RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 02
02
Kejadian pagi tadi membuat hati Agustina sangat tergoncang. Sampai sore
bahkan sampai malam tiba, ia tetap saja tak bisa melupakan bayangan guru yang
baru diangkat itu. Meski berkali-kali dia membuang bayangan guru baru itu,
tetap saja tak mau hilang. Semakin kuat ia menghilangkannya, semakin kuat pula
bayangan itu menggurat di hati. Semakin dilupakan semakin tampan dan memesona
dan bahkan semakin gagah menawan.
Ia menghela nafas panjang, pelempar
senyum di warung katupat itu terbayang kembali. Ia seakan melihat wajah
almarhum suaminya. Rambut, dahi, mata, hidung, pipi, mulut, dagu telinga bahkan
sampai batang lehernya juga sama.
Sedikit pun tak ada bedanya.
Warna kulit, bentuk tubuh termasuk tangan dan kaki semuanya sama.
Kini dia benar-benar menemukan kembali belahan jiwanya yang hilang selama ini.
Kian hari pikirannya semakin tergoncang. Wajah guru baru itu selalu terbayang,
bahkan terbawa-bawa di dalam mimpinya. Begitulah keadaan Agustina belakangan
ini. Sikap dan tingkah lakunya berubah total. Ia selalu ingin menemui lelaki
itu, Sayangnya warung itu hanya buka di waktu pagi saja. Akibatnya kini dia
menjadi pemurung. Sikap dan tingkahnya lain dari biasanya, akhirnya terlihat
juga oleh Julak Idar.
“Ada apa Dang? Kenapa Idang jadi
pendiam?”
Agustina tidak menjawab. Ia masih
tenggelam dalam lamunannya.
“Kenapa Idang diam saja?”
Sekarang Agustina malah masuk ke
kamarnya dan tidak keluar-keluar lagi. Julak Idar semakin bingung. Ada apa ini?
Tentu ini bukan masalah uang belanja harian, karena yang itu sudah melebihi
dari yang diperlukan. Termasuk uang untuk mewarung. Sebentar kemudian Agustina
mau keluar kamar.
“Ada apa Dang? Idang malu ya masih
menjanda? Kalau Idang mau, Abah bisa mencarikan suami. Mau orang kampung sini
ataukah orang luar? Idang
tinggal bilang.”
“Kenapa mesti malu? Ulun tidak perlu malu dengan status janda.” jawab
Agustina tenang.
“Alhamdulillah. Idangku tidak malu. Ternyata salah dugaan Abah selama
ini.”
Agustina sudah mau bicara tetapi tetap murung tidak seperti biasanya. Yang ini masih
menyisakan keraguan bagi Julak Idar. Bahkan masih menyimpan tanda tanya
besar. Sebenarnya apakah yang sedang melanda mantan menantunya ini?
“Lalu kenapa Idang seperti mogok bicara? Kenapa Idang jadi pemurung?”
“Tidak ada apa-apa Abah.”
“Siapa bilang tidak ada apa-apa?”
“Ulun cuma merasa sedikit kurang sehat Abah.”
“O gitu ya? Bawa ke Puskesmas
saja. Di sana ada dokter.”
“Nggak usah Abah. Nanti juga sembuh sendiri. Lagi pula Ulun sudah
membeli obat.”
“Jangan sembarangan membeli obat. Siapa tahu obatnya sudah kadaluwarsa.”
“Obatnya masih layak, Abah.”
“Dari mana Idang tahu bahwa obat itu masih layak diminum?”
“Kan ada tanggal daluwarsanya?”
“Atau? Bagaimana kalau Abah panggilkan Mantri Amat?”
“Jangan, jangan Abah. Sebentar juga sembuh. Lagi pula ini cuma flu
ringan Abah.”
“Benar nggak apa-apa?”
“Inggih Abah. Benar Abah.”
“Ya, baguslah kalau begitu. Jadi Abah tidak perlu khawatir lagi.”
Walaupun ia hanya bilang terserang flu
ringan, tetapi Julak Idar masih tidak percaya. Masa perubahan total sikap dan
perilaku menantunya itu tidak ada apa-apanya? Itu tidak mungkin kan?
Ini pasti ada apa-apanya. Jika dilihat tanda-tandanya, ini pasti karindangan17. Tidak
salah lagi, ia sedang jatuh cinta pada seseorang. Tetapi siapa orangnya? Julak
Idar perlu mengetahuinya secara pasti. Mulailah ia menduga-duga, siapakah
lelaki yang sudah mencuri hatinya? Apakah orangnya lebih tampan dari almarhum
Rahmadi? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang mulai menyesakkan dada
membuat Julak jadi marah. Darahnya mendidih, terdengar gemeratak giginya
menahan marah. Yang jelas ia harus menuntaskan setuntas-tuntasnya. Haruskah
dituntaskan dengan kekerasan? Kalau perlu sampai berdarah-darah. Ataukah sampai berakhir dengan partumpahan darah? Atau
harus diselaikan secara baik-baik saja. Yang jelas laki-laki itu harus
bertanggungjawab.
“Idang harus diselamatkan.”
Itulah kalimat yang mengganggu
pikirannya akhir-akhir ini. Lebih-lebih lagi setelah mendengar desas-desus
bahwa ada lelaki yang berani menggoda menantunya itu.
***
Pagi ini Julak Idar berpura-pura membersihkan
rumput di kebun kelapa yang dekat dengan warung Acil Mirna sambil melihat
barangkali ada buah-buahnya yang sudah saatnya harus dipetik. Dia berjalan
mengarah ke warung katupat di mana biasanya Agustina bertemu dengan lelaki itu.
Dia ingin melihat dengan matanya sendiri apakah benar
kabar burung itu. Akhirnya sampaillah ia pada posisi yang tidak terlalu jauh
dari warung itu. Diam-diam dia mulai mengintai. Dia merencanakan akan membekuk
meminta pertangungjawaban laki-laki itu. Paling tidak ia harus bicara
baik-baik.
Matahari pagi merangkak naik sepenggalah menandakan bahwa pagi ini sudah
mulai beranjak siang. Anak-anak bersangkat sekolah sudah mulai sepi. Saat-saat
seperti inilah pelanggan warung Acil Mirna itu mulai berdatangan. Dari jauh
nampak Julak Idar mengintai, ternyata Agutina sudah ada di sana menunggu guru baru itu. Tiba-tiba guru
baru itu berhenti tepat di depan warung dan mematikan mesin kendaraannya.
Lelaki itu duduk di ujung bangku tepat menghadap Acil Mirna. Sedangkan
Agustina duduk di ujung bangku pendek yang menghadap ke guru baru itu. Julak
Idar mulai memantau dengan seksama. Ia mulai curiga dan bertanya-tanya di dalam
hatinya, “Itukah lelaki yang telah merampok hati Idangku?”
Ia penasaran, ia bergerak pelan mendekat, terus mendekat dan semakin
mendekat. Ia ingin melihat tampang laki-laki yang sudah mengoda menantunya itu. Ia pun berpura-pura membersihkan rumput di bawah pohon-pohon
kelapa agar tidak mencurigakan. Hanya sekejap saja, ia sudah ada di dekat
warung itu. Sayang lelaki itu membelakangi, jadi ia belum bisa melihat tampang
lelaki itu. Ia hanya melihat wajah Agustisna. Ia begitu serius menunggu
saat-saat mencurigakan, tetapi tak nampak ada tanda tanda yang mencurigakan. Ia
menunggu dan terus menunggu saat-saat yang tepat untuk bertindak, kalau perlu
harus telak. Tetapi ternyata sedikitpun masih belum ada terlihat gerakan
mencurigakan. Ia semakin penasaran dan terus mendekat. Kini ia sudah berada di
warung itu. Agustina sangat terkejut. Ia
sama sekali tidak menduga Abah mertuanya ini akan ke warung juga. Sebenarnya
mau apa mertuanya ini? Apakah mertuanya ini sudah mengetahui bahwa ia makan
katupat hanya alasan untuk bisa bertemu guru baru ini? Ataukah hanya mencurigai
saja? Ataukah hanya kebetulan singgah di sini?
Kini ia merasa kurang nyaman lagi dan tidak etis rasanya berada di sini.
Ia cepat berdiri membayar ketupat yang sudah dimakannya, lalu mengangguk kepada
mertuanya dan langsung pulang.
Kini Julak Idar sudah tidak sabar lagi, ia ingin cepat-cepat melihat
tampang lelaki yang diincarnya itu. Ia sengaja duduk di ujung bangku pendek
yang menghadap ke guru baru itu.
“Astaghfirullah!”
Ia terkejut, terperanjat, seakan melihat Rahmadi anaknya yang sudah
meninggal itu hidup kembali. Ia tak mampu bicara. Semua direncanakannya sudah
tak berarti lagi. Bahkan kini ia
ingin memeluk erat-erat lelaki ini. Meski
ia sadar bahwa ini bukan anaknya, tetapi ia tetap tak mampu berbuat apa-apa.
Dipandangnya wajah lelaki itu tanpa
berkedip sedikit pun. Dilihatnya dengan cermat dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Ternyata orang ini sama sekali tidak berbeda dengan Rahmadi. Sungguh sebuah keajaiban, anaknya dan
orang ini bagai kembar identik. Padahal almarhum Rahmadi itu anak tunggal tidak
ada kembarannya. Karena waktu itu ia sendiri yang menghadapi almarhum isterinya
yang melahirkan di rumah bukan di rumah sakit. Bahkan ia ikut mendorong perut
istrinya dalam proses kelahiran Rahmadi. Jadi
sudah pasti laki-laki ini bukanlah saudara kembar Rahmadi.
Untuk sekedar mengurangi kegelisahan ia memesan katupat lalu mendekati
lelaki itu. Ia penasaran ingin bicara. Nampaknya lelaki itu sangat memahami.
Lelaki itu tersenyum ramah seramah-ramahnya. Ia juga senyum membalas dengan
senyum yang sama ramahnya.
“Astagfirullah.”
Sekali lagi ia terkejut melihat senyum Rahmadi di bibir lelaki itu. Ia
jadi semakin menggebu-gebu ingin mengenalnya lebih dekat lagi.
“Kamu?”
“Iya Pak, Ulun guru SMP yang baru itu.”
“O jadi itu? Kamu ya?”
“Iya betul Pak, ulun guru yang baru diangkat di SMP itu, Pak.”
Bram memperhatikan wajah Pak Tua yang ada di sampingnya. Pertanyaan ini
sangat mencurigakan, tetapi nadanya biasa-biasa saja. Bahkan begitu ramah dan
santun.
“Kita belum berkenalan.”
Julak Idar menyalami lelaki itu dengan senyum ramahnya.
“Nama
saya Darmawan Saputera, di sini saya biasa dipangggil Julak Idar”
“Ulun Bram Baswenda, Pak. Pian bisa memanggil Ulun Bram.”
“Padahal saya lebih suka memanggil guru. Bagaimana?”
“Guru, ya?”
“Iya, guru saja. Memanggil dengan panggilan guru saja. Atau Guru Ibas. Karena nama Bram itu, apalagi Bas apa
tadi?”
“Baswenda, Pak.”
“Bagi saya kedua nama itu agak sulit
mengucapkannya. Saya sukanya Guru Ibas saja. Bagaimana?”
“Iya Pak. Guru Ibas.” jawab Bram dengan senyum ramahnya.”
“Boleh ya?”
“Iya Pak, dengan senang hati Pak.”
“Guru, mendengar nama itu, kayanya Guru ini pasti bukan orang Banua
sini.”
“Ulun asli urang Kandangan juga Pak. Malah setengahnya ada darah
Loksadonya.”
“O gitu ya? Bagaimana bisa?”
“Ayah saya urang Tinggiran Kandangan Kota. Ibu dari Tabihi. Sedang kakek dari pihak ibu adalah
mualaf dari Loksado. Begitulah riwayatnya Pak.”
“O begitu ya?”
“Ya katanya begitu sih Pak.”
“Guru, jangan panggil Bapak ah. Kurang enak dengarnya”
“Lantas ulun harus memanggil apa Pak?”
“Orang ini biasa memanggil saya Julak Idar.”
“Jadi ulun harus memangil Julak Idar juga Pak?”
“Bisa juga begitu. Tapi kalau bisa jangan, jangan panggil Julak.”
“Kenapa Pak?”
“Julak itu kan artinya mamarina18?
Yaitu saudara dari orang tua kita.”
“Lalu maunya dipanggil apa, Pak?
Atau bagaimana kalau ulun panggil Abah saja.”
Julak Idar terkejut tiba-tiba. Ia harus menjawab apa? Padahal memang
itulah panggilan yang diharapkannya. Itu berarti ia harus melaksanakan prosesi
khusus untuk mengangkat Bram sebagai anak angkat?
***
Pagi ini Bram sengaja
tidak sarapan di rumah, karena ia harus berangkat lebih pagi. Ia harus
cepat-cepat berangkat, bukan karena takut terlambat, tetapi ingin secepatnya
bertemu dengan pemilik senyum yang sangat menawan itu, perempuan yang
ditemuinya di warung Katupat Kandangan itu.
Enam hari yang lalu tak sengaja Bram
berpandangan dengan perempuan cantik berjilbab biru, dan perempuan itu
tersenyum. Senyum itu begitu menawan. Awalnya biasa saja tak ada yang istimewa.
Lalu besoknya mereka bertemu lagi, lalu beradu pandang berbalas senyum dan
besoknya beradu pandang berbalas senyum lagi, dan besoknya lagi-lagi beradu
pandang dan berbalas senyum. Ternyata senyum perempuan itu telah mengganggu jam
tidurnya. Dia merasa senyum itu sama
persis dengan senyum yang sudah lama hilang dari sisinya. Meskipun setiap hari
ia sudah biasa berbalas senyum. Tetapi yang ini lain, senyum itu begitu
familiar. Itu kan senyuman Yuni? Senyum yang sudah bertahun-tahun tak pernah
dilihatnya lagi. Senyum itu kini tiba-tiba saja datang lagi. Senyum itu
bukanlah senyum biasa. Senyum itu adalah senyum seseorang yang pernah bermukim
di hatinya. Senyum itu kembali menukik tajam ke ujung jantungnya. Sama seperti
pertama kali ia beradu pandang dan berbalas senyum dengan mahasiswi baru di
kampusnya dulu. Saat itu ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Itulah
senyum almarhumah Yuni yang pernah bermukim di hatinya. Senyum gadis berjilbab
biru itupun sama persis, sedikitpun tak ada bedanya. Istimewanya lagi wajah dan
seluruh penampilannya sama persis dengan
Yuni. Bagaimana ia tak terkesima? Semua yang ada pada Yuni, juga ada pada
perempuan itu.
Sudah berminggu-minggu belakangan ini ada yang mengganjal dalam pikirannya.
Salahkah ia berpindah ke lain hati? Bukankah Yuni itu masa lalu? Tidak
seharusnya ia menjomblo selamanya. Bukankah
ia juga sudah cukup lama menjomblo? Masa harus jadi
jomblo selamanya?
Dari jauh nampak muara jalan menuju ke SMP itu yang ditandai dengan tanda anak
panah yang menunjuk ke ke SMPN Hantarukung. Nah di dekat tanda panah itulah
warung katupat itu berada. Inilah saksi bisu bertemunya dua senyuman yang penuh
arti. Di sinilah TKPnya dua pasang mata saling adu pandang.
Seperti biasa, menurut pengalamannya
pagi-pagi seperti ini, jalan masuk menuju ke SMP itu sudah pasti penuh sesak
dengan anak SD dan SMP yang jalan kaki, yang bersepeda dan yang
bersepedamotor saling berdesakan mengejar waktu. Dan ada juga anak SMAN, SMKN
dan MAN yang berangkat sekolah keluar dari jalan ini.
Sebenarnya bukan padatnya jalan yang dirisaukannya, tetapi apakah pagi ini ia
bisa bertemu dengan perempuan cantik berjilbab biru itu? Andaikan ia punya
sayap ia bisa terbang, bisa melihat dari udara di manakah perempuan cantik
berjilbab biru itu berada?
Tak lama kemudian sampailah ia di depan
warung katupat kandangan itu. Ingin rasanya ia langsung singgah di sini, tapi
nggak bisa. Karena bunyi klakson mobil begitu keras bersamaan dari depan dan
belakang yang tak mau bersabar. Betapa bunyi klakson itu memekakkan telinga.
Dia langsung menuju ke SMPN Hantarukung. Setibanya di SMP itu, ia cepat
memarkir kendaraan bebeknya, lalu langsung pergi setengah berlari menuju ke
warung katupat itu berharap bisa bertemu dengan yang berjilbab biru itu. Tetapi
sesampainya di warung ini ternyata yang berjilbab biru itu tak ada. Walaupun
kecewa ia tetap harus sarapan katupat, karena pagi ini ia belum sempat makan
apa-apa.
Setelah selesai sarapannya, ia cepat-cepat
kembali ke sekolah karena akan mengajar pada jam pelajaran ke tiga..
Biasanya pada jam-jam menjelang istirahat ke
dua ruang guru ini memang sepi, karena guru yang sudah habis tugasnya banyak
yang sudah pulang. Sedangkan guru yang masih ada tugas biasanya merumpi di
kantor tata usaha atau di kantin. Guru-guru
yang serius biasanya mengerjakan tugas harian atau membaca buku di
perpustakaan. Di ruang guru ini hanya ia yang termangu seorang diri. Sepertinya
ia melamunkan pertemuan yang gagal tadi pagi. Kini di kepalanya tengah
berkecamuk beberapa pertanyaan yang memusingkan.
”Mengapa ia tak ada di warung itu?
Mungkinkah ia ada keperluan lain. Haruskah aku menunggu sampai dia datang?
Tetapi sampai kapan? Sia-sia saja usahaku pagi ini. Aku tak mengerti, mengapa
bagai kena jampi-jampi? Ataukah karena aku terlalu lama menjomblo? Ataukah
karena aku terlanjur mengharapkannya? Mengapa aku begitu mudah terpikat? Sudah
bertahun-tahun aku bertahan dengan satu cinta. Haruskah kutanggalkan saja status
jombloku? Haruskah secepat ini kuberpindah ke lain hati? Haruskah secepat ini
kumencari pengganti Yuni?” gumamnya di dalam hati.
“Ei, ngelamun ya?”
Tiba-tiba saja Ibu Risna guru BK itu
memukul pundaknya, lalu duduk di kursi Ibu Jubai yang ada di sampingnya.
Pukulan itu sangat mengejutkan dan membuyarkan lamunannya. Entah sejak kapan
Ibu Risna itu masuk ke ruang guru? Seingatnya hanya dia sendiri yang ada di
ruang guru itu.
“Sudah,
nggak usah banyak pikir. Tembak saja langsung. Nanti saya bantu Pak.”
“Ah Ibu ada-ada saja. Siapa yang harus saya
tembak Bu? Hehehe.”
“Hei. Pak Baswenda jangan lembek gitu,
jangan pasif. Laki-laki itu harus agresif.”
“Ah Ibu ini. ngaco! Siapa pula
yang mau nembak, Bu?”
“Kan Baaapak?”
“Lho? Kok saya Bu?”
“Jangan bohong Pak. Perempuan berjilbab itu
kan yang Bapak lamunkan?”
“Apaan sih? Yang pakai jilbab kan banyak di
sini, Bu? Ibu juga berjilbab, kan?”
“Bukan saya, tapi dia.”
“Ah Ibu ini, dia yang mana Bu?”
“Dia yang itu, yang sering ketemuan sama
Bapak di warung katupat itu.”
“Mana? Itu kan Ibu Tuti dan Pak Hernadi Bu?”
“Bukan itu, tapi perempuan yang cantik itu.”
“Lho? Ibu kan juga cantik?”
“Gitu ya? Cantik? Lho, Bapak naksir sama saya
ya?”
“Ah Ibu. Ibu kan sudah bersuami?”
“Siapa bilang? Sekarang saya juga jomblo?
Hahaha.”
“Jadi? Ibu sudah pisah ya?”
“Bukan pisah, tapi suami saya sudah meninggal
setahun yang lalu.”
”Astaghfirullaah! Maaf Bu, bukan maksud saya mengungkit masalah keluarga Ibu.”
“Ah sudah lah. Nggak
usah merasa bersalah. Saya juga tidak merasa diungkit-ungkit, hahaha. Sebaiknya
kita fokus pada perempuan berjilbab itu.”
“Ah Ibu mulai lagi. Nggak usah lah Bu.”
“Benar nggak usah? Nggak nyesal?”
“Nyesal apaan Bu?”
“Ya nyesal aja. Soalnya perempuan itu ada di
luar.”
“Mana? Di luar? Di mana Bu?”
“Nah tu kan? Hahaha, kena deh.”
“Ah Ibu bercanda aja.”
“Siapa yang bercanda? Dia memang benar-benar
ada di luar. Lihat di warung itu tuh. Itu kan orangnya?”
“Astagfirullah.”
Bram terperanjat melihat lewat jendela
yang ada di sampingnya, ia
benar-benar melihat perempuan itu. Ternyata,
itu benar dia. Mengapa ia ada di warung itu?
Sebenarnya dia ingin berlari keluar menemuinya, tetapi malu dengan Ibu
Risna. Padahal ia ingin menemuinya. Tiba-tiba
saja dadanya berdebar-debar.
“Itu kan dia yang
kucari-cari pagi tadi?” ah gila dia keceplosan juga akhirnya.
“Apa? Apa kata Pak
Baswenda tadi?”
“Ah tidak apa-apa,” sanggahnya menyimpan rasa
malu. Tetapi justru ia jadi malu tersipu-sipu karenanya.
“Barusan Bapak bilang yang Bapak cari-cari
tadi?”
“Siapa bilang? Ibu salah dengar kali”
“Nggak usah ngeles. Telinga saya masih
normal.”
“Ah Ibu. Memangnya Ibu nujum ya? Pakai nebak-nebak segala, hahaha.”
“Bukan
nujum, tapi saya tahu semuanya. Bapak suka dia kan? Kalian cocok.”
“Cocok bagaimana? Kenal juga
tidak,” sanggahnya senyam-senyum malu-malu.
“Bapak nggak usah jaim. Kalian benar-benar
serasi.”
“Serasi apanya?”
“Yaaaa giiitu deh, hahahaha.”
“Gitu deh bagaimana?”
“Hahaha, Bapak mau
tau ya? Namanya Agus.”
“Kok Agus? Agus itu nama
laki-laki.”
“Nah tuh kan? Ketahuan, Bapak
suka dia kan?”
“Ah Ibu.”
“Nama lengkapnya Rahayu Agustina.”
Tiba-tiba bel istrahat ke dua berbunyi. Ibu Risna berdiri lalu
keluar kembali bergabung dengan guru BK lainnya. Sementara beberapa orang guru
memasuki ruang guru, ia masih termangu memikirkan pembicaraannya dengan Ibu
tadi. Tiba-tiba ia ingin cepat-cepat ke warung menemui perempuan berjilbab itu,
tetapi perempuan itu tak terlihat lagi. Ia gagal lagi bertemu dengan perempuan
itu.
***
Pagi ini lagi-lagi Bram harus secepatnya
sampai di SMPN Hantarukung, karena di samping memberikan ulangan bulanan, ia
juga harus singgah di warung Acil Mirna. Ada sesuatu yang akan dibicarakannya dengan
Julak Idar. Selebihnya tentu ia ingin bertemu perempuan berjilbab biru itu.
Bukankah itu sebuah rencana yang sangat mengasikan? Ataukah sebaliknya? Apakah
ini sebuah rencana yang konyol?
Kini kendaraan bebeknya meluncur di atas Jembatan Antaludin menyeberangi
Sungai Amandit yang indah membelah kota Kandangan. Sesampainya di perempatan
Padang Panjang ia harus berhenti sebentar karena lampu merah sedang menyala.
Dia berhenti tepat di depan asrama TNI AD sambil menunggu lampu hijau menyala.
Tak lama kemudian lampu hijau menyala cepat ia berbelok ke kanan memasuki Jalan
Bukhari yang ada di samping asrama TNI itu. Hanya dalam hitungan menit ia sudah
melalui Desa Hamawang, Sungai Paring dan kini sudah berada di kawasan Pasar
Muhara Ulin yang ramai dengan pedagang yang menggelar dagangannya sampai ke
sisi badan jalan. Maklum ini hari Selasa hari pasar mingguan desa. Di sini
kendaraan harus perlahan, karena di kiri kanan jalan banyak digelar dagangan
keperluan sehari-hari, dan diakhiri dengan jajaran sepeda penjual ayam kampung
di siksi kiri jalan. Sedang di sisi kanan jalan berjajar lapak para penjual
batang rumbia potong. Di sini ada mesin giling yang siap melayani peternak
menggiling potongan batang rumbia buat dijadikan pakan ternak itik. Di sini ia
harus mengurangi kecepatan, karena jalan semakin menyempit oleh lalu
lintas kendaraan dan pengguna jalan lainnya. Sialnya saat-saat seperti ini
bayangan perempuan berjilbab biru itu semakin cantik. Bukan cuma itu, ternyata
bayangan Julak Idar juga turut mengganggu pikirannya. Setelah melewati pasar Muhara Ulin, ia pun cepat meluncur ke SMPN Hantarukung.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya
ia berdoa semoga tidak terlambat. Semoga bisa bertemu dengan perempuan
berjilbab biru itu. Tak terasa ia sudah melintasi Desa Wasah Hulu, dan
tiba-tiba saja ada sebuah pick up penuh muatan dengan kecepatan tinggi melintas
dari arah yang berlawanan. Untung
saja repleknya berfungsi dengan baik. Ia cepat menghindar dan langsung
menginjak rem. Kendaraannya berhenti tiba-tiba hampir saja ia terjatuh,
alhamdulillah selamat. Pick up itu terus melaju sedikit pun tak merasa bersalah
apa-apa.
“Alhamdulillah terima kasih ya Allah,” bisiknya ketika ia merasa selamat
dari bahaya itu. Dilihatnya matahari mulai beranjak naik, berarti ia pasti
terlambat.
Pagi beranjak siang dan jalan pun semakin padat. Ia pun harus
membatalkan niatnya singgah di warung katupat itu. Ia langsung ke SMP Negeri
Hantarukung. Sesampaina di sekolah, ia langsung memarkir kendaraan, kemudian
cepat menuju ke kantor guru.
“Alhamdulillah.” Ternyata ia belum terlambat.
Nampak siswa berbaris di depan kelas masing-masing. Ia berbegas masuk
ruang guru, lalu mengambil beberapa buku pegangan, lembaran soal ulangan dan
keperluan pembelajaran lainnya, lalu bergegas ke kelas. Sesampainya di kelas ia
mengawali kegiatan belajar mengajar dengan memberi salam dan tegur sapa yang
berkaitan dengan keadaan siswa dan memeriksa daftar hadir siswa. Selebihnya
berjalan seperti biasa. Hari ini ia akan memberikan ulangan bulanan, maka
kegiatannya pun sama seperti kegiatan sebelumnya. Secara khusus ia menghitung
jumlah siswa perjalur, lalu membagi lembaran soal delapan-delapan dan
menyerahkannya kepada siswa paling depan di setiap jalurnya. Selanjutnya
lembaran soal itu dibagikan secara berantai sampai pada siswa yang paling
belakang. Selanjutnya siswa menjawab soal sesuai dengan suruhannya. Dan ia mengawasi siswa
mengerjakan soal-soal yang diberikan.
Sepintas lalu sepertinya ia benar-benar mengawas, tetapi sebenarnya ia
memikirkan rencana yang gagal pagi ini. Ia bingung memikirkan apa yang terjadi
belakangan ini. Mengapa akhir-akhir ini sering terjadi pertemuan tak
terduga-duga. Baru tiga bulan bertugas di sini, ia sudah menemukan hal-hal yang
menggoncangkan jiwanya. Dan anehnya hampir tiap hari ia memikirkan yang
bukan-bukan. Padahal jauh-jauh hari ia sudah diberitahu bahwa bertugas di sini
harus bisa membawa diri. Seperti kata pepatah Di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung. Di sini masih banyak yang bertemperamen keras? Hal ini harus dicamkannya benar-benar.
Hal-hal sepele bisa berujung dengan pertumpahan darah. Bahkan masalah kecil
bisa menjadi rumit, panjang dan bertele-tele. Tiba-tiba saja ponsel yang ada di
saku celananya bergetar. Tandanya ada SMS yang masuk. Ponsel itu cepat
dikeluarkannya. Ternyata benar. Sayangnya itu datang dari nomor tak dikenal.
Dan ia lebih terkejut lagi ketika dibuka ternyata itu adalah SMS lebay.
“Bapak keren deh,” begitu tertulis di SMS itu.
“Astagfirulah, SMS siapa ini?”
Ia sangat terkejut membaca SMS itu. Melihat isi SMS itu, dapat
dipastikan bahwa SMS itu datangnya dari seseorang di desa ini juga. Tetapi dari
siapa? Ia kan belum pernah memberikan nomornya kepada
siapapun di sini? Cepat Ponsel itu ditutupnya lalu dimasukkannya kembali ke
tempat asalnya. Tetapi hanya berselang beberapa detik ponsel itu bergetar lagi.
Ternyata benar ada SMS lebay lagi. Ini pasti yang tadi juga orangnya.
“Lho? Kok kenapa ditutup, Bapak keren?”
Begitu tertulis SMS itu. Ia yakin pasti SMS itu datang dari sekitar
sekolah ini. Atau bahkan bisa jadi datang dari dalam kelas ini juga. Tetapi
siapa orangnya? Ia mulai curiga, jangan-jangan siswi yang dipojokan itu
pengirim SMS ini. Namanya Mariatul Adawiyah. teman-temannya biasa memanggilnya
Atul. Pelan-pelan Bram mendekati Atul dengan mengendap-endap bagai polisi dalam
sebuah penyergapan. Tanpa diduga tiba-tiba ia sudah berdiri di samping Atul itu. Tentu saja si Atul sangat terkejut. .
“Atul, kenapa tidak mengerjakan soalnya?”
Siswi itu tidak menjawab, ia diam saja. Malah ia senyam-senyum manja tak
jelas apa maunya. Yang ia jadi malu karenanya lalu melempar senyum
tersipu-sipu. Sedang lembar jawaban masih tertutup.
“Kamu sengaja tidak mengerjakan soal ya?”
“Pak, ada orang kirim salam,” katanya begitu genit.
“Ah kamu. Nggak nyambung sama sekali?”
“Benar Pak. Saya nggak bohong. Katanya kirim salam buat Bapak.”
“Apa? siapa? Salam apaan?”
“Salam kenal Pak,” jawab Atul senyam-senyum cengar-cengir cengungukan.
“Hah, Atul ini bagaimana? Ngaco kamu. Jangan berisik. Ini ulangan
mengambil nilai kamu. Nanti kalau nilainya jatuh apa kamu nggak nyesal?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Karena saya sudah selesai! Hahaha,” jawabnya tertawa kegirangan.
Suara Atul yang bergitu percaya diri manja riang dan genit itu membuat
semua siswa terkejut jadinya. Ternyata bukan siswa saja yang terkejut, Bram pun
ikut terkejut. Cepat ditegurnya Atul itu dengan isyarat telunjuk, “Sssssst!
Jangan ribut!”
Mariatul terkejut lalu menekukkan dagunya di atas meja sambil melempar
lirikan mata yang penuh pesona.
“Astagfirullah,” bisik Bram di dalam hati.
Barangkali Atul ini punya bakat perayu bahkan mungkin jadi perebut suami orang. Nauzubillah, semoga
jangan sampai keterusan bakat yang tidak baik ini.
“Kerjakan soal ulangan saja. Jangan ribut. Nanti yang lainnya bisa
tergganggu.”
“Lho? Kan tadi sudah saya bilang, Pak?”
“Sudah bilang apa?”
“Kan jawaban saya sudah selesai Pak?”
“Sudah selesai?”
“Iya Pak,” jawabnya yakin percaya
diri.
“Sudah selesai semuanya?”
“Ya Pak.”
“Ah masa sih?”
“Sungguh Pak.”
“Mana?”
Atul tidak menjawab ia hanya memandang
wajah Guru yang dikaguminya itu sambil menunjuk lembar jawabannya. Bram
mengambil lembar jawaban itu dan memeriksanya. Masya Allah! Ternyata bena
semuar. Bagaimana bisa? Padahal tman-temannya masih bingung mencari-cari
jawabannya. Jawaban Atul ini bukan hanya selesai, tetapi juga semuanya benar.
Tak ada satu pun yang salah. Bagaimana mungkin?
“Bagaimana Pak?” tanya Atul percaya diri.
“Ya. Sudah selesai semuanya. Kamu boleh keluar.”
“Tapi saya maunya di sini saja, Pak. Boleh kan?”
“Ya boleh-boleh saja asal tidak ribut.”
“Ya Pak. Saya janji tidak akan ribut.”
Bram kembali ke tempat duduk membawa jawaban Atul. Tiba-tiba ia teringat
SMS Lebay tadi. Dari mana datangnya? Ia menghubungi nomor yang mengirim SMS
tadi? Kalau SMS itu benar datangnya dari dalam kelas ini, pasti ada yang akan
mengangkatnya. Tak lama kemudian terdengar bunyi dering di ujung sana. Diperhatikannya reaksi siswa-siswanya, tak ada
reaksi apa-apa. Bahkan sampai bunyi dering berhenti tetap tidak ada reaksi.
Mungkinkah SMS itu dari Perempuan berjilbab biru? Itu tidak mungkin, ia tidak
pernah memberikan nomor HP-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar