menu

Kamis, 02 Juni 2016

MENIKMATI PUISI GELEPAR RUMPUT KHATULISTIWA KARYA DEWI NURHALIZAH



MENIKMATI PUISI
GELEPAR RUMPUT KHATULISTIWA
KARYA DEWI NURHALIZAH
I
       Pada waktu membaca judul essei ini pertanyaan yang timbul di benak kita adalah, Apakah puisi bisa dinikmati? Mungkinkah kita bisa menikmati puisi, sementara informasi yang disajikan teramat sedikit?  Jawabnya adalah Tentu saja Bisa. Kenapa tidak? Bagaimana caranya?


       Kita bisa menikmati puisi dengan cara (1). mendengar pembacaan sebuah puisi, (2). menghayati dan membaca sendiri, (3). menyaksikan pagelaran gelar sastra puisi, (4). menyaksikan pagelaran musikalisasi puisi, (5). membaca analisis ulasan sebuah puisi.

       Berikut mari kita nikmati puisi yang berjudul Gelepar Rumput Khatulistiwa karya  Dewi Nurhlizah Penyair Perempuan dari Probolinggo berikut di bawah ini.
  II

Gelepar Rumput Khatulistiwa

ketika mendung hitam menetas hujan
merubuhkan pepadian rontok pula dedaunan
saat kencang angin humbalang segal
buah ranum gugur sebelum masa petik tiba
 
kala kali meluap membawa sampah dan muntah
hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah
sekat-sekat telah terpancang kuat
berlapis antara kaya atau melarat
sekarat dalam kesumat

arus bergulung gelombang menghantam
salah musim runtuh kemapanan beralas dendam
telah jatuh berdentam terberai damba
tawa-tawa pongah menginjak kepala
  
halilintar menyambar
otak terbakar jiwa terkapar
dalam gelegar makar

lalu aku mau bilang apa
rerumput tercerabut akar
tanpa naungan

Probolinggo, 022013

     Berdasarkan paparan diatas kita ketahui bahwa puisi Gelepar Rumput Khatulistiwa ini ditulis dengan tipografi konvensional terdiri 5 bait. Bait 1 terdiri dari 4 larik. Bait 2 terdiri dari 5 larik. Bait 3 terdiri dari 4 larik. Bait 4 terdiri dari 3 dan bait ke 5 terdiri dari 3 larik. Semuanya berjumlah 19 larik.
       Ditinjau dari diksi ungkapannya, puisi ini adalah puisi deskriptif impresionistik yang mengungkapkan kesan penyair terhadap fernomina alam tahunan berupa bencana alam yang biasa terjadi sekitar  November  sampai Maret bahkan bisa sampai bjlan April. Hal ini ditandai dengan ungkapan mendung, hujan, kali meluap, arus bergulung, gelombang menghantam, halilintar menyambar dan ungkapan tercerabut akar tanpa naungan.

      Untuk lebih jelasnya marilah kita awali dengan mencermati bait 1 berikut di bawah ini.

1.- ketika mendung hitam menetas hujan
2.- merubuhkan pepadian rontok pula dedaunan
3.- saat kencang angin humbalang segala
4.- buah ranum gugur sebelum masa petik tiba
 
      Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 1 ini ditulis dengan ungkapan yang berkaitan musim hujan dan banjir, yang ditandai dengan ungkapan mendung hitam, hujan, pepadian rontok, angin, dan ungkapan gugur sebelum masa petik.
       Bait ini ditulis dengan menyajikan rima akhir yang tertata rapi, yang ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [n/an] pada kata hujan di larik 1 yang bersajak dengan kata dedaunan di larik 2. Berikutnya ada pengulangan bunyi vokal [a] pada kata segala di larik 3 yang bersajak dengan kata tiba di larik 4.
       Bait ini ditulis dengan menyajikan citraan penglihatan kita seakan melihat cuaca mendung dan hujan deras. Sawah-sawah yang terendam banjir. kerugian dan korban bencana alam akibat dari serangan angin badai dan puting beliung.
       Bait ini ditulis dengan menyajikan majas personifikasi yang ditandai dengan kata menetas di larik 1. Di sini juga ada majas paralellisme yang ditandai dengan merubuhkan pepadian yang sejajar dengan rontok pula dedaunan di larik 2. Berikutnya di larik 3 ada majas inversi yang ditandai dengan kata angin yang mendahui kata kencang.

       Selanjutnya mari kita cermati bait 2 berikut ini.

5.- kala kali meluap membawa sampah dan muntah
6.- hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah
7.- sekat-sekat telah terpancang kuat
8.- berlapis antara kaya atau melarat
9.- sekarat dalam kesumat

       Dari paparan di atas kita ketahui bahwa bait 2 ini ditulis dengan menyajikan ungkapan yang berkaitan dengan akibat dari bencana banjir. Hal ini jelas terbaca dalam kali meluap membawa sampah, hanyut semua mimpi, berlapis antara kaya atau melarat, dan ungkapan sekarat dalam kesumat.
       Bait ini juga menyajikan rima akhir yang tertata rapi, yang ditandai dengan pengulangan bunyi desah [h/ah] pada kata muntah di larik 5 yang bersajak dengan kata pasrah di larik 6. Berikutnya ada rima akhir yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [t/at] pada kata kuat di larik 7 yang bersajak dengan kata [melarat] di larik 8 dan kata kesumat di larik 9
       Bait ini ditulis dengan menyajikan citraan penglihatan di mana kita seakan melihat sungai-sungai meluap dan banjir yang menghanyutkan segalanya, yang menghanyutkan semua harapan. Baik miskin atau kaya semuanya tak mampu berbuat apa-apa selain pasrah, karena banjir melanda di mana-mana. Banjir mengakibatkan korban baik kaya atau miskin, pada saatnya banyak juga yang sekarat dibuatnya.
       Bait 2 ini ditulis dengan menyajikan majas personifikasi dilanjutkan majas enumerasio. Majas Personifikasi tsb. dapat dilihat di larik 5 yang ditandai dengan kali meluap membawa sampah dan muntah.  Bait ini juga ditulis dengan menyajikan  majas enumerasio menguraikan bagian demi bagian. Hal ini ditandai dengan ungkapan di larik 5 kala kali meluap membawa sampah dan muntah dan diuraikan lagi di larik 6 hanyut semua mimpi tak mampu mendekap pasrah. Luapan air kali itulah yang menyebabkan banjir  menghanyutkan semua keinginan dan harapan. Hal ini sudah pasti membuat kita tak mampu menahannya dan terpaksa pasrah menerimanya. Lalu dilanjutkan dengan larik 7 sekat-sekat telah terpancang kuat. Ini maksudnya bahwa ada sekat pembatas antara kaya dan melarat. Banjir itu telah menghanyutkan harta bendanya apakah masih bisa jadi orang kaya? Ataukah sama dengan yang lainnya sekarat dalam penasaran?

       Selanjutnya mari kita cermati bait 3 berikut di bawah ini.

10.- arus bergulung gelombang menghantam
11.- salah musim runtuh kemapanan beralas dendam
12.- telah jatuh berdentam terberai damba
13.- tawa-tawa pongah menginjak kepala

       Berdasarkan paparan di atas kita ketahui bahwa bait 3 ini juga ditulis dengan menyajikan diksi dan ungkapan yang berkaitan dengan peristiwa banjir yang ditandai dengan arus bergulung gelombang menghantam, salah musim runtuh kemapanan beralas dendam, telah jatuh berdentam terberai damba, dan ungkapan tawa-tawa pongah menginjak kepala.
       Bait ini juga ditulis dengan menyajikan rima akhir yang tertata rapi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi sengau [m/am] pada kata menghantam di larik 10 bersajak dengan kata dendam di larik 11. Berikutnya ada pengulangan bunyi vokal [a] pada kata damba di larik 12 yang bersajak dengan kata kepala di larik 13.
       Bait 3 ini juga ditulis dengan menyajikan citraan penglihatan di mana kita seakan benar-benar melihat arus gelombang pasang yang bergulung-gulung menghatam daratan, meruntuhkan bangunan yang tadinya berdiri kokoh kini roboh. Banjir ini adalah dendam kesumat alam yang telah dirusak oleh tangan manusia sendiri. Sesuai dengan yang telah dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa telah terjadi kerusakan di laut dan di darat oleh tangan-tangan manusia.
       Bait 3 ini ditulis dengan menyajikan majas personifikasi yang dtandai dengan gelombang menghantam di larik 10, kata dendam di larik 11 dan klausa tawa-tawa pongah di larik 13.
       Bait ini diawali dengan ungkapan arus bergulung gelombang menghantam di larik 10. Ungkapan ini bersifat ambigu dan multi tafsir. Tergantung dati arah mana pembaca menaknainya. Secara denotatif arus bergulung gelombang di sini maknanya memang benar-benar arus gelombang laut bergulung-gulung yang kita kenal selama ini. Tetapi secara konotatif ungkapan ini bisa bermakna lain. Dan lebih jelas lagi maknanya berkaitan dengan klausa runtuh kemapanan dan beralas dendam di larik 11 dan ungkapan tawa-tawa pongah menginjak kepala di larik 13. Kata kemapanan mengingatkan kita pada kekuasaan yang tak tergoyahkan. Sedang ungkapan runtuh kemapanan bisa bermakna runtuhnya sebuah kekuasaan atau bisa juga berarti meruntuhkan sebuah kekuasaan. Dan ungkapan salah musim bisa diartikan kesalahan sistemik atau salah urus. Hal ini tentu berkaitan dengan ungkapan arus bergulung gelombang dan ungkapan menghantam di larik 10. Dalam konteks penguasa dan kekuasaan maka ungkapan arus bergulung gelombang makna konotatifnya adalah gelombang pengunjuk rasa dan para demonstran yang terus berunjuk rasa dan berdemonstrasi. Karenanya maka penguasa tsb pun jatuh telak dan segala harapannya pun ikut sirna. Bait ini ditutup dengan larik tawa-tawa pongah menginjak kepala.
 
       Selanjutnya marilah kita cermati bait 4 berikut di bawah ini.

14.- halilintar menyambar
15.- otak terbakar jiwa terkapar
16.- dalam gelegar makar

      Dari paparan di atas kita ketahui bahwa bait 4 ini ditulis dengan menyajikan diksi dan ungkapan yang menggetarkan hati. Hal ini sangat terasa ada getaran dalam ungkapan halilintar menyambar, otak terbakar, jiwa terkapar, gelegar makar.  
       Bait 4 ini ditulis dengan menyajikan rima akhir yang tertata rapi yang ditandai dengan pengulangan bunyi [r/ar] pada kata menyambar di ujung larik 14 yang bersajak dengan kata terkapar di ujung larik 15 dan kata makar di ujung larik 16. Ternyata pengulangan bunyi [r/ar] ini juga memperindah bait ke empat ini dengan ritme yang terbentuk karena pengulangan bunyi tsb. Hal ini dapat dirasakan dengan jelas ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi [ar] pada kata halilintar, menyambar, terbakar, terkapar, gelegar dan makar.
       Bait 4 ini ditulis dengan menyajikan citraan penglihatan, pembaca seakan melihat halilintar yang menyambar-nyambar di angkasa. Pembaca juga seakan melihat orang-orang yang panik dan yang meninggal karena bencana alam yang terjadi saat itu. Bait ini juga ditulis dengan citraan pendengaran  di mana pembaca seakan mendengar bunyi guruh dan guntur yang menggelegar di langit bersamaan dengan halilintar menyambar-nyambar.
       Bait ini juga ditulis dengan menyajikan majas personifikasi yang ditandai dengan menyambar di larik 14. Bait ini juga ditulis dengan majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan halilintar menyambar, otak terbakar, jiwa terkapar dan gelegar makar.

       Bait 4 ini diawali dengan halilintar menyambar dan diakhiri dengan dalam gelegar makar. Kata halilintar mengingatkan kita pada kilat yang menambar-nyambar kemudian diiringi dengan bunyi gelegar gurih dan guntur. Sedangkan kata makar di akhir larik 16 mengingatkan kita pada perebutan kekuasaan.  Pertanyaannya adalah apakah puisi ini membicarakan tentang makar?
       Secara khusus puisi ini tidak berbicara tentang makar, tetapi secara tersirat ada dalam ungkapan halilintar menyambar, secara konotatif maknanya adalah berbagai tekanan demi tekanan yang datang bertubi-tubi.
       Kata makar di sini bukanlah upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah saat ini. Ini adalah majas hiperbola yang mengungkapan sesuatu dengan cara berlebihan. Barangkali yang dimaksud di sini adalah upaya menuntut agar pejabat publik yang melanggar amanat agar mundur dari jabatannya.
       Akhirnya sampailah kita pada bait ke lima dan sekaligus sebagai bait pamungkas dari puisi ini. Untuk itu marilah kita cermati dengan saksama bait 5 berikut di bawah ini.

17.- lalu aku mau bilang apa
18.- rerumput tercerabut akar
19.- tanpa naungan

       Dari paparan di atas kita ketahui bahwa bait 5 ini ditulis dengan menyajikan diksi dan ungkapan bernuansa duka bahkan mendekati keputus asaan. Hal ini ditandai dengan ungkapan mau bilang apa (?), rerumput tercerabut akar dan ungkapan tanpa maungan.
        Bait 5 ini ditulis dengan rima asonansi dan rima aliterasi. Hal ini ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata lalu yang bersajak dengan kata aku yang sama-sama di larik 17. Dan di larik 18 ada pengulangan bunyi konsonan [t/ut] pada kata rerumput yang bersajak dengan kata tercerabut.  Dan di larik l9 ada  pengulangan bunyi sengau [n/an]  pada kata tanpa yang bersajak dengan kata naungan.
       Bait ini ditulis dengan citraan pendengaran kita seakan  mendengar  seseorang  mengucapkan  lalu aku mau bilang apa (?). Di larik 18 dan 19 ada citraan penglihatan di mana pembaca seakan benar-benar melihat rumput-rumput yang akar-akarnya sudah tercabut tanpa naungan.
       Bait ini juga ditulis dengan menggunakan majas retoris di larik 17 yang ditandai dengan pertanyaan lalu aku mau bilang apa (?). Bait ini juga ditulis dengan majas litotes sekaligus juga majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan rerumput tercerabut akar di larik 18. Dikatakan majas litotes karena yang terkena musbibah banjir ini bukan hanya rumput, tetapi juga semua yang dilanda banjir lebih-lebih lagi bencana banjir bandang. Bukan hanya penduduk, tetapi juga bangunan-bangunan dan lain-lainnya.

       Bait terakhir ini diawali dengan pertanyaan lalu aku mau bilang apa. Pertanyaan ini mengingatkan kita pada seseorang yang pasrah tak mampu berbuat apa-apa. Karena melihat dan merasakan bencana banjir yang sangat menakutkan. Karena bencana banjir ini datangnya bukan hanya sekali dua kali, tetapi dating setiap tahun. Khususnya di bulan November sampai Pebruari. Dan bait ini diakhiri dengan ungkapan tanpa naungan maksudnya adalah tak ada yang mampu menaungi, tak ada yang mampu memberi perlindungan. Dengan kata lain tak ada yang mampu menahan datangnya bencana banjir itu. Menyedihkan.

III
       Puisi Gelepar Rumput Khatulisatiwa karya Dewi Nurhalizah ini berbicara tentang bencana alam berupa banjir dan bencana alam karena gelombang laut yang menerjang daratan. Dampaknya sangat menakutkan. Dan ini terjadi setiap tahun. Itulah gambaran pertama yang kita ketahui saat kita menghayati pusi ini. Tetapi saat kita mencermati lebih dalam lagi, ternyata puisi ini tidak hanya berbicara tentang banjir dan gelombang pasang saja, tetapi juga ada makna yang tersirat. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kata kunci dan ungkapan yang ada pada puisi ini. Di antaranya pada judulnya yaitu Gelepar Rumput Khatulistiwa.

       Kata gelepar mengingatkan kita pada mahkluk yang sedang sekarat sebelum mati terkapar. Berikut ada frasa Rumput Khatulistiwa. Kata Rumput di sini sebuah ungkapan yang mengacu kepada mahluk yang ada di khatulistiwa. Maksudnya adalah semua mahluk hidup yang ada di bumi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar