuat
8.- berlapis antara kaya atau melarat
9.- sekarat dalam kesumat
6.- hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah
7.- sekat-sekat telah terpancang kuat
8.- berlapis antara kaya atau melarat
9.- sekarat dalam kesumat
Dari paparan di atas
kita ketahui bahwa bait 2 ini ditulis dengan menyajikan ungkapan yang berkaitan
dengan akibat dari bencana banjir. Hal ini jelas terbaca dalam kali meluap membawa sampah, hanyut semua mimpi, berlapis
antara kaya atau melarat, dan ungkapan sekarat dalam kesumat.
Bait ini juga menyajikan
rima akhir yang tertata rapi, yang
ditandai dengan pengulangan bunyi desah [h/ah] pada kata muntah di larik 5 yang bersajak dengan kata pasrah di larik 6. Berikutnya ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [t/at]
pada kata kuat di larik 7 yang
bersajak dengan kata [melarat] di larik 8 dan kata kesumat di larik 9
Bait ini ditulis dengan
menyajikan citraan penglihatan di
mana kita seakan melihat sungai-sungai
meluap dan banjir yang menghanyutkan segalanya, yang menghanyutkan semua harapan. Baik
miskin atau kaya semuanya tak mampu berbuat apa-apa selain pasrah, karena
banjir melanda di mana-mana. Banjir mengakibatkan korban baik kaya atau miskin,
pada saatnya banyak juga yang sekarat dibuatnya.
Bait 2 ini ditulis
dengan menyajikan majas personifikasi
dilanjutkan majas enumerasio. Majas
Personifikasi tsb. dapat dilihat di larik 5 yang ditandai dengan kali meluap membawa
sampah dan muntah. Bait ini
juga ditulis dengan menyajikan majas enumerasio menguraikan bagian demi
bagian. Hal ini ditandai dengan ungkapan di larik 5 kala kali meluap membawa sampah dan muntah
dan diuraikan lagi di larik 6 hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah. Luapan air kali itulah yang
menyebabkan banjir menghanyutkan semua
keinginan dan harapan. Hal ini sudah pasti membuat kita tak mampu menahannya
dan terpaksa pasrah menerimanya. Lalu dilanjutkan dengan larik 7 sekat-sekat telah
terpancang kuat. Ini maksudnya bahwa ada sekat pembatas antara kaya
dan melarat. Banjir itu telah menghanyutkan harta bendanya apakah masih bisa
jadi orang kaya? Ataukah sama dengan yang lainnya sekarat dalam penasaran?
Selanjutnya mari kita cermati bait 3 berikut di bawah
ini.
10.- arus bergulung gelombang menghantam
11.- salah musim runtuh kemapanan beralas dendam
12.- telah jatuh berdentam terberai damba
13.- tawa-tawa pongah menginjak kepala
11.- salah musim runtuh kemapanan beralas dendam
12.- telah jatuh berdentam terberai damba
13.- tawa-tawa pongah menginjak kepala
Berdasarkan paparan di
atas kita ketahui bahwa bait 3 ini juga ditulis dengan menyajikan diksi dan
ungkapan yang berkaitan dengan peristiwa banjir yang ditandai dengan arus bergulung
gelombang menghantam, salah musim runtuh kemapanan beralas dendam, telah jatuh berdentam terberai damba, dan
ungkapan tawa-tawa
pongah menginjak kepala.
Bait ini juga ditulis
dengan menyajikan rima akhir yang
tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [m/am] pada kata
menghantam di larik 10 bersajak
dengan kata dendam di larik 11.
Berikutnya ada pengulangan bunyi vokal
[a] pada kata damba di larik 12 yang
bersajak dengan kata kepala di larik
13.
Bait 3 ini juga ditulis
dengan menyajikan citraan penglihatan
di mana kita seakan benar-benar melihat arus
gelombang pasang yang bergulung-gulung menghatam daratan, meruntuhkan bangunan
yang tadinya berdiri kokoh kini roboh. Banjir ini adalah dendam kesumat alam yang telah dirusak oleh
tangan manusia sendiri. Sesuai dengan yang telah dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa telah terjadi kerusakan di laut dan di darat oleh tangan-tangan
manusia.
Bait 3 ini ditulis
dengan menyajikan majas personifikasi
yang dtandai dengan gelombang menghantam
di larik 10, kata dendam di larik 11
dan klausa tawa-tawa pongah di larik
13.
Bait ini diawali dengan
ungkapan arus bergulung gelombang
menghantam di larik 10. Ungkapan ini bersifat ambigu dan multi tafsir.
Tergantung dati arah mana pembaca menaknainya. Secara denotatif arus bergulung gelombang di sini
maknanya memang benar-benar arus gelombang laut bergulung-gulung yang kita
kenal selama ini. Tetapi secara konotatif ungkapan ini bisa bermakna lain. Dan
lebih jelas lagi maknanya berkaitan dengan klausa runtuh kemapanan dan beralas
dendam di larik 11 dan ungkapan tawa-tawa pongah menginjak kepala
di larik 13. Kata kemapanan
mengingatkan kita pada kekuasaan yang tak
tergoyahkan. Sedang ungkapan runtuh
kemapanan bisa bermakna runtuhnya
sebuah kekuasaan atau bisa juga berarti meruntuhkan
sebuah kekuasaan. Dan ungkapan salah
musim bisa diartikan kesalahan
sistemik atau salah urus. Hal ini
tentu berkaitan dengan ungkapan arus
bergulung gelombang dan ungkapan menghantam
di larik 10. Dalam konteks penguasa dan kekuasaan maka ungkapan arus
bergulung gelombang makna konotatifnya adalah gelombang pengunjuk rasa dan para demonstran yang terus berunjuk rasa
dan berdemonstrasi. Karenanya maka penguasa tsb pun jatuh telak dan segala
harapannya pun ikut sirna. Bait ini ditutup dengan
larik tawa-tawa
pongah menginjak kepala.
Selanjutnya marilah
kita cermati bait 4 berikut di bawah ini.
14.- halilintar menyambar
15.- otak terbakar jiwa terkapar
16.- dalam gelegar makar
Dari paparan di atas
kita ketahui bahwa bait 4 ini ditulis dengan menyajikan diksi dan ungkapan yang
menggetarkan hati. Hal ini sangat terasa ada getaran dalam ungkapan halilintar menyambar, otak terbakar, jiwa
terkapar, gelegar makar.
Bait 4 ini ditulis
dengan menyajikan rima akhir yang
tertata rapi yang ditandai dengan pengulangan bunyi [r/ar] pada kata menyambar di ujung larik 14 yang
bersajak dengan kata terkapar di
ujung larik 15 dan kata makar di
ujung larik 16. Ternyata pengulangan bunyi [r/ar] ini juga memperindah bait ke
empat ini dengan ritme yang terbentuk
karena pengulangan bunyi tsb. Hal ini dapat dirasakan dengan jelas ritme yang
terbentuk dari pengulangan bunyi [ar] pada kata halilintar, menyambar, terbakar, terkapar,
gelegar dan makar.
Bait 4 ini ditulis dengan menyajikan citraan
penglihatan, pembaca seakan melihat halilintar
yang menyambar-nyambar di angkasa. Pembaca juga seakan melihat orang-orang yang panik dan yang meninggal
karena bencana alam yang terjadi saat itu. Bait ini juga ditulis dengan citraan pendengaran di mana pembaca seakan mendengar bunyi guruh dan guntur
yang menggelegar di langit bersamaan dengan halilintar menyambar-nyambar.
Bait ini juga ditulis dengan menyajikan majas personifikasi yang ditandai dengan menyambar di larik 14. Bait ini juga ditulis dengan majas hiperbola yang ditandai dengan
ungkapan halilintar menyambar, otak
terbakar, jiwa terkapar dan gelegar
makar.
Bait 4 ini diawali dengan halilintar
menyambar dan diakhiri dengan dalam gelegar makar. Kata halilintar mengingatkan kita pada kilat yang menambar-nyambar kemudian
diiringi dengan bunyi gelegar gurih dan guntur. Sedangkan kata makar di
akhir larik 16 mengingatkan kita pada perebutan
kekuasaan. Pertanyaannya adalah
apakah puisi ini membicarakan tentang makar?
Secara khusus puisi ini
tidak berbicara tentang makar, tetapi secara tersirat ada dalam ungkapan halilintar menyambar, secara konotatif
maknanya adalah berbagai tekanan demi
tekanan yang datang bertubi-tubi.
Kata makar di sini
bukanlah upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah saat ini. Ini adalah majas
hiperbola yang mengungkapan sesuatu dengan cara berlebihan. Barangkali yang
dimaksud di sini adalah upaya menuntut agar pejabat publik yang melanggar
amanat agar mundur dari jabatannya.
Akhirnya sampailah kita pada bait ke lima dan sekaligus sebagai bait
pamungkas dari puisi ini. Untuk itu marilah kita
cermati dengan saksama bait 5 berikut di bawah ini.
17.- lalu aku mau
bilang apa
18.- rerumput tercerabut akar
19.- tanpa naungan
18.- rerumput tercerabut akar
19.- tanpa naungan
Dari paparan di atas kita ketahui bahwa bait 5 ini ditulis dengan
menyajikan diksi dan ungkapan bernuansa
duka bahkan mendekati keputus asaan.
Hal ini ditandai dengan ungkapan mau bilang apa (?), rerumput
tercerabut akar dan ungkapan tanpa
maungan.
Bait 5 ini ditulis
dengan rima asonansi dan rima aliterasi. Hal ini ditandai dengan
pengulangan bunyi vokal [u] pada kata lalu
yang bersajak dengan kata aku yang sama-sama di larik 17. Dan
di larik 18 ada pengulangan bunyi konsonan [t/ut] pada kata rerumput
yang bersajak dengan kata tercerabut. Dan di larik l9 ada pengulangan bunyi sengau [n/an] pada kata tanpa
yang bersajak dengan kata naungan.
Bait ini ditulis dengan citraan pendengaran kita seakan mendengar
seseorang mengucapkan lalu aku mau bilang apa (?). Di larik 18 dan 19 ada citraan penglihatan di mana pembaca seakan benar-benar melihat rumput-rumput yang akar-akarnya sudah tercabut
tanpa naungan.
Bait ini juga ditulis
dengan menggunakan majas retoris di
larik 17 yang ditandai dengan pertanyaan lalu
aku mau bilang apa (?). Bait ini juga ditulis dengan majas litotes sekaligus juga majas
hiperbola yang ditandai dengan ungkapan rerumput
tercerabut akar di larik 18. Dikatakan majas litotes karena yang terkena
musbibah banjir ini bukan hanya rumput, tetapi juga semua yang dilanda banjir
lebih-lebih lagi bencana banjir bandang. Bukan hanya penduduk, tetapi juga
bangunan-bangunan dan lain-lainnya.
Bait terakhir ini
diawali dengan pertanyaan lalu aku mau bilang apa. Pertanyaan ini mengingatkan kita
pada seseorang yang pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Karena melihat dan
merasakan bencana banjir yang sangat menakutkan. Karena bencana banjir ini
datangnya bukan hanya sekali dua kali, tetapi dating setiap tahun. Khususnya di
bulan November sampai Pebruari. Dan bait ini diakhiri dengan ungkapan tanpa naungan
maksudnya adalah tak ada yang mampu menaungi, tak ada yang mampu memberi
perlindungan. Dengan kata lain tak ada yang mampu menahan datangnya bencana
banjir itu. Menyedihkan.
III
Puisi Gelepar Rumput Khatulisatiwa karya Dewi
Nurhalizah ini berbicara tentang bencana alam berupa banjir dan bencana alam
karena gelombang laut yang menerjang daratan. Dampaknya sangat menakutkan. Dan
ini terjadi setiap tahun. Itulah gambaran pertama yang kita ketahui saat kita
menghayati pusi ini. Tetapi saat kita mencermati lebih dalam lagi, ternyata
puisi ini tidak hanya berbicara tentang banjir dan gelombang pasang saja,
tetapi juga ada makna yang tersirat. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kata
kunci dan ungkapan yang ada pada puisi ini. Di antaranya pada judulnya yaitu Gelepar Rumput Khatulistiwa.
Kata gelepar mengingatkan kita
pada mahkluk yang sedang sekarat sebelum
mati terkapar. Berikut ada frasa Rumput
Khatulistiwa. Kata Rumput di sini
sebuah ungkapan yang mengacu kepada mahluk
yang ada di khatulistiwa. Maksudnya adalah semua mahluk hidup yang ada di bumi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar