MENGENAL TAJUDDIN NOOR GANIE
MELALUI PUISI
AKULAH BUIH LAUT
I
Tajuddin Noor Ganie lahir di Banjarmasin 1 Juli 1958. Putra dari pasangan Igan Masrie dan Hj. Salabiah ini adalah alumnus dan wisudawan terbaik PBSID STIKIP PGRI Banjarmasin tahun 2002, dan Alumnus dengan predikat sangat memuaskan Program Pascasarjana pada PBSID FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Dalam kesehariannya Tajuddin adalah seorang PNS di Balai Hyperkes dan
Keselamatan Kerja Banjarmasin. Ia juga dikenal sebagai dosen di PBSID STIKIP
PGRI Banjarmasin serta sebagai pengelola Harian Rumah Pustaka Karya Sastra dan
Folklor Banjar di Pusat Pengkajian Masalah Sastra. Dalam kesibukanya itu, ia
juga rajin menulis.puisi, cerpen dan essei dan berbagai hal dalam kajian Budaya
Banjar.
Kegiatan menulis ini mulai dirintisnya sejak tahun 1980an. Tulisannya
banyak dimuat dan dipublikasikan di surat kabar harian Berita Buana Jakarta, Suara Karya Jakarta, Pelita Jakarta, Terbit Jakarta, Merdeka Jakarta, Swadesi
Jakarta, Surat Kabar Mingguan Simponi
Jakarta, Majalah Senang Jakarta,
Majalah Idola Jakarta, Majalah Topik Jakarta, Majalah Misteri Jakarta, Majalah Warnasari Jakarta, Majalah Intisari Jakarta, Jurnal Kebudayaan, jurnal ilmiah Depdikbud Jakarta, Jurnal Makara, jurnal ilmiah Universitas
Indonesia Jakarta, Jawa Pos Surabaya,
Surya Surabaya, Majalah Liberty Surabaya, mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, Majalah Bahana Brunei Darussalam.
Antologi Puisinya yang sudah terbit adalah Bulu Tangan (HPMB Banjarmasin, 1982). Puisinya juga dimuat dalam
antologi bersama dalam Antologi Puisi
ASEAN (Denpasar, 1982), Festival
Puisi Kalimantan (1983). Puisi
Indonesia (Jakarta, 1987), Selagi
Ombak Mengejar Pantai 6 (Selangor,
1989), Festival Puisi XII (Surabaya, 1990), Potret Pariwisata Indonesia Dalam Puisi
(Jakarta, 1990), Festival Puisi XIII
(Surabaya, 1992), Festival Puisi Kalimantan
(Banjarmasin, 1992), Refleksi Setengah
Abad Indonesia (Surakarta, 1995). Dan sejumlah Antologi puisi yang diterbitkan dalam rangka ARUH SASTRA Kalimantan Selatan, perhelatan
tahunan Temu Sastra/Sastrawan Kalimantan Selatan yang dilaksankan setiap tahun
sejak 2004.
Ia juga telah menjadi editor antologi bersama Dahaga Banjarmasin Post 1981 (1992), Banjarmasin Kota Kita (1984), Elite
Penyair Kalsel 1979 – 1985 (1986), Festival Puisi Kalimantan (1992).
Buku-bukunya yang telah terbit antara lain: Penyair Kalsel Terkemuka Selepas Tahun 1980 (1992), Sejarah Lokal Kesusasteraan Indonesia di
Kalimantan Selatan (1995), Sketsa
Sastrawan Kalimantan Selatan (Bersama Jarkasi, Pusat Bahasa Banjarmasin,
2001), Profil Sastrawan Kalimantan
Selatan 11930 – 1999 (2002), Karakteristik
Bentuk, Makna, Fungsi dan Nilai Peribahasa Banjar (2005), Kamus Peribahasa Banjar Edisi 2006
(Rumah Pustaka Folkloor Banjar, Banjarmasin, 2006), Kamus Peribahasa Banjar Edisi 2007 (Rumah Pustaka Folkloor Banjar,
Banjarmasin, 2007), Jati Diri Puisi
Rakyat Etnis Banjar (Rumah Pustaka Folkloor Banjar, Banjarmasin
2007), Kamus Peribahasa Banjar
Edisi 2008 (Rumah Pustaka Folkloor Banjar Banjarmasin, 2008) Kamus Mimpi Urang Banjar (Rumah Pustaka
Folkloor Banjar Banjarmasin, 2008). Kamus Pamali Banjar.
Cerpen-cerpennya juga telah dibukukan bersama Hadian Noor dalam Nyanyian Alam Pedalaman (Pustaka Pelajar,Yogyakarta. 1999). Buku ini memuat 12 judul cerpen bertema pariwisata Kalimantan Selatan. Dua buah novelnya yang sudah terbit Tegaknya Mesjid Kami (Tuas Media Kertak
Hanyar, 2011) dan Tragedi Intan Trisakti
(Tuas Media Kertak Hanyar, 2011).
Cerpen-cerpen yang dimuat di
Majalah Idola Jakarta pada tahun 1980-1989 telah diteliti oleh 3 orang
mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin untuk keperluan penulisan skripsi
mereka, yakni : Profil Tokoh Antagonis dalam Cerpen-cerpen Tajuddin Noor
Ganie (Fetty Dahliani, 2001), Tokoh Protagonis dalam Cerpen-cerpen Tajuddin
Noor Ganie (Ni Ketut Suwandi, 2001), dan Analisis Tema dan Penokohan Dalam
Cerpen-cerpen Tajuddin Noor Ganie (Norhidayat, 2003). Selain itu penelitian
atas cerpen-cerpen TNG juga sudah dilakukan oleh Dra. Hj. Endang Sulistyowati,
M.Pd, hasil penelitian dimaksud telah dibukukan di bawah judul Cerita Rakyat
Etnis Banjar Sebagai Sumber Ilham Penulisan Kreatif Sastra : Analisis
Hubungan Intertekstualitas Penulisan Cerpen-cerpen Tajuddin Noor Ganie (2005).
Ia juga aktif dalam Forum-forum sastra dan budaya. Tahun 1982 Forum Penyait Muda Delapan Kota Kalsel,
Banjarmasin.Tahun 1983 Apresiasi Puncak
Penyair ASEAN Denpasar Bali, Tahun 1983 Siklus
Lima Penyair Kalsel, Banjarmasin, Tahun 1990 Festival Puisi XII Surabaya. Tahun 1992 Festival Puisi XII Surabaya, Tahun 1992 Festival Puisi Kaliamantan
Banjarmasin, Tahun 1993 Hari
Sastra X Shah Alam, Selangor Malaysia, Tahun 1994 Festival Puisi XIV Surabaya, Tahun 1995 Refleksi Setengah Abad Indonesia Surakarta, Tahun 1999 Temu Penyair Nasional Tasikmalaya, Tahun 2003 Dialog Borneo VII Banjarmasin, Tahun 2004 Aruh Sastra Kalsel I Kandangan HSS. Kalimantan dalam Puisi Indonesia (Samarinda 2011) Tahun 2011
menjadi pemakalah dalam Dialog Borneo
Kalimantan XI di Samarinda.
Berkaitan dengan
prestasi, reputasi, dan dedikasi kesastrawanannya, ia telah menerima sejumlah
penghargaan, antara lain : Tahun 1985 menerima penghargaan Penulis
Esai Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jakarta, Tahun
1991 menerima penghargaan sebagai Pemuda
Pelopor dalam Bidang Seni Budaya dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga
Ir. H. Akbat Tanjung, Tahun 1998 menerima Penghargaan Hadiah Seni bidang sastra
dari Gubernur Kalimantan Selatan Drs, H, Gusti Hasan Aman, Tahun 2002 menerima
Penghargaan dari Menteri Agama sebagai
Penulis Naskah Fiksi Keagamaan. Di tahun 2014 ia menerima tiga penghargaan
yaitu Menerima Penghargaan Sastrawan Kalimantan Selatan Beprestasi dari Walikota
Banjarbaru; Penerima Anugerah Astaprana Sastrawan Banjar dari Kesultanan
Banjar; dan Menerima Penghargaan
Anugerah Budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan.
Di sini kita akan mengenal lebijh dekat dengan Tajuddin Noor Ganie
melalui puisinya yang berjudul AKULAH BUIH LAUT.
II
AKULAH BUIH LAUT
Akulah
buih laut
tersesat ke langit
Ketika mencari
tersesat ke langit
Ketika mencari
jalan
pulang
Banjarmasin, 2009
Tadarus Rembulan, Antologi Puisi ASKS X 2013
Puisi AKULAH BUIH LAUT karya
Tajuddin Noor ganie ini tampil dengan puisi pendek. Puisi ini hanya terdiri
dari 4 larik yang membentuk sebuah bait. Meskipun puisi ini sangat pendek
tetapi maknanya tidak sependek puisinya bahkan terasa sangat dalam. Biasanya
puisi pendek seperti ini masuk dalam koridor puisi kamar atau puisi renungan
yang selalu menyediakan banyak waktu untuk dihayati, dinikmati dan direnungkan.
Untuk lebih asik lagi marilah kita cermati puisi ini dengan seksama.
Marilah kita resapi untaian yang pantastik dalam larik-larik berikut.
Akulah buih laut [ yang] tersesat. Ketika mencari jalan pulang. Di sini ada frasa buih laut, ada klausa tersesat
ke langit dan ada frasa jalan pulang.
Semua kata-kata yang ada di dalam puisi ini adalah diksi-diksi pilihan yang
kuat dan proporsional. Hampir semua kata dalam puisi ini puitis dan bersayap.
Di sini telah terjadi pergantian arti akibat dari penggunaan majas metafora
yang mengungkapkan sesuatu dengan bahasa kias atau perumpamaan langsung.
Sehingga buih laut di sini bukan arti
yang sebenarnya, melainkan ungkapan perumpaan dari aku lirik atau sosok sang
aku. Dengan kata lain buih laut itu
adalah ungkapan yang menyamakan dirinya dengan buih laut yang berada di
permukaan laut dan selalu diombang-ambingkan oleh ombak. Berikut ada kata tersesat artinya adalah perjalanan yang
melenceng dari tujuan semula. hidup. Berikut ada kata langit. Yang secara denotatif langit di sini adalah benar-benar
langit yang biasa kita lihat itu. Tetapi secara konotatif, itu bisa berarti
lain. Tentu saja langit di sini bukan arti yang sebenarnya, melainkan itu
adalah bahasa kias perumpamaan. Kata langit
mengingatkan kita pada langit yang
berada di atas sana. Pada beberapa kepercayaan langit juga berarti kayangan
suatu tempat yang dimuliakan dan penuh keindahan, bidadari dan kenikmatan.
Selain itu di sana banyak bertaburan bintang dan juga rembulan yang selalu
menjadi pusat perhatian. Secara konotatif langit bisa berarti dunia gemerlapan.
Ada banyak para artis selebritis yang bertaburan bagaikan bintang-bintang
gemerlapan. Berikut ada klausa mencari
jalan pulang.
Puisi ini juga diperindah dengan majas
metafora, yang ditandai dengan ungkapan
Akulah buih laut. Sebenarnya ia bisa
saja menggunakan majas lain, yaitu majas
simile sehingga larik ini menjadi Aku
bagaikan buih laut yang tersesat ke langit. Ketika mencari jalan pulang.
Tetapi di dalam puisi ini ia lebih memilih
Akulah buih laut tersesat ke langit. Ketika mencari jalan pulang. Kenapa?
Karena ungkapan Akulah buih laut tersesat
ke langit. Ketika mencari jalan pulang kedengarannya lebih tegas lebih
berwibawa ketimbang Aku bagaikan buih
laut yang tersesat ke langit yang kedengarannya lebih lembut, lebih
romantis dan bahkan bisa juga terdengar sebgai keluhan.
III
Puisi yang berjudul AKULAH BUIH LAUT karya
Tajuddin Noor ganie ini ditinjau dari penuturannya termasuk puisi lirik yang
ditandai dengan metafor Akulah buih laut.
Ditinjau dari paparan ungkapan-ungkapannya puisi ini termasuk puisi kamar dan
puisi renungan. Puisi ini akan lebih nyaman dibaca dan dinikmati sendiri di
dalam kamar untuk direnungkan. Lazimnya sebuah puisi renungan, puisi ini
semakin direnungkan semakin terasa keindahannya. Semakin diresapi semakin
terungkap makna dan pesan moralnya.
Membaca puisi ini, muncul beberapa pertanyaan. Siapakah yang dimaksud
dengan buih laut itu? Mengapa ia sampai tersesat ke langit ketika mencari jalan
pulang? Ke mana seharusnuya ia pulang? Semua
pertanyaan itu menjadi sangat menarik untuk dicari jawabannya. Memang beginilah
sifat puisi kamar yang menyediakan banyak waktu untuk dibaca, dinikmati dan
diapresiasi melalui perenungan-perenungan. Beginilah asiknya membaca dan
mencari jawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam puisi di atas.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu kita harus mencari subjek utama
dalam puisi ini. Dengan mengetahui subjek uitamanya kita akan mengetahui akar
masalahnya. Karena subjek utama itu sendiri adakah kata kunci yang dapat
membuka tabir rahasia yang tersirat di balik ungkapan-ungkapannya yang
tersurat. Setelah kita cermati ternyata subjek utamanya adalah buih laut.
Buih luat adalah gelembung-gelembung air yang mengapung terombang-ambing
di permukan laut. Buih laut itu sejatinya berasal dari air laut itu sendiri.
Lalu dari mana air laut itu berasal? Barangkali saja buih laut yang ini berasal
dari mata air yang jauh di pegunungan-pegunangan, yang turun ke daerah rendah
dan masuk ke aliran air di hulu-hulu sungai yang jauh dari laut. Terus dan
terus mengalir sampai ke muara sungai dan akhirnya ke laut. Di luat inilah air
itu berubah menjadi buih laut. Ternyata buih laut ini tidak lupa akan
asal-usulya. Ternyata buih laut ini masih ingat akan kampung asalnya di
hulu-hulu sungai nun jauh di sana. Lalu? Mengapa ia sampai tersesat ke langit
ketika mencari jalan pulang? Jawabnya adalah karena ia berubah bentuk menjadi
uap. Dengan kata lain karena terik sinar matahari ia bersama air laut ikut
menguap ke atas hingga sampai ke langit.
Secara denotatif puisi ini mengungkapkan perjalanan buih laut yang
berasal dari air yang ikut menguap dan ikut mengembara ke langit sebelum pulang
ke hulu. Yang menurut Tajuddin justru buih laut ini tersesat ke langit ketika
mencari jalan pulang. Tetapi secara konotatif puisi ini membicarakan tentang
rangkaian perjalanan hidup dan kehidupan manusia. Mencermati puisi ini
mengingatkan kita pada siklus perjalan air dari laut kembali ke laut.
Sebagaimana manusia dari tanah kembali ke tanah. Ternyata puisi ini bermuatan
pembelajaran tentang perjalanan hidup manusia. Sehubungan dengan hal tsb. yang
dimaksudkan dengan buih laut di sini adalah seseorang. Dan seseorang itu bisa
siapa saja, bahkan bisa Tajuddin Noor Ganie sendiri. Sedangkan laut dalam puisi
ini adalah kata kias dari kehidupan manusia dan ada juga yang menyebutnya
lautan kehidupan yang penuh tantangan. Lalu kenapa ia menyebut dirinya buih
laut? Dia menyebut dirinya buih laut karena buih laut itu adalah bagian yang
paling ringan dan paling tak berarti di permukaan laut. Hidupnya
terombang-ambing tergantung pada arus, gelombang dan ombak laut. Sebagai orang
biasa yang tak banyak berarti ia tidak ingin kembali begitu saja. Untuk bisa
kembali pulang ke asalnya terlebih dahulu ia harus menemukan jalan pulang.
Sayangnya tersesat ke suatu keadaan yang memang sangat memungkinkan ia bisa
tersesat. Haruskah menyerah pada keadaan begitu saja? Tentu saja tidak. Ia
terus mencari jalan pulang. Sebelum menemukan jalan pulang ia harus sukses baik
di bidang karir maupun di bidang ekonomi keluarga. Sebagai seorang muslim ia
harus bisa menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu pergi menunaikan ibadah
Haji dan Umrah. Berhasilkah mencapai keinginan tsb? Berhasilkah? Dan semua itu
harus berhasil dicapai, minimal akan tercapai. Itulah sebabnya ia mengatakan Akulah buih laut tersesat ke langit ketika
mencari jalan pulang.
Di dalam puisi ini Tajuddin menggambarkan tentang sesorang yang ingin
mencari jalan pulang ke hulu, tetapi tetapi untuk kembali ke hulu tidaklah
semudah membalik telapak tangan. Itu harus dipikirkan dan dilaksanakan dengan
penuh perhitungan dan harus dengan arif dan bijaksana, dan itu memerlukan perjuanganan
dan pengorbanan. Karena kalau salah mengambil jalan sampai kapanpun barangkali
tak akan bisa kembali ke hulu. Barangkali kita bisa mengambil pembelajaran dari
Kisah Nabi Adam AS yang hidup damai dan bahagia penuh dengan kenimatan di dalam
surga, lalu diturunkan ke bumi, dan akhirnya
pada saatnya nanti pasti akan kembali lagi ke Surga. Meski Kisah Nabi
Adam AS ini kebalikan dari yang dibicarakan dalam puisi ini, tetapi semangat
dan harapannya sama. Lalu apa hubungan keduanya? Hubungannya jelas termuat
dalam kalimat Innalillahi wa inna ilaihi
roojiun. Sesungguhnya semua itu berasal dari Allah SWT dan sesungguh
semuanya juga akan kembali kepada Allah. Tentulah yang sangat diharapkan adalah
kembali dengan selamat.
Setelah kita membaca paparan dan pembahasan di atas, sampailah kita pada
amanat dan pesan moral yang terkandung dalam puisi ini. Melalui puisi ini
Tajuddin Noor Ganie mengutarakan bahwa dalam hidup ini hendaklah kita dapat
mengenal dan memahami plus minus yang ada pada diri kita sendiri. Dengan
memahami keadaan diri kita tsb maka kita dapat dan harus bisa memanfaatkannya untuk mencapai
sesuatu yang kita harapkan. Hal ini
diungkapkannya dengan buih laut
sebagai perumpamaan. Buih laut yang
nampaknya tak berarti apa-apa, bisa mencapai langit yang jauh di atas sana.
Caranya ialah dengan merubah dirinya menjadi uap air. Atau dengan membaur
dengan air laut untuk menjadi uap dan seterusnya bisa mencapai apa yang kita
harapkan, dapat kembali ke hulu dengan selamat. Termasuk juga pulang menghadap
panggilan Ilahi dengan rasa damai. Dan janganlah hendaknya terjadi sebaliknya
kita justru terbuai oleh kindahan dan kenikmatan dunia. Yang barangkali membuat
kita semakin jauh dan lupa, dengan kata lain bisa dimaknai semakin jauh dari
tuntunan agama. Itulah kiranya pesan moral yang ingin disampaikan Tajuddin Noor
Ganie melalui puisi ini. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar