RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 4
04
Bram
cepat menutup HPnya, lalu menurunkan kendaraan. Setelah ia menutup pintu rumah
meluncurlah kendaraannya melewati jalan berliku melintas di sela-sela rumah
penduduk di bawah pohon kelapa, hambawang, rambutan, langsat, kapul dan
pepohonan lainnya.
Meski ia
tinggal di tengah-tengah kebun kelapa tetapi ia tetap merasa nyaman menjalankan
kendaraan. Karena jalan-jalan setapak itu kini sudah menjadi jalan alternatif
yang diperkeras dengan semen corcoran. Jadi meski hari hujan, jalan ini tetap
nyaman tidak becek tidak licin dan tidak berlumpur.
Pagi ini
ia sengaja meluncur lambat-lambat agar leluasa menikmati sejuknya oksigen di
bawah pepohonan itu. Tidak seperti ABG yang menjalankan motor dengan kecepatan
tinggi. Tidak pagi tidak siang tidak malam, selalu dengan kecepatan tinggi.
Termasuk juga sepeda anak-anak sekolah berlalu dengan kencangnya.
Tak
seberapa lama sampailah ia di halaman rumah Julak Idar. Setelah mematikan mesin kendaraannya ia langsung menaiki tangga.
Ketika ia mau mengetuk pintu, ternyata pintu rumah itu tidak terkunci. Begitu
mau diketuk ternyata pintu itu terbuka sendiri, tetapi tak ada siapa-siapa di
kamar tamu itu. Apakah pintu ini sengaja dibukakan untuknya? Apakah lupa
mengunci pintunya? Ataukah memang sudah biasa terbuka seperti ini? Ia berpikir
sejenak, apaka sebaiknya mengetuk pintu? Atau memberi salam? Atau langsung masuk
saja? Sementara ia masih berpikir tiba-tiba Ayu sudah berdiri terperanjat di
ambang pintu tengah.
Astagfirullah!
Bram langsung terkesima melihat Ayu berdiri tapih mandada dengan pakaian
seadanya. Ia baru selesai mandi, rambutnya masih tertutup handuk. Apakah ia
memang sengaja memperlihatkan tubuhnya yang putih bening lagi mulus itu? Apakah
ia tidak menduga lelaki idamannya itu berdiri di pintu terkesima memperhatikan
dirinya? Sesaat mereka sama-sama terkejut,
sama-sama kagum, sama-sama bingung, sama-sama bungkam
saat saling beradu pandang. Mereka bertatapan cukup lama, bahkan lama sekali.
Bicara hanya antara mata, bercumbu hanya antara hati. Tiba-tiba Bram baru
sadar, secepatnya ia membalikan tubuh. Dia tidak jadi masuk rumah, ia hanya
duduk di beranda. Sementara Ayu masih terbuka separu dada ia malah menuju pintu
dan berdiri di pintu depan.
“Pak
Bram, mari silakan masuk.”
Sepertinya Ayu tidak sungkan-sungkan sambil menutupi sebagian dadanya
dengan tangannya yang putih lembut itu. Tentu tidak ketinggalan
tersungging seulas senyum di bibirnya yang tipis selalu basah itu. Membuatnya
terlihat cantik alami. Memang begitulah biasanya gadis desa sehabis mandi tapih mandada32 atau tapih bakurung baikat di bahu33
dengan handuk yang melilit di kepala.
“Pak
Bram, Abah masih di kebun. Silakan masuk,” ajak Ayu sekali lagi.
“Biar di
luar saja,” jawab Bram srkenanya saja.
Sebenarnya ia ingin sekali masuk dan berbincang-bincang dengan gadis
yang sudah mencuri hatinya itu. Inilah idaman hatinya, perempuan
terakhir yang bermukim di dalam hatinya, dermaga terakhir tempat biduk cintanya
bersandar.
Memang
maksudnya datang ke rumah ini untuk apel wakuncar di pagi minggu yang cerah
ini. Bersilaturrahmi dengan Abah hanyalah sebuah alasan. Tetapi kali ini ia
merasa tak etis berhadapan dengan Ayu yang masih tapih mandada. Dalam hal ini
ia harus super ekstra waspada dan hati-hati bersikap dan membawa diri.
Terlebih-lebih lagi di daerah yang penduduknya terkenal bertemperamen keras.
Sebab salah sedikit saja bisa fatal akibatnya, bahkan bisa berakhir dengan
pertumpahan darah. Cara yang lebih aman ia tidak perlu masuk, cukup di
pelataran saja.
Rupanya
kata hati Bram ini diketahui juga oleh Ayu. Cepat ia masuk ganti pakaian yang
lebih sopan. Dia berpikir, melihat-lihat
dan memilih pakaian yang paling disukai lelaki idamannya
itu. Sudah beberapa pakaian yang dicobanya tetapi selalu saja dilepas kembali.
Rasanya tak ada satu pun yang istimewa buat orang yang sangat spesial di
hatinya ini. Diperhatikannya tumpukan gamis di tempat tidurnya. Ditelitinya
kembali satu persatu. Ada tiga lembar gamis yang berkenan di hatinya. Yang
merah muda, yang hijau daun dan yang biru muda. Ia harus memilih warna yang
sesuai dengan T-Shirt biru muda yang dipakai Bram hari ini. Haruskah dia
memakai gamis berwarna biru muda? Barangkali itu dapat mempererat jalinan kasih
mereka.
Saat ini
ia sengaja tak perlu memakai jilbab. Tetapi apakah pantas tanpa penutup kepala?
Setelah dipertimbangkan ia tetap perlu menutup kepala, minimal topi pet
muslimah yang hanya bisa menutup rambutnya. Lalu? Mana yang cocok dengan baju
gamis biru muda itu. Akhirnya ia memutuskan memakai gamis dan tutup kepala biru
muda. Pelan-pelan dipakainya gamis biru muda itu, lalu berdiri dan berputar-putar bagai
pragawati di depan cermin.
Betapa
anggun elegan dengan seulas senyum manis tersungging di bibirnya, melebihi
senyum pramugari. Ia berpikir sebentar, rasanya masih ada yang kurang. O
ternyata wajahnya masih belum dirias, masih polos tanpa make up apa-apa, karena
ia memang baru saja selesai mandi. Sebenarnya tanpa dirias pun wajahnya sudah
cantik alami. Tetapi namanya juga perempuan selalu ingin tampil lebih cantik di
depan lelaki idaman hatinya. Pelan-pelan diambilnya bedak kesukaannya di laci
lemari bupetnya. Bedak bermerek yang baru saja dibelinya di Pasar Tungging yang
biasa digelar setiap malam Minggu di perbatasan Desa Simpur dan Desa Wasah
Hilir.
Sambil
bercermin ia memoles dahinya sedikit pipi dan dagu sedikit dengan bedak
kesukaannya. Sebenarnya tanpa bedak pun wajahnya sudah manis bening merona.
Kemudian diambilnya lisptick yang juga baru dibelinya. Apakah bibirnya harus
dipoles lipstick juga? Ataukah tidak perlu? Sebenarnya bibirnya lebih manis tanpa lipstick. Karena bibirnya yang tipis
selalu basah itu lebih eksotik tanpa lipstick. Tetapi ia merasa masih
kurang PD jika tidak menggunakannya. Bukankah pagi ini ia ingin tampil beda di
depan lelaki yang sudah mencuri hatinya itu? Bukankah pagi ini ia ingin
idamannya itu benar-benar terpukau dan terpesona? Itulah sebabnya mengapa ia
berbusana dan merias wajahnya habis-habisan. Meskipun demikian ia tetap harus
bersolek seperlunya saja. Karena ia itu
orangnya memang suka sederhana saja. Ia tidak suka merias wajahnya norak
dan berlebihan.
Selesai
bersolek ia memakai penutup kepala muslimah model topi pet. Ia sengaja memilih
tutup kepala model yang ini, karena ia ingin memperlihatkan daun telinga yang
indah dan lehernya yang jenjang itu. Ia kembali berputar-putar di depan cermin
bagai seorang pragawati. Ternyata masih ada yang kurang. Dilihatnya daun
telinganya yang indah, lehernya yang jenjang, pergelangan tangannya yang mulus
lembut, jari manisnya yang lentik. Semuanya pasti menawan, pasti
memukau. Tetapi di sana tak ada apa-apanya, tak ada perhiasan sama sekali.
Padahal yang satu ini biasanya tak pernah dilupakan oleh setiap perempuan.
Dilihatnya sekali lagi ke dalam cermin itu. Jelas sekali di sana tak ada kalung
yang menggantung di lehernya, tak ada subang atau anting-anting yang menghiasi
daun telinganya, tak ada gelang yang melingkar di pergelangan tangannya dan tak
ada cincin yang melingkar di jari manisnya.
Haruskah
ia polos begitu saja? Haruskah ia tampil begitu saja di depan lelaki yang telah
mencuri hatinya itu? Tentu saja tidak. Sebagai seorang perempuan tentu ia ingin
melengkapi asesoris tersebut pada dirinya. Sayangnya ia tak punya perhiasan
intan berlian yang sangat disukai setiap wanita. Satu-satunya perhiasan yang ia
punya hanyalah pemberian almarhum Rahmadi berupa peninggalan ibunya. Yaitu satu
set perhiasan batu kecubung asli berwarna ungu elegan. Perhiasan ini memang
jadul tapi hanya inilah perhiasan yang paling disukaimya. Satu set perhiasan kecubung
yang terdiri dari subang, kalung, gelang dan cincin semuanya perhisan
emas dengan permata kecubung yang berwarna ungu elegan. Meski sedikit ragu
akhirnya iapun memakai perhiasan itu.
Dengan penuh percaya diri ia melangkah lembut bagai Puteri Indonesia
menemui lelaki idaman hatinya yang masih termangu sendiri di beranda.
“Kak Bram.”
Tiba-tiba
Ayu menyapa dengan sapaan yang tidak seperti biasanya. Bram terkejut, terkesima
dan hatinya jadi berbunga-bunga mendengar Ayu begitu manja memanggilnya Kak
Bram.
“Kak Bram,” panggil Ayu sekali lagi.
Bram
masih terkesima dan tak mampu bicara. Matanya berbinar-binar takjub terpesona
menatap wanita idaman hatinya itu. Bidadari kah ini? Ayu pun semakin mendekati
lelaki idamannya yang diam bagaikan patung dengan tatapan mata yang masih tak
berkedip.
“Kak Bram. Kak Bram!” panggil Ayu sedikit keras
dan semakin manja.
“A .. a
apa,” sahutnya bingung terbata-bata.
“Kok Kak
Bram bingung gitu? Kenapa?”
“Hehehe,
bingung ya?”
“E malah
balik nanya? Kenapa Kak Bram?”
“Ya
bingung aja. Habis .. kamu sih.”
“Kamu sih
apaan Kak Bram?”
“Nah tu
kan?”
“Tu kan
apanya Kak Bram?”
“Kak
Bram? Kak Bram katamu?”
“Ya Kak
Bram. Kenapa?”
“Ya
bingung aja.”
“Kok
bingung? Memangnya Kak Bram tidak suka ya dipanggil Kak Bram?”
“Suka,
suka banget. Tapi …”
“Tapi apa
Kak Bram?”
“Ya
selama ini kan Ayu tidak pernah memanggil Kak Bram? Biasanya kan
memanggil Pak Bram? Tiba-tiba berubah menjadi Kak Bram.
Ada apa ya? Kenapa?”
“Tidak
kenapa-kenapa. Cuma …”
“Cuma
apa?”
“Ya
… anu … anu.”
“Anu apa?”
“Anu
… ya anu-anu. Hahaha.”
“Kok
anu-anu?”
Sementara
Bram dan Ayu asik ngobrol, mereka terkejut melihat Abah sudah berada di
halaman. Keduanya langsung bungkam bagai api disiram air. Sedikitpun tak
menyangka akan tertangkap basah seperti ini. Ayu merasa dadanya berdebar-debar.
Ia tak pernah setakut ini. Mukanya pucat pasi seakan tak beradarah. Begitu juga dengan Bram, ia takut
melihat jagoan tua yang selalu ditakuti dan disegani itu. Wajahnya merah
bagaikan api yang berkobar-kobar. Wajah sangar dengan kumis melintang itu
terlihat lebih menakutkan. Sedang di pinggangnya tergantung parang. Meski itu
hanya parang yang digunakannya bersih-bersih di kebun kelapa, tetap saja
menakutkan bagi Bram yang tertangkap basah.
Julak
Idar mematikan mesin kendaraan bebeknya, lalu turun dan langsung melangkah ke
pelataran. Ayu dan Bram masih tak berani mengangkat muka. Abah duduk di samping
Bram yang masih ketakutan. Ia melepas topinya yang seperti topi koboy itu, lalu
dikipas-kipaskannya.
Aneh ada
apa ini? Julak Idar melihat ada sesuatu yang tidak biasa. Selama ini tak pernah
Ayu berdandan seperti ini. Dia tak pernah melihat Ayu memakai satu set lengkap
perhiasan dengan permata kecubung ungu ini. Bukankah itu perhiasan hadiah dari
muridnya khusus untuk almarhumah isterinya? Wajah dan kecantikan almarhumah
istrinya itu sebelas duabelas dengan Ayu. Melihat Ayu memakai perhiasan itu
mengingatkannya pada almarhumah istrinya. Karena almarhum Rahmadi menyerahkan
perhiasan itu kepada Ayu, ia juga jadi teringat pada almarhum Rahmadi Saputera.
Tak
terasa air matanya jatuh berlinang membasahi pipi yang sudah keriput itu.
Padahal ia telah berusaha menahannya sekuat hatinya, tetapi tetap saja tak
mampu membendung linangan air mata yang
deras bagai air bah itu. Bram dan Ayu yang tadinya pasrah kini malah bingung
tak tahu mengapa Abah menangis.
“Bah, ada
apa Bah?” tanya Bram memberanikan diri meski ia masih kebingungan.
“Bah, Pian garingkah?34” tanya Ayu
ikut-ikutan memberanikan diri.
“Kada, kada apa-apa35. Cuma
kelilipan,” jawabnya berbohong. Padahal sebenarnya ia menangis.
Sebagai
seorang jagoan tentu pantang baginya menangis. Tetapi tangisan yang ini berbeda. Dia menangis karena teringat istri
yang sangat dicintainya itu. Ia juga menangis karena ingat almarhum Rahmadi
Saputera anaknya. Perhiasan kecubung ungu itulah yang membangkitkan ingatannya
pada anak dan istrinya. Itulah yang telah membuka luka lama di hatinya. Cukup
lama ia tak mampu berkata apa-apa. Bram pun tak berani berkata apa-apa, karena
ia takut salah bicara.
“Guru, sudah lawaskah36 guru datang?” tanya Abah mengejutkan
Bram.
“Tidak
juga, kira-kira seperempat jam saja, Abah,” jawab Bram berbohong.
Abah
pura-pura tidak mengetahui, padahal ia juga paham dan sangat mengerti bahwa
anak angkatnya ini berbohong. Karena melihat dandanan Ayu yang rapi memakai
gamis biru muda serasi benar dengan warna T-Shirt yang dipakai anak angkatnya
ini. Ditambah lagi dengan satu set perhiasan berpermata kecubung ungu yang
elegan itu. Tentu pantas dipertanyakan. Masa hanya seperempat jam mampu sesiap
dan serapi itu? Itu tidak mungkin kan? Karena memilih dan mempertimbangkan
semua itu, bagi seorang wanita pasti tidak cukup setengah jam. Tetapi ia tetap
berpura-pura tidak mengetahui itu. Ia mau saja dibohongi anak angkatnya ini.
Kenapa? Karena ia sudah terlanjur sayang pada Bram yang seratus persen
mirip almarhum Rahmadi anak semata wayangnya itu. Ia juga sudah menyayangi Bram
seperti anak kandungnya sendiri.
Seandainya saja yang duduk itu bukan Bram sudah pasti ia marah besar.
Seandainya lelaki yang mengobrol dengan Ayu itu bukan anak angkatnya ini,
barang kali tangannya yang kekar itu sudah melayang berkali-kali. Tetapi lelaki ini adalah orang yang sudah
direcanakannya menjadi suami Ayu.
Kini ia
berusaha menenangkan hatinya. Setelah ia benar-benar tenang setenang-tenangnya,
barulah ia sadar, sebaiknya mengajak anak angkatnya ini mengobrol di dalam
saja. Ia harus memberikan keleluasaan waktu kepada dua anak manusia yang sedang
dilanda asmara ini. Bukankah ia harus mampu mengikat keduanya?
“Guru, mari
kita ke dalam.”
“Ya Abah”
Julak
Idar berdiri lalu masuk diiringi oleh Bram dan Ayu. Mereka langsung duduk di lantai, karena di
kamar tamu ini memang tak ada kursi tamu. Tenyata Ayu juga ikut duduk, bahkan
ia ingin berlama-lama duduk, karena di sini ada lelaki idaman hatinya.
“Guru
Ibas mau minum apa?”
“Ulun
minum apa saja lah. Bah.”
“Lho,
katanya tadi Pak Bram mau minum kopi. Iya kan Pak?” tanya Ayu sambil
mengedipkan matanya.
Bram
bingung. Kenapa tiba-tiba ia memanggilnya Pak Bram? Padahal tadi Ayu
memanggilnya Kak Bram. Kok
kembali jadi Pak Bram lagi? Ada apa ini?
“Pak
Bram. Gimana nih? Jadi nggak minum kopi?” tanya Ayu membuat Bram jadi terkejut
karenanya.
“Hmm …
gimana ya?”
“Gimana nih?
Jadi nggak minum kopinya?” tanya Ayu setengah mendesak.
“Iya.
Samakan saja dengan minumnya Abah.”
“Kalo
Abah biasanya minum kopi asli. Pak Bram mau kopi asli juga ya?”
“O ya?
Memangnya ada kopi asli?”
“Ya ada
lah pastinya. Mau?”
“Ya saya
mau kopi asli seperti kopi Abah.”
“Idang
cepat buatkan kopi buat Abah dan Guru Ibas ini. Cepat ya. GPL ya.”
“Bah GPL
itu apa Bah?” tanya Ayu pura-pura bingung.
“GPL itu
Nggak Pakai Lama. hahahaha.”
Maka riuh
rendahlah ketawa Abah dan Bram di pagi ini. Ayu juga ikut tertawa sambil masuk
ke ruang dalam. Ternyata Abah angkatnya ini bisa juga bahasa gaul. Berarti Abah
Angkatnya ini tidak marah seperti yang ia duga sebelumnya.
“Memangnya Abah tahu dari mana GPL itu Bah?”
“Dari TV,
hahaha.”
“Hahaha,
bisa juga Abah nih ye, hehehehe.”
Tak lama
kemudian Ayu datang membawa dua gelas kopi hangat.
***
Pertemuan Bram dengan Ayu pagi tadi membuatnya melayang
di udara. Sampai sore bahkan sampai malam hari, ia tetap tak bisa melupakan
semua pembicaraannya dengan Ayu tadi pagi. Meski malam sudah semakin larut,
tetapi ia tak bisa tidur. Sesekali terdengar bunyi burung malam di sela-sela
bunyi binatang malam lainnya. Tiba-tiba HP-nya berbunyi, ternyata itu nomor SMS
Lebay.
”Halo.”
”Halo
Bapak Keren, masih belum tidur ya?”
”Ya,
ya aku masih belum tidur?”
”Samma
dong kita. Saya juga masih belum tidur. ”
”Mau kamu
apa sih? Nelpon malam-malam gini?”
”Hmm, mau
ngobrol aja.”
”Kamu
dapat nomor saya dari siapa sih?”
”Dari
fesbuk.”
”Apa?
Dari fesbuk?”
”Iya. Kan
nomor Bapak ada di profil?”
”Jadi
kamu punya akun juga?”
”Ya, ya
ialah. Hari gini, masa nggak punya?”
”Nama
fesbuk kamu siapa sih?”
”Nanti
juga tau. Bapak termasuk sastrawan yang diundang ke Aruh sastra itu kan?”
”Tau dari
mana kamu? Padahal aku tak tau apa-apa.”
”Dari
fesbuk.”
”Memangnya ada di fesbuk?”
”Iya.
Bapak Belum baca ya? Selamat tidur dan sampai ketemu di Aruh Sastra.”
Ia baru
ingat bahwa sebentar lagi akan digelar Aruh Sastra pertemuan tahunan sastrawan
Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru. Masalahnya ia bukan orang penting di
dunia sastra. Apalagi sekarang ia tidak berdomisili di Banjarmasin lagi. Lagi
pula ia sedang asik-asiknya melayang di cakrawala cinta yang tak bertepi. Ia
ingin selalu dekat dengan Ayu yang sudah memikat hatinya itu. Ia selalu ingin berdua. Minimal harus bertemu
setiap dua hari sekali. Karena sehari saja tak bertemu rasanya seperti
setahun. Meski demikian ia tetap akan menghadiri Aruh Sastra itu. Di samping
kangen-kangenan sesama penyuka sastra, ia juga perlu penjajagan agenda sastra
yang akan digelarnya di bumi Amuk Hantarukung ini. Sudah lama rencana Napak
Tilas semangat Amuk Hantarukung itu ada di benaknya. Ia akan menerbitkan
Antalogi Puisi Ada Rindu di Bumi Amuk Hantarukung sebagai bentuk
apresiasi dan refleksi peristiwa bersejarah Amuk Hantarukung yang terjadi pada
tanggal 18 dan 19 September 1899. Ia juga sudah mempelajari acuan dan referensi
terkait. Ini sudah bulan September 2013. Berarti peristiwa itu terjadi 114
tahun yang lalu. Seyogyanya Napak Tilas itu akan dilaksanakannya pada
bulan September ini. Tetapi
karena baru terpikirnya sekarang
maka kegiatan itu akan dilaksanakannya bulan November
yang akan datang, dikaitkan
dengan peringatan Hari Pahlawan
10 November. Untuk itu ia juga memerlukan saran dan pendapat rekan-rekan
sastrawan banua lainnya. Setelah berlama-lama ia merenung akhirnya ia tertidur.
***
Bram
terbangun hampir kesiangan. Ia terbangun karena Hpnya berdering dan terus
berdering. Bunyi HP itulah yang membangunkannya. Ternyata itu nomornya Ayu.
“Assalamu
alaikum Ayu.“
“Wa
alaikum salam Kak Bram. Kok dari tadi HP-nya tak diangkat-angkat. Kenapa?
Memangnya Kak Bram ke mana?“
“Wah, aku
kesiangan. Maaf ya, aku buru-buru nanti keburu habis waktunya.“
“ Kok
langsung sholat? Nggak ambil udhu dulu?“
“ Aduh,
maaf ya Ayu. Assalamu alaikum.“
“Wa
alaikum salam Kak Bram.“
Bram buru-buru
ke kamar mandi, ia sengaja tidak perlu
mandi, yang penting
mengambil air udhu dulu. Ia cepat-cepat
mengambil air udhu seperlunya saja. Dan
saat keluar dari kamar mandi, waktu sudah menunjukkan hampir pukul enam.
Berarti waktu sholat shubuh sebentar lagi
habis.
***
Hari ini hari Senin. Seperti biasa Bram baru akan masuk
kelas pada jam pelajaran ke empat setelah istirahat pertama. Sekarang sudah jam
pelajaran ke tiga berarti ia masih punya waktu satu jam. Pagi tadi ia harus
berangkat lebih awal, karena ia akan menjadi Pembina Upacara. Ia harus sarapan
di warung kaupat yang buka lebih awal. Ia harus sarapan di warung Acil Siti
yang selalu penuh pelanggannya, karena di samping rasanya yang pas di lidah
pelanggan, harga satu porsinya pun murah meriah. Jadi jangan heran kalau di
warung ini pukul delapan katupatnya sudah habis. Akibatnya ia tak bisa sarapan di warung Acil Mirna. Padahal itulah
satu-satunya warung katupat Kandangan kesukaannya, karena di situlah ia pertama
kalinya bertemu perempuan berjilbab biru yang telah mencuri hatinya. Gadis
bertubuh semampai berkulit putih bening berwajah sendu dengan senyum manis yang
tersungging di bibir. Sejak itulah ia selalu ketagihan sarapan di warung itu.
Sebenarnya bukan masalah warung katupat itu yang dipikirkannya saat ini, tetapi
gadis misterius lebay yang katanya juga punya akun fesbuk, yang mengaku salah
seorang fans-nya, yang selalu menyukai status dan catatannya di fesbuk itu. Nah
gadis misterius lebay itulah yang mengganggu pikirannya saat ini. Lebih-lebih
lagi gadis lebay itu mengajaknya ketemuan di Aruh Sastra nanti. Pertanyaannya
adalah Apakah gadis misterius lebay itu benar-benar seorang gadis? Ataukah
justru sebaliknya ia adalah seorang janda genit. Atau bisa jadi nenek peot keriput yang ke ABG-ABGan
Seperti
biasa setiap kali sedang sendiri di ruang guru ini, Ibu Risna selalu datang. Tentu saja akan berbincang tentang
Ayu. Pagi ini? Sudah dapat dipastikan ia juga akan datang. Ternyata benar,
ibu itu sudah ada di sini.
“Pak
Baswenda melamun ya?”
“E Ibu.”
“Pak
Baswenda? Bagaimana perkembangannya?” tanya Ibu Risna sambil menarik kursi
kosong yang berdampingan dengan kursinya.
“Perkembangan apanya Bu?”
“Dengar-dengar katanya Pak Baswenda lagi sangat dekat dengan seseorang
ya?”
“Lho?
Sekarang kan saya dekatnya sama Ibu?”
“Bukan
itu maksudnya.”
“Eh Ibu.
Memangnya dekat dengan siapa Bu?”
“Jangan
bercanda ah. Bukan saya orangnya Pak. Tetapi dia.”
“Dia? Dia
siapa Bu?”
“Ah Bapak
kura-kura dalam perahu, Sudah gaharu cendana pula. Pura-pura tidak tahu. Sudah
tahu bertanya pula. Ya Rahayu Agustina lah. Masa yang lain?”
“Ah Ibu.
Ya iya. Hehehe.”
“Nah tu
kan? Benar kan dia yang Bapak pikirkan?”
“Sebenarnya bukan itu yang saya pikirkan Bu.”
“Oh bukan
itu ya Pak?
“Iya
bukan itu.”
“Memangnya Pak Baswenda sedang memikirkan siapa sih?”
“Saya
juga tidak sedang memikirkan siapa-siapa.”
“Memangnya sedang memikirkan apa?”
“Saya
juga bingung nih.”
“Kok
bingung? Si Agus itu orangnya cantik dan anggun. Jangan lama-lama mikirnya.
Nanti keburu disambar orang. Menurut saya ia itu pas buat Bapak. Lagi pula
Bapak ini kan anak angkat Julak Idar?”
“Memangnya kalau anak angkat Julak Idar itu apa untungnya Bu?”
“Oh
banyak. Banyak sekali untungnya.”
“Salah
satunya apa Bu?”
“Yang
jelas Julak Idar tidak akan marah dan pasti setuju kalau Pak Baswenda jadian
dengan Rahayu. Selama ini kan tak ada seorang pun yang berani pedekate?”
“Oh gitu
ya Bu?”
“Ya iya
lah, hahaha.”
“Hahaha.
Ah ibu. Tapi sekarang bukan itu Bu yang saya pikirkan.”
“Oh apa
itu Pak?”
“Sebentar lagi kan ada Aruh Sastra di Banjarbaru.”
“Ooo
Aruh Sastra? Aruh Sastra itu apa Pak?”
“Belum
pernah dengar ya? Kan tiap tahun ada beritanya di media lokal.”
“Pernah.
Tapi saya tak serius mengikuti beritanya.”
“Lalu
sekarang kenapa serius?”
“Karena
Pak Baswenda?”
“Kok
karena saya Bu?
“Iya
karena Pak Baswenda?”
“Maksudnya apa Bu?”
“Pak
Baswenda kan guru di sini? Secara tidak resmi bisa dianggap mewakili sekolah
kita. Hasilnya bisa di-sharing buat guru Bahasa Indonesia. Iya kan?”
“Iya juga
ya?”
“Sebenarnya Aruh Sastra itu apa sih Pak?”
“Aruh
Sastra itu adalah pertemuan tahunan para Sastrawan Kalimantan Selatan. Tahun
ini sudah tahun yang ke sepuluh dan akan dilaksanakan di Banjarbaru tanggal 11
sampai dengan tanggal 13 Oktober yang akan datang.”
“Hari ini
kan sudah tanggal tujuh? Berarti hanya tinggal empat hari lagi. Pak Baswenda
ikut rombongan Kabupaten HSS atau Kota Banjarmasin?”
“Nah itu
dia masalahnya. Saya kan masih belum terdaftar sebagai Penduduk HSS”
Tiba-tiba HP Bram berbunyi ada SMS yang masuk.
”Ada
SMS ya Pak?”
”Iya, ada SMS nih.”
”Dari Rahayu ya Pak?”
”Bukan. Ini dari teman di Banjarmasin.”
”Teman apa teman? Atau TTM barangkali?”
”TTM
apaan Bu?”
”TTM gitu. Teman Tapi Mesra, hahahaha.”
”Ah Ibu ini, curigaan terus bawaannya.”
”Harus itu. Kasian dong si Jilbab biru
kalo diduakan sama yang lain.”
”Ini SMS Aruh Sastra. Saya dimasukkan
sebagai peserta dari Kota Banjarmasin.
”Bagus itu.”
”Saya kan bukan warga Banjarmasin lagi?”
Sebenarnya bukan itu yang mengusik
pikirannya. Tetapi gadis lebay yang misterius itu. Katanya ingin menemuinya di
Banjarbaru, benarkah? Itu berarti ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi.
Tiba-tiba lonceng jam istirahat pertama berbunyi, Ibu Risna
langsung keluar. Seorang
demi seorang guru-guru
memasuki ruang guru. Sementara ia masih bingung. Kini masuk lagi SMS
memberitahukan bahwa ke Aruh Sastra itu berangkatnya masing-masing. Tidak ada
penjelasan tentang uang jalan dan uang saku bagi peserta yang mewakili Banjarmasin. Sejenak terbayang dia akan bertemu
dengan beberapa sastrawan banua.
***
Hari Jum’at 11 Oktober 2013, Ia berangkat sehabis Sholat Jum’at
dan tiba di Kota Banjarbaru pukul 16.15. Sesampainya di Banjarbaru ia langsung
mencari Panitia. Sayangnya Bram tidak menguasai kawasan Banjarbaru, akibatnya
berjam-jam hanya berputar-putar mengelilingi Lapangan Murjani. Bram pangling
melihat Lapangan Murjani yang sedang dikepung tenda-tenda kuliner jajanan.
Banyak pasangan muda mudi bersantai ria menikmati kuliner mulai jajanan ringan
sampai yang sepesial semua ada dijual di sini.
Kali ini ia sengaja memarkir kendaraan
sekedar melepas lelah. Lalu ia mencari warung yang berkenan di hatinya.
Tiba-tiba ia melihat ada panggung dikelilingi kafe. Nampak orang-orang
menghiasi panggung. Apakah itu Panggung Bundar yang sering disebut dalam fesbuk
itu? Ternyata benar ini panggung yang akan digunakan buat gelar sastra nanti
malam.
Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga yang
dicari-cari.
Dilihatnya di sana ada Fahmi Wahid dari
Balangan. Cepat ia mendekat, langsung bersalaman sesama sastrawan banua.
“Baru datang nih?” sapa Pak Fahmi”
“Ya Pak, saya mau melapor. Panitianya
ada di mana Pak?”
“Itu, di depan sana.”
“Makasih Pak Fahmi, saya mau melapor
dulu ya.”
Ia pun langsung ke panitia yang menerima kedatangan peserta. Di sini ada Ahmad
Syarmidin dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan sedang melapor kedatangan
rombongan. Di sini juga ada He Benyamine salah seorang panitia. Bram tidak
melapor ke meja panitia tetapi ia hanya melapor kepada He Benyamine, kemudian mengkonfirmasinya di meja panitia.
Tak lama kemudian ia langsung diantar ke Hotel Qarina di kamar no. 15. Di sini
sudah ada Raji Leonada rekan fesbuker sastrawan dari Amuntai dan penyair
Janggut Naga dari Batola.
Sungguh Bram sangat gembira berada satu
kamar dengan kedua sastrawan itu. Ternyata Raji Leonada ini nama aslinya adalah
Fahruraji Asmuni Guru SMAN 1 Amuntai yang penampilannya selalu rapi. Berbeda
dengan penyair Janggut Naga yang satu ini
berjanggut panjang. Di usianya yang sudah berkepala tujuh itu sudah pasti janggutnya juga putih
semua.
“Bram. Jam berapa berangkat dari
Banjarmasin?” tanya si Janggut Naga.
“Saya berangkat dari Kandangan sehabis
Jum’atan,”
“Kok dari kandangan? Bram kan utusan
Banjarmnasin?”
“Sekarang sudah pindah ke Kandangan.
Tapi saya utusan Banjarmasin, hehehe.”
“O sudah jadi orang Kandangan ya?” tanya
Raji Leonada.
“Iya, baru tiga bulan jalan Pak.”
“Kenapa pindah ke Kandangan?”
“Baru diangkat ya?” tanya Raji Leonada.
“Ya Pak, baru diangkat di SMPN
Hantarukung.”
“Saya ini lain lagi. Justru dari
Kandangan madam ke mana-mana dan terdamparnya di Tamban Barito Kuala,” sela si
Janggut Naga yang aslinya bernama Ibramsyah Amandit.
Demikianlah percakapan singkat tiga
sastrawan Kalsel dari kabupaten berbeda. Sekarang baru Bram merasa betapa
lelahnya setelah perjalanan sejauh 107 kilometer dari Bumi Amuk Hantarukung ke
Banjarbaru ini. Sebenarnya ia ingin mandi langsung tidur, tetapi karena takut
kehabisan waktu Ashar, jadi ia hanya membersihkan diri secukupnya saja lalu
mengambil air udhu dan terus sholat.
Baru saja ia selesai sholat Ashar,
tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar bunyi azan menandakan waktu maghrib
telah tiba. Sayangnya situasi dan kondisi kamar no. 15 ini hanya memungkinkan
untuk sholat sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar