menu

Jumat, 20 Mei 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 02



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 02

02

       Kejadian pagi tadi membuat hati Agustina sangat tergoncang. Sampai sore bahkan sampai malam tiba, ia tetap saja tak bisa melupakan bayangan guru yang baru diangkat itu. Meski berkali-kali dia membuang bayangan guru baru itu, tetap saja tak mau hilang. Semakin kuat ia menghilangkannya, semakin kuat pula bayangan itu menggurat di hati. Semakin dilupakan semakin tampan dan memesona dan bahkan semakin gagah menawan.

       Ia menghela nafas panjang, pelempar senyum di warung katupat itu terbayang kembali. Ia seakan melihat wajah almarhum suaminya. Rambut, dahi, mata, hidung, pipi, mulut, dagu telinga bahkan sampai batang lehernya juga sama.  Sedikit pun  tak ada  bedanya.  Warna kulit, bentuk tubuh termasuk tangan dan kaki semuanya sama. Kini dia benar-benar menemukan kembali belahan jiwanya yang hilang selama ini. Kian hari pikirannya semakin tergoncang. Wajah guru baru itu selalu terbayang, bahkan terbawa-bawa di dalam mimpinya. Begitulah keadaan Agustina belakangan ini. Sikap dan tingkah lakunya berubah total. Ia selalu ingin menemui lelaki itu, Sayangnya warung itu hanya buka di waktu pagi saja. Akibatnya kini dia menjadi pemurung. Sikap dan tingkahnya lain dari biasanya, akhirnya terlihat juga oleh Julak Idar.


       “Ada apa Dang? Kenapa Idang jadi pendiam?”
       Agustina tidak menjawab. Ia masih tenggelam dalam lamunannya. 
       “Kenapa Idang diam saja?”
       Sekarang Agustina malah masuk ke kamarnya dan tidak keluar-keluar lagi. Julak Idar semakin bingung. Ada apa ini? Tentu ini bukan masalah uang belanja harian, karena yang itu sudah melebihi dari yang diperlukan. Termasuk uang untuk mewarung. Sebentar kemudian Agustina mau keluar kamar.
       “Ada apa Dang? Idang malu ya masih menjanda? Kalau Idang mau, Abah bisa mencarikan suami. Mau orang kampung sini ataukah orang luar? Idang tinggal bilang.” 
       “Kenapa mesti malu? Ulun tidak perlu malu dengan status janda.” jawab Agustina tenang.
       “Alhamdulillah. Idangku tidak malu. Ternyata salah dugaan Abah selama ini.”
       Agustina sudah mau bicara tetapi tetap murung tidak  seperti biasanya. Yang ini  masih  menyisakan keraguan bagi Julak Idar. Bahkan masih menyimpan tanda tanya besar. Sebenarnya apakah yang sedang melanda mantan menantunya ini?
       “Lalu kenapa Idang seperti mogok bicara? Kenapa Idang jadi pemurung?”
       “Tidak ada apa-apa Abah.”
       “Siapa bilang tidak ada apa-apa?” 
       “Ulun cuma merasa sedikit kurang sehat Abah.”  
       “O gitu ya?  Bawa ke Puskesmas saja. Di sana ada dokter.” 
       “Nggak usah Abah. Nanti juga sembuh sendiri. Lagi pula Ulun sudah membeli obat.”
       “Jangan sembarangan membeli obat. Siapa tahu obatnya sudah kadaluwarsa.”
       “Obatnya masih layak, Abah.”
       “Dari mana Idang tahu bahwa obat itu masih layak diminum?”
       Kan ada tanggal daluwarsanya?”
       “Atau? Bagaimana kalau Abah panggilkan Mantri Amat?”
       “Jangan, jangan Abah. Sebentar juga sembuh. Lagi pula ini cuma flu ringan Abah.”
       “Benar nggak apa-apa?”
       “Inggih Abah. Benar Abah.”
       “Ya, baguslah kalau begitu.  Jadi Abah tidak perlu khawatir lagi.”

       Walaupun ia hanya bilang terserang flu ringan, tetapi Julak Idar masih tidak percaya. Masa perubahan total sikap dan perilaku menantunya itu tidak ada apa-apanya? Itu tidak mungkin kan? Ini pasti ada apa-apanya. Jika dilihat tanda-tandanya, ini pasti karindangan17. Tidak salah lagi, ia sedang jatuh cinta pada seseorang. Tetapi siapa orangnya? Julak Idar perlu mengetahuinya secara pasti. Mulailah ia menduga-duga, siapakah lelaki yang sudah mencuri hatinya? Apakah orangnya lebih tampan dari almarhum Rahmadi? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang mulai menyesakkan dada membuat Julak jadi marah. Darahnya mendidih, terdengar gemeratak giginya menahan marah. Yang jelas ia harus menuntaskan setuntas-tuntasnya. Haruskah dituntaskan dengan kekerasan? Kalau perlu sampai berdarah-darah. Ataukah sampai berakhir dengan partumpahan darah? Atau harus diselaikan secara baik-baik saja. Yang jelas laki-laki itu harus bertanggungjawab.

       “Idang harus diselamatkan.”
       Itulah kalimat yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Lebih-lebih lagi setelah mendengar desas-desus bahwa ada lelaki yang berani menggoda menantunya itu.
***
       Pagi ini Julak Idar berpura-pura membersihkan rumput di kebun kelapa yang dekat dengan warung Acil Mirna sambil melihat barangkali ada buah-buahnya yang sudah saatnya harus dipetik. Dia berjalan mengarah ke warung katupat di mana biasanya Agustina bertemu dengan lelaki itu. Dia ingin melihat dengan matanya sendiri apakah benar kabar burung itu. Akhirnya sampaillah ia pada posisi yang tidak terlalu jauh dari warung itu. Diam-diam dia mulai mengintai. Dia merencanakan akan membekuk meminta pertangungjawaban laki-laki itu. Paling tidak ia harus bicara baik-baik.

       Matahari pagi merangkak naik sepenggalah menandakan bahwa pagi ini sudah mulai beranjak siang. Anak-anak bersangkat sekolah sudah mulai sepi. Saat-saat seperti inilah pelanggan warung Acil Mirna itu mulai berdatangan. Dari jauh nampak Julak Idar mengintai, ternyata Agutina sudah ada di sana menunggu guru baru itu. Tiba-tiba guru baru itu berhenti tepat di depan warung dan mematikan mesin kendaraannya.
       Lelaki itu duduk di ujung bangku tepat menghadap Acil Mirna. Sedangkan Agustina duduk di ujung bangku pendek yang menghadap ke guru baru itu. Julak Idar mulai memantau dengan seksama. Ia mulai curiga dan bertanya-tanya di dalam hatinya, “Itukah lelaki yang telah merampok hati Idangku?”
        Ia penasaran, ia bergerak pelan mendekat, terus mendekat dan semakin mendekat. Ia ingin melihat tampang laki-laki yang sudah mengoda menantunya itu. Ia pun berpura-pura membersihkan rumput di bawah pohon-pohon kelapa agar tidak mencurigakan. Hanya sekejap saja, ia sudah ada di dekat warung itu. Sayang lelaki itu membelakangi, jadi ia belum bisa melihat tampang lelaki itu. Ia hanya melihat wajah Agustisna. Ia begitu serius menunggu saat-saat mencurigakan, tetapi tak nampak ada tanda tanda yang mencurigakan. Ia menunggu dan terus menunggu saat-saat yang tepat untuk bertindak, kalau perlu harus telak. Tetapi ternyata sedikitpun masih belum ada terlihat gerakan mencurigakan. Ia semakin penasaran dan terus mendekat. Kini ia sudah berada di warung itu. Agustina sangat terkejut.  Ia sama sekali tidak menduga Abah mertuanya ini akan ke warung juga. Sebenarnya mau apa mertuanya ini? Apakah mertuanya ini sudah mengetahui bahwa ia makan katupat hanya alasan untuk bisa bertemu guru baru ini? Ataukah hanya mencurigai saja? Ataukah hanya kebetulan singgah di sini? 

       Kini ia merasa kurang nyaman lagi dan tidak etis rasanya berada di sini. Ia cepat berdiri membayar ketupat yang sudah dimakannya, lalu mengangguk kepada mertuanya dan langsung pulang.
       Kini Julak Idar sudah tidak sabar lagi, ia ingin cepat-cepat melihat tampang lelaki yang diincarnya itu. Ia sengaja duduk di ujung bangku pendek yang menghadap ke guru baru itu.
       “Astaghfirullah!”
       Ia terkejut, terperanjat, seakan melihat Rahmadi anaknya yang sudah meninggal itu hidup kembali. Ia tak mampu bicara. Semua direncanakannya sudah tak berarti lagi. Bahkan kini ia
ingin memeluk erat-erat lelaki ini. Meski ia sadar bahwa ini bukan anaknya, tetapi ia tetap tak mampu berbuat apa-apa.

       Dipandangnya wajah lelaki itu tanpa berkedip sedikit pun. Dilihatnya dengan cermat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ternyata orang ini sama sekali tidak berbeda dengan Rahmadi. Sungguh sebuah keajaiban, anaknya dan orang ini bagai kembar identik. Padahal almarhum Rahmadi itu anak tunggal tidak ada kembarannya. Karena waktu itu ia sendiri yang menghadapi almarhum isterinya yang melahirkan di rumah bukan di rumah sakit. Bahkan ia ikut mendorong perut istrinya dalam proses kelahiran Rahmadi. Jadi sudah pasti laki-laki ini bukanlah saudara kembar Rahmadi.
       Untuk sekedar mengurangi kegelisahan ia memesan katupat lalu mendekati lelaki itu. Ia penasaran ingin bicara. Nampaknya lelaki itu sangat memahami. Lelaki itu tersenyum ramah seramah-ramahnya. Ia juga senyum membalas dengan senyum yang sama ramahnya.

       “Astagfirullah.”
       Sekali lagi ia terkejut melihat senyum Rahmadi di bibir lelaki itu. Ia jadi semakin menggebu-gebu ingin mengenalnya lebih dekat lagi.
       “Kamu?”
       “Iya Pak, Ulun guru SMP yang baru itu.”
       “O jadi itu? Kamu ya?”
       “Iya betul Pak, ulun guru yang baru diangkat di SMP itu, Pak.”
       Bram memperhatikan wajah Pak Tua yang ada di sampingnya. Pertanyaan ini sangat mencurigakan, tetapi nadanya biasa-biasa saja. Bahkan begitu ramah dan santun.
       “Kita belum berkenalan.”
       Julak Idar menyalami lelaki itu dengan senyum ramahnya.
“Nama  saya Darmawan Saputera, di sini saya biasa dipangggil Julak Idar”
       “Ulun Bram Baswenda, Pak. Pian bisa memanggil Ulun Bram.”  
       “Padahal saya lebih suka memanggil guru. Bagaimana?”
       “Guru, ya?” 
       “Iya, guru saja. Memanggil dengan panggilan guru saja. Atau Guru Ibas. Karena nama Bram itu, apalagi Bas apa tadi?”
       “Baswenda, Pak.”
       “Bagi saya kedua nama itu agak sulit mengucapkannya. Saya sukanya Guru Ibas saja. Bagaimana?”
       “Iya Pak. Guru Ibas.” jawab Bram dengan senyum ramahnya.”
       “Boleh ya?”
       “Iya Pak, dengan senang hati Pak.”
       “Guru, mendengar nama itu, kayanya Guru ini pasti bukan orang Banua sini.”
       “Ulun asli urang Kandangan juga Pak. Malah setengahnya ada darah Loksadonya.”
       “O gitu ya? Bagaimana bisa?”
       “Ayah saya urang Tinggiran Kandangan Kota. Ibu dari  Tabihi. Sedang kakek dari pihak ibu adalah mualaf dari Loksado. Begitulah riwayatnya Pak.”
       “O begitu ya?”
       “Ya katanya begitu sih Pak.”
       “Guru, jangan panggil Bapak ah. Kurang enak dengarnya”
       “Lantas ulun harus memanggil apa Pak?” 
       “Orang ini biasa memanggil saya Julak Idar.”
       “Jadi ulun harus memangil Julak Idar juga Pak?”
       “Bisa juga begitu. Tapi kalau bisa jangan, jangan panggil Julak.”
       “Kenapa  Pak?”
       “Julak itu kan artinya mamarina18? Yaitu saudara dari orang tua kita.”
       “Lalu maunya dipanggil apa, Pak?  Atau bagaimana kalau ulun panggil Abah saja.”

       Julak Idar terkejut tiba-tiba. Ia harus menjawab apa? Padahal memang itulah panggilan yang diharapkannya. Itu berarti ia harus melaksanakan prosesi khusus untuk mengangkat Bram sebagai anak angkat?

***
       Pagi ini Bram sengaja tidak sarapan di rumah, karena ia harus berangkat lebih pagi. Ia harus cepat-cepat berangkat, bukan karena takut terlambat, tetapi ingin secepatnya bertemu dengan pemilik senyum yang sangat menawan itu, perempuan yang ditemuinya di warung Katupat Kandangan itu.

       Enam hari yang lalu tak sengaja Bram berpandangan dengan perempuan cantik berjilbab biru, dan perempuan itu tersenyum. Senyum itu begitu menawan. Awalnya biasa saja tak ada yang istimewa. Lalu besoknya mereka bertemu lagi, lalu beradu pandang berbalas senyum dan besoknya beradu pandang berbalas senyum lagi, dan besoknya lagi-lagi beradu pandang dan berbalas senyum. Ternyata senyum perempuan itu telah mengganggu jam tidurnya.  Dia merasa senyum itu sama persis dengan senyum yang sudah lama hilang dari sisinya. Meskipun setiap hari ia sudah biasa berbalas senyum. Tetapi yang ini lain, senyum itu begitu familiar. Itu kan senyuman Yuni? Senyum yang sudah bertahun-tahun tak pernah dilihatnya lagi. Senyum itu kini tiba-tiba saja datang lagi. Senyum itu bukanlah senyum biasa. Senyum itu adalah senyum seseorang yang pernah bermukim di hatinya. Senyum itu kembali menukik tajam ke ujung jantungnya. Sama seperti pertama kali ia beradu pandang dan berbalas senyum dengan mahasiswi baru di kampusnya dulu. Saat itu ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Itulah senyum almarhumah Yuni yang pernah bermukim di hatinya. Senyum gadis berjilbab biru itupun sama persis, sedikitpun tak ada bedanya. Istimewanya lagi wajah dan seluruh penampilannya sama persis  dengan Yuni. Bagaimana ia tak terkesima? Semua yang ada pada Yuni, juga ada pada perempuan itu.

     Sudah berminggu-minggu belakangan ini ada yang mengganjal dalam pikirannya. Salahkah ia berpindah ke lain hati? Bukankah Yuni itu masa lalu? Tidak seharusnya ia menjomblo  selamanya.  Bukankah  ia  juga  sudah cukup lama menjomblo? Masa harus jadi jomblo selamanya?
     Dari jauh nampak muara jalan menuju ke SMP itu yang ditandai dengan tanda anak panah yang menunjuk ke ke SMPN Hantarukung. Nah di dekat tanda panah itulah warung katupat itu berada. Inilah saksi bisu bertemunya dua senyuman yang penuh arti. Di sinilah TKPnya dua pasang mata saling adu pandang.
       Seperti biasa, menurut pengalamannya pagi-pagi seperti ini, jalan masuk menuju ke SMP itu sudah pasti penuh sesak dengan anak SD dan SMP yang jalan kaki, yang bersepeda dan yang bersepedamotor saling berdesakan mengejar waktu. Dan ada juga anak SMAN, SMKN dan MAN yang berangkat sekolah keluar dari jalan ini. 
     Sebenarnya bukan padatnya jalan yang dirisaukannya, tetapi apakah pagi ini ia bisa bertemu dengan perempuan cantik berjilbab biru itu? Andaikan ia punya sayap ia bisa terbang, bisa melihat dari udara di manakah perempuan cantik berjilbab biru itu berada?
       Tak lama kemudian sampailah ia di depan warung katupat kandangan itu. Ingin rasanya ia langsung singgah di sini, tapi nggak bisa. Karena bunyi klakson mobil begitu keras bersamaan dari depan dan belakang yang tak mau bersabar. Betapa bunyi klakson itu memekakkan telinga. Dia langsung menuju ke SMPN Hantarukung. Setibanya di SMP itu, ia cepat memarkir kendaraan bebeknya, lalu langsung pergi setengah berlari menuju ke warung katupat itu berharap bisa bertemu dengan yang berjilbab biru itu. Tetapi sesampainya di warung ini ternyata yang berjilbab biru itu tak ada. Walaupun kecewa ia tetap harus sarapan katupat, karena pagi ini ia belum sempat makan apa-apa.
       Setelah selesai sarapannya, ia cepat-cepat kembali ke sekolah karena akan mengajar pada jam pelajaran ke tiga..
       Biasanya pada jam-jam menjelang istirahat ke dua ruang guru ini memang sepi, karena guru yang sudah habis tugasnya banyak yang sudah pulang. Sedangkan guru yang masih ada tugas biasanya merumpi di kantor tata usaha atau di kantin. Guru-guru yang serius biasanya mengerjakan tugas harian atau membaca buku di perpustakaan. Di ruang guru ini hanya ia yang termangu seorang diri. Sepertinya ia melamunkan pertemuan yang gagal tadi pagi. Kini di kepalanya tengah berkecamuk beberapa pertanyaan yang memusingkan.
       ”Mengapa ia tak ada di warung itu? Mungkinkah ia ada keperluan lain. Haruskah aku menunggu sampai dia datang? Tetapi sampai kapan? Sia-sia saja usahaku pagi ini. Aku tak mengerti, mengapa bagai kena jampi-jampi? Ataukah karena aku terlalu lama menjomblo? Ataukah karena aku terlanjur mengharapkannya? Mengapa aku begitu mudah terpikat? Sudah bertahun-tahun aku bertahan dengan satu cinta. Haruskah kutanggalkan saja status jombloku? Haruskah secepat ini kuberpindah ke lain hati? Haruskah secepat ini kumencari pengganti Yuni?” gumamnya di dalam hati.
     “Ei, ngelamun ya?”
     Tiba-tiba saja Ibu Risna guru BK itu memukul pundaknya, lalu duduk di kursi Ibu Jubai yang ada di sampingnya. Pukulan itu sangat mengejutkan dan membuyarkan lamunannya. Entah sejak kapan Ibu Risna itu masuk ke ruang guru? Seingatnya hanya dia sendiri yang ada di ruang guru itu.
   “Sudah, nggak usah banyak pikir. Tembak saja langsung. Nanti saya bantu Pak.”
   “Ah Ibu ada-ada saja. Siapa yang harus saya tembak Bu? Hehehe.”
       “Hei. Pak Baswenda jangan lembek gitu, jangan pasif. Laki-laki itu harus agresif.”
       “Ah Ibu ini. ngaco! Siapa pula yang mau nembak, Bu?”
       “Kan Baaapak?”
       “Lho? Kok saya Bu?”
      “Jangan bohong Pak. Perempuan berjilbab itu kan yang Bapak lamunkan?”
       “Apaan sih? Yang pakai jilbab kan banyak di sini, Bu? Ibu juga berjilbab, kan?”
        “Bukan saya, tapi dia.”
        “Ah Ibu ini, dia yang mana Bu?”
       “Dia yang itu, yang sering ketemuan sama Bapak di warung katupat itu.”
      “Mana? Itu kan  Ibu Tuti dan Pak Hernadi  Bu?”
      “Bukan itu, tapi perempuan yang cantik itu.”
      “Lho? Ibu kan juga cantik?”
      “Gitu ya? Cantik? Lho, Bapak naksir sama saya ya?”
      “Ah Ibu. Ibu kan sudah bersuami?”
      “Siapa bilang? Sekarang saya juga jomblo? Hahaha.”
      “Jadi? Ibu sudah pisah ya?” 
      “Bukan pisah, tapi suami saya sudah meninggal setahun yang lalu.”
     ”Astaghfirullaah! Maaf Bu, bukan maksud saya mengungkit masalah keluarga Ibu.”
      “Ah sudah lah. Nggak usah merasa bersalah. Saya juga tidak merasa diungkit-ungkit, hahaha. Sebaiknya kita fokus pada perempuan berjilbab itu.”
       “Ah Ibu mulai lagi. Nggak usah lah Bu.”  
       “Benar nggak usah? Nggak nyesal?”
       “Nyesal apaan Bu?”
       “Ya nyesal aja. Soalnya perempuan itu ada di luar.”
       “Mana? Di luar? Di mana Bu?”
       “Nah tu kan? Hahaha, kena deh.”
       “Ah Ibu bercanda aja.”
       “Siapa yang bercanda? Dia memang benar-benar ada di luar. Lihat di warung itu tuh. Itu kan orangnya?” 
       “Astagfirullah.”
       Bram terperanjat melihat lewat jendela yang ada di sampingnya,  ia benar-benar  melihat perempuan itu. Ternyata, itu benar dia. Mengapa ia ada di warung itu?  Sebenarnya dia ingin berlari keluar menemuinya, tetapi malu dengan Ibu Risna. Padahal ia ingin menemuinya. Tiba-tiba saja dadanya berdebar-debar.
       “Itu kan dia yang kucari-cari pagi tadi?” ah gila dia keceplosan juga akhirnya.
       “Apa? Apa kata Pak Baswenda tadi?”
       “Ah tidak apa-apa,” sanggahnya menyimpan rasa malu. Tetapi justru ia jadi malu tersipu-sipu karenanya.
         “Barusan Bapak bilang yang Bapak cari-cari tadi?”
         “Siapa bilang? Ibu salah dengar kali”
        “Nggak usah ngeles. Telinga saya masih normal.”
        “Ah Ibu. Memangnya Ibu nujum ya? Pakai  nebak-nebak segala, hahaha.”
        “Bukan nujum, tapi saya tahu semuanya. Bapak suka dia kan? Kalian cocok.”
       “Cocok bagaimana? Kenal juga tidak,” sanggahnya senyam-senyum malu-malu.
       “Bapak nggak usah jaim. Kalian benar-benar serasi.”
       “Serasi apanya?”
       “Yaaaa giiitu deh, hahahaha.”
       “Gitu deh bagaimana?”
       “Hahaha, Bapak mau tau ya? Namanya Agus.”
       “Kok Agus? Agus itu nama laki-laki.”
       “Nah tuh kan? Ketahuan, Bapak suka dia kan?” 
       “Ah Ibu.”
       “Nama lengkapnya Rahayu Agustina.”
     Tiba-tiba bel istrahat ke dua berbunyi. Ibu Risna berdiri lalu keluar kembali bergabung dengan guru BK lainnya. Sementara beberapa orang guru memasuki ruang guru, ia masih termangu memikirkan pembicaraannya dengan Ibu tadi. Tiba-tiba ia ingin cepat-cepat ke warung menemui perempuan berjilbab itu, tetapi perempuan itu tak terlihat lagi. Ia gagal lagi bertemu dengan perempuan itu.
***
       Pagi ini lagi-lagi Bram harus secepatnya sampai di SMPN Hantarukung, karena di samping memberikan ulangan bulanan, ia juga harus singgah di warung Acil Mirna. Ada sesuatu yang akan dibicarakannya dengan Julak Idar. Selebihnya tentu ia ingin bertemu perempuan berjilbab biru itu. Bukankah itu sebuah rencana yang sangat mengasikan? Ataukah sebaliknya? Apakah ini sebuah rencana yang konyol?

       Kini kendaraan bebeknya meluncur di atas Jembatan Antaludin menyeberangi Sungai Amandit yang indah membelah kota Kandangan. Sesampainya di perempatan Padang Panjang ia harus berhenti sebentar karena lampu merah sedang menyala. Dia berhenti tepat di depan asrama TNI AD sambil menunggu lampu hijau menyala. Tak lama kemudian lampu hijau menyala cepat ia berbelok ke kanan memasuki Jalan Bukhari yang ada di samping asrama TNI itu. Hanya dalam hitungan menit ia sudah melalui Desa Hamawang, Sungai Paring dan kini sudah berada di kawasan Pasar Muhara Ulin yang ramai dengan pedagang yang menggelar dagangannya sampai ke sisi badan jalan. Maklum ini hari Selasa hari pasar mingguan desa. Di sini kendaraan harus perlahan, karena di kiri kanan jalan banyak digelar dagangan keperluan sehari-hari, dan diakhiri dengan jajaran sepeda penjual ayam kampung di siksi kiri jalan. Sedang di sisi kanan jalan berjajar lapak para penjual batang rumbia potong. Di sini ada mesin giling yang siap melayani peternak menggiling potongan batang rumbia buat dijadikan pakan ternak itik. Di sini ia harus mengurangi kecepatan, karena jalan semakin menyempit oleh lalu lintas kendaraan dan pengguna jalan lainnya. Sialnya saat-saat seperti ini bayangan perempuan berjilbab biru itu semakin cantik. Bukan cuma itu, ternyata bayangan Julak Idar juga turut mengganggu pikirannya.  Setelah melewati pasar Muhara Ulin, ia pun cepat meluncur ke SMPN Hantarukung. 
       Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia berdoa semoga tidak terlambat. Semoga bisa bertemu dengan perempuan berjilbab biru itu. Tak terasa ia sudah melintasi Desa Wasah Hulu, dan tiba-tiba saja ada sebuah pick up penuh muatan dengan kecepatan tinggi melintas dari arah yang berlawanan. Untung saja repleknya berfungsi dengan baik. Ia cepat menghindar dan langsung menginjak rem. Kendaraannya berhenti tiba-tiba hampir saja ia terjatuh, alhamdulillah selamat. Pick up itu terus melaju sedikit pun tak merasa bersalah apa-apa.
       “Alhamdulillah terima kasih ya Allah,” bisiknya ketika ia merasa selamat dari bahaya itu. Dilihatnya matahari mulai beranjak naik, berarti ia pasti terlambat. 
       Pagi beranjak siang dan jalan pun semakin padat. Ia pun harus membatalkan niatnya singgah di warung katupat itu. Ia langsung ke SMP Negeri Hantarukung. Sesampaina di sekolah, ia langsung memarkir kendaraan, kemudian cepat menuju ke kantor guru.
       “Alhamdulillah.” Ternyata ia belum terlambat.

       Nampak siswa berbaris di depan kelas masing-masing. Ia berbegas masuk ruang guru, lalu mengambil beberapa buku pegangan, lembaran soal ulangan dan keperluan pembelajaran lainnya, lalu bergegas ke kelas. Sesampainya di kelas ia mengawali kegiatan belajar mengajar dengan memberi salam dan tegur sapa yang berkaitan dengan keadaan siswa dan memeriksa daftar hadir siswa. Selebihnya berjalan seperti biasa. Hari ini ia akan memberikan ulangan bulanan, maka kegiatannya pun sama seperti kegiatan sebelumnya. Secara khusus ia menghitung jumlah siswa perjalur, lalu membagi lembaran soal delapan-delapan dan menyerahkannya kepada siswa paling depan di setiap jalurnya. Selanjutnya lembaran soal itu dibagikan secara berantai sampai pada siswa yang paling belakang. Selanjutnya siswa menjawab soal sesuai dengan  suruhannya. Dan ia mengawasi siswa mengerjakan soal-soal yang diberikan.
       Sepintas lalu sepertinya ia benar-benar mengawas, tetapi sebenarnya ia memikirkan rencana yang gagal pagi ini. Ia bingung memikirkan apa yang terjadi belakangan ini. Mengapa akhir-akhir ini sering terjadi pertemuan tak terduga-duga. Baru tiga bulan bertugas di sini, ia sudah menemukan hal-hal yang menggoncangkan jiwanya. Dan anehnya hampir tiap hari ia memikirkan yang bukan-bukan. Padahal jauh-jauh hari ia sudah diberitahu bahwa bertugas di sini harus bisa membawa diri. Seperti kata pepatah Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Di sini masih banyak yang bertemperamen keras?  Hal ini harus dicamkannya benar-benar. Hal-hal sepele bisa berujung dengan pertumpahan darah. Bahkan masalah kecil bisa menjadi rumit, panjang dan bertele-tele. Tiba-tiba saja ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Tandanya ada SMS yang masuk. Ponsel itu cepat dikeluarkannya. Ternyata benar. Sayangnya itu datang dari nomor tak dikenal. Dan ia lebih terkejut lagi ketika dibuka ternyata itu adalah SMS lebay.
       “Bapak keren deh,” begitu tertulis di SMS itu.
       “Astagfirulah, SMS siapa ini?”
        Ia sangat terkejut membaca SMS itu. Melihat isi SMS itu, dapat dipastikan bahwa SMS itu datangnya dari seseorang di desa ini juga. Tetapi dari siapa? Ia kan belum pernah memberikan nomornya kepada siapapun di sini? Cepat Ponsel itu ditutupnya lalu dimasukkannya kembali ke tempat asalnya. Tetapi hanya berselang beberapa detik ponsel itu bergetar lagi. Ternyata benar ada SMS lebay lagi. Ini pasti yang tadi juga orangnya.
       “Lho? Kok kenapa ditutup, Bapak keren?”
       Begitu tertulis SMS itu. Ia yakin pasti SMS itu datang dari sekitar sekolah ini. Atau bahkan bisa jadi datang dari dalam kelas ini juga. Tetapi siapa orangnya? Ia mulai curiga, jangan-jangan siswi yang dipojokan itu pengirim SMS ini. Namanya Mariatul Adawiyah. teman-temannya biasa memanggilnya Atul. Pelan-pelan Bram mendekati Atul dengan mengendap-endap bagai polisi dalam sebuah penyergapan. Tanpa diduga tiba-tiba ia sudah berdiri di samping Atul itu. Tentu saja si Atul sangat terkejut. .
       “Atul, kenapa tidak mengerjakan soalnya?”  
       Siswi itu tidak menjawab, ia diam saja. Malah ia senyam-senyum manja tak jelas apa maunya. Yang ia jadi malu karenanya lalu melempar senyum tersipu-sipu. Sedang lembar jawaban masih tertutup. 
       “Kamu sengaja tidak mengerjakan soal ya?”
       “Pak, ada orang kirim salam,” katanya begitu genit.
       “Ah kamu. Nggak nyambung sama sekali?”
       “Benar Pak. Saya nggak bohong. Katanya kirim salam buat Bapak.”
       “Apa? siapa? Salam apaan?”
       “Salam kenal Pak,” jawab Atul senyam-senyum cengar-cengir cengungukan.
       “Hah, Atul ini bagaimana? Ngaco kamu. Jangan berisik. Ini ulangan mengambil nilai kamu. Nanti kalau nilainya jatuh apa kamu nggak nyesal?”
       “Nggak.”  
       “Kenapa?”
       “Karena saya sudah selesai! Hahaha,” jawabnya tertawa kegirangan.
       Suara Atul yang bergitu percaya diri manja riang dan genit itu membuat semua siswa terkejut jadinya. Ternyata bukan siswa saja yang terkejut, Bram pun ikut terkejut. Cepat ditegurnya Atul itu dengan isyarat telunjuk, “Sssssst! Jangan ribut!”
       Mariatul terkejut lalu menekukkan dagunya di atas meja sambil melempar lirikan mata yang penuh pesona.
       “Astagfirullah,” bisik Bram di dalam hati.
       Barangkali Atul ini punya bakat perayu bahkan mungkin  jadi perebut suami orang. Nauzubillah, semoga jangan sampai keterusan bakat yang tidak baik ini.
       “Kerjakan soal ulangan saja. Jangan ribut. Nanti yang lainnya bisa tergganggu.”
       “Lho? Kan tadi sudah saya bilang, Pak?”
       “Sudah bilang apa?”
       Kan jawaban saya sudah selesai Pak?”
       “Sudah selesai?”
       “Iya  Pak,” jawabnya yakin percaya diri.
       “Sudah selesai semuanya?”
       “Ya Pak.”
       “Ah masa sih?”
       “Sungguh Pak.”
       “Mana?”
       Atul tidak menjawab ia hanya memandang wajah Guru yang dikaguminya itu sambil menunjuk lembar jawabannya. Bram mengambil lembar jawaban itu dan memeriksanya. Masya Allah! Ternyata bena semuar. Bagaimana bisa? Padahal tman-temannya masih bingung mencari-cari jawabannya. Jawaban Atul ini bukan hanya selesai, tetapi juga semuanya benar. Tak ada satu pun yang salah. Bagaimana mungkin?     
       “Bagaimana Pak?” tanya Atul percaya diri.   
       “Ya. Sudah selesai semuanya. Kamu boleh keluar.”
       “Tapi saya maunya di sini saja, Pak. Boleh kan?”
       “Ya boleh-boleh saja asal tidak ribut.”
       “Ya Pak. Saya janji tidak akan ribut.”
       Bram kembali ke tempat duduk membawa jawaban Atul. Tiba-tiba ia teringat SMS Lebay tadi. Dari mana datangnya? Ia menghubungi nomor yang mengirim SMS tadi? Kalau SMS itu benar datangnya dari dalam kelas ini, pasti ada yang akan mengangkatnya. Tak lama kemudian terdengar bunyi dering di ujung sana. Diperhatikannya reaksi siswa-siswanya, tak ada reaksi apa-apa. Bahkan sampai bunyi dering berhenti tetap tidak ada reaksi. Mungkinkah SMS itu dari Perempuan berjilbab biru? Itu tidak mungkin, ia tidak pernah memberikan nomor HP-nya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar