RINDU ?
Oleh Hamberan Syahbana
Seandainya aku berterus terang sejak
awal, tentu tidak seperti ini jadinya. Sekarang sudah terlanjur bagai benang
kusut yang tak mudah diuraikan. Semua jadi serba salah. Mau menjelaskan? Tidak
ada artinya, mereka pasti tidak percaya. Bahkan mereka telah menuduh memperkosa
sesorang, dan orang itu mati bunuh diri karena malu.
Semuanya berawal dari kenekadanku
membelikan Rindu barang-barang berharga. Baju, sepatu, tas, kalung, cincin, HP,
dan kendaraan baru. Bahkan aku sering membawanya ke pantai dan tempat-tempat
rekreasi lainnya. Tapi itu semua kulakukan karena aku sangat sayang pada Rindu.
Akibat orang-orang itu telah menuduhku melakukan sesuatu yang tak layak
dilakukan oleh seorang guru pada siswinya. Hal inilah yang membuat orang-orang
marah. Dan yang membuat orang bingung, mengapa sang kakek jagoan di desa itu
tidak berkutik sama-sekali melihat kejadan itu.
Mereka sebenarnya tidak mengetahui apa
yang sebenarnya terjadi. Mereka juga tidak tahu bahwa aku sering menangis bagai
anak kecil ketika memeluk dan mencium Rindu. Mereka juga tidak tahu bahwa Rindu
tidak pernah marah. Kenapa? Karena pada saat itu, kami benar-benar tenggelam
dalam kerinduan seorang anak terhadap ayahnya, yang telah lama terpisah oleh
sesuatu yang tak mudah dijelaskan.
***
Di suatu sore, secara tak sengaja Rindu
mendengar Darman mengadu kepada Kakeknya. “Kakek! Apakah Kakek sudah tahu apa
yang terjadi antara Rindu dengan orang itu? Dia sudah mengguna-gunai Ririn.
Memalukan! Dia telah mencoreng arang dimuka keluarga kita. Ini benar-benar
keterlaluan. Ini pelecehan terhadap martabat
keluarga kita! Najis!“
Betapa kesalnya Rindu dan ingin
melabraknya. Dia ingin mengetahui lebih jauh lagi, apa saja yang dilaporkan
Darman kepada kakeknya.
“Baru delapan bulan dia berada disini,
sudah macam-macam. Tapi Kakek malah diam saja. Kakek harusnya bicara! Kakek
harus bertindak!“
Kakeknya tertunduk diam, pikirannya
jauh menerawang ke masa lalu. Ketika dia kembali ke kampung halamannya
tujuhbelas tahun yang lalu, desa ini menjadi aman. Karena secara turun-temurun
keluarganya memang dikenal sebagai jagoan di sini. Tak ada yang berani
macam-macam. Tetapi beberapa belakangan ini, semua telah berubah. Orang-orang
sudah mengganggapnya sebagai pembawa aib, membiarkan cucu kesayangannya
diobob-obok. Setiap bertemu dengan orang itu, dia selalu menghindar, bersimpang
jalan ke arah lain.
“Sebenarnya, cucumu ini malu mempunyai
seorang Kakek penakut! Kakek yang sudah kehilangan martabat,” ejek Darman
“Lancang mulutmu!” sanggah kakek mulai
terpancing. “Jangan ajari aku tentang martabat! Tahu apa kamu tentang
martabat?“
Kakeknya benar-benar marah, sungguh
menakutkan. Kata orang, kalau sudah begitu keadaannya tak ada yang berani
bicara.
“Kakek jangan berkata begitu!”
“Diam! Itu bukan martabat, tetapi
cemburu yang berlebihan. Kamu menganggap dia telah menodai orang yang kau
cintai. Begitu, kan? Aku tidak tuli! Tidak ada satu ucapan pun yang tidak aku dengar.
Awas! Sekali saja kau bertindak di luar kendali kau akan berhadapan denganku.
Dan kau akan menyesal seumur hidupmu! Kamu ini tidak lebih dari seorang
provokator. Pergi kau! Pergi!“ Kekek betul-betul marah.
“Akh, masa kakek marah sama cucunya
sendiri, bukannya memarahi orang itu? Ini terbalik! Dasar dunia mau kiamat
barangkali.“ Darman menggerutu sendiri dan cepat-cepat pergi
Darman menghidupkan motor besarnya dan
terus menghilang di tikungan jalan. Sementara kakek tetap berdiri geram dan
meradang di balik jendela memandang jauh ke luar. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh
jeritan histeris dari dalam kamar.
***
Jeritan histeris itu adalah suara
Nirmala Hayati ibunya Rindu yang disekap di dalam kamar khusus, agar tidak
berkeliaran di jalan. Betapa mirisnya hati melihat putri tunggalnya itu memeluk
bantal, kadang-kadang juga memeluk guling. Matanya berbinar berkaca-kaca “ Bang
Iyun. Lihat Bang. Ini anak kita. Oo, matanya seperti mata Abang. Hidungnya
seperti hidung Abang. Tetapi wajahnya wajah Yati. O alangkah cantiknya, Yati
kan cantik?”
Sungguh iba hati sang ayah melihatnya,
rambutnya panjang bergelombang kusut tak terurus, menutupi sebagian wajah yang
menyembunyikan sisa-sisa kecantikannya. Hidung mancung, rambut ikal bergelombang,
lehernya jenjang Mirip sekali dengan
Rindu. Bagai pinang dibelah dua. Bagaikan dara kembar yang cantik. Tak terasa
air mata kakek meleleh di pipi .
“Hei, jangan! jangan! Jangan ambil
anakku! Bang, Bang Iyun, lihat mereka mau memisahkan kita. Mereka mau mengusir
Yati dari rumah ini. Mereka juga ingin mengambil anak kita.“ Dia mengamankan
guling anaknya itu, dipertahankan erat-erat dan tak akan diserahkannya kepada siapa pun.
Guling itu ditaruhnya ke dalam ayunan,
sebentar kemudian terdengar senandung nina bobo, lagu penghantar tidur anaknya
itu. Siapapun yang melihatnya,
pastilah dadanya terasa pedih bagai
disayat beribu sembilu. Tak terasa air mata pun jatuh berlinang bagaikan air
bah yang tak bisa dibendung lagi. Saat ini kakek sang jagoan bukan lagi jagoan
yang ditakuti.
***
Ba’da Isya, Darman melarikan motor besarnya
sekencang-kencangnya. Hanya beberapa menit sudah berada di halaman rumah
kakeknya. Cepat dia memasuki rumah, ternyata tidak ada orang. Kecuali bibi
Nirmala, ibu Rindu yang ada di kamar bersekat itu. Cepat dia keluar melarikan
kendaraannya kencang-kencang, Terus mencari, terus mencari dimana Rindu berada.
“Dimana kau Ririn? Jangan-jangan sudah
dilarikan lelaki itu? Rindu kemana saja kau? Aku harus menemukanmu malam ini
juga. Kalau perlu langsung kubawa ke Penghulu Haji Rasyid, kita harus menikah
malam ini juga. Kalau tidak, keburu diembat orang itu. Tapi rasanya tidak
segampang itu. Haji Rasyid bukan penghulu lagi, jadi dia tidak punya wewenang
menikahkan kita. Atau nikah di bawah tangan saja, yang penting sah menurut
hukum agama.”
***
Tak terasa sudah delapan bulan lelaki itu
berada disini. Meskipun beda nama tapi pasti dialah Rindu yang dicarinya selama
ini. Anaknya itu bernama Mala, lengkapnya Kemalawati Dwifebrianti kependekan
dari kelahiran Kemis malam dua Februari tujuh belas tahun yang lalu. Sedangkan
gadis ini bernama Rindu, nama lengkapnya Rindu Kesuma Wardani cucu seorang
jagoan tua yang sangat ditakuti dan disegani disini. Kalau melihat kakeknya
dapat pastikan dialah yang dicarinya selama ini, tentunya belum bisa dipastikan
seratus persen. Mungkin saja ini cucu dari keponakannya yang lain.
Tiba-tiba seseorang menggedor pintu. Diintipnya dari lobang kecil,
ternyata yang datang adalah Rindu. Matanya agak bengkak bekas menangis berat.
Mukanya merah menyala karena marah. Tatapannya tajam menyapu ke segala arah.
Berdebar-debar jantungnya, dia ingin cepat-cepat keluar menemui Rindunya.
Tetapi dia khawatir jangan-jangan Rindu tidak mampu menguasai keadaan.
“Hei Pak Yunus! Saya minta Bapak
keluar!” Benar, dilihatnya dari lobang kecil, Rindu benar-benar marah. Ada apa
ini?
“Saya tahu Bapak ada disini! Sekali lagi
saya minta keluar. Atau saya akan berteriak keras-keras memanggil mereka untuk
datang ke rumah ini!“
Dia harus keluar, ancaman Rindu itu
nampaknya bukan hanya gertakan. Dia cepat keluar. Rindu terkejut mundur
beberapa langkah, nampak tubuhnya gemetar.
“Pak Yunus! Saya minta Bapak bicara
jujur! Apa benar Bapak telah memperkosa gadis lugu di desa sebelah, sehingga
dia nekat gantung diri? Apa benar Bapak telah mempermainkan janda kembang yang
ada di samping sekolah itu? “
Lelaki itu benar-benar terkejut, tak ada
kata yang mampu diucapkannya. Tak terduga olehnya tuduhan itu bertubi-tubi
justru datang dari anaknya sendiri.
“Mengapa Bapak diam saja? Jawab! Kalau
Bapak tidak menjawab berarti semua berita itu benar. Apakah Bapak akan
menjadikan saya sebagai mangsa berikutnya? Jawab, jawab Pak!“
“Mala, bagaimana mungkin aku melakukan semua
itu? Mala aku ini .....”
“Mala? Apa Bapak bilang tadi, Mala?“
“Ya, Mala. Kau adalah Mala yang kucari
selama ini. Tahukah kau, bahwa aku pindah kesini justru karena kamu, Mala?”
“Akh, Bapak jangan mengalihkan
pembicaraan! Sekarang jujur saja, apakah Bapak akan menjadikan saya sebagai
mangsa Bapak berikutnya?“
“Mala, bagaimana mungkin aku “
“Mala, Mala, Mala lagi. Aku bukan Mala!
“
“Ya, bagaimana mungkin aku melakukan
semua itu. Padahal kau adalah anakku, Mala. Kau bisa menanyakan langsung kepada
kakekmu, Mala.”
“Mala? Mala memang anak bapak, tapi aku
bukan Mala. Aku Rindu, Rindu Kesuma Wardani .”
“Kau memang Mala, cucuku.“ Tiba-tiba
kakeknya berdiri tegap di ambang pintu. Hal ini sangat mengejutkan Rindu.
Lebih-lebih lagi lelaki itu.
“Akulah yang mengganti namamu. Dari
Kemalawati Dwifebrianti menjadi Rindu Kesuma Wardani. Kau memang Mala cucuku.“
Tak diduga dia akan bertemu mertuanya di
rumah ini. Orang yang selama ini selalu menghindar, yang tidak
memperkenankannya menemui istrinya, ternyata tiba-tiba saja berdiri di
depannya. Apa yang terjadi? Mertuanya, malam ini tampil beda, dalam pakaian
serba hitam lengkap dengan parang pusaka dipinggangnya.Ya malam ini beliau
tampil sebagai seorang jagoan. Ada apa?
Sejenak lelaki itu bingung, untuk apa
senjata di pinggang itu? Untuk apa? Untuk membantainya? Atau orang lain? Tetapi
tak ada sedikitpun suara nada-nada marah, tak ada sedikitpun wajah beringas.
Yang terlihat adalah wajah layu, bukan wajah seorang jagoan. Mereka
berpandangan lama sekali, bicara hanya antara hati. Dicobanya mendekat, terasa
ada sesuatu yang hilang selama ini muncul kembali yaitu rasa rindu. Ya rasa rindu
yang mendalam di antara mereka. Dia memberanikan diri memeluknya. Ternyata
mertuanya itu diam saja. Mereka berpelukan, lama sekali. Pelan-pelan ada
sesuatu yang tak sanggup terbendung, yaitu air mata. Air mata itu perlahan
membasahi pipi. Terasa seluruh tubuh mertuanya bergetar. Pastilah mertuanya itu
juga menangis seperti dia. Inikah rindu yang terhalang selama ini?
“Hei, apa-apaan ini? Kakek bukannya
marah, malah berpelukan. Ada apa ini? “
“Mala,. Yunus itu adalah ayahmu.”
“Bagaimana mungkin, ayahku kan sudah
meninggal dalam suatu kecelakaan tujuh belas tahun yang lalu?”
“Tidak, ayahmu masih hidup. Aku telah
berbohong selama ini. Maafkan aku Mala. Akulah yang memisahkan kalian, panjang
ceritanya Mala. Percayalah dia memang ayahmu. Yunus mulai malam ini kau harus
datang ke rumah menjenguk isterimu. Barangkali dengan kedatanganmu, dia akan
sembuh.”
“Jadi, Bapak adalah ayahku?” Rindu alias
Mala itu masih ragu.“ Apakah benar Pak Yunus ini ayahku?” Pastilah pertanyaan
di hatinya itu sudah terjawab malam ini.
Mala memperhatikanku ayahnya, ada rasa
haru. Bagaikan kilat dia memeluk tanpa ragu-ragu. Mereka melepaskan
sejadi-jadinya. Untuk kedua kalinya malam ini dia menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba dari jauh di luar sana
terdengar riuh rendah suara orang bersahut-sahutan. Orang-orang kalap itu terus
bergerak menuju rumah Pak Yunus. Tetapi disana telah berdiri menantang, Kakek
Ibas Agau.berpakaian serba hitam. Biasanya, kalau sudah begini tak ada seorang
pun yang berani macam-macam.
Semua bingung, ada apa? Apa mungkin
orang itu sudah dibantainya? Semua menunggu, menunggu dan terus menunggu apa
yang akan diucapkan jagoan tua itu. Ternyata disana ada Darman sang pemimpin
itu.
“Kalian mau tahu?”
Suara itu begitu tenang, berat dan masih
berwibawa.
“Sebaiknya kalian pulang saja, tak ada
yang perlu dibantai malam ini. Dengarkan baik-baik! Orang yang kalian tuduh
macam-macam itu adalah.......ayah Rindu sendiri. Nanti akan kuceritakan mengapa
mereka terpisah.”
Semuanya bingung, apa benar? Pelan-pelan
mereka mulai mengerti, pantas saja Kakek Ibas Agau tidak marah, ternyata orang
itu adalah menantunya sendiri. Orang-orang berigas itu pun berubah drastis. Tak
ada lagi wajah beringas buas dan ganas. Semuanya pulang ke rumah masing-masing.
Tiba-tiba datang beberapa orang polisi, tetapi orang-orang itu sudah pulang.
Setelah bicara seperlunya polisi itu pun pulang. Kini hanya ada Darman yang
termangu seorang diri.
Banjarmasin, Januari
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar