menu

Selasa, 24 Mei 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 4



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 4

04


       Bram cepat menutup HPnya, lalu menurunkan kendaraan. Setelah ia menutup pintu rumah meluncurlah kendaraannya melewati jalan berliku melintas di sela-sela rumah penduduk di bawah pohon kelapa, hambawang, rambutan, langsat, kapul dan pepohonan lainnya.  


       Meski ia tinggal di tengah-tengah kebun kelapa tetapi ia tetap merasa nyaman menjalankan kendaraan. Karena jalan-jalan setapak itu kini sudah menjadi jalan alternatif yang diperkeras dengan semen corcoran. Jadi meski hari hujan, jalan ini tetap nyaman tidak becek tidak licin dan tidak berlumpur.

       Pagi ini ia sengaja meluncur lambat-lambat agar leluasa menikmati sejuknya oksigen di bawah pepohonan itu. Tidak seperti ABG yang menjalankan motor dengan kecepatan tinggi. Tidak pagi tidak siang tidak malam, selalu dengan kecepatan tinggi. Termasuk juga sepeda anak-anak sekolah berlalu dengan kencangnya. 

       Tak seberapa lama sampailah ia di halaman rumah Julak Idar. Setelah mematikan mesin kendaraannya ia langsung menaiki tangga. Ketika ia mau mengetuk pintu, ternyata pintu rumah itu tidak terkunci. Begitu mau diketuk ternyata pintu itu terbuka sendiri, tetapi tak ada siapa-siapa di kamar tamu itu. Apakah pintu ini sengaja dibukakan untuknya? Apakah lupa mengunci pintunya? Ataukah memang sudah biasa terbuka seperti ini? Ia berpikir sejenak, apaka sebaiknya mengetuk pintu? Atau memberi salam? Atau langsung masuk saja? Sementara ia masih berpikir tiba-tiba Ayu sudah berdiri terperanjat di ambang pintu tengah.

       Astagfirullah! Bram langsung terkesima melihat Ayu berdiri tapih mandada dengan pakaian seadanya. Ia baru selesai mandi, rambutnya masih tertutup handuk. Apakah ia memang sengaja memperlihatkan tubuhnya yang putih bening lagi mulus itu? Apakah ia tidak menduga lelaki idamannya itu berdiri di pintu terkesima memperhatikan dirinya? Sesaat mereka  sama-sama  terkejut,  sama-sama  kagum,  sama-sama bingung, sama-sama bungkam saat saling beradu pandang. Mereka bertatapan cukup lama, bahkan lama sekali. Bicara hanya antara mata, bercumbu hanya antara hati. Tiba-tiba Bram baru sadar, secepatnya ia membalikan tubuh. Dia tidak jadi masuk rumah, ia hanya duduk di beranda. Sementara Ayu masih terbuka separu dada ia malah menuju pintu dan berdiri di pintu depan.

       “Pak Bram, mari silakan masuk.”
       Sepertinya Ayu tidak sungkan-sungkan sambil menutupi sebagian dadanya dengan tangannya yang putih lembut itu. Tentu tidak ketinggalan tersungging seulas senyum di bibirnya yang tipis selalu basah itu. Membuatnya terlihat cantik alami. Memang begitulah biasanya gadis desa sehabis mandi tapih mandada32 atau tapih bakurung baikat di bahu33 dengan handuk yang melilit di kepala.

        “Pak Bram, Abah masih di kebun. Silakan masuk,” ajak Ayu sekali lagi.
        “Biar di luar saja,” jawab Bram srkenanya saja.
        Sebenarnya ia ingin sekali masuk dan berbincang-bincang dengan gadis yang sudah mencuri hatinya itu. Inilah idaman hatinya, perempuan terakhir yang bermukim di dalam hatinya, dermaga terakhir tempat biduk cintanya bersandar.

       Memang maksudnya datang ke rumah ini untuk apel wakuncar di pagi minggu yang cerah ini. Bersilaturrahmi dengan Abah hanyalah sebuah alasan. Tetapi kali ini ia merasa tak etis berhadapan dengan Ayu yang masih tapih mandada. Dalam hal ini ia harus super ekstra waspada dan hati-hati bersikap dan membawa diri. Terlebih-lebih lagi di daerah yang penduduknya terkenal bertemperamen keras. Sebab salah sedikit saja bisa fatal akibatnya, bahkan bisa berakhir dengan pertumpahan darah. Cara yang lebih aman ia tidak perlu masuk, cukup di pelataran saja.

       Rupanya kata hati Bram ini diketahui juga oleh Ayu. Cepat ia masuk ganti pakaian yang lebih sopan. Dia berpikir, melihat-lihat  dan  memilih  pakaian yang paling disukai lelaki idamannya itu. Sudah beberapa pakaian yang dicobanya tetapi selalu saja dilepas kembali. Rasanya tak ada satu pun yang istimewa buat orang yang sangat spesial di hatinya ini. Diperhatikannya tumpukan gamis di tempat tidurnya. Ditelitinya kembali satu persatu. Ada tiga lembar gamis yang berkenan di hatinya. Yang merah muda, yang hijau daun dan yang biru muda. Ia harus memilih warna yang sesuai dengan T-Shirt biru muda yang dipakai Bram hari ini. Haruskah dia memakai gamis berwarna biru muda? Barangkali itu dapat mempererat jalinan kasih mereka.

       Saat ini ia sengaja tak perlu memakai jilbab. Tetapi apakah pantas tanpa penutup kepala? Setelah dipertimbangkan ia tetap perlu menutup kepala, minimal topi pet muslimah yang hanya bisa menutup rambutnya. Lalu? Mana yang cocok dengan baju gamis biru muda itu. Akhirnya ia memutuskan memakai gamis dan tutup kepala biru muda. Pelan-pelan dipakainya gamis biru muda itu,  lalu berdiri dan berputar-putar bagai pragawati di depan cermin.

       Betapa anggun elegan dengan seulas senyum manis tersungging di bibirnya, melebihi senyum pramugari. Ia berpikir sebentar, rasanya masih ada yang kurang. O ternyata wajahnya masih belum dirias, masih polos tanpa make up apa-apa, karena ia memang baru saja selesai mandi. Sebenarnya tanpa dirias pun wajahnya sudah cantik alami. Tetapi namanya juga perempuan selalu ingin tampil lebih cantik di depan lelaki idaman hatinya. Pelan-pelan diambilnya bedak kesukaannya di laci lemari bupetnya. Bedak bermerek yang baru saja dibelinya di Pasar Tungging yang biasa digelar setiap malam Minggu di perbatasan Desa Simpur dan Desa Wasah Hilir.

       Sambil bercermin ia memoles dahinya sedikit pipi dan dagu sedikit dengan bedak kesukaannya. Sebenarnya tanpa bedak pun wajahnya sudah manis bening merona. Kemudian diambilnya lisptick yang juga baru dibelinya. Apakah bibirnya harus dipoles lipstick juga? Ataukah tidak perlu? Sebenarnya bibirnya lebih manis  tanpa lipstick. Karena bibirnya yang tipis selalu basah itu lebih eksotik tanpa lipstick. Tetapi ia merasa masih kurang PD jika tidak menggunakannya. Bukankah pagi ini ia ingin tampil beda di depan lelaki yang sudah mencuri hatinya itu? Bukankah pagi ini ia ingin idamannya itu benar-benar terpukau dan terpesona? Itulah sebabnya mengapa ia berbusana dan merias wajahnya habis-habisan. Meskipun demikian ia tetap harus bersolek seperlunya saja.  Karena ia itu orangnya memang suka sederhana saja. Ia tidak suka merias wajahnya norak dan berlebihan.

       Selesai bersolek ia memakai penutup kepala muslimah model topi pet. Ia sengaja memilih tutup kepala model yang ini, karena ia ingin memperlihatkan daun telinga yang indah dan lehernya yang jenjang itu. Ia kembali berputar-putar di depan cermin bagai seorang pragawati. Ternyata masih ada yang kurang. Dilihatnya daun telinganya yang indah, lehernya yang jenjang, pergelangan tangannya yang mulus lembut, jari manisnya yang lentik. Semuanya pasti menawan, pasti memukau. Tetapi di sana tak ada apa-apanya, tak ada perhiasan sama sekali. Padahal yang satu ini biasanya tak pernah dilupakan oleh setiap perempuan. Dilihatnya sekali lagi ke dalam cermin itu. Jelas sekali di sana tak ada kalung yang menggantung di lehernya, tak ada subang atau anting-anting yang menghiasi daun telinganya, tak ada gelang yang melingkar di pergelangan tangannya dan tak ada cincin yang melingkar di jari manisnya.

       Haruskah ia polos begitu saja? Haruskah ia tampil begitu saja di depan lelaki yang telah mencuri hatinya itu? Tentu saja tidak. Sebagai seorang perempuan tentu ia ingin melengkapi asesoris tersebut pada dirinya. Sayangnya ia tak punya perhiasan intan berlian yang sangat disukai setiap wanita. Satu-satunya perhiasan yang ia punya hanyalah pemberian almarhum Rahmadi berupa peninggalan ibunya. Yaitu satu set perhiasan batu kecubung asli berwarna ungu elegan. Perhiasan ini memang jadul tapi hanya inilah perhiasan yang paling disukaimya. Satu set perhiasan kecubung yang terdiri dari subang, kalung, gelang dan cincin semuanya perhisan emas dengan permata kecubung yang berwarna ungu elegan. Meski sedikit ragu akhirnya iapun memakai perhiasan itu.  Dengan penuh percaya diri ia melangkah lembut bagai Puteri Indonesia menemui lelaki idaman hatinya yang masih termangu sendiri di beranda.

       “Kak  Bram.”
       Tiba-tiba Ayu menyapa dengan sapaan yang tidak seperti biasanya. Bram terkejut, terkesima dan hatinya jadi berbunga-bunga mendengar Ayu begitu manja memanggilnya Kak Bram.
       “Kak  Bram,” panggil Ayu sekali lagi.
        Bram masih terkesima dan tak mampu bicara. Matanya berbinar-binar takjub terpesona menatap wanita idaman hatinya itu. Bidadari kah ini? Ayu pun semakin mendekati lelaki idamannya yang diam bagaikan patung dengan tatapan mata yang masih tak berkedip.
       “Kak  Bram. Kak Bram!” panggil Ayu sedikit keras dan semakin manja.
       “A .. a apa,”  sahutnya bingung terbata-bata.
       “Kok Kak Bram bingung gitu? Kenapa?”
       “Hehehe, bingung ya?”
       “E malah balik nanya? Kenapa Kak Bram?”
       “Ya bingung aja. Habis .. kamu sih.”
       “Kamu sih apaan Kak Bram?”
       “Nah tu kan?”
       “Tu kan apanya Kak Bram?”
       “Kak Bram? Kak Bram katamu?”
       “Ya Kak Bram. Kenapa?”
       “Ya bingung aja.”
       “Kok bingung? Memangnya Kak Bram tidak suka ya dipanggil Kak Bram?”
       “Suka, suka banget. Tapi …”
       “Tapi apa Kak Bram?”
       “Ya selama ini kan Ayu tidak pernah memanggil Kak Bram? Biasanya kan memanggil Pak Bram? Tiba-tiba berubah menjadi Kak Bram. Ada apa ya? Kenapa?”
       “Tidak kenapa-kenapa. Cuma …”
       “Cuma apa?”
       “Ya …  anu … anu.”
       “Anu apa?”
       “Anu …  ya anu-anu. Hahaha.”
       “Kok anu-anu?”

       Sementara Bram dan Ayu asik ngobrol, mereka terkejut melihat Abah sudah berada di halaman. Keduanya langsung bungkam bagai api disiram air. Sedikitpun tak menyangka akan tertangkap basah seperti ini. Ayu merasa dadanya berdebar-debar. Ia tak pernah setakut ini. Mukanya pucat pasi seakan tak beradarah.  Begitu juga dengan Bram, ia takut melihat jagoan tua yang selalu ditakuti dan disegani itu. Wajahnya merah bagaikan api yang berkobar-kobar. Wajah sangar dengan kumis melintang itu terlihat lebih menakutkan. Sedang di pinggangnya tergantung parang. Meski itu hanya parang yang digunakannya bersih-bersih di kebun kelapa, tetap saja menakutkan bagi Bram yang tertangkap basah.

       Julak Idar mematikan mesin kendaraan bebeknya, lalu turun dan langsung melangkah ke pelataran. Ayu dan Bram masih tak berani mengangkat muka. Abah duduk di samping Bram yang masih ketakutan. Ia melepas topinya yang seperti topi koboy itu, lalu dikipas-kipaskannya.
       Aneh ada apa ini? Julak Idar melihat ada sesuatu yang tidak biasa. Selama ini tak pernah Ayu berdandan seperti ini. Dia tak pernah melihat Ayu memakai satu set lengkap perhiasan dengan permata kecubung ungu ini. Bukankah itu perhiasan hadiah dari muridnya khusus untuk almarhumah isterinya? Wajah dan kecantikan almarhumah istrinya itu sebelas duabelas dengan Ayu. Melihat Ayu memakai perhiasan itu mengingatkannya pada almarhumah istrinya. Karena almarhum Rahmadi menyerahkan perhiasan itu kepada Ayu, ia juga jadi teringat pada almarhum Rahmadi Saputera.
       Tak terasa air matanya jatuh berlinang membasahi pipi yang sudah keriput itu. Padahal ia telah berusaha menahannya sekuat hatinya, tetapi tetap saja tak mampu membendung linangan  air mata yang deras bagai air bah itu. Bram dan Ayu yang tadinya pasrah kini malah bingung tak tahu mengapa Abah menangis.

       “Bah, ada apa Bah?” tanya Bram memberanikan diri meski ia masih kebingungan.
       “Bah, Pian garingkah?34” tanya Ayu ikut-ikutan memberanikan diri.
       Kada, kada apa-apa35. Cuma kelilipan,” jawabnya berbohong. Padahal sebenarnya ia menangis.

       Sebagai seorang jagoan tentu pantang baginya menangis. Tetapi tangisan yang ini berbeda. Dia menangis karena teringat istri yang sangat dicintainya itu. Ia juga menangis karena ingat almarhum Rahmadi Saputera anaknya. Perhiasan kecubung ungu itulah yang membangkitkan ingatannya pada anak dan istrinya. Itulah yang telah membuka luka lama di hatinya. Cukup lama ia tak mampu berkata apa-apa. Bram pun tak berani berkata apa-apa, karena ia takut salah bicara.

       “Guru, sudah lawaskah36 guru datang?” tanya Abah mengejutkan Bram.
       “Tidak juga, kira-kira seperempat jam saja, Abah,” jawab Bram berbohong.

       Abah pura-pura tidak mengetahui, padahal ia juga paham dan sangat mengerti bahwa anak angkatnya ini berbohong. Karena melihat dandanan Ayu yang rapi memakai gamis biru muda serasi benar dengan warna T-Shirt yang dipakai anak angkatnya ini. Ditambah lagi dengan satu set perhiasan berpermata kecubung ungu yang elegan itu. Tentu pantas dipertanyakan. Masa hanya seperempat jam mampu sesiap dan serapi itu? Itu tidak mungkin kan? Karena memilih dan mempertimbangkan semua itu, bagi seorang wanita pasti tidak cukup setengah jam. Tetapi ia tetap berpura-pura tidak mengetahui itu. Ia mau saja dibohongi anak angkatnya ini. Kenapa? Karena ia sudah terlanjur sayang pada Bram yang seratus persen mirip almarhum Rahmadi anak semata wayangnya itu. Ia juga sudah menyayangi Bram seperti anak kandungnya sendiri.

       Seandainya saja yang duduk itu bukan Bram sudah pasti ia marah besar. Seandainya lelaki yang mengobrol dengan Ayu itu bukan anak angkatnya ini, barang kali tangannya yang kekar itu sudah melayang berkali-kali.  Tetapi lelaki ini adalah orang yang sudah direcanakannya menjadi suami Ayu. 

       Kini ia berusaha menenangkan hatinya. Setelah ia benar-benar tenang setenang-tenangnya, barulah ia sadar, sebaiknya mengajak anak angkatnya ini mengobrol di dalam saja. Ia harus memberikan keleluasaan waktu kepada dua anak manusia yang sedang dilanda asmara ini. Bukankah ia harus mampu mengikat keduanya?

       “Guru, mari kita ke dalam.”
       “Ya Abah”

       Julak Idar berdiri lalu masuk diiringi oleh Bram dan Ayu.  Mereka langsung duduk di lantai, karena di kamar tamu ini memang tak ada kursi tamu. Tenyata Ayu juga ikut duduk, bahkan ia ingin berlama-lama duduk, karena di sini ada lelaki idaman hatinya.

       “Guru Ibas mau minum apa?”
       “Ulun minum apa saja lah. Bah.”
       “Lho, katanya tadi Pak Bram mau minum kopi. Iya kan Pak?” tanya Ayu sambil mengedipkan matanya.
       Bram bingung. Kenapa tiba-tiba ia memanggilnya Pak Bram? Padahal tadi Ayu memanggilnya Kak Bram. Kok kembali jadi Pak Bram lagi? Ada apa ini?
       “Pak Bram. Gimana nih? Jadi nggak minum kopi?” tanya Ayu membuat Bram jadi terkejut karenanya.
       “Hmm … gimana ya?”
       “Gimana nih? Jadi nggak minum kopinya?” tanya Ayu setengah mendesak.
       “Iya. Samakan saja dengan minumnya Abah.”  
       “Kalo Abah biasanya minum kopi asli. Pak Bram mau kopi asli juga ya?”
       “O ya? Memangnya ada kopi asli?”
       “Ya ada lah pastinya. Mau?”
       “Ya saya mau kopi asli seperti kopi Abah.”
       “Idang cepat buatkan kopi buat Abah dan Guru Ibas ini. Cepat ya. GPL  ya.”
       “Bah GPL itu apa Bah?” tanya Ayu pura-pura bingung.
       “GPL itu Nggak Pakai Lama. hahahaha.”
       Maka riuh rendahlah ketawa Abah dan Bram di pagi ini. Ayu juga ikut tertawa sambil masuk ke ruang dalam. Ternyata Abah angkatnya ini bisa juga bahasa gaul. Berarti Abah Angkatnya ini tidak marah seperti yang ia duga sebelumnya.
       “Memangnya Abah tahu dari mana GPL itu Bah?”
       “Dari TV, hahaha.”
       “Hahaha, bisa juga Abah nih ye, hehehehe.”
       Tak lama kemudian Ayu datang membawa dua gelas kopi hangat.
***
       Pertemuan Bram dengan Ayu pagi tadi membuatnya melayang di udara. Sampai sore bahkan sampai malam hari, ia tetap tak bisa melupakan semua pembicaraannya dengan Ayu tadi pagi. Meski malam sudah semakin larut, tetapi ia tak bisa tidur. Sesekali terdengar bunyi burung malam di sela-sela bunyi binatang malam lainnya. Tiba-tiba HP-nya berbunyi, ternyata itu nomor SMS Lebay.
       ”Halo.”
       ”Halo Bapak Keren, masih belum  tidur ya?” 
       ”Ya, ya  aku masih belum tidur?”
       ”Samma dong kita. Saya juga masih belum tidur. ”
       ”Mau kamu apa sih? Nelpon malam-malam gini?”
       ”Hmm, mau ngobrol aja.”
       ”Kamu dapat nomor saya dari siapa sih?”
       ”Dari fesbuk.”
       ”Apa? Dari fesbuk?”
       ”Iya. Kan nomor Bapak ada di profil?”
       ”Jadi kamu punya akun juga?”
       ”Ya, ya ialah. Hari gini, masa  nggak punya?”
       ”Nama fesbuk kamu siapa sih?”
       ”Nanti juga tau. Bapak termasuk sastrawan yang diundang ke Aruh sastra itu kan?”
       ”Tau dari mana kamu? Padahal aku tak tau apa-apa.”
       ”Dari fesbuk.”
       ”Memangnya ada di fesbuk?”
       ”Iya. Bapak Belum baca ya? Selamat tidur dan sampai ketemu di Aruh Sastra.”

       Ia baru ingat bahwa sebentar lagi akan digelar Aruh Sastra pertemuan tahunan sastrawan Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru. Masalahnya ia bukan orang penting di dunia sastra. Apalagi sekarang ia tidak berdomisili di Banjarmasin lagi. Lagi pula ia sedang asik-asiknya melayang di cakrawala cinta yang tak bertepi. Ia ingin selalu dekat dengan Ayu yang sudah memikat hatinya itu. Ia  selalu ingin berdua. Minimal harus bertemu setiap dua hari sekali. Karena sehari saja tak bertemu rasanya seperti setahun. Meski demikian ia tetap akan menghadiri Aruh Sastra itu. Di samping kangen-kangenan sesama penyuka sastra, ia juga perlu penjajagan agenda sastra yang akan digelarnya di bumi Amuk Hantarukung ini. Sudah lama rencana Napak Tilas semangat Amuk Hantarukung itu ada di benaknya. Ia akan menerbitkan Antalogi Puisi Ada Rindu di Bumi Amuk Hantarukung sebagai bentuk apresiasi dan refleksi peristiwa bersejarah Amuk Hantarukung yang terjadi pada tanggal 18 dan 19 September 1899. Ia juga sudah mempelajari acuan dan referensi terkait. Ini sudah bulan September 2013. Berarti peristiwa itu terjadi 114 tahun yang lalu. Seyogyanya Napak Tilas itu akan dilaksanakannya pada bulan  September ini.  Tetapi  karena baru terpikirnya sekarang
maka kegiatan itu akan dilaksanakannya bulan November yang akan  datang,  dikaitkan  dengan peringatan  Hari Pahlawan 10 November. Untuk itu ia juga memerlukan saran dan pendapat rekan-rekan sastrawan banua lainnya. Setelah berlama-lama ia merenung akhirnya ia tertidur.
***
          Bram terbangun hampir kesiangan. Ia terbangun karena Hpnya berdering dan terus berdering. Bunyi HP itulah yang membangunkannya. Ternyata itu nomornya Ayu.

       “Assalamu alaikum Ayu.“
       “Wa alaikum salam Kak Bram. Kok dari tadi HP-nya tak diangkat-angkat. Kenapa? Memangnya Kak Bram ke mana?“
       “Wah, aku kesiangan. Maaf ya, aku buru-buru nanti keburu habis waktunya.“
       “ Kok langsung sholat? Nggak ambil udhu dulu?“ 
       “ Aduh, maaf ya Ayu. Assalamu alaikum.“
       “Wa alaikum salam Kak Bram.“

       Bram buru-buru ke kamar mandi, ia sengaja tidak perlu  mandi, yang penting  mengambil  air udhu dulu. Ia cepat-cepat mengambil air udhu seperlunya saja.  Dan saat keluar dari kamar mandi, waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam. Berarti waktu sholat shubuh sebentar lagi  habis.
***
        Hari ini hari Senin. Seperti biasa Bram baru akan masuk kelas pada jam pelajaran ke empat setelah istirahat pertama. Sekarang sudah jam pelajaran ke tiga berarti ia masih punya waktu satu jam. Pagi tadi ia harus berangkat lebih awal, karena ia akan menjadi Pembina Upacara. Ia harus sarapan di warung kaupat yang buka lebih awal. Ia harus sarapan di warung Acil Siti yang selalu penuh pelanggannya, karena di samping rasanya yang pas di lidah pelanggan, harga satu porsinya pun murah meriah. Jadi jangan heran kalau di warung ini pukul delapan katupatnya sudah habis. Akibatnya ia tak bisa sarapan di warung Acil Mirna. Padahal itulah satu-satunya warung katupat Kandangan kesukaannya, karena di situlah ia pertama kalinya bertemu perempuan berjilbab biru yang telah mencuri hatinya. Gadis bertubuh semampai berkulit putih bening berwajah sendu dengan senyum manis yang tersungging di bibir. Sejak itulah ia selalu ketagihan sarapan di warung itu. Sebenarnya bukan masalah warung katupat itu yang dipikirkannya saat ini, tetapi gadis misterius lebay yang katanya juga punya akun fesbuk, yang mengaku salah seorang fans-nya, yang selalu menyukai status dan catatannya di fesbuk itu. Nah gadis misterius lebay itulah yang mengganggu pikirannya saat ini. Lebih-lebih lagi gadis lebay itu mengajaknya ketemuan di Aruh Sastra nanti. Pertanyaannya adalah Apakah gadis misterius lebay itu benar-benar seorang gadis? Ataukah justru sebaliknya ia adalah seorang janda genit. Atau bisa jadi nenek peot keriput yang ke ABG-ABGan  

       Seperti biasa setiap kali sedang sendiri di ruang guru ini,  Ibu Risna selalu  datang. Tentu saja akan berbincang tentang Ayu. Pagi ini? Sudah dapat dipastikan ia juga akan datang. Ternyata benar, ibu itu sudah ada di sini.

       “Pak Baswenda melamun ya?”             
       “E Ibu.”
       “Pak Baswenda? Bagaimana perkembangannya?” tanya Ibu Risna sambil menarik kursi kosong yang berdampingan dengan kursinya.
       “Perkembangan apanya Bu?”
       “Dengar-dengar katanya Pak Baswenda lagi sangat dekat dengan seseorang ya?”
       “Lho? Sekarang kan saya dekatnya sama Ibu?”
       “Bukan itu maksudnya.”
       “Eh Ibu. Memangnya dekat dengan siapa Bu?”
       “Jangan bercanda ah. Bukan saya orangnya Pak. Tetapi dia.”
       “Dia? Dia siapa Bu?”
       “Ah Bapak kura-kura dalam perahu, Sudah gaharu cendana pula. Pura-pura tidak tahu. Sudah tahu bertanya pula. Ya Rahayu Agustina lah. Masa yang lain?”
       “Ah Ibu. Ya iya. Hehehe.”
       “Nah tu kan? Benar kan dia yang Bapak pikirkan?”
       “Sebenarnya bukan itu yang saya pikirkan Bu.”
       “Oh bukan itu ya Pak?
       “Iya bukan itu.”
        “Memangnya Pak Baswenda sedang memikirkan siapa sih?”
        “Saya juga tidak sedang memikirkan siapa-siapa.”
        “Memangnya sedang memikirkan apa?”
        “Saya juga bingung nih.”
        “Kok bingung? Si Agus itu orangnya cantik dan anggun. Jangan lama-lama mikirnya. Nanti keburu disambar orang. Menurut saya ia itu pas buat Bapak. Lagi pula Bapak ini kan anak angkat Julak Idar?”
       “Memangnya kalau anak angkat Julak Idar itu apa untungnya Bu?”
       “Oh banyak. Banyak sekali untungnya.”
       “Salah satunya apa Bu?”
       “Yang jelas Julak Idar tidak akan marah dan pasti setuju kalau Pak Baswenda jadian dengan Rahayu. Selama ini kan tak ada seorang pun yang berani pedekate?”
       “Oh gitu ya Bu?”
       “Ya iya lah, hahaha.”
       “Hahaha. Ah ibu. Tapi sekarang bukan itu Bu yang saya pikirkan.”
       “Oh apa itu Pak?”
        “Sebentar lagi kan ada Aruh Sastra di Banjarbaru.”
        “Ooo Aruh Sastra? Aruh Sastra itu apa Pak?”
        “Belum pernah dengar ya? Kan tiap tahun ada beritanya di media lokal.”
        “Pernah. Tapi saya tak serius mengikuti beritanya.”
        “Lalu sekarang kenapa serius?”
       “Karena Pak Baswenda?”
       “Kok karena saya Bu?
       “Iya karena Pak Baswenda?”
       “Maksudnya apa Bu?”
       “Pak Baswenda kan guru di sini? Secara tidak resmi bisa dianggap mewakili sekolah kita. Hasilnya bisa di-sharing buat guru Bahasa Indonesia. Iya kan?”
       “Iya juga ya?”
       “Sebenarnya Aruh Sastra itu apa sih Pak?”
       “Aruh Sastra itu adalah pertemuan tahunan para Sastrawan Kalimantan Selatan. Tahun ini sudah tahun yang ke sepuluh dan akan dilaksanakan di Banjarbaru tanggal 11 sampai dengan tanggal 13 Oktober yang akan datang.”
       “Hari ini kan sudah tanggal tujuh? Berarti hanya tinggal empat hari lagi. Pak Baswenda ikut rombongan Kabupaten HSS atau Kota Banjarmasin?”
       “Nah itu dia masalahnya. Saya kan masih belum terdaftar sebagai Penduduk HSS”
       Tiba-tiba HP Bram berbunyi ada SMS  yang  masuk.
       ”Ada  SMS ya Pak?”
       ”Iya, ada SMS nih.”
       ”Dari Rahayu ya Pak?”
       ”Bukan. Ini dari teman di Banjarmasin.”
       ”Teman apa teman?  Atau TTM barangkali?”
       ”TTM  apaan Bu?”
       ”TTM gitu. Teman Tapi Mesra, hahahaha.”
       ”Ah Ibu ini, curigaan terus bawaannya.”
       ”Harus itu. Kasian dong si Jilbab biru kalo diduakan sama yang lain.”
       ”Ini SMS Aruh Sastra. Saya dimasukkan sebagai peserta dari Kota Banjarmasin.
       ”Bagus itu.”
       ”Saya kan bukan warga Banjarmasin lagi?”

       Sebenarnya bukan itu yang mengusik pikirannya. Tetapi gadis lebay yang misterius itu. Katanya ingin menemuinya di Banjarbaru, benarkah? Itu berarti ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Tiba-tiba lonceng jam istirahat pertama berbunyi,  Ibu Risna  langsung  keluar.  Seorang  demi seorang guru-guru memasuki ruang guru. Sementara ia masih bingung. Kini masuk lagi SMS memberitahukan bahwa ke Aruh Sastra itu berangkatnya masing-masing. Tidak ada penjelasan tentang uang jalan dan uang saku bagi peserta yang mewakili Banjarmasin. Sejenak terbayang dia akan bertemu dengan beberapa sastrawan banua.
***

       Hari Jum’at 11 Oktober 2013, Ia berangkat sehabis Sholat Jum’at dan tiba di Kota Banjarbaru pukul 16.15. Sesampainya di Banjarbaru ia langsung mencari Panitia. Sayangnya Bram tidak menguasai kawasan Banjarbaru, akibatnya berjam-jam hanya berputar-putar mengelilingi Lapangan Murjani. Bram pangling melihat Lapangan Murjani yang sedang dikepung tenda-tenda kuliner jajanan. Banyak pasangan muda mudi bersantai ria menikmati kuliner mulai jajanan ringan sampai yang sepesial semua ada dijual di sini. 

       Kali ini ia sengaja memarkir kendaraan sekedar melepas lelah. Lalu ia mencari warung yang berkenan di hatinya. Tiba-tiba ia melihat ada panggung dikelilingi kafe. Nampak orang-orang menghiasi panggung. Apakah itu Panggung Bundar yang sering disebut dalam fesbuk itu? Ternyata benar ini panggung yang akan digunakan buat gelar sastra nanti malam.
       Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga yang dicari-cari.
       Dilihatnya di sana ada Fahmi Wahid dari Balangan. Cepat ia mendekat, langsung bersalaman sesama sastrawan banua.

       “Baru datang nih?” sapa Pak Fahmi”
       “Ya Pak, saya mau melapor. Panitianya ada di mana Pak?”
       “Itu, di depan sana.”
       “Makasih Pak Fahmi, saya mau melapor dulu ya.”

       Ia pun langsung ke panitia yang menerima kedatangan peserta. Di sini ada Ahmad Syarmidin dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan sedang melapor kedatangan rombongan. Di sini juga ada He Benyamine salah seorang panitia. Bram tidak melapor ke meja panitia tetapi ia hanya melapor kepada He Benyamine, kemudian mengkonfirmasinya di meja panitia. Tak lama kemudian ia langsung diantar ke Hotel Qarina di kamar no. 15. Di sini sudah ada Raji Leonada rekan fesbuker sastrawan dari Amuntai dan penyair Janggut Naga dari Batola. 

       Sungguh Bram sangat gembira berada satu kamar dengan kedua sastrawan itu. Ternyata Raji Leonada ini nama aslinya adalah Fahruraji Asmuni Guru SMAN 1 Amuntai yang penampilannya selalu rapi. Berbeda dengan penyair Janggut Naga yang satu ini  berjanggut panjang. Di usianya yang sudah berkepala tujuh itu sudah pasti janggutnya juga putih semua.

       “Bram. Jam berapa berangkat dari Banjarmasin?” tanya si Janggut Naga.
       “Saya berangkat dari Kandangan sehabis Jum’atan,”
       “Kok dari kandangan? Bram kan utusan Banjarmnasin?”
       “Sekarang sudah pindah ke Kandangan. Tapi saya utusan Banjarmasin, hehehe.”
       “O sudah jadi orang Kandangan ya?” tanya Raji Leonada.
       “Iya, baru tiga bulan jalan Pak.”
       “Kenapa pindah ke Kandangan?”
       “Baru diangkat ya?” tanya Raji Leonada.
       “Ya Pak, baru diangkat di SMPN Hantarukung.” 
       “Saya ini lain lagi. Justru dari Kandangan madam ke mana-mana dan terdamparnya di Tamban Barito Kuala,” sela si Janggut Naga yang aslinya bernama Ibramsyah Amandit.

       Demikianlah percakapan singkat tiga sastrawan Kalsel dari kabupaten berbeda. Sekarang baru Bram merasa betapa lelahnya setelah perjalanan sejauh 107 kilometer dari Bumi Amuk Hantarukung ke Banjarbaru ini. Sebenarnya ia ingin mandi langsung tidur, tetapi karena takut kehabisan waktu Ashar, jadi ia hanya membersihkan diri secukupnya saja lalu mengambil air udhu dan terus sholat. 

       Baru saja ia selesai sholat Ashar, tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar bunyi azan menandakan waktu maghrib telah tiba. Sayangnya situasi dan kondisi kamar no. 15 ini hanya memungkinkan untuk sholat sendiri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar