RINDU DI BUMI AMUK
HANTARUKUNG BAGIAN 03
03
Tiba-tiba
ponsel Bram bergetar. Dia terkejut, ia gelisah, ia tegang. Apakah ini dari
pengirim SMS lebay tadi? Ketika dibukanya ternyata benar. Waw! Panggilan ini
memang benar dari si pengirim SMS lebay itu. Karena nomor ini sudah disimpannya
dengan nama SMS Lebay. Jadi begitu dibuka maka yang tampil di layar ponsel
adalah SMS Lebay. Ia cepat-cepat keluar, kurang elok rasanya kalau menerima
telpon di dalam kelas.
“Assalamu
alaikum,” Ia membuka percakapan .
Sempat
terkagum-kagum juga Bram mendengar sahutan salam begitu lembut. Mendengar
suaranya pasti perempuan ini cukup menarik. Setidaknya menarik dari segi tutur
katanya yang sejuk dan menawan itu.
“Ini dari
siapa dan di mana?” tanya Bram dengan
meniru suara yang sama lembutnya.
“Hmmm.
Kasih tau nggak ya?”
“Kasih
tau dong.”
“Hmmm.
Mau tau aja atau mau tau banget?”
“Mau tau
banget pastinya, hehehe.”
Lucu juga
ya ia terjebak berbahasa gaul. Tetapi demi sesuatu yang ingin diketahui, ia
sengaja mengalah ikut berbasa-basi yang memang sudah basi itu.
“Hahaha,
maaf ya Bapak keren. Sepertinya belum saatnya deh dikasih tau.”
“Lho?
Kenapa belum saatnya? Misterius banget.”
“Ya itu.
Benar itu. Itu baru benar.”
“Benar
apanya?”
“Ya benar
misteriusnya. Sebut saja gadis misterius.”
“O masih
gadis ya? Kirain udah janda, hehehe.”
“Masih
seger-seger gini, masa dibilang udah janda? Yang benar aja. Mau tau nggak.”
Tiba-tiba
suara itu terputus. Tepatnya itu memang sengaja diputus. Tentu gadis misterius
lebay itu tersinggung dikatakan sudah janda. Lucu juga ya? Ia tak terima
disebut janda. Bram penasaran. Ia ingin
tahu siapa gadis lebay itu. Tiba-tiba terdengar bunyi bell jam pelajaran ke
tiga, berarti waktu ulangan sudah habis. Cepat ia masuk ke kelas dan
menyuruh siswanya mengumpulkan lembar jawaban. Seperti biasa setelah tanya
jawab seperlunya, iapun memberi salam dan terus keluar menuju ruang guru.
Pada saat
jam pelajaran ke tiga di ruang guru ini biasanya hanya ada satu dua orang guru
saja. Bahkan terkadang ruang guru ini kosong. Karena Ibu guru yang tidak
mengajar biasanya keluar berbelanja`di pasar desa yang tidak jauh dari sekolah.
Sedang guru-guru yang tidak mengajar biasanya ada di ruang tata usaha.
Saat ini
yang ada di ruang guru hanya Bram dan Pak Saberi Pesuruh Sekolah yang menaruh
nasi bungkus dan air mineral kemasan di tiap meja guru. Bram sempat kebingungan
karenanya.
“Ada apa
ini Pak?”
“Ada yang
syukuran. Anak Ibu Sinar baru diangkat.”
“O gitu
ya? Sama dong dengan saya. Saya juga baru diangkat, hehehe.”
“Pak Bram
mau syukuran juga ya?”
“Mau
juga. Tapi nanti lah kalau sudah terima rapel gaji, hehehe.”
Sekarang
Bram baru ingat bahwa ia belum syukuran. Bagaimana mau syukuran? Duitnya kan
belum ada? Sebaiknya nikmati saja syukuran nasi bungkus yang ada ini. Kebenaran
pagi tadi ia juga belum sarapan. Sepertinya ini nasi kuning kesukaannya. Ia
langsung tergiur ingin menikmatinya. Tetapi doanya belum dibacakan. Ia pun
bersabar sebentar sambil menunggu guru-guru yang lain.
Ia
memeriksa jawaban siswa. Tetapi baru beberapa lembar ia sudah merasa jenuh, tak
bersemangat. Bukan karena nasi kuning itu, tetapi ada masalah lain yang
mengganjal di hatinya. Yaitu
tentang rencana Julak Idar
ingin menjadikannya anak angkat.
Selain itu ia bingung mengapa akhir-akhir jarang bertemu perempuan berjilbab
biru itu. Apakah ada kaitannya dengan Julak Idar? Atau? Mungkinkah ia itu putrinya Julak Idar? Dan pagi ini ada lagi
masalah baru, yaitu masalah SMS lebay yang misterius itu. Semuanya itu saling
bertabrakan di hatinya.
Bell
istirahat pertama baru saja dibunyikan, beberapa guru mulai berdatangan
memasuki ruang guru dengan wajah ceria karena melihat ada nasi bungkus di meja
masing-masing. Beberapa di antaranya langsung duduk dan yang lainnya mengambil
air minum lalu membawanya ke meja masing-masing. Selanjutnya Pak Haji Supian
Guru Agama langsung memimpin doa dan yang lainnya mengaminkan. Hanya dalam
waktu sekejap ramailah sendau gurau guru-guru yang tengah menikmati berkah
syukuran itu. Sebagai orang baru ia ikut larut dalam silaturrahim dan
kebersamaan di sekolah ini.
“Pak, ada
pesan dari Julak Idar,” sapa Ibu Risna tiba-tiba sudah bediri di depannya.
“Ah Ibu. Bikin kaget aja. Pesan apaan
Bu?”
“Katanya Bapak diminta datang ke rumah.”
“Sekarang ya Bu?”
“Ya nanti
lah. Sekarang kan masih jam kerja? Pak Baswenda kok semangat gitu?”
“Hahaha,
bersemangat apaan?”
“Ya,
semangat gitu. Kangen sama si jilbab biru itu ya?”
Ia
langsung terperanjat mendengar gurauan yang mengait-ngaitkan Julak Idar dengan
si jilbab biru itu. Pantas saja kalau ada Julak Idar di warung katupat itu,
pasti di situ tak ada si jilbab biru. Apakah memang ada kaitannya? Ataukah cuma
kebetulan saja?
“Hahaha,
ada-ada saja Ibu ini. Sejak kapan ibu jadi kurir Julak Idar?”
“Saya
tiap hari lewat rumah beliau. Lagi pula saya ini keponakannya? Jadi wajarlah
dititipi pesan. Katanya ada yang mau dibicarakan. Kayanya masalah serius Pak.”
“Serius? Masalah apa?”
“Wah,
kalau itu saya nggak tahu. Bapak tanyakan aja langsung.”
“Oh iya
ya? Tapi saya tidak tahu rumahnya.”
“Wah, itu
gampang. Nanti ikuti saya. Tidak jauh kok. ”
“Terima
kasih, Bu.”
“Ya,
sama-sama Pak.”
Setelah
menyampaikan pesan, Ibu Risna kembali ke ruang BK. Sementara guru-guru yang
lain menikmati nasi bungkus syukuran itu, Bram justru masih termangu. Ia baru
sadar bahwa yang dibicarakan tadi adalah sebuah janji. Mau tidak mau ia harus
menemui Julak Idar siang ini. Tentu Julak Idar sangat kecewa jika ia tidak
datang. Syukur-syukur ada makan siangnya. Kalau tidak? Wah bisa kelaparan.
***
Sesuai
pembicaraan dengan Ibu Risna tadi, ia mengikuti Ibu Risna melintas jalan-jalan
tembus di sela-sela rumah penduduk. Meskipun yang mereka lalui itu hanya jalan
kecil tetapi jalan-jalan itu sudah diperkeras dengan semen Corcoran. Bahkan
juga terasa sejuk dan segar karena pada waktu siang pohon-pohon itu melepaskan
oksigen lewat daun-daunnya. Ibu Risna berhenti di pertigaan jalan di bawah
pohon rindang. Nampak di kejauhan
sana sebuah rumah tua di kelilingi pohon kelapa dan pepohonan lainnya.
“Itu
adalah rumah Julak Idar. Bapak langsung belok kiri, saya langsung pulang, kita
berpisah di sini.”
“Makasih
Bu.”
“Ya,
sama-sama.” Jawab Ibu Risna masih belum jalan.
“Ada apa
Bu?”
“Pak
Baswenda, ini rahasia lho. Jangan bilang-bilang ya?”
“Ah Ibu
bikin kaget saja. Memangnya rahasia apaan sih? Nggak ada yang dengar.”
“E, jangan
angap enteng. Pohon-pohon di sini semuanya punya telinga lho?”
“Ah, masa
sih?”
“Ya nanti
juga Bapak tahu sendiri, hahaha.”
Ibu Risna
langsung pergi sambil tertawa kecil, dan akhirnya hilang dari pandangan mata di
balik pohonan sawo yang ada di ujung sana. Kini tinggal ia yang masih bingung
karena gurauan Ibu Risna tadi yang membuat dadanya jadi berdebar-debar. Ada apa
ini? Padahal tadi biasa-biasa saja. Ia memperhatikan rumah tua itu. Tidak perlu
pikir panjang lagi ia langsung belok kiri dan berhenti di halaman rumah itu.
Pintunya terbuka. Rumah ini sudah dihuni beberapa generasi, terlihat alkah
keluarga yang ada di samping rumah.
Dari
balik jendela, Julak Idar memperhatikan Bram yang masih termangu di atas
kendaran bebeknya. Pelan-pelan Bram turun dari kendaraannya lalu menaiki
tangga. Julak Idar muncul dari balik pintu masih dalam pakaian sehabis sholat
dzuhur. Kharisma jagoannya masih terasa. Kumis melintang dan gelang bahar di
tangan kanannya membuat penampilannya ditakuti dan disegani.
“Assalamu
alaikum Abah,” kata Bram memberi salam dengan penuh rasa hormat.
“Wa
alaikum salam. Mari masuk Guru. Sepatunya tidak usah dilepas.”
Meski
Julak Idar tidak keberatan ia tetap melepas sepatu sebelum masuk ke dalam
rumah. Karena sangat tidak elok bertamu tanpa melepas sepatu. Bukankah adat
istiadat budaya Banjar tidak pernah memakai sandal atau sepatu di dalam rumah
sendiri? Apalagi di rumah orang? Bram masuk ke ruang tamu yang begitu
sederhana. Di sini tak ada kursi tamu selain hambal permadani.
“Ya
beginilah rumah Abah. Maklumlah rumah orang kampung.”
“Wah ini
juga rumah Abah. Rumahnya sejuk segar dan nyaman.”
“Maaf,
Abah tinggal ke dalam sebentar ya”
“Ya
silakan Abah.”
Sementara
Julak Idar ke dalam, ia memperhatikan foto-foto
yang dipajang di dinding. Di antaranya ada foto Julak
Idar sedang menerima penghargaan dari Gubernur. Dan ada juga beberapa
foto yang tidak begitu jelas baginya.
Astagfirullah!
Tiba-tiba
ia terkejut melihat fotonya sendiri juga ada terpampang di dinding. Bagaimana
mungkin foto itu bisa ada di sini? Dan lebih terkejut lagi, ia malihat fotonya
bersanding dengan seorang gadis jelita.
Astagfirullah!
Itu kan
foto perempuan berjilbab biru itu? Sementara Bram masih bingung termangu-magu,
tiba-tiba muncul Julak Idar.
“Guru,
masuk Guru,” kata Julak Idar membuyarkan lamunan Bram.
Bram
mengikuti masuk ke ruang dalam. Ternyata di sini sudah tersaji santapan makan
siang yang memancing seleranya.
“Guru, silakan
dimakan. Abah tidak tahu kesukaan Guru, jadi Abah sediakan semua ikan-ikan ini.
Silakan dinikmati mana yang Guru suka.”
Memang
benar berbagai masakan ada di sini. Ada paisan
patin19, jarang asam kepala baung, haruan bapanggang20, haruan basanga21, haruan
masak habang, papuyu basanga22,
papuyu baubar23, gangan humbut24, gangan waluh25,
gangan asam, urapan, sambal acan asam
binjai. Pokoknya semuanya yang membangkitkan selera makan ada di
sini.
“Iya,
Abah. Semuanya ulun suka. Kebetulan Ulun juga belum makan siang.”
“Kalau
begitu Guru makan saja semuanya. Mari kita habiskan semuanya, hehehe.”
“Ya Abah,
tapi nggak bisa semuanya.”
“Kalau
begitu makan yang Guru suka saja.”
Bram
bingung mau yang mana semuanya ia suka. Padahal ia ingin
makan di warung yang ada paisan26 dan panggangan
panggangan. Ternyata itu ada di sini. Alhamdulillah.
“Ini
semua Abah yang masak?”
“Bukan.
Ini semuanya Idang yang memasaknya. Idang memang pandai masak-memasak.”
“Ulun
kira Abah yang masak. Idang itu siapa Abah?”
“O iya.
Abah lupa memperkenalkannya,” jawabnya dan langsung memanggilnya.
“Dang
kaluar Dang.Bakumpul-kumpul27
makanan di sia28.”
Muncul
gadis semampai berkulit kuning langsat berwajah manis hidung mancung bibir
tipis basah merekah dan bermata bening. Ia mengenakan baju gamis warna merah
hati berenda-renda membuat gadis itu semakin anggun. Ternyata gadis itu bukan
hanya angun tetapi juga senyum manisnya itu sudah menukik tajam ke ujung
jantung. Senyum inilah yang membuat Bram terkagum-kagum sehingga ia tak mampu
berkedip. Ia tidak mengetahui bahwa perempuan ini sengaja memilih gamis
kesayangannya ini hanya untuk pertemuan dengan lelaki yang sudah menawan
hatinya ini. Idang nampak malu-malu tapi suka, membuat Bram terkejut sekaligus
suka. Astagfirullah. Ia terkejut dan terpesona.
“Dang,
ayu Dang kita makanan.”
Idang
malu-malu kucing duduk di samping Bram. Ia sengaja duduk di samping agar tak
langsung berhadapan. Bram jadi merasa serba salah. Mimpi apa tadi malam?
Ternyata bukan hanya Bram yang terkejut dibuatnya, tetapi Julak Idar juga
terkejut melihat dua orang yang berdampingan di depannya. Sesaat ia hanya bisa
melongo bingung seakan melihat Rahmadi dan istrinya. Tak terasa air matanya
jatuh berlinang. Jagoan tua itupun tak mampu menahan isak tangisnya. Bram jadi
bingung, ada apa ini?
Sementara
itu sedikitpun Bram tidak mengenal
bahwa gadis yang duduk di samping ini perempuan
berjilbab biru yang sudah mencuri hatinya itu. Karena ini ia tidak
berjilbab, penampilannya jadi jauh berbeda dari perempuan yang ditemuinya di
warung katupat Kandangan itu. Meski berulang kali ia mencuri-curi pandang,
tetapi tetap saja ia tidak
mengenalnya. Berbeda halnya dengan perempuan itu,
sejak awal ia sudah tahu bahwa tamu yang diundang Abah makan siang ini adalah
guru baru yang telah mencuri hatinya. Justru pertanyaan yang sangat mengganggu
pikirannya adalah, Apakah lelaki ini tetap akan menerimanya jika mengetahui
bahwa ia sebenarnya adalah seorang janda?
“Tambah
lagi nasinya Pak.”
Idang
mencoba memecah kekakuan dengan suara lembut menawan begitu tiba-tiba itu
membuat Bram jadi tergagap-gagap dibuatnya.
“Oh,
I .. iya, iya sa .. saya mau nambah lagi nih. Masakannya enak,
aku suka.”
“O gitu
ya? Yang mana?”
“Semuanya, ya semuanya enak.”
“Tambah
lagi nasinya Pak?” tanya Idang tersenyum malu-malu kucing.
Astagfirullah, ternyata bukan hanya
senyumnya yang menawan tetapi kerling matanya yang sendu itu juga menyejukkan
dan memukau. Jelas terlihat saat keduanya saling lirik sesaat tanpa kata tanpa
suara. Bicara hanya antara mata. Kemudian keduanya sama-sama tertunduk. Bicara
hanya antara hati. Aneh, Bram merasa tidak asing dengan wajah si Idang ini. Ia
merasa pernah bertemu beberapa kali. Tapi ia lupa kapan dan dimana. Setelah
berkali-kali memperhatikan, tiba-tiba ia terkejut.
“Astagfirullah ini kan perempuan berjilbab biru itu?” bisiknya di dalam
hati.
Ternyata
benar, tidak salah lagi. Si Idang ini adalah perempuan berjilbab biru yang
sudah mencuri hatinya itu. Yang kata Ibu Risna namanya Rahayu Agustina.
Mimpi apa
ia tadi malam? Sehingga hari ini berjumpa. Bukankah beberapa hari ini ia selalu
gagal menemuinya di warung katupat itu? Mengapa ia ada di sini? Apakah
ia anak Julak Idar?
Sementara ia masih bingung, Julak Idar terus saja makan
ia berpura-pura tak melihat apa-apa. Padahal jelas
terlihat ada sesuatu yang lain antara Bram dan mantan menantunya ini.
“Lho,
katanya mau nambah lagi?” tanya Agustina.
“O iya,
aku lupa. Aku mau nambah lagi nasinya.”
Bram mau
menambah nasinya, tetapi entah apa yang membuat Agustina berinisiatif lebih
dahulu. Akibatnya entah sengaja entah tidak, ternyata tangan Bram justru
menangkap tangan Agustina. Kejadian ini membuat keduanya tertegun, beradu
pandang dan bertatap mata lama sekali. Tiba-tiba mereka sadar saat mendengar
batuk-batuk kecil Julak Idar. Cepat keduanya melepaskan tangan. Kini dada
keduanya jadi berdebar-debar kencang. Masing-masing merasa ada gemuruh
menggelegar bagai guntur dan halilintar saling kejar saling sambar. Muka merah
menyala, sekujur tubuhnya jadi gemetar. Serasa ada gempa bumi dan tanah longsor
mengoncang jantung. Melihat gelagat yang agak lain itu, Julak Idar berpura-pura
sakit perut, wajahnya meringis layaknya orang kesakitan.
“Ada apa
Abah?” tanya Bram ikut merasakan kesakitan itu.
“Abah
sakit?” tanya Agustina.
Bram
sedikit bingung melihat Abah tiba-tiba sakit. Padahal tadi Abah baik-baik saja
tak ada tanda-tanda sakit. Tapi mengapa Agustina tak terlihat bingung? Bahkan
terlihat geli menahan tawa kecilnya. Apakah Julak Idar hanya berpura-pura?
“Maaf,
Abah sakit perut kekenyangan. Abah mau ke belakang. Teruskan kalian makan ya.”
Abah cepat berdiri langsung pergi. Keduanya tersenyum kegirangan.
Mereka sadar ternyata Abah itu hanya berpura-pura. Itu artinya permainan mereka sudah direstui.
Setelah gelegar gemuruh di dada mereka itu mereda, Agustina menambahkan nasi di
piring lelaki yang diidamkannya ini. Kemudian ia masuk ke ruang dalam, sebentar
kemudian datang lagi membawa menu sepesial beberapa potong iwak haruan basanga
dan semangkuk gangan humbut bacampur waluh..Ayu memasukkan gangan dan dua
potong haruan basanga ke dalam piring Bram.
Bram senang sekali mendapat perlakuan
istimewa ini. Tetapi begitu makanan itu masuk ke mulutnya ia terkejut. Ada apa
ini? Agustina tertunduk malu dengan senyum mesra tersungging di bibirnya yang
tipis selalu basah itu. Bram mencicipi makanan itu sekali lagi. Tenyata benar,
makanan ini rasanya berbeda dengan makanan yang dimakannya tadi. Yang ini
rasanya lebih asin. Kata orang tua-tua dulu kalau rasanya asin seperti ini
berarti yang memasak minta kawin. Agustina
sadar betul bahwa ia sengaja menyampaikan pesan rahasia lewat gangan humbut
bacampur waluh dan haruan basanga ini. Ia memperhatikan dengan seksama apakah
lelaki idamannya ini dapat menangkap sinyal yang dikirimnya itu. Entah apa yang
menyebabkannya mengambil inisiatif ini. Sebenarnya ia sangat malu melakukannya.
Karena itu sama dengan merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan.
Mestinya kan pihak lelaki yang menyatakan isi hatinya? Ini kan cara gadis-gadis
zaman neneknya dulu mengungkapkan cintanya? Tak ada salahnya kan kalau dicoba?
Inilah warisan nenek moyang yang dianggapnya paling efektif saat ini.
Bram menyadari bahwa rasa asin ini bukan
karena terlalu banyak garam. Tetapi ini memang disengaja. Bukankah sajian yang
lain rasanya lezat dan nikmat luar biasa? Ia langsung teringat kisah-kisah
zaman dulu.
Diamatinya perempuan yang masih
tertunduk itu, pelan-pelan menggangkat muka. Dan lalu keduanya pun bertatapan
dengan tatapan penuh makna.
“Alhamdulillah,” bisik hatinya.
Ternyata perempuan ini ada hati juga
kepadanya. Itu berarti ia tidak bertepuk sebelah tangan. Nampak senyum
malu-malu menghias wajahnya. Bram diam-diam melirik ternyata perempuan ini juga
meliriknya. Aduh, Agustina tak tahan lama-lama menatap lelaki idamannya ini. Ia
kembali tertunduk malu, senang, riang dan gembira campur aduk jadi satu. .
“Alhamdulillah, terima kasih,” katanya
keceplosan di bibirnya yang indah itu.
“Terima kasih untuk apa?” tanya Bram
setengah berbisik.
“Oh iya, apa ya? Ya terima kasih aja,”
jawabnya juga kebingungan.
“Hahaha, iya ya? Ya terima kasih juga,
hehehe,” sahut Bram ikut-ikutan.
“O iya, bagaimana Pak? Enak?” Tanyanya
mengalihkan topik pembicaraan.
“Yang ini?”
“Iya, yang itu. Bagaimana rasanya Pak?
Enak nggak?” tanyanya sekali lagi.
“O ini? Enak … enak kok. Aku suka.”
“Suka?”
“Ya, aku suka.”
“Tapi Bapak nggak bohong kan?”
“Nggak. Nggak bohong. Aku suka,”
“Tapi Bapak nggak merasa …. merasa apaaaa
gitu?“
“Oh iya, rasanya kok aneh gini ya?”
“Tapi Bapak suka kan?”
“Oh iya, aku suka rasanya. Ya aku suka
rasa a…”
“Rasa apa Pak?”
“Ya rasa ……. ini. Ya aku suka rasa yang
ini.”
“Kenapa Pak?”
“Mau tau alasanya ya?
“Iya
… iya .. Pak.”
“Liwar
nyamannya29.”
“Ah Bapak bisa aja menggombal.”
“Siapa yang menggombal? Ini memang luar
biasa enaknya.”
“ Apanya yang luar biasa Pak?”
“Ya rasanya yang sepesial ini tak ada
tandingannya. Paling enak sedunia.”
“Ah Bapak bisa aja. Terlalu tinggi
pujiannya Pak. Nanti jatuhnya sakit.”
“Yang jelas apapun rasanya aku suka.
Suka banget.”
“Kenapa Pak?”
“Karena …….”
“Karena apa Pak?” tayanya pura-pura
mendesak. Padahal sebenarnya ia sudah tahu bahwa pesan yang dikirimnya lewat
menu sepesialnya itu sudah ditangkap idamannya ini.
“Karena kata orang tua-tua dulu, kalau
rasa yang seperti ini tandanya bahwa yang memasaknya ingin … ”
Belum habis jawaban itu Agustina cepat
menutup mulut lelaki itu dengan tangannya. Bram terkejut dan bingung karenanya.
Sampai Agus menarik tangannya Bram masih bingung, sekonyong-konyong badannya
panas dingin dan kaku tak bergerak. Keduanya diam tak ada yang bersuara, bicara
hanya antara hati. Sementara Agustina wajahnya merah menyala dadanya
berdebar-debar dan sekujur tubuhnya pun gemetar. Malu dan gembira campur aduk
jadi satu di hatinya. Ia tak ingin lelaki idamannya ini melihat tanda-tanda
yang nampak di wajahnya. Ia cepat berdiri dan masuk ke ruang dalam. Kini
tinggal Bram duduk termangu menghadapi sisa makan siang. Dia bingung apakah ia
yang harus membereskan semuanya. Ya apa boleh buat karena tak ada orang lain,
apa salahnya kalau ia membereskannya. Ia mulai mengambil piring-piring dan
mengumpulkannya jadi satu. Tiba-tiba ia melihat secarik kertas di tempat
duduk Agustina tadi. Ternyata di kertas itu tertulis nomor ponsel.
Alhamdulillah, akhirnya dapat juga nomor
rahasia ini. Wah, bakal seru nih nantinya. Bisa SMS-an bisa telpon-telponan.
Cepat ia mengambil kertas itu dan langsung menyimpannya. Tiba-tiba muncul Julak
Idar.
“Guru, jangan guru, Biar Idang saja
membereskannya,” cegah Julak Idar saat melihat Bram mengumpulkan piring-piring
itu.
***
Lihatlah Jalan Bukhari yang mulus berliku itu begitu
manja membelah desa-desa di sepanjang liuk-liuknya. Jalan Bukhari adalah jalan
utama dari kota Kandangan yang melalui Desa Amawang, Sungai Paring, Pasar Muhara
Ulin, Wasah. Simpur, Simpur Padang, Sirih, Tambingkar sampai ke Desa Kalumpang.
Termasuk juga Desa Hantarukung yang tidak dilalui Jalan Bukhari, tetapi muara
jalan simpang menuju ke Desa Hantarukumg itu berada di desa Wasah Hilir.
Tepatnya di pertigaan Jalan Bukhari dan Simpang Hantarukung di dekat Mesjid
Su’ada.
Desa
Wasah, Hantarukung, Simpur dan Garunggang begitu berkesan di hati Bram. Kenapa?
Karena desa-desa ini secara langsung selalu saja menawarkan eksotika perdesaan
di Hulu Sungai Selatan yang luar biasa di hatinya. Semuanya itu berawal dari
ketertarikannya pada perempuan berjilbab biru yang ditemuinya di warung katupat
Kandangan itu. Perempuan yang aslinya bernama Rahayu Agustina, oleh
teman-temannya biasa dipanggil Agus. Di rumah ia biasa dipanggil Idang. Sedang
Bram sengaja memanggilnya dengan nama yang berbeda. Dia menyebutnya Ayu.
Bukankah nama perempuan berjilbab biru itu adalah Rahayu Agustina? Jadi ia
lebih suka dan lebih nyaman memanggilnya Ayu saja.
Bram
mengira bahwa Ayu adalah anak semata wayang Julak Idar. Padahal bukan. Bram
sama sekali tidak mengetahui, karena memang tak ada yang memberi tahu. Di sini
hanya Bram seorang yang tidak mengetahui rahasia keluarga itu. Jadi ia
enjoy-enjoy saja. Bahkan kini ia sudah pindah dan menetap di desa
Hantarukung ini. Dia tinggal di rumah keluarga Julak Idar yang sudah lama
ditinggalkan pemiliknya hijrah dan bermukim di negeri jiran Malaysia. Sedangkan
anak-anaknya juga sudah berkeluarga dan menetap di Brunei Darussalam dan
ada juga yang tinggal menetap di Riau Kepulauan.
Rumah itu
berada di tengah kebun kelapa yang statusnya digadaikan kepada
Julak Idar. Rumah itu memang agak jauh dari tempat
tugasnya, tetapi lumayan buat tempat tinggal
gratisan. Tentu saja tadinya rumah ini fasilitasnya
serba kurang memadai. WC-nya memang ada tapi letaknya agak jauh di belakang
rumah. Kamar mandi juga tidak ada. Kalau mau mandi harus ke sumur di samping
rumah. Listriknya juga tidak ada. Atap-atapnya juga banyak yang sudah tiris. Namanya
juga rumah kosong. Rumah ini tidak disewakan, karena memang tak ada yang mau
menyewa. Kalau ditinggalkan pemiliknya sudah pasti menjadi rumah tak bertuan,
akhirnya akan hancur bahkan akan rubuh dengan sendirinya.
Julak
Idar ingin anak angkatnya tinggal di rumah itu. Ia bersedia menanggung semua
biaya merenovasi rumah itu. Diawali dengan pergantian atap secara total dengan
atap seng berbentuk genting. Selanjutnya membangun WC dan kamar mandi yang juga
dilengkapi dengan pompa air yang ditarik dengan tenaga listrik. Untuk menjaga
kebersihan air tentu jarak antara pompa air dengan WC minimal harus enam meter.
Untuk mendapatkan air Julak Idar juga harus memasang listrik. Setelah semuanya
rampung barulah rumah itu bisa ditempati. Kini rumah itu semuanya sudah lengkap
kecuali fasilitas MCK dan air minum yang masih menggunakan air sumur pompa.
Karena rumah ini jauh dari jaringan pipa PDAM.
Untuk
menempati rumah itu Julak Idar melaksanakan selamatan sekaligus juga prosesi
upacara adat ma-angkat anak30
kepada Bram Baswenda yang biasa dipanggilnya Guru Ibas ini.
Masih
jelas dalam ingatan Bram waktu itu, Julak Idar sebagai guru kuntau bukan hanya
mengundang tetangga sekitar tetapi ia juga mengundang semua muridnya dari
segenap pelosok di kawasan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Hal ini merupakan
bentuk peringatan kepada warga sekitar agar tidak ada yang berani macam-macam
terhadap anak angkatnya ini. Siapa saja yang merendahkan anak angkatnya ini,
sama dengan merendahkan martabatnya sendiri. Tentu saja Bram tidak menyadari
bahwa semua undangan undangan terkagum-kagum melihat wajahnya bukan karena
ketampanannya, tetapi karena wajahnya sama dan serupa dengan wajah Rahmadi
Saputera yang sudah meninggal dua tahun yang lalu.
***
Pagi ini
Bram menikmati secangkir kopi instant yang pekat seduhan sendiri. Meski ada
iklan yang meyatakan bahwa ini adalah kopi ternikmat di dunia, tetapi baginya
tetap saja tidak senikmat kopi asli seduhan almarhumah Yuni yang sudah
mendahuluinya itu. Kenapa? Karena kopi asli yang biasa disajikan almarhumah
Yuni selalu saja menawarkan berjuta sayang dan cinta di setiap seruputannya.
Kopi itu bukan hanya manis karena gula tetapi juga manis karena senyum Yunita
yang selalu bersarang di relung hatinya. Beda sekali dengan kopi yang ini.
Karena secangkir kopi tanpa cinta tentu terasa hampa. Terbetik juga di hatinya
akan terasa lebih nikmat jika kopi ini disajikan oleh Ayu, karena kopi yang
pernah disajikan Ayu tidak jauh beda dengan kopi buatan almarhumah Yuni.
Tiba-tiba
HP-nya berbunyi dan terus brbunyi. Ia malas mengangkatnya, Tetapi HP itu terus
saja berbunyi ,kesannya memaksa sekali.
“Menyebalkan sekali. Maunya apa sih?” tanyanya dalam hati dan dengan
berat hati diangkatnya juga HP-nya itu.
“Astaghfirullah. Ini kan nomornya Ayu? Kenapa
tidak dari tadi-tadi saja diangkat? Pasti ia marah besar,” katanya dalam hati
penuh penyesalan.
“Assalamu
alaikum Ayu.”
“Wa
alaikum salam warohmatullah wabarokaatuh. Bapak
di mana?”
“Ya di
rumah saja. nggak ke mana-mana.”
“Bapak
bohong. Masa telpon ulun lawas banar31
kada diangkat-angkat? Memangnya Bapak nggak mau bicara ya?”
“Tadi itu kebetulan lagi di kamar mandi. Masa bawa
HP?”
“Nggak
percaya! Pasti lagi ada tamu. Iya kan? Ini kan pagi Minggu? Jadi banyak yang
datang.”
“Cemburu
ya? Tapi aku suka kok dicemburui sama Ayu.”
“Siapa
yang cemburu? Nggak lucu ah. Bapak kegeeran.
Bapak lagi mengerjakan apa?”
“Sedang
menikmati kopi panas.”
\ “Siapa yang
membuatkan kopinya Pak?”
“Maunya
sih buatan kamu.”
“Pasti
kopi buatan orang lain kan? Ini kan hari Minggu?”
“Ya ini
memang hari Minggu. Memangnya Ayu mau datang ke sini ya? Datang aja. Aku suka kok kalau Ayu mau datang.”
“Benar nih
tidak ada orang lain?”
“Benar.
Masa aku bohong?”
“Bisa saja
kan? Kan lidah tak bertulang?”
“Kalau tak
percaya lihat aja sendiri di sini. Tapi datangnya jangan hanya sendiri ya?”
“Kenapa?
Katanya lihat saja sendiri. Kenapa dilarang?”
“Aku
takut.”
“Takut
apa? Takut diperkosa?”
“Takut
kena fitnah.”
“Kenapa
mesti takut? Nanti Ayu yang tanggung jawab.”
“Di
mana-mana yang harus bertanggung jawab itu lelaki. Masa perempuan yang harus
bertanggung jawab?”
“Itu
berarti Bapak tidak suka sama Ayu ya?”
“Suka.
Suka banget. Tapi bukan begitu caranya. Biar aku saja yang ke sana, sekalian
bersilaturahmi dengan Abah.”
“Ah Bapak
pengecut. Hahaha.”
Nahhh,,, lewar katujunya amun takisah daerah kita ini pak ae. heheee....
BalasHapusSalam kenal Julak...
Asa hibung amun tatamu buhan penulis daerah ne.
Un urang kandangan, andaknya di desa Sungai Kupang. Julak ae