menu

Sabtu, 21 Mei 2016

RINDU ?



RINDU ?
Oleh Hamberan Syahbana

       Seandainya aku berterus terang sejak awal, tentu tidak seperti ini jadinya. Sekarang sudah terlanjur bagai benang kusut yang tak mudah diuraikan. Semua jadi serba salah. Mau menjelaskan? Tidak ada artinya, mereka pasti tidak percaya. Bahkan mereka telah menuduh memperkosa sesorang, dan orang itu mati bunuh diri karena malu.


       Semuanya berawal dari kenekadanku membelikan Rindu barang-barang berharga. Baju, sepatu, tas, kalung, cincin, HP, dan kendaraan baru. Bahkan aku sering membawanya ke pantai dan tempat-tempat rekreasi lainnya. Tapi itu semua kulakukan karena aku sangat sayang pada Rindu. Akibat orang-orang itu telah menuduhku melakukan sesuatu yang tak layak dilakukan oleh seorang guru pada siswinya. Hal inilah yang membuat orang-orang marah. Dan yang membuat orang bingung, mengapa sang kakek jagoan di desa itu tidak berkutik sama-sekali melihat kejadan itu.

       Mereka sebenarnya tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mereka juga tidak tahu bahwa aku sering menangis bagai anak kecil ketika memeluk dan mencium Rindu. Mereka juga tidak tahu bahwa Rindu tidak pernah marah. Kenapa? Karena pada saat itu, kami benar-benar tenggelam dalam kerinduan seorang anak terhadap ayahnya, yang telah lama terpisah oleh sesuatu yang tak mudah dijelaskan.

***
      Di suatu sore, secara tak sengaja Rindu mendengar Darman mengadu kepada Kakeknya. “Kakek! Apakah Kakek sudah tahu apa yang terjadi antara Rindu dengan orang itu? Dia sudah mengguna-gunai Ririn. Memalukan! Dia telah mencoreng arang dimuka keluarga kita. Ini benar-benar keterlaluan. Ini pelecehan terhadap martabat  keluarga kita! Najis!“

       Betapa kesalnya Rindu dan ingin melabraknya. Dia ingin mengetahui lebih jauh lagi, apa saja yang dilaporkan Darman kepada kakeknya.

       “Baru delapan bulan dia berada disini, sudah macam-macam. Tapi Kakek malah diam saja. Kakek harusnya bicara! Kakek harus bertindak!“

        Kakeknya tertunduk diam, pikirannya jauh menerawang ke masa lalu. Ketika dia kembali ke kampung halamannya tujuhbelas tahun yang lalu, desa ini menjadi aman. Karena secara turun-temurun keluarganya memang dikenal sebagai jagoan di sini. Tak ada yang berani macam-macam. Tetapi beberapa belakangan ini, semua telah berubah. Orang-orang sudah mengganggapnya sebagai pembawa aib, membiarkan cucu kesayangannya diobob-obok. Setiap bertemu dengan orang itu, dia selalu menghindar, bersimpang jalan ke arah lain.

       “Sebenarnya, cucumu ini malu mempunyai seorang Kakek penakut! Kakek yang sudah kehilangan martabat,” ejek Darman
       “Lancang mulutmu!” sanggah kakek mulai terpancing. “Jangan ajari aku tentang martabat! Tahu apa kamu tentang martabat?“

       Kakeknya benar-benar marah, sungguh menakutkan. Kata orang, kalau sudah begitu keadaannya tak ada yang berani bicara.

       “Kakek jangan berkata begitu!”
       “Diam! Itu bukan martabat, tetapi cemburu yang berlebihan. Kamu menganggap dia telah menodai orang yang kau cintai. Begitu, kan? Aku tidak tuli! Tidak ada satu ucapan pun yang tidak aku dengar. Awas! Sekali saja kau bertindak di luar kendali kau akan berhadapan denganku. Dan kau akan menyesal seumur hidupmu! Kamu ini tidak lebih dari seorang provokator. Pergi kau! Pergi!“ Kekek betul-betul marah.
       “Akh, masa kakek marah sama cucunya sendiri, bukannya memarahi orang itu? Ini terbalik! Dasar dunia mau kiamat barangkali.“ Darman menggerutu sendiri dan cepat-cepat pergi

       Darman menghidupkan motor besarnya dan terus menghilang di tikungan jalan. Sementara kakek tetap berdiri geram dan meradang di balik jendela memandang jauh ke luar. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh jeritan histeris dari dalam kamar.

***
       Jeritan histeris itu adalah suara Nirmala Hayati ibunya Rindu yang disekap di dalam kamar khusus, agar tidak berkeliaran di jalan. Betapa mirisnya hati melihat putri tunggalnya itu memeluk bantal, kadang-kadang juga memeluk guling. Matanya berbinar berkaca-kaca “ Bang Iyun. Lihat Bang. Ini anak kita. Oo, matanya seperti mata Abang. Hidungnya seperti hidung Abang. Tetapi wajahnya wajah Yati. O alangkah cantiknya, Yati kan cantik?”

       Sungguh iba hati sang ayah melihatnya, rambutnya panjang bergelombang kusut tak terurus, menutupi sebagian wajah yang menyembunyikan sisa-sisa kecantikannya. Hidung mancung, rambut ikal bergelombang, lehernya jenjang  Mirip sekali dengan Rindu. Bagai pinang dibelah dua. Bagaikan dara kembar yang cantik. Tak terasa air mata kakek meleleh di pipi .

       “Hei, jangan! jangan! Jangan ambil anakku! Bang, Bang Iyun, lihat mereka mau memisahkan kita. Mereka mau mengusir Yati dari rumah ini. Mereka juga ingin mengambil anak kita.“ Dia mengamankan guling anaknya itu, dipertahankan erat-erat dan tak akan  diserahkannya kepada siapa pun.

       Guling itu ditaruhnya ke dalam ayunan, sebentar kemudian terdengar senandung nina bobo, lagu penghantar tidur anaknya itu. Siapapun yang melihatnya, pastilah     dadanya terasa pedih bagai disayat beribu sembilu. Tak terasa air mata pun jatuh berlinang bagaikan air bah yang tak bisa dibendung lagi. Saat ini kakek sang jagoan bukan lagi jagoan yang ditakuti.     
***
      Ba’da Isya, Darman melarikan motor besarnya sekencang-kencangnya. Hanya beberapa menit sudah berada di halaman rumah kakeknya. Cepat dia memasuki rumah, ternyata tidak ada orang. Kecuali bibi Nirmala, ibu Rindu yang ada di kamar bersekat itu. Cepat dia keluar melarikan kendaraannya kencang-kencang, Terus mencari, terus mencari dimana  Rindu berada.
 
        “Dimana kau Ririn? Jangan-jangan sudah dilarikan lelaki itu? Rindu kemana saja kau? Aku harus menemukanmu malam ini juga. Kalau perlu langsung kubawa ke Penghulu Haji Rasyid, kita harus menikah malam ini juga. Kalau tidak, keburu diembat orang itu. Tapi rasanya tidak segampang itu. Haji Rasyid bukan penghulu lagi, jadi dia tidak punya wewenang menikahkan kita. Atau nikah di bawah tangan saja, yang penting sah menurut hukum agama.”
***
      Tak terasa sudah delapan bulan lelaki itu berada disini. Meskipun beda nama tapi pasti dialah Rindu yang dicarinya selama ini. Anaknya itu bernama Mala, lengkapnya Kemalawati Dwifebrianti kependekan dari kelahiran Kemis malam dua Februari tujuh belas tahun yang lalu. Sedangkan gadis ini bernama Rindu, nama lengkapnya Rindu Kesuma Wardani cucu seorang jagoan tua yang sangat ditakuti dan disegani disini. Kalau melihat kakeknya dapat pastikan dialah yang dicarinya selama ini, tentunya belum bisa dipastikan seratus persen. Mungkin saja ini cucu dari keponakannya yang lain.
       Tiba-tiba seseorang menggedor pintu. Diintipnya dari lobang kecil, ternyata yang datang adalah Rindu. Matanya agak bengkak bekas menangis berat. Mukanya merah menyala karena marah. Tatapannya tajam menyapu ke segala arah. Berdebar-debar jantungnya, dia ingin cepat-cepat keluar menemui Rindunya. Tetapi dia khawatir jangan-jangan Rindu tidak mampu menguasai keadaan.

       “Hei Pak Yunus! Saya minta Bapak keluar!” Benar, dilihatnya dari lobang kecil, Rindu benar-benar marah. Ada apa ini? 
       “Saya tahu Bapak ada disini! Sekali lagi saya minta keluar. Atau saya akan berteriak keras-keras memanggil mereka untuk datang ke rumah ini!“

       Dia harus keluar, ancaman Rindu itu nampaknya bukan hanya gertakan. Dia cepat keluar. Rindu terkejut mundur beberapa langkah, nampak tubuhnya gemetar.

       “Pak Yunus! Saya minta Bapak bicara jujur! Apa benar Bapak telah memperkosa gadis lugu di desa sebelah, sehingga dia nekat gantung diri? Apa benar Bapak telah mempermainkan janda kembang yang ada di samping sekolah itu? “

       Lelaki itu benar-benar terkejut, tak ada kata yang mampu diucapkannya. Tak terduga olehnya tuduhan itu bertubi-tubi justru datang dari anaknya sendiri.

       “Mengapa Bapak diam saja? Jawab! Kalau Bapak tidak menjawab berarti semua berita itu benar. Apakah Bapak akan menjadikan saya sebagai mangsa berikutnya? Jawab, jawab Pak!“
       “Mala, bagaimana mungkin aku melakukan semua itu? Mala aku ini .....”
       “Mala? Apa Bapak bilang tadi, Mala?“
       “Ya, Mala. Kau adalah Mala yang kucari selama ini. Tahukah kau, bahwa aku pindah kesini justru karena  kamu, Mala?”
       “Akh, Bapak jangan mengalihkan pembicaraan! Sekarang jujur saja, apakah Bapak akan menjadikan saya sebagai mangsa Bapak berikutnya?“
        “Mala, bagaimana mungkin aku “
        “Mala, Mala, Mala lagi. Aku bukan Mala! “
        “Ya, bagaimana mungkin aku melakukan semua itu. Padahal kau adalah anakku, Mala. Kau bisa menanyakan langsung kepada kakekmu, Mala.”        
       “Mala? Mala memang anak bapak, tapi aku bukan Mala. Aku Rindu, Rindu Kesuma Wardani .”
       “Kau memang Mala, cucuku.“ Tiba-tiba kakeknya berdiri tegap di ambang pintu. Hal ini sangat mengejutkan Rindu. Lebih-lebih lagi lelaki itu.        
       “Akulah yang mengganti namamu. Dari Kemalawati Dwifebrianti menjadi Rindu Kesuma Wardani. Kau memang Mala cucuku.“

       Tak diduga dia akan bertemu mertuanya di rumah ini. Orang yang selama ini selalu menghindar, yang tidak memperkenankannya menemui istrinya, ternyata tiba-tiba saja berdiri di depannya. Apa yang terjadi? Mertuanya, malam ini tampil beda, dalam pakaian serba hitam lengkap dengan parang pusaka dipinggangnya.Ya malam ini beliau tampil sebagai seorang jagoan. Ada apa?

       Sejenak lelaki itu bingung, untuk apa senjata di pinggang itu? Untuk apa? Untuk membantainya? Atau orang lain? Tetapi tak ada sedikitpun suara nada-nada marah, tak ada sedikitpun wajah beringas. Yang terlihat adalah wajah layu, bukan wajah seorang jagoan. Mereka berpandangan lama sekali, bicara hanya antara hati. Dicobanya mendekat, terasa ada sesuatu yang hilang selama ini muncul kembali yaitu rasa rindu. Ya rasa rindu yang mendalam di antara mereka. Dia memberanikan diri memeluknya. Ternyata mertuanya itu diam saja. Mereka berpelukan, lama sekali. Pelan-pelan ada sesuatu yang tak sanggup terbendung, yaitu air mata. Air mata itu perlahan membasahi pipi. Terasa seluruh tubuh mertuanya bergetar. Pastilah mertuanya itu juga menangis seperti dia. Inikah rindu yang terhalang selama ini?

       “Hei, apa-apaan ini? Kakek bukannya marah, malah berpelukan. Ada apa ini? “
       “Mala,. Yunus itu adalah ayahmu.”         
       “Bagaimana mungkin, ayahku kan sudah meninggal dalam suatu kecelakaan tujuh belas tahun yang lalu?”
       “Tidak, ayahmu masih hidup. Aku telah berbohong selama ini. Maafkan aku Mala. Akulah yang memisahkan kalian, panjang ceritanya Mala. Percayalah dia memang ayahmu. Yunus mulai malam ini kau harus datang ke rumah menjenguk isterimu. Barangkali dengan kedatanganmu, dia akan sembuh.”  
       “Jadi, Bapak adalah ayahku?” Rindu alias Mala itu masih ragu.“ Apakah benar Pak Yunus ini ayahku?” Pastilah pertanyaan di hatinya itu sudah terjawab malam ini. 

       Mala memperhatikanku ayahnya, ada rasa haru. Bagaikan kilat dia memeluk tanpa ragu-ragu. Mereka melepaskan sejadi-jadinya. Untuk kedua kalinya malam ini dia menangis sejadi-jadinya.
       Tiba-tiba dari jauh di luar sana terdengar riuh rendah suara orang bersahut-sahutan. Orang-orang kalap itu terus bergerak menuju rumah Pak Yunus. Tetapi disana telah berdiri menantang, Kakek Ibas Agau.berpakaian serba hitam. Biasanya, kalau sudah begini tak ada seorang pun yang berani macam-macam.

       Semua bingung, ada apa? Apa mungkin orang itu sudah dibantainya? Semua menunggu, menunggu dan terus menunggu apa yang akan diucapkan jagoan tua itu. Ternyata disana ada Darman sang pemimpin itu.

       “Kalian mau tahu?”
       Suara itu begitu tenang, berat dan masih berwibawa.
       “Sebaiknya kalian pulang saja, tak ada yang perlu dibantai malam ini. Dengarkan baik-baik! Orang yang kalian tuduh macam-macam itu adalah.......ayah Rindu sendiri. Nanti akan kuceritakan mengapa mereka terpisah.”

       Semuanya bingung, apa benar? Pelan-pelan mereka mulai mengerti, pantas saja Kakek Ibas Agau tidak marah, ternyata orang itu adalah menantunya sendiri. Orang-orang berigas itu pun berubah drastis. Tak ada lagi wajah beringas buas dan ganas. Semuanya pulang ke rumah masing-masing. Tiba-tiba datang beberapa orang polisi, tetapi orang-orang itu sudah pulang. Setelah bicara seperlunya polisi itu pun pulang. Kini hanya ada Darman yang termangu seorang diri.  
Banjarmasin, Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar