menu

Sabtu, 21 Mei 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 03



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 03

03

       Tiba-tiba ponsel Bram bergetar. Dia terkejut, ia gelisah, ia tegang. Apakah ini dari pengirim SMS lebay tadi? Ketika dibukanya ternyata benar. Waw! Panggilan ini memang benar dari si pengirim SMS lebay itu. Karena nomor ini sudah disimpannya dengan nama SMS Lebay. Jadi begitu dibuka maka yang tampil di layar ponsel adalah SMS Lebay. Ia cepat-cepat keluar, kurang elok rasanya kalau menerima telpon di dalam kelas.
       “Assalamu alaikum,” Ia membuka percakapan .
       “Wa alaikum salam Bapak keren,” sahutnya lembut.
       Sempat terkagum-kagum juga Bram mendengar sahutan salam begitu lembut. Mendengar suaranya pasti perempuan ini cukup menarik. Setidaknya menarik dari segi tutur katanya yang sejuk dan menawan itu.  
       “Ini dari siapa dan di mana?” tanya Bram dengan meniru suara yang sama lembutnya.
       “Hmmm. Kasih tau nggak ya?”
       “Kasih tau dong.” 
       “Hmmm. Mau tau aja atau mau tau banget?”
       “Mau tau banget pastinya, hehehe.”
       Lucu juga ya ia terjebak berbahasa gaul. Tetapi demi sesuatu yang ingin diketahui, ia sengaja mengalah ikut berbasa-basi yang memang sudah basi itu.
       “Hahaha, maaf ya Bapak keren. Sepertinya belum saatnya deh dikasih tau.”
       “Lho? Kenapa belum saatnya? Misterius banget.”
       “Ya itu. Benar itu. Itu baru benar.” 
       “Benar apanya?” 
       “Ya benar misteriusnya. Sebut saja gadis misterius.”
       “O masih gadis ya? Kirain udah janda, hehehe.”
       “Masih seger-seger gini, masa dibilang udah janda? Yang benar aja. Mau tau nggak.”
       Tiba-tiba suara itu terputus. Tepatnya itu memang sengaja diputus. Tentu gadis misterius lebay itu tersinggung dikatakan sudah janda. Lucu juga ya? Ia tak terima disebut janda. Bram  penasaran. Ia ingin tahu siapa gadis lebay itu. Tiba-tiba terdengar bunyi bell jam pelajaran ke tiga, berarti waktu ulangan sudah habis. Cepat ia masuk ke kelas dan menyuruh siswanya mengumpulkan lembar jawaban. Seperti biasa setelah tanya jawab seperlunya, iapun memberi salam dan terus keluar menuju ruang guru.
       Pada saat jam pelajaran ke tiga di ruang guru ini biasanya hanya ada satu dua orang guru saja. Bahkan terkadang ruang guru ini kosong. Karena Ibu guru yang tidak mengajar biasanya keluar berbelanja`di pasar desa yang tidak jauh dari sekolah. Sedang guru-guru yang tidak mengajar biasanya ada di ruang tata usaha.
       Saat ini yang ada di ruang guru hanya Bram dan Pak Saberi Pesuruh Sekolah yang menaruh nasi bungkus dan air mineral kemasan di tiap meja guru. Bram sempat kebingungan karenanya.
       “Ada apa ini Pak?”
       “Ada yang syukuran. Anak Ibu Sinar baru diangkat.”
       “O gitu ya? Sama dong dengan saya. Saya juga baru diangkat, hehehe.”
       “Pak Bram mau syukuran juga ya?”
       “Mau juga. Tapi nanti lah kalau sudah terima rapel gaji, hehehe.”
        Sekarang Bram baru ingat bahwa ia belum syukuran. Bagaimana mau syukuran? Duitnya kan belum ada? Sebaiknya nikmati saja syukuran nasi bungkus yang ada ini. Kebenaran pagi tadi ia juga belum sarapan. Sepertinya ini nasi kuning kesukaannya. Ia langsung tergiur ingin menikmatinya. Tetapi doanya belum dibacakan. Ia pun bersabar sebentar sambil menunggu guru-guru yang lain. 
       Ia memeriksa jawaban siswa. Tetapi baru beberapa lembar ia sudah merasa jenuh, tak bersemangat. Bukan karena nasi kuning itu, tetapi ada masalah lain yang mengganjal di hatinya. Yaitu  tentang  rencana  Julak Idar  ingin  menjadikannya anak angkat. Selain itu ia bingung mengapa akhir-akhir jarang bertemu perempuan berjilbab biru itu. Apakah ada kaitannya dengan Julak Idar? Atau? Mungkinkah ia itu  putrinya Julak Idar? Dan pagi ini ada lagi masalah baru, yaitu masalah SMS lebay yang misterius itu. Semuanya itu saling bertabrakan di hatinya.
       Bell istirahat pertama baru saja dibunyikan, beberapa guru mulai berdatangan memasuki ruang guru dengan wajah ceria karena melihat ada nasi bungkus di meja masing-masing. Beberapa di antaranya langsung duduk dan yang lainnya mengambil air minum lalu membawanya ke meja masing-masing. Selanjutnya Pak Haji Supian Guru Agama langsung memimpin doa dan yang lainnya mengaminkan. Hanya dalam waktu sekejap ramailah sendau gurau guru-guru yang tengah menikmati berkah syukuran itu. Sebagai orang baru ia ikut larut dalam silaturrahim dan kebersamaan di sekolah ini.  
       “Pak, ada pesan dari Julak Idar,” sapa Ibu Risna tiba-tiba sudah bediri di depannya.
       “Ah Ibu. Bikin kaget aja. Pesan apaan Bu?”
       “Katanya Bapak diminta datang ke rumah.”
       “Sekarang ya Bu?”
       “Ya nanti lah. Sekarang kan masih jam kerja? Pak Baswenda kok semangat gitu?”
       “Hahaha, bersemangat apaan?”
       “Ya, semangat gitu. Kangen sama si jilbab biru itu ya?”
       Ia langsung terperanjat mendengar gurauan yang mengait-ngaitkan Julak Idar dengan si jilbab biru itu. Pantas saja kalau ada Julak Idar di warung katupat itu, pasti di situ tak ada si jilbab biru. Apakah memang ada kaitannya? Ataukah cuma kebetulan saja?
       “Hahaha, ada-ada saja Ibu ini. Sejak kapan ibu jadi kurir Julak Idar?”
       “Saya tiap hari lewat rumah beliau. Lagi pula saya ini keponakannya? Jadi wajarlah dititipi pesan. Katanya ada yang mau dibicarakan. Kayanya masalah serius Pak.”
       “Serius? Masalah apa?”  
       “Wah, kalau itu saya nggak tahu. Bapak tanyakan aja langsung.” 
       “Oh iya ya? Tapi saya tidak tahu rumahnya.”
       “Wah, itu gampang. Nanti ikuti saya. Tidak jauh kok. ”
       “Terima kasih, Bu.”
       “Ya, sama-sama Pak.”
        Setelah menyampaikan pesan, Ibu Risna kembali ke ruang BK. Sementara guru-guru yang lain menikmati nasi bungkus syukuran itu, Bram justru masih termangu. Ia baru sadar bahwa yang dibicarakan tadi adalah sebuah janji. Mau tidak mau ia harus menemui Julak Idar siang ini. Tentu Julak Idar sangat kecewa jika ia tidak datang. Syukur-syukur ada makan siangnya. Kalau tidak? Wah bisa kelaparan.

***
       Sesuai pembicaraan dengan Ibu Risna tadi, ia mengikuti Ibu Risna melintas jalan-jalan tembus di sela-sela rumah penduduk. Meskipun yang mereka lalui itu hanya jalan kecil tetapi jalan-jalan itu sudah diperkeras dengan semen Corcoran. Bahkan juga terasa sejuk dan segar karena pada waktu siang pohon-pohon itu melepaskan oksigen lewat daun-daunnya. Ibu Risna berhenti di pertigaan jalan di bawah pohon rindang. Nampak di kejauhan sana sebuah rumah tua di kelilingi pohon kelapa dan pepohonan lainnya.
       “Itu adalah rumah Julak Idar. Bapak langsung belok kiri, saya langsung pulang, kita berpisah di sini.”
       “Makasih Bu.”
       “Ya, sama-sama.” Jawab Ibu Risna masih belum jalan.
       “Ada apa Bu?”
       “Pak Baswenda, ini rahasia lho. Jangan bilang-bilang ya?” 
       “Ah Ibu bikin kaget saja. Memangnya rahasia apaan sih? Nggak ada yang dengar.”
      “E, jangan angap enteng. Pohon-pohon di sini semuanya punya telinga lho?”    
       “Ah, masa sih?”
       “Ya nanti juga Bapak tahu sendiri, hahaha.”
       Ibu Risna langsung pergi sambil tertawa kecil, dan akhirnya hilang dari pandangan mata di balik pohonan sawo yang ada di ujung sana. Kini tinggal ia yang masih bingung karena gurauan Ibu Risna tadi yang membuat dadanya jadi berdebar-debar. Ada apa ini? Padahal tadi biasa-biasa saja. Ia memperhatikan rumah tua itu. Tidak perlu pikir panjang lagi ia langsung belok kiri dan berhenti di halaman rumah itu. Pintunya terbuka. Rumah ini sudah dihuni beberapa generasi, terlihat alkah keluarga yang ada di samping rumah.
        Dari balik jendela, Julak Idar memperhatikan Bram yang masih termangu di atas kendaran bebeknya. Pelan-pelan Bram turun dari kendaraannya lalu menaiki tangga. Julak Idar muncul dari balik pintu masih dalam pakaian sehabis sholat dzuhur. Kharisma jagoannya masih terasa. Kumis melintang dan gelang bahar di tangan kanannya membuat penampilannya ditakuti dan disegani.
       “Assalamu alaikum Abah,” kata Bram memberi salam dengan penuh rasa hormat.
       “Wa alaikum salam. Mari masuk Guru. Sepatunya tidak usah dilepas.”
       Meski Julak Idar tidak keberatan ia tetap melepas sepatu sebelum masuk ke dalam rumah. Karena sangat tidak elok bertamu tanpa melepas sepatu. Bukankah adat istiadat budaya Banjar tidak pernah memakai sandal atau sepatu di dalam rumah sendiri? Apalagi di rumah orang? Bram masuk ke ruang tamu yang begitu sederhana. Di sini tak ada kursi tamu selain hambal permadani.
       “Ya beginilah rumah Abah. Maklumlah rumah orang kampung.”
        “Wah ini juga rumah Abah. Rumahnya sejuk segar dan nyaman.”
       “Maaf, Abah tinggal ke dalam sebentar ya”
       “Ya silakan Abah.”
      Sementara Julak Idar ke dalam, ia memperhatikan foto-foto
yang dipajang di dinding. Di antaranya ada foto Julak Idar sedang menerima penghargaan dari Gubernur. Dan ada juga beberapa foto yang tidak begitu jelas baginya.   
       Astagfirullah!
       Tiba-tiba ia terkejut melihat fotonya sendiri juga ada terpampang di dinding. Bagaimana mungkin foto itu bisa ada di sini? Dan lebih terkejut lagi, ia malihat fotonya bersanding dengan seorang gadis jelita.
       Astagfirullah!
       Itu kan foto perempuan berjilbab biru itu? Sementara Bram masih bingung termangu-magu, tiba-tiba muncul Julak Idar.
       “Guru, masuk Guru,” kata Julak Idar membuyarkan lamunan Bram.
        Bram mengikuti masuk ke ruang dalam. Ternyata di sini sudah tersaji santapan makan siang yang memancing seleranya.
       “Guru, silakan dimakan. Abah tidak tahu kesukaan Guru, jadi Abah sediakan semua ikan-ikan ini. Silakan dinikmati mana yang Guru suka.”
       Memang benar berbagai masakan ada di sini. Ada paisan patin19, jarang asam kepala baung, haruan bapanggang20, haruan basanga21, haruan masak habang, papuyu basanga22, papuyu baubar23, gangan humbut24, gangan waluh25, gangan asam, urapan, sambal acan asam  binjai. Pokoknya semuanya yang membangkitkan selera makan ada di sini.      
       “Iya, Abah. Semuanya ulun suka. Kebetulan Ulun juga belum makan siang.”
       “Kalau begitu Guru makan saja semuanya. Mari kita habiskan semuanya, hehehe.” 
       “Ya Abah, tapi nggak bisa semuanya.”
       “Kalau begitu makan yang Guru suka saja.”
       Bram bingung mau yang mana semuanya ia suka. Padahal ia  ingin  makan  di warung yang ada paisan26 dan panggangan panggangan. Ternyata itu ada di sini. Alhamdulillah.  
       “Ini semua Abah yang masak?” 
       “Bukan. Ini semuanya Idang yang memasaknya. Idang memang pandai masak-memasak.”
       “Ulun kira Abah yang masak. Idang itu siapa Abah?”
       “O iya. Abah lupa memperkenalkannya,” jawabnya dan langsung memanggilnya.
       “Dang kaluar Dang.Bakumpul-kumpul27 makanan di sia28.”
      Muncul gadis semampai berkulit kuning langsat berwajah manis hidung mancung bibir tipis basah merekah dan bermata bening. Ia mengenakan baju gamis warna merah hati berenda-renda membuat gadis itu semakin anggun. Ternyata gadis itu bukan hanya angun tetapi juga senyum manisnya itu sudah menukik tajam ke ujung jantung. Senyum inilah yang membuat Bram terkagum-kagum sehingga ia tak mampu berkedip. Ia tidak mengetahui bahwa perempuan ini sengaja memilih gamis kesayangannya ini hanya untuk pertemuan dengan lelaki yang sudah menawan hatinya ini. Idang nampak malu-malu tapi suka, membuat Bram terkejut sekaligus suka. Astagfirullah. Ia terkejut dan terpesona.
       “Dang, ayu Dang kita makanan.”
       Idang malu-malu kucing duduk di samping Bram. Ia sengaja duduk di samping agar tak langsung berhadapan. Bram jadi merasa serba salah. Mimpi apa tadi malam? Ternyata bukan hanya Bram yang terkejut dibuatnya, tetapi Julak Idar juga terkejut melihat dua orang yang berdampingan di depannya. Sesaat ia hanya bisa melongo bingung seakan melihat Rahmadi dan istrinya. Tak terasa air matanya jatuh berlinang. Jagoan tua itupun tak mampu menahan isak tangisnya. Bram jadi bingung, ada apa ini?
       Sementara itu sedikitpun Bram tidak mengenal
bahwa gadis yang duduk di samping ini perempuan berjilbab biru yang sudah mencuri hatinya itu. Karena ini ia tidak berjilbab, penampilannya jadi jauh berbeda dari perempuan yang ditemuinya di warung katupat Kandangan itu. Meski berulang kali ia mencuri-curi pandang, tetapi tetap saja ia tidak
mengenalnya. Berbeda halnya dengan perempuan itu, sejak awal ia sudah tahu bahwa tamu yang diundang Abah makan siang ini adalah guru baru yang telah mencuri hatinya. Justru pertanyaan yang sangat mengganggu pikirannya adalah, Apakah lelaki ini tetap akan menerimanya jika mengetahui bahwa ia sebenarnya adalah seorang janda?     
       “Tambah lagi nasinya Pak.”
       Idang mencoba memecah kekakuan dengan suara lembut menawan begitu tiba-tiba itu membuat Bram jadi tergagap-gagap dibuatnya. 
       “Oh, I  .. iya, iya sa  .. saya mau nambah lagi nih. Masakannya enak, aku suka.”
       “O gitu ya? Yang mana?”
       “Semuanya, ya semuanya enak.”
       “Tambah lagi nasinya Pak?” tanya Idang tersenyum malu-malu kucing.
       Astagfirullah, ternyata bukan hanya senyumnya yang menawan tetapi kerling matanya yang sendu itu juga menyejukkan dan memukau. Jelas terlihat saat keduanya saling lirik sesaat tanpa kata tanpa suara. Bicara hanya antara mata. Kemudian keduanya sama-sama tertunduk. Bicara hanya antara hati. Aneh, Bram merasa tidak asing dengan wajah si Idang ini. Ia merasa pernah bertemu beberapa kali. Tapi ia lupa kapan dan dimana. Setelah berkali-kali memperhatikan, tiba-tiba ia terkejut.
       “Astagfirullah ini kan perempuan berjilbab biru itu?” bisiknya di dalam hati.
       Ternyata benar, tidak salah lagi. Si Idang ini adalah perempuan berjilbab biru yang sudah mencuri hatinya itu. Yang kata Ibu Risna namanya Rahayu Agustina.
       Mimpi apa ia tadi malam? Sehingga hari ini berjumpa. Bukankah beberapa hari ini ia selalu gagal menemuinya di warung katupat itu? Mengapa ia ada di sini? Apakah ia anak Julak Idar?
       Sementara  ia  masih bingung,  Julak Idar terus saja makan
ia berpura-pura tak melihat apa-apa. Padahal jelas terlihat ada sesuatu yang lain antara Bram dan mantan menantunya ini.
       “Lho, katanya mau nambah lagi?” tanya Agustina.
       “O iya, aku lupa. Aku mau nambah lagi nasinya.”
       Bram mau menambah nasinya, tetapi entah apa yang membuat Agustina berinisiatif lebih dahulu. Akibatnya entah sengaja entah tidak, ternyata tangan Bram justru menangkap tangan Agustina. Kejadian ini membuat keduanya tertegun, beradu pandang dan bertatap mata lama sekali. Tiba-tiba mereka sadar saat mendengar batuk-batuk kecil Julak Idar. Cepat keduanya melepaskan tangan. Kini dada keduanya jadi berdebar-debar kencang. Masing-masing merasa ada gemuruh menggelegar bagai guntur dan halilintar saling kejar saling sambar. Muka merah menyala, sekujur tubuhnya jadi gemetar. Serasa ada gempa bumi dan tanah longsor mengoncang jantung. Melihat gelagat yang agak lain itu, Julak Idar berpura-pura sakit perut, wajahnya meringis layaknya orang kesakitan. 
       “Ada apa Abah?” tanya Bram ikut merasakan kesakitan itu. 
         “Abah sakit?” tanya Agustina.
        Bram sedikit bingung melihat Abah tiba-tiba sakit. Padahal tadi Abah baik-baik saja tak ada tanda-tanda sakit. Tapi mengapa Agustina tak terlihat bingung? Bahkan terlihat geli menahan tawa kecilnya. Apakah Julak Idar hanya berpura-pura?
       “Maaf, Abah sakit perut kekenyangan. Abah mau ke belakang. Teruskan kalian makan ya.”
        Abah  cepat  berdiri langsung  pergi. Keduanya tersenyum kegirangan. Mereka sadar ternyata Abah itu hanya berpura-pura.  Itu artinya permainan mereka sudah direstui. Setelah gelegar gemuruh di dada mereka itu mereda, Agustina menambahkan nasi di piring lelaki yang diidamkannya ini. Kemudian ia masuk ke ruang dalam, sebentar kemudian datang lagi membawa menu sepesial beberapa potong iwak haruan basanga dan semangkuk gangan humbut bacampur waluh..Ayu memasukkan gangan dan dua potong haruan basanga ke dalam piring Bram. 
       Bram senang sekali mendapat perlakuan istimewa ini. Tetapi begitu makanan itu masuk ke mulutnya ia terkejut. Ada apa ini? Agustina tertunduk malu dengan senyum mesra tersungging di bibirnya yang tipis selalu basah itu. Bram mencicipi makanan itu sekali lagi. Tenyata benar, makanan ini rasanya berbeda dengan makanan yang dimakannya tadi. Yang ini rasanya lebih asin. Kata orang tua-tua dulu kalau rasanya asin seperti ini berarti yang memasak minta kawin. Agustina sadar betul bahwa ia sengaja menyampaikan pesan rahasia lewat gangan humbut bacampur waluh dan haruan basanga ini. Ia memperhatikan dengan seksama apakah lelaki idamannya ini dapat menangkap sinyal yang dikirimnya itu. Entah apa yang menyebabkannya mengambil inisiatif ini. Sebenarnya ia sangat malu melakukannya. Karena itu sama dengan merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan. Mestinya kan pihak lelaki yang menyatakan isi hatinya? Ini kan cara gadis-gadis zaman neneknya dulu mengungkapkan cintanya? Tak ada salahnya kan kalau dicoba? Inilah warisan nenek moyang yang dianggapnya paling efektif saat ini.
       Bram menyadari bahwa rasa asin ini bukan karena terlalu banyak garam. Tetapi ini memang disengaja. Bukankah sajian yang lain rasanya lezat dan nikmat luar biasa? Ia langsung teringat kisah-kisah zaman dulu.
       Diamatinya perempuan yang masih tertunduk itu, pelan-pelan menggangkat muka. Dan lalu keduanya pun bertatapan dengan tatapan penuh makna.
      “Alhamdulillah,” bisik hatinya.
      Ternyata perempuan ini ada hati juga kepadanya. Itu berarti ia tidak bertepuk sebelah tangan. Nampak senyum malu-malu menghias wajahnya. Bram diam-diam melirik ternyata perempuan ini juga meliriknya. Aduh, Agustina tak tahan lama-lama menatap lelaki idamannya ini. Ia kembali  tertunduk malu, senang,  riang dan gembira campur aduk jadi satu.  . 
       “Alhamdulillah, terima kasih,” katanya keceplosan di bibirnya yang indah itu.
       “Terima kasih untuk apa?” tanya Bram setengah berbisik.
       “Oh iya, apa ya? Ya terima kasih aja,” jawabnya  juga kebingungan.
       “Hahaha, iya ya? Ya terima kasih juga, hehehe,” sahut Bram ikut-ikutan.
       “O iya, bagaimana Pak? Enak?” Tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
       “Yang ini?”
       “Iya, yang itu. Bagaimana rasanya Pak? Enak nggak?” tanyanya sekali lagi.
       “O ini? Enak … enak kok. Aku suka.”
       “Suka?”
       “Ya, aku suka.” 
       “Tapi Bapak nggak bohong kan?”
       “Nggak. Nggak bohong. Aku suka,”
       “Tapi Bapak nggak merasa …. merasa apaaaa gitu?“
       “Oh iya, rasanya kok aneh gini ya?”
       “Tapi Bapak suka kan?”
       “Oh iya, aku suka rasanya. Ya aku suka rasa a…”
       “Rasa apa Pak?”
       “Ya rasa ……. ini. Ya aku suka rasa yang ini.”
       “Kenapa Pak?”
       “Mau tau alasanya ya?
       “Iya  … iya ..  Pak.”
       Liwar nyamannya29.
       “Ah Bapak bisa aja menggombal.
       “Siapa yang menggombal? Ini memang luar biasa enaknya.”
      “ Apanya yang luar biasa Pak?”
       “Ya rasanya yang sepesial ini tak ada tandingannya. Paling enak sedunia.”
       “Ah Bapak bisa aja. Terlalu tinggi pujiannya Pak. Nanti jatuhnya sakit.”
       “Yang jelas apapun rasanya aku suka. Suka banget.”
       “Kenapa Pak?”
       “Karena …….”
       “Karena apa Pak?” tayanya pura-pura mendesak. Padahal sebenarnya ia sudah tahu bahwa pesan yang dikirimnya lewat menu sepesialnya itu sudah ditangkap idamannya ini.
       “Karena kata orang tua-tua dulu, kalau rasa yang seperti ini tandanya bahwa yang memasaknya ingin … ”
       Belum habis jawaban itu Agustina cepat menutup mulut lelaki itu dengan tangannya. Bram terkejut dan bingung karenanya. Sampai Agus menarik tangannya Bram masih bingung, sekonyong-konyong badannya panas dingin dan kaku tak bergerak. Keduanya diam tak ada yang bersuara, bicara hanya antara hati. Sementara Agustina wajahnya merah menyala dadanya berdebar-debar dan sekujur tubuhnya pun gemetar. Malu dan gembira campur aduk jadi satu di hatinya. Ia tak ingin lelaki idamannya ini melihat tanda-tanda yang nampak di wajahnya. Ia cepat berdiri dan masuk ke ruang dalam. Kini tinggal Bram duduk termangu menghadapi sisa makan siang. Dia bingung apakah ia yang harus membereskan semuanya. Ya apa boleh buat karena tak ada orang lain, apa salahnya kalau ia membereskannya. Ia mulai mengambil piring-piring dan mengumpulkannya jadi satu. Tiba-tiba ia melihat secarik kertas di tempat duduk Agustina tadi. Ternyata di kertas itu tertulis nomor ponsel.
       Alhamdulillah, akhirnya dapat juga nomor rahasia ini. Wah, bakal seru nih nantinya. Bisa SMS-an bisa telpon-telponan. Cepat ia mengambil kertas itu dan langsung menyimpannya. Tiba-tiba muncul Julak Idar.
       “Guru, jangan guru, Biar Idang saja membereskannya,” cegah Julak Idar saat melihat Bram mengumpulkan piring-piring itu.
***
       Lihatlah Jalan Bukhari yang mulus berliku itu begitu manja membelah desa-desa di sepanjang liuk-liuknya. Jalan Bukhari adalah jalan utama dari kota Kandangan yang melalui Desa Amawang, Sungai Paring, Pasar Muhara Ulin, Wasah. Simpur, Simpur Padang, Sirih, Tambingkar sampai ke Desa Kalumpang. Termasuk juga Desa Hantarukung yang tidak dilalui Jalan Bukhari, tetapi muara jalan simpang menuju ke Desa Hantarukumg itu berada di desa Wasah Hilir. Tepatnya di pertigaan Jalan Bukhari dan Simpang Hantarukung di dekat Mesjid Su’ada.
       Desa Wasah, Hantarukung, Simpur dan Garunggang begitu berkesan di hati Bram. Kenapa? Karena desa-desa ini secara langsung selalu saja menawarkan eksotika perdesaan di Hulu Sungai Selatan yang luar biasa di hatinya. Semuanya itu berawal dari ketertarikannya pada perempuan berjilbab biru yang ditemuinya di warung katupat Kandangan itu. Perempuan yang aslinya bernama Rahayu Agustina, oleh teman-temannya biasa dipanggil Agus. Di rumah ia biasa dipanggil Idang. Sedang Bram sengaja memanggilnya dengan nama yang berbeda. Dia menyebutnya Ayu. Bukankah nama perempuan berjilbab biru itu adalah Rahayu Agustina? Jadi ia lebih suka dan lebih nyaman memanggilnya Ayu saja.
       Bram mengira bahwa Ayu adalah anak semata wayang Julak Idar. Padahal bukan. Bram sama sekali tidak mengetahui, karena memang tak ada yang memberi tahu. Di sini hanya Bram seorang yang tidak mengetahui rahasia keluarga itu. Jadi ia enjoy-enjoy saja. Bahkan kini ia sudah pindah dan menetap di desa Hantarukung ini. Dia tinggal di rumah keluarga Julak Idar yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya hijrah dan bermukim di negeri jiran Malaysia. Sedangkan anak-anaknya juga sudah berkeluarga dan menetap di Brunei Darussalam dan 
ada juga yang tinggal menetap di Riau Kepulauan.
       Rumah itu berada di tengah kebun kelapa yang statusnya digadaikan  kepada  Julak Idar.  Rumah itu  memang agak jauh dari tempat tugasnya,  tetapi lumayan  buat tempat tinggal 
gratisan. Tentu saja tadinya rumah ini fasilitasnya serba kurang memadai. WC-nya memang ada tapi letaknya agak jauh di belakang rumah. Kamar mandi juga tidak ada. Kalau mau mandi harus ke sumur di samping rumah. Listriknya juga tidak ada. Atap-atapnya juga banyak yang sudah tiris. Namanya juga rumah kosong. Rumah ini tidak disewakan, karena memang tak ada yang mau menyewa. Kalau ditinggalkan pemiliknya sudah pasti menjadi rumah tak bertuan, akhirnya akan hancur bahkan akan rubuh dengan sendirinya.
       Julak Idar ingin anak angkatnya tinggal di rumah itu. Ia bersedia menanggung semua biaya merenovasi rumah itu. Diawali dengan pergantian atap secara total dengan atap seng berbentuk genting. Selanjutnya membangun WC dan kamar mandi yang juga dilengkapi dengan pompa air yang ditarik dengan tenaga listrik. Untuk menjaga kebersihan air tentu jarak antara pompa air dengan WC minimal harus enam meter. Untuk mendapatkan air Julak Idar juga harus memasang listrik. Setelah semuanya rampung barulah rumah itu bisa ditempati. Kini rumah itu semuanya sudah lengkap kecuali fasilitas MCK dan air minum yang masih menggunakan air sumur pompa. Karena rumah ini jauh dari jaringan pipa PDAM.
       Untuk menempati rumah itu Julak Idar melaksanakan selamatan sekaligus juga prosesi upacara adat ma-angkat anak30 kepada Bram Baswenda yang biasa dipanggilnya Guru Ibas ini. 
       Masih jelas dalam ingatan Bram waktu itu, Julak Idar sebagai guru kuntau bukan hanya mengundang tetangga sekitar tetapi ia juga mengundang semua muridnya dari segenap pelosok di kawasan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Hal ini merupakan bentuk peringatan kepada warga sekitar agar tidak ada yang berani macam-macam terhadap anak angkatnya ini. Siapa saja yang merendahkan anak angkatnya ini, sama dengan merendahkan martabatnya sendiri. Tentu saja Bram tidak menyadari bahwa semua undangan undangan terkagum-kagum melihat wajahnya bukan karena ketampanannya, tetapi karena wajahnya sama dan serupa dengan wajah Rahmadi Saputera yang sudah meninggal dua tahun yang lalu.

***
       Pagi ini Bram menikmati secangkir kopi instant yang pekat seduhan sendiri. Meski ada iklan yang meyatakan bahwa ini adalah kopi ternikmat di dunia, tetapi baginya tetap saja tidak senikmat kopi asli seduhan almarhumah Yuni yang sudah mendahuluinya itu. Kenapa? Karena kopi asli yang biasa disajikan almarhumah Yuni selalu saja menawarkan berjuta sayang dan cinta di setiap seruputannya. Kopi itu bukan hanya manis karena gula tetapi juga manis karena senyum Yunita yang selalu bersarang di relung hatinya. Beda sekali dengan kopi yang ini. Karena secangkir kopi tanpa cinta tentu terasa hampa. Terbetik juga di hatinya akan terasa lebih nikmat jika kopi ini disajikan oleh Ayu, karena kopi yang pernah disajikan Ayu tidak jauh beda dengan kopi buatan almarhumah Yuni. 
       Tiba-tiba HP-nya berbunyi dan terus brbunyi. Ia malas mengangkatnya, Tetapi HP itu terus saja berbunyi ,kesannya memaksa sekali.
       “Menyebalkan sekali. Maunya apa sih?” tanyanya dalam hati dan dengan berat hati diangkatnya juga HP-nya itu.        
       “Astaghfirullah. Ini kan nomornya Ayu? Kenapa tidak dari tadi-tadi saja diangkat? Pasti ia marah besar,” katanya dalam hati penuh penyesalan.
       “Assalamu alaikum Ayu.”
       “Wa alaikum salam warohmatullah wabarokaatuh. Bapak
di mana?”
       “Ya di rumah saja. nggak ke mana-mana.”
       “Bapak bohong. Masa telpon ulun lawas banar31 kada diangkat-angkat? Memangnya Bapak nggak mau bicara ya?” 
“Tadi itu kebetulan lagi di kamar mandi. Masa bawa HP?”
       “Nggak percaya! Pasti lagi ada tamu. Iya kan? Ini kan pagi Minggu? Jadi banyak yang datang.”
       “Cemburu ya? Tapi aku suka kok dicemburui sama Ayu.”
       “Siapa yang cemburu? Nggak lucu ah. Bapak kegeeran. Bapak lagi mengerjakan apa?”
       “Sedang menikmati kopi panas.”
\      “Siapa yang membuatkan kopinya Pak?”
       “Maunya sih buatan kamu.”
       “Pasti kopi buatan orang lain kan? Ini kan hari Minggu?”
       “Ya ini memang hari Minggu. Memangnya Ayu mau datang ke sini ya? Datang aja.  Aku suka kok kalau Ayu mau datang.”
      “Benar nih tidak ada orang lain?”
      “Benar. Masa aku bohong?”
      “Bisa saja kan? Kan lidah tak bertulang?”
      “Kalau tak percaya lihat aja sendiri di sini. Tapi datangnya jangan hanya sendiri ya?”
      “Kenapa? Katanya lihat saja sendiri. Kenapa dilarang?”
      “Aku takut.”
      “Takut apa? Takut diperkosa?”
      “Takut kena fitnah.”
      “Kenapa mesti takut? Nanti Ayu yang tanggung jawab.”
      “Di mana-mana yang harus bertanggung jawab itu lelaki. Masa perempuan yang harus bertanggung jawab?”
      “Itu berarti Bapak tidak suka sama Ayu ya?”
      “Suka. Suka banget. Tapi bukan begitu caranya. Biar aku saja yang ke sana, sekalian bersilaturahmi dengan Abah.”
      “Ah Bapak pengecut. Hahaha.”

1 komentar:

  1. Nahhh,,, lewar katujunya amun takisah daerah kita ini pak ae. heheee....
    Salam kenal Julak...
    Asa hibung amun tatamu buhan penulis daerah ne.
    Un urang kandangan, andaknya di desa Sungai Kupang. Julak ae

    BalasHapus