menu

Senin, 23 Mei 2016

MENGENAL TAJUDDIN NOOR GANIE MELALUI PUISI AKULAH BUIH LAUT



MENGENAL TAJUDDIN NOOR GANIE MELALUI PUISI 
AKULAH BUIH LAUT

I

     Tajuddin Noor Ganie lahir di Banjarmasin 1 Juli 1958. Putra dari pasangan Igan Masrie dan Hj. Salabiah ini adalah alumnus dan wisudawan terbaik PBSID STIKIP PGRI Banjarmasin tahun 2002, dan Alumnus dengan predikat sangat memuaskan Program Pascasarjana pada PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.


       Dalam kesehariannya Tajuddin adalah seorang PNS di Balai Hyperkes dan Keselamatan Kerja Banjarmasin. Ia juga dikenal sebagai dosen di PBSID STIKIP PGRI Banjarmasin serta sebagai pengelola Harian Rumah Pustaka Karya Sastra dan Folklor Banjar di Pusat Pengkajian Masalah Sastra. Dalam kesibukanya itu, ia juga rajin menulis.puisi, cerpen dan essei dan berbagai hal dalam kajian Budaya Banjar.

       Kegiatan menulis ini mulai dirintisnya sejak tahun 1980an. Tulisannya banyak dimuat dan dipublikasikan di surat kabar harian Berita Buana Jakarta, Suara Karya Jakarta, Pelita Jakarta, Terbit Jakarta, Merdeka Jakarta,  Swadesi Jakarta, Surat Kabar Mingguan Simponi Jakarta, Majalah Senang Jakarta, Majalah Idola Jakarta, Majalah Topik Jakarta, Majalah Misteri Jakarta, Majalah Warnasari Jakarta, Majalah Intisari Jakarta, Jurnal Kebudayaan, jurnal ilmiah Depdikbud Jakarta, Jurnal Makara, jurnal ilmiah Universitas Indonesia Jakarta, Jawa Pos Surabaya, Surya Surabaya, Majalah Liberty Surabaya, mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, Majalah Bahana Brunei Darussalam.

     Antologi Puisinya yang sudah terbit adalah Bulu Tangan (HPMB Banjarmasin, 1982). Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama dalam Antologi Puisi ASEAN (Denpasar, 1982), Festival Puisi Kalimantan (1983). Puisi Indonesia (Jakarta, 1987), Selagi Ombak Mengejar  Pantai  6  (Selangor, 1989),  Festival  Puisi  XII (Surabaya, 1990), Potret Pariwisata Indonesia Dalam Puisi (Jakarta, 1990), Festival Puisi XIII (Surabaya, 1992), Festival Puisi Kalimantan (Banjarmasin, 1992), Refleksi Setengah Abad Indonesia (Surakarta, 1995). Dan sejumlah Antologi puisi yang diterbitkan  dalam rangka ARUH SASTRA Kalimantan Selatan, perhelatan tahunan Temu Sastra/Sastrawan Kalimantan Selatan yang dilaksankan setiap tahun sejak 2004.

       Ia juga telah menjadi editor antologi bersama Dahaga Banjarmasin Post 1981 (1992), Banjarmasin Kota Kita (1984), Elite Penyair Kalsel 1979 – 1985 (1986), Festival Puisi Kalimantan (1992).  

     Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Penyair Kalsel Terkemuka Selepas Tahun 1980 (1992), Sejarah Lokal Kesusasteraan Indonesia di Kalimantan Selatan (1995), Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (Bersama Jarkasi, Pusat Bahasa Banjarmasin, 2001), Profil Sastrawan Kalimantan Selatan 11930 – 1999 (2002), Karakteristik Bentuk, Makna, Fungsi dan Nilai Peribahasa Banjar (2005), Kamus Peribahasa Banjar Edisi 2006 (Rumah Pustaka Folkloor Banjar, Banjarmasin, 2006), Kamus Peribahasa Banjar Edisi 2007 (Rumah Pustaka Folkloor Banjar, Banjarmasin, 2007), Jati Diri Puisi Rakyat Etnis Banjar (Rumah Pustaka Folkloor Banjar,  Banjarmasin  2007), Kamus Peribahasa Banjar Edisi 2008 (Rumah Pustaka Folkloor Banjar Banjarmasin, 2008) Kamus Mimpi Urang Banjar (Rumah Pustaka Folkloor Banjar Banjarmasin, 2008). Kamus Pamali Banjar.

       Cerpen-cerpennya juga telah dibukukan bersama Hadian Noor dalam  Nyanyian  Alam Pedalaman  (Pustaka Pelajar,Yogyakarta. 1999). Buku ini memuat 12 judul cerpen bertema pariwisata Kalimantan Selatan. Dua buah novelnya yang sudah terbit Tegaknya Mesjid Kami (Tuas Media Kertak Hanyar, 2011) dan Tragedi Intan Trisakti (Tuas Media Kertak Hanyar, 2011).

      Cerpen-cerpen yang dimuat di Majalah Idola Jakarta pada tahun 1980-1989 telah diteliti oleh 3 orang mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin untuk keperluan penulisan skripsi mereka, yakni : Profil Tokoh Antagonis dalam Cerpen-cerpen Tajuddin Noor Ganie (Fetty Dahliani, 2001), Tokoh Protagonis dalam Cerpen-cerpen Tajuddin Noor Ganie (Ni Ketut Suwandi, 2001), dan Analisis Tema dan Penokohan Dalam Cerpen-cerpen Tajuddin Noor Ganie (Norhidayat, 2003). Selain itu penelitian atas cerpen-cerpen TNG juga sudah dilakukan oleh Dra. Hj. Endang Sulistyowati, M.Pd, hasil penelitian dimaksud telah dibukukan di bawah judul Cerita Rakyat Etnis Banjar Sebagai Sumber Ilham Penulisan Kreatif Sastra : Analisis Hubungan Intertekstualitas Penulisan Cerpen-cerpen Tajuddin Noor Ganie (2005).  

       Ia juga aktif dalam Forum-forum sastra dan budaya. Tahun 1982 Forum Penyait Muda Delapan Kota Kalsel, Banjarmasin.Tahun 1983 Apresiasi Puncak Penyair ASEAN Denpasar Bali, Tahun 1983 Siklus Lima Penyair Kalsel, Banjarmasin, Tahun 1990 Festival Puisi XII Surabaya. Tahun 1992 Festival Puisi XII Surabaya, Tahun 1992 Festival Puisi Kaliamantan  Banjarmasin, Tahun 1993 Hari Sastra X Shah Alam, Selangor Malaysia, Tahun 1994 Festival Puisi XIV Surabaya, Tahun 1995 Refleksi Setengah Abad Indonesia  Surakarta, Tahun 1999 Temu Penyair Nasional  Tasikmalaya, Tahun 2003 Dialog Borneo VII Banjarmasin, Tahun 2004 Aruh Sastra Kalsel I Kandangan HSS. Kalimantan dalam Puisi Indonesia (Samarinda 2011) Tahun 2011 menjadi pemakalah dalam Dialog Borneo Kalimantan XI di Samarinda.

       Berkaitan dengan prestasi, reputasi, dan dedikasi kesastrawanannya, ia telah menerima sejumlah penghargaan, antara lain : Tahun 1985 menerima penghargaan Penulis Esai Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta, Tahun 1991 menerima penghargaan sebagai Pemuda Pelopor dalam Bidang Seni Budaya dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Ir. H. Akbat Tanjung, Tahun 1998 menerima Penghargaan Hadiah Seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan Drs, H, Gusti Hasan Aman, Tahun 2002 menerima Penghargaan dari Menteri Agama sebagai Penulis Naskah Fiksi Keagamaan. Di tahun 2014 ia menerima tiga penghargaan yaitu Menerima Penghargaan Sastrawan Kalimantan Selatan Beprestasi dari Walikota Banjarbaru; Penerima Anugerah Astaprana Sastrawan Banjar dari Kesultanan Banjar;  dan Menerima Penghargaan Anugerah Budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan.

       Di sini kita akan mengenal lebijh dekat dengan Tajuddin Noor Ganie melalui puisinya yang berjudul AKULAH BUIH LAUT.

II

              AKULAH BUIH LAUT
                                            
Akulah buih laut
tersesat ke langit
Ketika mencari
jalan pulang

Banjarmasin, 2009
Tadarus Rembulan, Antologi Puisi ASKS X 2013

     Puisi AKULAH BUIH LAUT karya Tajuddin Noor ganie ini tampil dengan puisi pendek. Puisi ini hanya terdiri dari 4 larik yang membentuk sebuah bait. Meskipun puisi ini sangat pendek tetapi maknanya tidak sependek puisinya bahkan terasa sangat dalam. Biasanya puisi pendek seperti ini masuk dalam koridor puisi kamar atau puisi renungan yang selalu menyediakan banyak waktu untuk dihayati, dinikmati dan direnungkan. Untuk lebih asik lagi marilah kita cermati puisi ini dengan seksama.

      Marilah kita resapi untaian yang pantastik dalam larik-larik berikut.  
     Akulah buih laut [ yang] tersesat. Ketika mencari jalan pulang. Di sini ada frasa buih laut, ada klausa tersesat ke langit dan ada frasa jalan pulang. Semua kata-kata yang ada di dalam puisi ini adalah diksi-diksi pilihan yang kuat dan proporsional. Hampir semua kata dalam puisi ini puitis dan bersayap. Di sini telah terjadi pergantian arti akibat dari penggunaan majas metafora yang mengungkapkan sesuatu dengan bahasa kias atau perumpamaan langsung. Sehingga buih laut di sini bukan arti yang sebenarnya, melainkan ungkapan perumpaan dari aku lirik atau sosok sang aku. Dengan kata lain buih laut itu adalah ungkapan yang menyamakan dirinya dengan buih laut yang berada di permukaan laut dan selalu diombang-ambingkan oleh ombak. Berikut ada kata tersesat artinya adalah perjalanan yang melenceng dari tujuan semula. hidup. Berikut ada kata langit. Yang secara denotatif langit di sini adalah benar-benar langit yang biasa kita lihat itu. Tetapi secara konotatif, itu bisa berarti lain. Tentu saja langit di sini bukan arti yang sebenarnya, melainkan itu adalah bahasa kias perumpamaan. Kata langit mengingatkan kita pada langit yang berada di atas sana. Pada beberapa kepercayaan langit juga berarti kayangan suatu tempat yang dimuliakan dan penuh keindahan, bidadari dan kenikmatan. Selain itu di sana banyak bertaburan bintang dan juga rembulan yang selalu menjadi pusat perhatian. Secara konotatif langit bisa berarti dunia gemerlapan. Ada banyak para artis selebritis yang bertaburan bagaikan bintang-bintang gemerlapan. Berikut ada klausa mencari jalan pulang.

       Puisi ini juga diperindah dengan majas metafora, yang ditandai dengan ungkapan Akulah buih laut. Sebenarnya ia bisa saja menggunakan majas lain, yaitu majas simile sehingga larik ini menjadi Aku bagaikan buih laut yang tersesat ke langit. Ketika mencari jalan pulang. Tetapi di dalam puisi ini ia lebih memilih Akulah buih laut tersesat ke langit. Ketika mencari jalan pulang. Kenapa? Karena ungkapan Akulah buih laut tersesat ke langit. Ketika mencari jalan pulang kedengarannya lebih tegas lebih berwibawa ketimbang Aku bagaikan buih laut yang tersesat ke langit yang kedengarannya lebih lembut, lebih romantis dan bahkan bisa juga terdengar sebgai keluhan.

III

       Puisi yang berjudul AKULAH BUIH LAUT karya Tajuddin Noor ganie ini ditinjau dari penuturannya termasuk puisi lirik yang ditandai dengan metafor Akulah buih laut. Ditinjau dari paparan ungkapan-ungkapannya puisi ini termasuk puisi kamar dan puisi renungan. Puisi ini akan lebih nyaman dibaca dan dinikmati sendiri di dalam kamar untuk direnungkan. Lazimnya sebuah puisi renungan, puisi ini semakin direnungkan semakin terasa keindahannya. Semakin diresapi semakin terungkap makna dan pesan moralnya. 

       Membaca puisi ini, muncul beberapa pertanyaan. Siapakah yang dimaksud dengan buih laut itu? Mengapa ia sampai tersesat ke langit ketika mencari jalan pulang? Ke mana seharusnuya ia pulang? Semua pertanyaan itu menjadi sangat menarik untuk dicari jawabannya. Memang beginilah sifat puisi kamar yang menyediakan banyak waktu untuk dibaca, dinikmati dan diapresiasi melalui perenungan-perenungan. Beginilah asiknya membaca dan mencari jawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam puisi di atas.

       Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu kita harus mencari subjek utama dalam puisi ini. Dengan mengetahui subjek uitamanya kita akan mengetahui akar masalahnya. Karena subjek utama itu sendiri adakah kata kunci yang dapat membuka tabir rahasia yang tersirat di balik ungkapan-ungkapannya yang tersurat. Setelah kita cermati ternyata subjek utamanya adalah buih laut.

       Buih luat adalah gelembung-gelembung air yang mengapung terombang-ambing di permukan laut. Buih laut itu sejatinya berasal dari air laut itu sendiri. Lalu dari mana air laut itu berasal? Barangkali saja buih laut yang ini berasal dari mata air yang jauh di pegunungan-pegunangan, yang turun ke daerah rendah dan masuk ke aliran air di hulu-hulu sungai yang jauh dari laut. Terus dan terus mengalir sampai ke muara sungai dan akhirnya ke laut. Di luat inilah air itu berubah menjadi buih laut. Ternyata buih laut ini tidak lupa akan asal-usulya. Ternyata buih laut ini masih ingat akan kampung asalnya di hulu-hulu sungai nun jauh di sana. Lalu? Mengapa ia sampai tersesat ke langit ketika mencari jalan pulang? Jawabnya adalah karena ia berubah bentuk menjadi uap. Dengan kata lain karena terik sinar matahari ia bersama air laut ikut menguap ke atas hingga sampai ke langit.

       Secara denotatif puisi ini mengungkapkan perjalanan buih laut yang berasal dari air yang ikut menguap dan ikut mengembara ke langit sebelum pulang ke hulu. Yang menurut Tajuddin justru buih laut ini tersesat ke langit ketika mencari jalan pulang. Tetapi secara konotatif puisi ini membicarakan tentang rangkaian perjalanan hidup dan kehidupan manusia. Mencermati puisi ini mengingatkan kita pada siklus perjalan air dari laut kembali ke laut. Sebagaimana manusia dari tanah kembali ke tanah. Ternyata puisi ini bermuatan pembelajaran tentang perjalanan hidup manusia. Sehubungan dengan hal tsb. yang dimaksudkan dengan buih laut di sini adalah seseorang. Dan seseorang itu bisa siapa saja, bahkan bisa Tajuddin Noor Ganie sendiri. Sedangkan laut dalam puisi ini adalah kata kias dari kehidupan manusia dan ada juga yang menyebutnya lautan kehidupan yang penuh tantangan. Lalu kenapa ia menyebut dirinya buih laut? Dia menyebut dirinya buih laut karena buih laut itu adalah bagian yang paling ringan dan paling tak berarti di permukaan laut. Hidupnya terombang-ambing tergantung pada arus, gelombang dan ombak laut. Sebagai orang biasa yang tak banyak berarti ia tidak ingin kembali begitu saja. Untuk bisa kembali pulang ke asalnya terlebih dahulu ia harus menemukan jalan pulang. Sayangnya tersesat ke suatu keadaan yang memang sangat memungkinkan ia bisa tersesat. Haruskah menyerah pada keadaan begitu saja? Tentu saja tidak. Ia terus mencari jalan pulang. Sebelum menemukan jalan pulang ia harus sukses baik di bidang karir maupun di bidang ekonomi keluarga. Sebagai seorang muslim ia harus bisa menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu pergi menunaikan ibadah Haji dan Umrah. Berhasilkah mencapai keinginan tsb? Berhasilkah? Dan semua itu harus berhasil dicapai, minimal akan tercapai. Itulah sebabnya ia mengatakan Akulah buih laut  tersesat ke langit ketika mencari jalan pulang.

       Di dalam puisi ini Tajuddin menggambarkan tentang sesorang yang ingin mencari jalan pulang ke hulu, tetapi tetapi untuk kembali ke hulu tidaklah semudah membalik telapak tangan. Itu harus dipikirkan dan dilaksanakan dengan penuh perhitungan dan harus dengan arif dan bijaksana, dan itu memerlukan perjuanganan dan pengorbanan. Karena kalau salah mengambil jalan sampai kapanpun barangkali tak akan bisa kembali ke hulu. Barangkali kita bisa mengambil pembelajaran dari Kisah Nabi Adam AS yang hidup damai dan bahagia penuh dengan kenimatan di dalam surga, lalu diturunkan ke bumi, dan akhirnya  pada saatnya nanti pasti akan kembali lagi ke Surga. Meski Kisah Nabi Adam AS ini kebalikan dari yang dibicarakan dalam puisi ini, tetapi semangat dan harapannya sama. Lalu apa hubungan keduanya? Hubungannya jelas termuat dalam kalimat Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. Sesungguhnya semua itu berasal dari Allah SWT dan sesungguh semuanya juga akan kembali kepada Allah. Tentulah yang sangat diharapkan adalah kembali dengan selamat. 

       Setelah kita membaca paparan dan pembahasan di atas, sampailah kita pada amanat dan pesan moral yang terkandung dalam puisi ini. Melalui puisi ini Tajuddin Noor Ganie mengutarakan bahwa dalam hidup ini hendaklah kita dapat mengenal dan memahami plus minus yang ada pada diri kita sendiri. Dengan memahami keadaan diri kita tsb maka kita dapat dan  harus bisa memanfaatkannya untuk mencapai sesuatu yang kita harapkan.  Hal ini diungkapkannya dengan buih laut sebagai perumpamaan. Buih laut yang nampaknya tak berarti apa-apa, bisa mencapai langit yang jauh di atas sana. Caranya ialah dengan merubah dirinya menjadi uap air. Atau dengan membaur dengan air laut untuk menjadi uap dan seterusnya bisa mencapai apa yang kita harapkan, dapat kembali ke hulu dengan selamat. Termasuk juga pulang menghadap panggilan Ilahi dengan rasa damai. Dan janganlah hendaknya terjadi sebaliknya kita justru terbuai oleh kindahan dan kenikmatan dunia. Yang barangkali membuat kita semakin jauh dan lupa, dengan kata lain bisa dimaknai semakin jauh dari tuntunan agama. Itulah kiranya pesan moral yang ingin disampaikan Tajuddin Noor Ganie melalui puisi ini. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar