menu

Jumat, 24 Juni 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 11



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 11


       Ayu mengunci pintu rumah Bram lalu menghidupkan mesin kendaraaannya dan langsung menuju ke warung katupat Acil Mirna. Dia sengaja tidak makan di warung itu tetapi ia hanya membeli katupat dua porsi, satu untuknya dan satu lagi untuk Abah, lalu ia pulang. Hanya dalam hitungan menit ia sudah sampai di rumah. Saat itu Abah sedang asik menonton tv sambil minum kopi. Sedih juga hatinya melihat tayangan berita di televisi itu. Di mana-mana selalu saja masalah banjir yang diberitakan. Bukan hanya di Jakarta dan beberapa daerah lainnya yang dilanda banjir, beberapa daerah di Kalimantan Selatan juga ada yang dilanda banjir. Kota Banjarbaru yang selama ini tak pernah kebanjiran ternyata tahun ini juga ikut dilanda banjir. Ternyata bukan hanya banjir, tetapi juga tanah longsor terjadi di beberapa daerah lainnya. Tiba-tiba ia terkejut melihat Ayu sudah duduk di sampingnya.


       “Datang di mana Dang?” Dilihatnya mantan menantunya ini membawa kantongan yang isinya sudah pasti katupat Kandangan.
       “Dari rumah Kak Bram, bulikannya singgah di warung Acil Mirna. Ini ulun bawaakan gasan Abah43. Abah makannya di mana?”
       “Abah makannya di sini. Ambilakan piring awan pambasuhan tangan.”

       Sebenarnya Julak Idar tadinya mau mangatupat di warung, tetapi Ayu sudah membelinya untuk mereka berdua, tak elok rasanya menolak bawaannya ini. Ayu langsung masuk dan sebentar kemudian datang lagi membawa dua buah piring kosong dan air kobokan. Dengan cekatan ia membuka ketupat yang sudah dibelah itu. Lalu membuatnya ke dalam piring dan tidak lupa memasukan iwak haruan dan kuah ketupatnya. Ia kembali masuk dan keluar lagi membawa air putih. Dan kini mereka pun makan katupat itu dengam lahapnya.

       “Sebenarnya ada apa di rumah Guru Ibas?”
       “Tak ada apa-apa. Ulun mau mengetahui apakah HP itu
benar-benar ketinggalan.”
       “Lalu?”
       “HP-nya memang ketinggalan.”
       “O gitu ya? Pantas saja tak bisa dihubungi.”
       “Abah, Ulun handak ka Banjar. Boleh kan?”
       “Buat apa?”
       “Ulun mau menyusul Kak Bram.”
       “Memangnya kamu tahu ia ada di mana?”
       “Iya tahu.”
       “Dia itu sekarang ada di mana?”
       “Di bedakannya Dewi.”
       “Kok tau? Tahu dari mana?”
       Kan ada yang ngasih tahu?”
       “Siapa?”
       “Mayang.” Lalu ia memberitahukan bahwa Kak Bram itu sekarang menjaga orangtua angkatnya yang lagi dirawat di rumah sakit. Sekarang ia menginap di bedakan tempat Dewi tinggal. Nah ke sanalah ia akan berangkat bersama Mayang, karena hanya Mayang yang tahu di mana bedakan itu.
       “Boleh kan Bah? Boleh ya?”
       “Ya boleh-boleh saja. Asalkan.”
       “Asal apa Abah?”
       “Asalkan Idang bisa menjaga diri. jangan jadi perampuan gampangan.”
       “Kok Abah ngomongnya gitu?”
       “Ya kamu boleh ke Banjarmasin. Asalkan jangan pergi sendirian.”
       “Ya tidak lah.”
       “Berangkat dengan siapa?”
       Kan sudah ulun bilang dengan Mayang.”
       “Naik kendaraan?”
       “Tidak. Kan ini musim hujan? Mayang sudah memesan taksi sama sopir Asat.”
       “Ya baiklah. Asalkan jangan ..”
      “Apa lagi Bah?” 
      “Asalkan kamu jangan membawa HP.”
       “Memangnya kalau membawa HP kenapa Bah?”
       “Tidak apa-apa. Hanya saja Abah tidak bisa menelpon siapa-siapa nanti.”
       Kan ulun punya HP sendiri?” 
       “Idang punya HP sendiri? Dapat dari mana?”
       “Beli dari Paman Kredit. Nggak lucu kan HP milik bersama dengan Abah? Memangnya tidak boleh ya Bah?”
       “Tentu saja boleh. Jadi Abah bisa membawa HP itu kemana saja Abah pergi.”
       “Ya Abah, bawa saja. Ulun kan punya HP sendiri? Nomor Ulun sudah ada dalam HP Abah. Sebaliknya nomor Abah juga ada di HP ulun. Jadi kapan pun Abah mau. Abah bisa menghubungi ulun.”

       Nampak Ayu semakin berseri-seri dengan adanya HP ini. Tentu saja ia tidak bilang bahwa nomor Kak Bram juga ada di HP itu. Dan nomornya juga sudah disimpannya di HP Kak Bram. Jadi kalau sudah kembali ke tangan Kak Bram, ia bisa menghubungi Kak Bram kapan saja tanpa menggunakan HP Abah.
***
       Ada yang aneh malam ini, baru pukul sembilan Abah sudah tertidur pulas. Apakah Abah ini benar-benar tidur? Ataukah hanya berpura-pura saja? Karena biasanya jam-jam seperti ini Abah masih asik minum kopi sambil menonton berita di televisi. Tetapi tidak demikian malam ini. Sepertinya ia sengaja memberi kesempatan pada Ayu merenung dan mempersiapkan mentalnya sebelum bertemu dengan Guru Ibas.

       Malam ini Ayu begitu gelisah di depan cermin. Berkali-kali ia berkaca berputar-putar memandang keidahan tubuhnya. Berkali-kali pula ia berganti gamis dan jilbabnya. Rasanya tak ada satu pun yang mengena di hatinya. Besok ia harus tampil sempurna. Ia melihat di cermin itu ada rona bahagia tergores jelas di wajahnya, ada tatapan matanya begitu ceria berbinar-binar tanpa berkedip. Memang begitulah rasa kebahagiaannya yang tengah berbunga-bunga. Bahkan ia merasa seakan-akan masih gadis belia yang akan bertemu dengan sang kekasih hatinya. Rasanya sudah berjam-jam ia berdiri dan berputar-putar di depan cermin. Gamis dan jilbab kesayangannya sudah dipakai semua. Sayangnya tak ada satu pun yang ia pilih. Malah semuanya itu dilempar dan berserakan begitu saja di tempat tidurnya. Ia masih bingung memilih gamis dan jilbab yang akan dipakainya besok. Akhirnya dengan mengucapkan bismillah ia menutup matanya lalu mengambil gamis dan jilbab yang akan dipakainya besok. Tidak lupa juga mengambil sepasang lagi, pakaian santai dan peralatan sholat seperlunya. 

***
       Amat Harimau dan Jumi Bangkui adalah dua orang murid andalan Julak Idar yang bisa diandalkan untuk jurus-jurus itu. Sebenarnya nama asli mereka adalah Muhammad Rezki dan Jumiansyah tetapi karena yang satu sangat menguasai jurus-jurus harimau dan yang satunya lagi sangat menguasai jurus bangkui atau jurus monyet maka dalam perguruan kuntau keduanya lebih dikenal dengan Amat Harimau dan Jumi Bangkui.
       Kedua muridnya itu sudah dua tahun belakangan ini menjadi tukang ojek yang berpangkalan di terminal Kilometer Enam Banjarmasin. Di kalangan tukang ojek ia biasa dipanggil dengan Amat dan Jumi saja, tak embel-embel harimau dan bangkui. Nama-nama itu hanya pupoler di dunia perkuntauan saja. Di sini tak ada seorang pun yang tahu bahwa keduanya adalah pendekar dan pesilat tangguh yang sulit dikalahkan.

       Sesuai dengan SMS Abah tadi malam, hari ini mereka berdua tidak menarik sebelum mengantar Ayu dan Mayang ke bedakan  Dewi.  Sebenarnya  banyak  tukang  ojek  lain,  tetapi Abah merasa Idang lebih aman di tangan kedua muridnya ini untuk menjemput dan mengantar Idang ke tempat tujuannya. Itulah sebabnya tadi malam Abah sengaja me-SMS kedua muridya itu Bukan berarti minta ojek gratisan, tetapi semata-mata demi keamanan.

       Di Terminal Kilometer Enam Banjarmasin menjelang siang. Taksi angkutan antar kota mulai berdatangan. Mulai dari jurusan kota Tanjung, Amuntai, Barabai, Kandangan, Rantau, Martapura, Peleihari sampai dari Tanah Bumbu dan Kotabaru. Salah satu dari taksi antar kota itu adalah yang datang dari Kecamatan Simpur Kandangan.
       Tidak lama kemudian para penumpang mulai turun, termasuk di antaranya Ayu dan Mayang. Perlahan Ayu dan Mayang melangkah sambil menjinjing tasnya yang tidak begitu besar dan tanpak lusuh itu mengikuti penumpang lain yang juga sama-sama baru turun. Seperti biasa banyak tukang ojek yang datang menawarkan jasanya.

       “Ojek kah?” tanya seorang tukang ojek
       “Tidak,” jawab Ayu dengan senyum ramahnya.
       “Mau diantar kemana, Ding?” tanya ojek yang lain.
       “Sudah ada janji dengan Ka Amat dan Jumi,” jawabnya ramah.
       Ayu dan Mayang berdiri di tempat sambil menunggu Amat dan Jumi seperti pesan Abah tadi malam. Baru saja keduanya mau melangkah, tiba-tiba saja ...
       “Gus, Agus..!”
       Ayu terkejut seketika, cepat ia berpaling dan melihat tukang ojek yang datang itu. Ayu berpikir sejenak mungkin bukan dia yang dimaksud tukang ojek itu.
       “Agus, ini aku, Amat. Masa kamu tidak mengenalku?”
       “Astagfirullah, Kak Amat. Maaf, ulun hampir tidak mengenal Kaka.”
       “Kurus ya?”
       Ternyata Kak Amat ini tidak sendiri tetapi diikuti oleh tukang ojek yang lain. Itu pasti Kak Jumi. Ayu tak berkata apa-apa ketika Amat mengambil tasnya dan menaruh di kendaraan bebeknya. Begitu juga dengan Mayang.
       “Ke bedakan Dewi kan?” tanya Jumi kepada Mayang.
       “Memangnya Kak Jumi sudah tahu ya?”
       “Ya, tahu lah. Kan aku juga tinggal di dekat situ?”

       Mereka langsung berangkat. Jumi sebagai kepala jalan. Sesaat kemudian mereka keluar terminal, belok kanan arah masuk kota. Kedua tukang ojek itu dengan cekatan menyelinap di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Tak lama kemudian mereka sudah masuk kota. Tak terasa ternyata mereka sudah sampai. Betapa kaget bercampur bingung bahkan Dewi hampir tak percaya ketika tanpa diduga sebelumnya Agustina janda muda pencuri hati Kak Bram itu, tiba-tiba saja muncul di bedakannya.

       “Assalamu alaikum.”
       “Wa alaikum salam. E Agus. Apa habar nih. Tiba-tiba saja ke Banjar?”
       “Gini ya Ka Dewi. Ka Agus ini mau menemui Pak Bram Baswenda. Kan ujar Pian46 menginap di sini?”
       “Waduh. Bagaimana ya? Tadinya memang nginap di sini. Di kamar sebelah ini. Tapi cuma dua malam. Sekarang tidak lagi. Aku juga tak tahu di mana ia sekarang?”

       Rahayu mau membayar ongkos ojek Mayang kepada Kak Jumi tetapi cepat dibayar oleh Dewi. Ada rasa benci dan kecewa jadi satu di wajah Ayu. Tega-teganya Kak Bram tidak memberi kabar lebih dulu. Pantas saja tadi malam Kaki kirinya bergerak-gerak. Tenyata itu pertanda bahwa keberangkatannya hari ini tidak membawa hasil.
       Sebenarnya Dewi sangat kecewa, bahkan kecewa berat dengan perbuatan adiknya yang membawa Ayu ke bedakan ini. Bahkan ia lebih kecewa lagi mengapa Mayang datang begitu saja tanpa memberi kabar lebih dulu. Tetapi ia tetap berpura-pura tak ada masalah dengan kedatangan Ayu ini. Bukankah karena Ayu ini Kak Bram menolak cintanya mentah-mentah? Bukankah  ia gagal  menggaet  Kak Bram  menggantikan  Bobi yang tak bisa diharapkan lagi itu? Padahal selama ini ia tak pernah gagal menaklukan lelaki yang diinginkannya. Inilah satu-satunya kegagalan yang dialaminya. Dan ini adalah semata-mata karena hati Kak Bram sudah terpaut dengan perempuan janda ini.

       “Bagaimana ini?” tanya Ayu bicara sendiri. 

       Pokoknya bagaimana pun jadinya Amat tidak akan membiarkannya terlantar. Sesuai dengan pesan Abah tadi malam dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kenyamanan Ayu selama di Banjarmasin.

       “Yang tahu keberadaan Kak Bram itu adalah Kak Jamal. Sebentar ya aku nanya sama Kak Jamal dulu.” kata Dewi lalu melangkah ke rumah Pak Haji pemilik bedakan. Sebentar kemudian ia datang lagi.
       Nampak Jamaluddin menghidupkan mesin kendaraannya. Setelah berbicara sebentar dengan Amat dan Jumi, mereka pun pergi dengan Jamal sebagai kepala Jalan. Kini mereka sudah keluar dari komplek bedakan itu dan tak lama kemudian sudah sampai di bedakan Paman Juhri. Kebetulan Paman Juhri juga sudah keluar dari rumah sakit sejak dua hari yang lalu. Nampak Jamal berbicara sebentar dengan seorang penyewa bedakan. Ternyata Bram itu juga sudah tak ada lagi. Katanya ia pulang ke Kandangan tadi pagi.
       Tanpa mereka ketahui Iras muncul di ambang pintu sambil menguping pembicaraan Jamal itu. Tentu saja ia terkejut saat melihat seorang perempuan yang sama persis dengan alm Yuni. Seluruh tubuhnya jadi gemetar seperti melihat hantu Yuni yang gentayangan. Hampir saja ia tak sadarkan diri, bahkan hampir saja gila karenanya. Dengan sisa-sisa tenaga dan kekuatan hatinya ia berdiri walaupun agak sempoyongan. Tiba-tiba ia sadar, bahwa ini bukan Yuni. Bukankah Yuni telah meninggal dua setengah tahun yang lalu? Lalu kalau ini bukan Yuni lantas perempuan ini siapa? Apakah ini Hantu Yuni yang gentayangan? Tidak, tidak mungkin. Yuni itu meninggal baik-baik tidak mungkin ia jadi hantu gentayangan. Ini bukan hantu tetapi ini adalah orang lain. Ini adalah benar-benar sosok orang lain yang mirip dengan Yuni.

       Apakah perempuan ini ada hubungannya dengan Kak Bram? Tanpa hubungan saja ia sudah benci melihatnya, apalagi ada apa-apanya. Tentu saja Iras akan lebih benci lagi. Setelah memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan orang itu, ternyata perempuan ini datang mencari Kak Bram. Pasti ini calon istri Kak Bram. Pantas saja cintanya ditolak mentah-mentah oleh Kak Bram.  Padahal sejak meninggalnya Yuni  itu ia merasa tak ada lagi yang menghalanginya. Ternyata Kak Bram sudah mendapat pengganti Yuni. Seluruh tubuhnya serasa terbakar hatinya panas membara. Ingin cepat-cepat ia menerkam perempuan ini. Berani benar perempuan ini masuk ke sarang singa.

       Ayu langsung lemas lemah lunglai, seluruh tubuhnya serasa tidak bertenaga sama sekali. Sedikitpun ia tak mengira akan jadi begini. Rencana yang sudah disiapkannya tadi malam sudah tak berarti apa-apa lagi. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak menyadari ada perempuan lain sedang memperhatikannya. Tiba-tiba Iras sudah berdiri di depan Ayu yang kebingungan.

       “Kamu ini benar Ayu kan?” tanyanya sinis mencibirkan bibir tak bersahabat.
       “Iya,” jawab Ayu datar.
       “Jadi kamu yang telah menggunai-gunai Kak Bram kan?”
       “Ini, apa maksudnya?” jawabnya balik bertanya.
       “Sudah! Akui saja! Orang pahuluan memang banyak ilmunya. Kak Bram pasti sudah kamu guna-gunai kan?”
       “Jangan bicara sembarangan. Guna-guna apa? Sekarang bukan jamannya lagi.”
       “Tapi kamu ke sini mau menjemput Kak Bram kan?”
       “Bukan, bukan itu maksudnya.”
       “Kalau  bukan, lalu apa?”
       “Aku cuma mau ketemu saja kok.”
       “Tidak bisa!”
       “Kenapa? Memangnya kamu siapa?”
       “Calon istrinya. Kamu sendiri siapa?”

       Jamal dan Amat tak bisa berbuat apa-apa selain berdiam diri. Habis mau bagaimana lagi? Masa ia harus menghadapi perempuan? Seandainya orang ini laki-laki pasti sudah babak belur dibuatnya. Sayang ia seorang perempuan. Sial benar nasib Ayu hari ini. Mau bertemu Kak Bram malah diomeli. Ingin sekali rasanya ia menjambak rambut perempuan tak bermoral itu. Matanya yang indah itu berubah menjadi tajam bagai mata rajawali yang siap menerkam mangsa. Mukanya merah darahnya mendidih, tangannya gatal mau menerkam. Ia tak mau bicara lagi, pertanda bahwa ia siap berdarah-darah, karena merasa harga dirinya sudah terinjak-injak. 

       Mendengar ribut-ribut di luar menyebut-nyebut nama Bram, Paman Juhri yang masih belum pulih benar kesehatannya itu cepat keluar melihat situasi apa yang sedang terjadi. Dengan tenaga yang belum pulih ia langsung menemui Ayu. Tiba-tiba ia terkejut, seluruh tubuhnya gemetar. Mukanya pucat pasi, ia hampir saja pingsan melihat Ayu yang sangat mirip dengan Yuni yang sudah tiada itu.

       “Abah, Abah, kenapa Bah?” tanya Iras.
       “Ja ja jadi kamu yang bernama Ayu?”
       Ayu hanya mengangguk kebingungan. Kenapa orang-orang di sini semuanya tahu namanya?
       “Kamu Ayu kan? Kamu Ayu yang di Kandangan itu kan?” tanya Paman Juhri sekali lagi.
       “Ya, Ulun memang Ayu.”
       “Mari kita bicara di dalam saja.”
       “Kenapa Abah? Ada apa Abah ini?” sela Iras yang tak suka ajakan Abanya itu.
       “Sudah, jangan banyak bicara. Ia tamu Abah.”
       “Abah?”
       “Tamu Bram itu tamu Abah juga.”
       “Kok Abah malah membela orang yang tak jelas ini. Mestinya membela Iras. Iras ini yang anak Abah, bukan dia.”
       “Tapi ini calon istri Bram, itu juga calon menantu Abah.”

       Ucapan Paman Juhri yang terakhir ini membuat Ayu terkejut. Bukankah Iras mengatakan ia adalah calon istri Kak Bram? Ternyata itu disanggah oleh orangtuanya sendiri. Iras terlihat jelas sangat kecewa. Kini Ayu bisa bernafas lega, tak ada keraguan lagi Kak Bram itu memang calon suaminya. 
       Jamal minta diri mau pulang karena sudah mengantarkan Ayu ke bedakan ini. Sedang Ayu bersama Amat masuk ke rumah Paman Juhri. Tenyata kedatangannya disambut oleh Irus dengan ramahnya, sungguh sangat berbeda dengan Iras tadi.

       “Begini ya Ayu, Bram itu sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Memang dulu ia sempat bertunangan dengan anak saya, sayang anak saya itu keburu meninggal. Meski demikian hubungan kami tidak berubah. Itulah sebabnya ketika ia mendengar saya dirawat di rumah sakit, ia langsung berangkat ke Banjarmasin. Alhamdulillah, sekarang saya sudah bisa rawat jalan. Dan tadi pagi Bram-nya sudah pulang. Kan sebentar lagi libur sekolah akan berakhir?”
       Paman Juhri sengaja tidak menceritakan tentang Ayu dan Yuni itu bagai saudara kembar identik. Ia takut itu bisa menjadi masalah hubungan mereka berdua. Ayu senang mendapat penjelasan itu. Pada saat yang sang sama Irus masuk ke dalam dan sebentar kemudiassn keluar lagi membawa teh manis dan menyajikan di meja tamu.

       “Silakan diminum tehnya. Hanya teh saja.” kata Irus sambil memandang Ayu.
       Irus jadi terkesima, ia hampir tak percaya bahwa ini benar-benar Ayu. Bahkan ia sempat terlena dan mengira itu benar-benar Yuni yang sempat pertunangan dengan Bram dulu.

       “Jadi Ayu ini mau nginap di sini juga? Blok A itu kan ada lima pintu. Yang empat pintu memang disewakan, tetapi ada satu kamar yang khusus untuk Bram. Jadi kalau kamu mau nginap, ya di situ itu nginapnya.” usul Paman Juhri.
       “Terima kasih Abah, tapi Ulun mau pulang hari ini juga.”
       “O jangan. Itu telalu melelahkan. Sebaiknya menginap saja. Lagi pula Blok A itu terhitung 1 Juli 2013 sepenuhnya sudah menjadi milik Bram.”
       “Begini Pak, Ayu ini akan menginap di rumah saya. Kebetulan istri saya itu teman Ayu sejak anak-anak. Jadi mereka bisa kangen-kangenan. Lagi pula rumah saya itu dekat terminal. Jadi kalau ia mau pulang tinggal masuk taksi saja sudah langsung diantar ke halaman rumah.”
       “O gitu ya? Ya itu juga baik. Saya kirim salam saja, bilang bahwa kesehatan saya sudah mulai pulih.”
       Alhamdulillah. Untung Kak Amat mengusulkan bermalam di rumahnya saja. Tak terbayang olehnya jika menginap di sini. Betapa sunyinya tinggal sendiri, terbayang juga cibiran Iras yang sangat membencinya. Tanpa banyak pertimbangan lagi mereka minta diri dan Amat membawa Ayu ke rumahnya dekat Terminal Kilometer Enam itu.
***
       Tepat pukul 12.00 siang Ayu meninggalkan Banjarmasin dan sore sudah sampai di rumah. Lega rasanya. Sesampainya di rumah ia langsung menghempaskan tubuh di tempat tidur. Sambil menghela nafas panjang, matanya menatap ke langit-langit rumah. Pikirannya menerawang mengingat kembali peristiwa yang baru saja dialaminya di Banjarmasin. Sejak datang tadi ia tak keluar-keluar juga dari kamarnya Bukan karena kelelahan semata-mata, tetapi karena keteledoran Kak Bram. Mulai dari pergi tanpa kabar, lalu HP yang ketinggalan dan pesan yang sampaikan lewat Dewi. Ditambah lagi dengan Iras yang mengaku-ngaku calon istri Kak Bram. Bagaimana tidak sebal? Masa ia dituduh menguna-gunai Kak Bram? Itu tidak lucu kan? Apakah mentang-mentang ia urang pahuluan seenaknya saja dituduh sebagai gudang ilmu yang gitu-gituan. Tiba-tiba ia tersenyum sendiri ketika teringat orang tua itu menyebutnya calon istri Kak Bram. Bagus itu? Benarkah itu? Padahal  selama ini  ia sendiri  tak pernah mendengar langsung dari mulut Kak Bram sendiri. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk Abah.

       “Dang, guringkah? Sanja sudah, sadang bangun48  
       Sebenarnya ia masih ingin terus bermalas-malasan, tetapi karena memang hari sudah hampir magrib, dengan berat hati bangkit juga ia dari tempat tidurnya. Wajahnya masih murung lusuh dan kusam.
       Ada apa Dang? Kok mukamu nampak murung gitu? Ada masalah ya?”
       “Ya Abah.”
       “Apa?”
       “Ulun sebal Abah. Masa Kak Bram tidak memberi kabar bahwa ia akan pulang.”
       Kan ia tidak bawa HP? Bagaimana mau membari kabar?”
       “Tak ada yang sulit kalau ia mau. Kan bisa lewat Mayang lagi?”
       “Itu kan karena Guru Ibas itu tidak mengira bahwa Idang akan ke Banjarmasin? Idang nggak ngasih-ngasih kabar juga kan?” tanya Abah sangat memahami perasaan Ayu.

       Siapapun itu kalau mengalami nasib yang sama tentu sangat kesal. Inilah pertama kalinya Abah melihat Ayu cembrut maksimal. Ia sengaja tak mau berdebat, karena akan lebih memperkeruh suasana.
       Matahari sudah hampir tenggelam, Abah bersiap-siap berangkat ke langgar. Setelah mengucapkan salam ia langsung pergi. Kini tinggal Ayu sendirian sedang meratapi nasib dan pengalamannya yang baru di Banjarmasin itu.

***
       Ini sudah dini hari, Ayu baru terbangun dari mimpinya. Entah sudah berapa kali ia menggelinjang di pembaringannya. Dia sendiri juga tidak tahu, kenapa jadi begini. Padahal itu kan hanya mimpi? Dan dalam mimpi itu Kak Bram telah dua kali memeluk dan menciumnya. Itu pun hanya sebatas gitu-gitu aja, dan tak lebih dari itu. Hanya itu saja. Ternyata kesannya masih terasa sampai saat ini. Bagaimana kalau itu bukan mimpi? Bagaimana kalau itu benar-benar ciuman Kak Bram? Berkali-kali ia meraba lehernya. Entah apa yang terjadi dengan leher jenjang itu? Hanya dia seorang yang tahu. Kan hanya dia yang mengalami mimpi itu? Jadi orang lain tak ada yang tahu. Lalu dia menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kembali kuat-kuat. Terasa begitu sulit baginya untuk bisa melupakan mimpinya itu. Karena memang inilah pertama kalinya ia merasa seakan-akan benar-benar dipeluk lelaki yang diidamkannya itu. Karena sejatinya ia tak pernah mengalami itu di dunia nyata. Kenapa? Karena Kak Bram itu adalah tipe lelaki yang dingin dan kaku. Jadi jangan harap ia melakukan tindakan agresif yang tidak terpuji itu.
       Meskipun Ayu sudah berkali-kali memberi sinyal ke arah itu, tetap saja tidak ada reaksi dari Kak Bram. Tentu saja ini sangat berbeda dengan Ayu yang sudah pernah bersuami dan sudah pernah merasakan kemesraan itu. Itulah sebabnya ia ingin cepat-cepat naik ke pelaminan.
       Kini Ayu merasa sama seperti saat menunggu datangnya hari perkawinannya dengan Rahmadi dulu. Bahkan kini sama seperti saat ia menanti malam pertamanya dulu. Begini juga yang dirasakannya saat ini.

       Ternyata bukan hanya Ayu yang merasakan kegelisahan ini. Bram sendiri juga menggelinjang-gelinjang di tempat tidurnya. Dia merasakan kalau Ayu ini memang benar-benar seseorang yang mampu menggantikan kedudukan Yuni di hatinya. Kalau Ayu tadi malam terlena dalam mimpi indahnya, maka Bram sebaliknya ia hampir tak bisa tidur sepanjang malam. Kenapa? Sebagai seorang lelaki yang kaku, tentu ia akan menjadi lelaki binal di dalam khayalannya.
***
       Ini hari Minggu, Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Rencananya hari ini mau menemui Abah Angkatnya. Sebenarnya hari Jum’at Bram sudah kembali ke rumahnya ini. Tetap masih malas menemui Abah Angkatnya. Itulah sebabnya Ia sengaja sarapan agak siang. Ia mau sarapan yang lain dari biasanya. Hari ini ia akan sarapan sate. Sayangnya di sini sate bukan makanan utama, tetapi hanya makanan pelengkap. Makanan utamanya adalah soto dan gado-gado. Dan sudah menjadi tradisi bahwa setiap ada soto dan gado-gado, pati ada satenya. Soto dan gado-gado itu di sni adalah menu istimewa. Dan itu sudah tersedia sini. Di sebelah  Mesjid Su’ada itu ada sate Idar? Di situ juga ada gao-gado dan soto. Di Pasar Desa itu ada Soto Amat. Mau pilih yang mana? Ia memilih yang di pasar desa saja.

       Dari jauh sudah terlihat kepulan asap panggangan sate dengan aromanya yang khas dan memancng selera. Bram memarkir kendaraannya di depan warung itu. Ia memesan satu porsi soto dan lima tusuk satenya. Kalau di Banjarmasin ia biasa memesan sepuluh tusuk, tetapi di sini ia cukup memesan lima tusuk saja. Kenapa? Karena di sini jarang yang memesan sepuluh tusuk. Kebanyakannya yang hanya nemesam dua atau tiga tusuk saja. Tentu saja ada yang memesan sepuluh, tetapi dapat dipastikan bahwa itu adalah yang baru datang dari Banjarmasin.
       Tak lama kemudian pesanannya sudah sampai di mejanya, kemudian ia berbisik kepada Amat agar dibungkuskan dua bungkus gado-gado dan dua bungkus satenya masing-masing sepuluh tusuk. Belum sempat ia menghabiskan makanannya, pesanannya itu sudah sampai di mejanya. Tentu saja yang dua bungkus itu akan dibawanya ke rumah Abah. Satu untuk Abah dan satunya lagi untuk Ayu. Setelah membayar semua pesanan itu ia langsung ke rumah Abah. Hanya dalam hitungan menit ia sudah sampai. Setelah mematikan mesin kendaraannya ia pun langsung naik ke rumah.

       “Assalamu alaikum.”
       “Wa alaikum salam. E Guru Ibas. Naik guru.”

      Seperti biasa Bram langsung menyalami Julak Idar dan tak lupa mencium tangan Abah angkatnya ini. Tentu saja tak lupa menyerahkan bungkusan bawaannya itu. “Ini gado-gado kesukaan Ayu dan Abah. Ada juga satenya.”

       “Wah, ini kasukaan Idang dan Abah. E ada satenya juga. Alhamdulillah.”
       `Ayu jadi tersenyum ria di dalam kamarnya begitu mengetahui bahwa ada Kak Bram di luar.  Orang yang dharapkan sejak kemaren sore itu ternyata sudah berada di rumah ini. Dan pagi ini Ayu tidak seperti biasanya. Kalau biasanya pagi-pagi begini ia sudah ke halaman merawat dan membersihkan kebun kelapa di sekeliling rumah, sambil memeriksa barangkali ada buah-buah kelapa yang sudah waktunya untuk dipetik.
       Ayu berpura-pura masih tidur di kamarnya, meski hari sudah mulai siang. Sebelumnya ia menduga bahwa pagi ini pasti Kak Bram akan datang menemuinya. Dan ia juga sudah bersiap-siap dengan wajah cemberut, berpura-pura marah kesal dan sebal. Padahal sebenarnya ia itu cemburu berat. 

       “Dang kaluar Dang, ini ada Guru mambawa gaduh-gaduh awan satinya nah. Mumpung satinya masih panas. Kalau sudah dingin tidak enak lagi.” 
       Perlahan Ayu keluar dari kamarnya. Nampaknya seperti malas dan wajahnya sengaja dibikin kusam dengan rambut awut-awutan seperti baru bangun tidur. Padahal sebenarnya justru ia ingin secepatnya menemui lelaki idamannya ini.  

       “Baru bangun Ayu?” tegur Bram dengan nada suara yang sengaja dibuat lembut. 
       Ayu pura-pura cemberut ia lewat saja dan terus ke kamar dapur. Sebentar kemudian datang lagi membawa empat buah piring lengkap dengan sendoknya lalu menyajikannya di depan Abah.
       “Buat apa datang lagi? Ulun kira Pian sudah tidak ingat Ayu lagi.” 
       “Ya nggak lah. Masa aku lupa?”
       “Bisa saja kan? Bukannya sudah keenakan di sana?” 
       “Lho? Keenakan bagaimana?”
       Kan di sana ada Iras, ada Dewi yang cantik-cantik.”
       “Ayu cemburu ya?”
       “Cemburu apaan? Kedua orang itu melihat Ayu seperti melihat hantu saja.”
       “Tapi kan keduanya itu bukan siapa-siapa aku?”
       “Kak Bram bisa saja bilang begitu, tetapi Iras mengaku calon istri Kak Bram.”
       “Kata siapa?”
       “Iras sendiri yang bilang begitu.”
       “Kok Idang kaya itu? Ada apa dang?” tanya Abah pura-pura tidak tahu.
       “Iya ni Ayu ngomong yang bukan-bukan, Abah.”
       “Ngomong yang bukan-bukan bagaimana? Memang itulah  kenyataannya.”
       “Sudah, bicaranya nanti saja. Ini gado-gadonya dimakan dulu. Nanti keburu dimakan semut,” kata Abah sambil membuka bungkusan gado-gado dan satenya.
       “Kok cuma dua? Orangnya ada tiga. Mestinya kan tiga bungkus juga?”
       “Gado-gado dan satenya memang untuk Ayu dan Abah.”
       “Tidak bisa begitu dong. Kak Bram juga harus makan.”
       Kan aku sudah makan di sana?”
       “Tidak bisa. Kak Bram harus makan juga. Kalau tidak, Ayu juga tidak mau makan. Bawa pulang saja semuanya.”
       “Iya, iya, aku makan juga nih. Tapi gado-gadonya kan cuma dua?”
       “Nggak apa-apa. Kita kan bisa sepiring berdua?”
       “Kalau begini terus, kapan makannya? Ya kalian makan berdua di sini, Abah biar makan di dapur saja.”
       “Kenapa harus di dapur Abah?” tanya Bram kebingungan.
       “Kan Abah bisa menambah lagi dengan nasi putih?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar