menu

Sabtu, 04 Juni 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 07



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 07

07

       Hari ini hari Minggu. Sejak dini hari tadi Ayu tak bisa tidur lagi. Sehabis sholat Shubuh ia langsung merebus air dan memasak buat makan pagi. Memang kedengarannya sangat aneh, ini bukan kebiasaan ibu-ibu di sini. Di sini sarapan pagi tidak di rumah tetapi di warung, termasuk juga Abah. Memang tidak semuanya seperti itu, ada juga satu dua yang sarapan di rumah. Ayu belakangan ini termasuk yang biasa sarapan di rumah. Abah memahami perubahan sikap Ayu belakangan ini. Itu karena hubungannya dengan Bram sedikit membaik. Bukankah istri yang baik selalu mempersiapkan sarapan buat suami? Bukankah sudah seharusnya ia membiasakan dari sekarang? Abah geleng-geleng kepala dan manggut-manggut kepala lalu pergi cepat-cepat ke warung katupat Acil Siti yang murah meriah.  
 
       Ayu sengaja melakukan semua ini buat menyambut kedatangan calon suaminya. Bukankah ini hari Minggu? Hari ini sudah memasuki masa berakhirnya liburan sekolah. Kak Bram pasti lagi malas-malasan. Ia ingin menghubungi Kak Bram lewat HP mengajak sarapan pagi buatannya sendiri. Setelah itu baru keliling-keliling seperti sore beberapa hari yang lalu. Maklum ia kan sangat menikmatinya bahkan ketagihan ingin mengulang kembali kebahagian itu.
       Cepat ia mengambil HP jadulnya dan menghubungi Kak Bram, tetapi tak ada jawaban. Panggilannya memang berdering tetapi tidak diangkat. Dicobanya berkali-kali tetap saja tak diangkat-angkat. Yang ada malah pemberitahuan bahwa nomor itu tidak bisa dihubungi. Ada apa ya?  Ia mencoba menyapanya lewat SMS.

       “Assalamu alaikum Kak Bram sayang. Masih tidur ya? Bangun sayang. Hari sudah siang nih. Hari ini kan hari Minggu? Kita jalan-jalan yu. Ke air terjun Mu’ui atau ke Pagat Barabai. Ayu tunggu di rumah ya.”

       Ayu bersabar dan terus bersabar menunggu SMS jawaban. Sambil  menunggu  SMS Ayu pergi ke dapur dan menggoreng ikan sepat siam asin kesukaannya. Tak lupa juga ia membuat cacapan bawang bakar dengan asam jeruk plus cabai rawit yang pedas itu. Untuk sementara ia dapat melupakan kekesalan dan kejengkelannya itu. Betapa lahap ia makan. Bukan hanya menunya yang sepesial tetapi ia memang sangat lapar. Sehabis makan ia langsung ke kamarnya melihat apakah sudah ada SMS balasan. Ternyata belum ada juga. Sambil menunggu SMS, ia membuka TV parabola. Bahkan sudah berjam-jam menonton tv ternyata tak ada juga jawaban yang diharapkan. Bermacam hiburan sudah dilihatnya tetapi tak ada yang dapat dinikmatinya. TV-nya main sendiri dan dia-nya tiduran sendiri. Akhirya Ayu pun kesal lalu melemparkan tubuhnya ke ranjang sambil tetap menunggu SMS balasan. Sialnya ternyata SMS yang dinanti-nanti masih tak ada juga. Ia mulai serba salah, kesal dan dongkol jadi satu dalam hatinya. Bahkan sudah sampai puncaknya. Semuanya jadi serba salah. Duduk salah berdiri salah. Ia mondar mandir sendiri di kamar tidurnya. Lalu keluar ke ruang tamu ke beranda kembali lagi ke dalam bahkan sampai ke ruang dapur. Lalu kembali lagi ke ruang tamu dan berdiri di balik jendela.

      Sepasang matanya yang bening itu mulai merah menyala menahan kesal. Dilihatnya cuaca mulai mendung, langit kelabu semakin gelap. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh menit, sedangkan SMS balasan belum juga datang. Padahal jam segini biasanya ia sudah ke pasar Wasah Hilir membeli ikan yang harus di masak untuk makan hari ini. Sebab kalau terlambat bisa-bisa yang tertinggal hanya ikan sisa. Tentu kurang menarik selera. Apalagi Abah itu orangnya sangat cerewet dan suka pilih-pilih ikan untuk makan siang.
       Ayu menurunkan kendaraan, lalu menstarter kendaraannya dan terus pergi ke pasar dengan harapan masih bisa membeli ikan gabus segar kesukaan Abah. Ia sengaja tidak membawa HP,  karena selain jadul HP-nya  juga berfungsi sebagai telpon rumah. Setelah memarkir kendaraan  ia langsung mencari ikan gabus segar. Beruntung sekali masih ada ikan yang dicarinya, ia membeli setengah kilo cukup untuk makan hari ini. Setelah membayar harga ikan itu ia langsung pulang membawa ikan yang sudah siap digoreng atau dipanggang. Sesampainya di rumah ia tidak langsung memasak ikan gabus itu, tetapi dimasukkannya ke dalam kulkas. Ia langsung memeriksa HP, siapa tahu sudah ada SMS balasan. Ternyata masih belum ada juga. Ia sangat kecewa berat. Menyebalkan! Benar-benar menyebalkan. Kini  timbul  rasa benci di hatinya,  tetapi juga masih ada rasa sayang. Inikah yang namanya benci tapi sayang? Cinta memang terkadang menyisakan perasaan kesal dan rindu jadi satu.

       Diam-diam Ayu mulai menyadari bahwa memang sulit mencintai pria lajang yang disukai banyak gadis. Ia juga sadar bahwa ia bukan janda yang kaya raya, ia hanyalah janda miskin yang tidak punya apa-apa. Satu-satunya andalannya hanya kecantikan semata. Sayangnya kecantikan seorang janda hanya mampu menarik lelaki seperti Datuk Maringgih yang istrinya juga ada di mana-mana. Kini ia kembali galau seperti dulu lagi.
***

       Hari ini seharian ia hanya merenung mengapa hati yang baru berbunga-bunga ini kembali menjadi gersang? Mengapa lelaki yang sangat dicintainya itu begitu tega menyengsarakan hatinya? Sungguh tidak ada yang lebih menyebalkan hatinya selain dari telpon tak diangkat dan SMSnya tak dibalas-balas. Kemaren sore secara diam-diam ia pergi ke rumah Kak Bram, rumahnya terkunci. Tetapi kenapa ditelpon tak diangkat dan di SMS tak ada balasan. Meski tak ada di tempat tetapi masih bisa mengangkat telpon kan? Meski tak ada di rumah masih bisa kan membalas SMS?

       Sebenarnya ia salah apa? Bukankah beberapa hari ini tak ada sedikit pun kata-katanya yang menyakitkan Kak Bram? Tetapi  kenapa  jadi begini? Apa yang  dirasakannya  ini Abah
tidak boleh tahu. Ia berusaha merahasiakan kegalauannya ini. Ia harus tetap kuat walau lelaki Idamannya itu mengetahui bahwa ia seorang janda. Meski kekasihnya itu telah terpikat seorang gadis yang benar-benar masih gadis, ia harus tetap bertahan seakan tak terjadi apa-apa. Kini dadanya mulai terasa sesak nafasnya semakin berat. Meski demikian ia berusaha untuk tidak menangis di depan Abah. Ia harus merebut kembali kemesraan yang mulai menjauh darinya. Ia harus mendapatkan kembali Kak Bram yang meninggalkan duka di hatinya. Mengapa lelaki yang selalu ada di hatinya itu kini pergi hanya karena ia seorang janda? Mengapa ini terjadi saat ia baru saja merasakan kembali kemesraan itu? Mengapa? Mengapa dan mengapa?
***
       Pagi ini Ayu merasa lesu tak bersemangat. Hatinya sedang galau karena Kak Bram hilang entah kemana. Diam-diam gelagat ini terlihat juga oleh Abah. Ia melihat ada sesuatu yang lain, ia juga ikut merasakannya.

       “Ada apa Dang?”
       Ayu tak menjawab karena ia memang tak mendengar. Pikirannya melayang jauh menggapai kenangan indah yang dirasakannya belakangan ini. Ia membiarkan angan-angan itu semakin jauh agar dapat mengikis keperihannya saat ini.
       “Dang. Idang,” sapa Julak Idar sekali lagi langsung membuyarkan khayalan Ayu.
       “I, i, inggih Abah. Ada apa Bah?”
       “Lho? Ada apa? Sebenarnya ada apa Dang?”
       “Tidak ada apa-apa Abah.”
       “Tidak ada apa-apa bagaimana? Muka patah tiga begitu kok dibilang tidak ada apa-apa. Apakah  ini ada hubungannya dengan Guru Ibas?”
       “Inggih Abah.”
       “Lho? Bukankah kalian nampak akur-akur saja?” 
       “Inggih Abah.”
       “Lalu masalahnya apa?”
       “Nah itu dia Abah. Kak Bram itu aneh.”
       “Aneh? Aneh apanya?”
       “Ya aneh. Masa telpon tidak diangkat? SMS tidak dibalas? apa sih maunya? Kabur?”
       “Apa? Kabur katamu?”
       “Inggih. Kak Bram itu kabur Abah.”
       “Dari mana Idang tahu bahwa ia itu kabur? Idang sudah memeriksa ke rumahnya?”
       “Sudah Abah.” 
       “Wah! Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Abah harus mencarinya sampai ketemu.”

       Tiba-tiba terdengar bunyi klakson kendaraan di halaman. Tetapi itu bukan bunyi klakson kendaraan Kak Bram. Abah cepat keluar. Ternyata itu adalah Imah. teman Ayu sejak anak-anak.

       “Assalamua alaikum.”
      “Wa alaikum salam. E Imah.Lama tidak mampir ke sini. Kemana saja?”
      “Tidak kamana-mana, masih di sini-sini saja. O ya Julak ulun lawas kada batamuan wan Agus41. Apakah Agus-nya ada?”   
      “Idangnya ada di dalam tuh. Dang, ada Imah ni.”     

      Abah masuk karena Imah datang untuk menemui Ayu. Ayu keluar menemuinya. Dilihatnya Imah masih seperti biasa tak ada yang berubah. Penampilannya juga seperti masih lajang, padahal anaknya sudah dua. Ayu berusaha tampil seperti tak ada tapa-apa pada dirinya. Seperti biasa keduanya sama-sama duduk di beranda.

       “Agus kamu kenapa? Sepertinya ada yang tidak beres?” 
      Ayu hanya tersenyum seperti tak terjadi apa-apa, tetapi Imah  sangat  mengerti  keadaan Ayu.  Rambutnya yang kusut masai memberitahukan keadaan hatinya yang sebenarnya.
       “Kok kamu senyum-senyum gitu? Sebenarnya ada apa Gus?”
       “Benar kata orang cinta itu tidak selamanya membuat kita bahagia? Imah …”
       Imah berpikir mencari makna ucapan Agustina yang terdengar layu.
       “Iya Gus. Ada kalanya cinta itu membuat orang berduka.” Imah diam sesaat, “Apakah ada hubungannya dengan Pak Bram?”
       “Iya, Kak Bram telah pergi meninggalkanku Mah.”  
      “Kumbang tidak seekor kembang pun tidak sekaki hilang satu cepat cari pengganti.”
       “Tapi aku sangat menyayanginya.”
       “Apakah Pak Bram juga sangat menyayangimu?”
      Ayu menggeleng lalu menundukkan kepalanya, “Mah, Lelaki itu sulit ditebak ya. Kemaren bilang cinta, sekarang pergi entah ke mana.”      
        “Jangan-jangan …” Imah sengaja tak meneruskan kalimat itu. Ia takut sahabatnya ini jadi semakin pedih.
       “Kenapa Mah?”
       “Apakah Pak Bram itu punya perempuan lain?”
       “Maksud kamu ia selingkuh?”
       “Nah itu dia, selingkuh, dan … “
       “Apa iya Mah?”
       “Ya bisa jadi kan? Laki-laki itu kalau sudah dikasih hati mau menginjak kepala.”
       “Tetapi selama ini Kak Bram tidak pernah begitu.”
       “Yakin? Apakah kamu sudah pernah membuktikan?”
       “Caranya?” 
       “Kita intip saja di rumahnya, atau di tempatnya bekerja. Gampang kan?”
       “Percuma.”
       “Belum dicoba sudah bilang percuma. Takut ya? Malu ya? Kalau soal yang beginian tak ada istilah takut. Apalagi Malu. Ah bagaimana kamu ini?”
       “Ya percuma saja.”
       “Kok percuma? Kamu sudah ke rumahnya?”
       “Iyya.”
       “Kapan?”
       “Kemaren. Tapi Kak Bram-nya tidak ada.”
       “Kalau gitu kamu-nya yang salah.”
       “Lho aku yang salah? Memang salahnya dimana?”
      “Salahnya kamu datang saat sekolah sudah libur. Pak Bramnya lagi pulang kampung.”
       “Pulang kampung? Dia itu tak punya kampung.”
       “Kok bisa?”
       Ayu diam, ia tak perlu menjelaskan keluarga Kak Bram,  itu adalah rahasia keluarga.  Kelak tentu akan jadi rahasianya juga. Di sini hanya Abah dan dia yang tahu bahwa Kakeknya Kak Bram itu adalah tokoh gerombolan di kawasan Meratus yang dinyatakan Pemerintah sebagai Pemberontak. Dia yang pernah menculik dan membunuh beberapa penduduk hanya demi perjuangan pemberontak. Itu adalah sesuatu yang sangat rahasia. Ayahnya yang yang tidak tahu menahu urusan itu harus berkelana dari kota ke kota. Termasuk menghilangkan identitas dan mengganti nama anaknya menjadi Bram Baswenda yang sedikit pun tak ada bau-bau Hulu Sungai-nya. Nah pada saat itulah ia dititipkan di panti asuhan tanpa mengetahui siapa orang tuanya yang sebenarnya.

***
       Sehabis sholat Zuhur ia ingin duduk-duduk di beranda mengingat-ingat kembali pembicaraannya dengan Imah tadi pagi. Tetapi ia merasa kurang pantas dilihat orang. Ia pun mengurungkan keinginannya itu. Ia hanya berdiri memandang keluar lewat jendela. Dilihatnya di luar sana sedikit pun tak ada sinar matahari yang menembus pepohonan kelapa dan rimbunnya dedaunan. Itu bukan karena pepohonan yang menghalangi, tetapi memang karena cuaca berawan langit dipenuhi dengan awan hitam. Sehingga nampak seperti senja, seperti mau malam saja. Tetapi sebenarnya bukan itu yang dipikirannya. Ia justru baru kepikiran apa yang dikatakan Imah tadi pagi. Bisa bisa jadi Kak Bram itu meninggalkannya karena selingkuh. Bukankah selama ini banyak gadis yang tebar pesona untuk mendapatkan Kak Bram? Bisa jadi ia terpikat salah satunya kan? Apalagi gadis-gadis itu semuanya cantik-cantik dan belum bersuami. Berbeda dengan dirinya yang sudah menjadi janda. Meski demikian ia masih merasa lebih baik dari gadis-gadis itu, statusnya memang sudah janda. Sedang gadis-gadis itu meskipun secara kesat mata masih gadis, tetapi siapa tahu mereka itu sudah tidak perawan lagi. Bisa jadi kan?   

       Astagfirullah, mengapa pikirannya jadi memikirkan aib orang lain? Yang jelas ia berharap jangan sampai Kak Bram itu selingkuh, itu saja. Meskipun ia mengetatahui bahwa di luar sana banyak gadis-gadis yang ingin merebut Kak Bram dari tangannya. Untuk menghilangkan pikiran buruknya itu ia cepat menyalakan tv. Hampir setengah jam sudah Ayu menonton tv tetapi tak ada satupun yang dapat menghiburnya. Ia malah kepikiran apa yang dikatakan Imah tadi. Bisa jadi Kak Bram itu pulang kampung tetapi di mana kampungnya?
       Tanpa diketahuinya diam-diam Abah sudah duduk di dekatnya. Maksudnya mau menonton tv juga mau minum kopi hangat.
       “Dang.”
       Jangankan mendengar sapaan Abah ia juga tidak mengetahui Abah sudah duduk di sampingnya menonton tv. Ia malah memikirkan pembicaraannya dengan Imah tadi pagi.
       “Dang,” sapa Abah sedikit lebih keras membuyarkan lamunannya.
       “Ya, ya Abah. A ada apa Bah?” jawabnya tergagap-gagap
       “Tidak ada apa-apa. Abah hanya minta buatkan kopi dan bawakan juga koenya ya.”
       “Ya Abah,” sahut Ayu langsung berdiri menuju ke ruang dalam. Tak lama kemudian ia datang lagi membawa kopi hangat dalam gelas besar bersama piring yang berisi koe, lalu menaruhnya. Abah langsung meminum kopi panas itu sambil meniup-niupnya.  Nampak  ia  sangat  menikmati kopi dan koe yang baru dibeli siang ini. Kini Ayu kembali menonton tv, tetapi ia masih memikirkan Kak Bram. Abah diam-diam memperhatikan ada yang aneh, ia melilhat pandangan hampa di mata Ayu. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Apakah ia masih memikirkan Guru Ibas itu?

       “Dang, kamu sedang memikirkan Guru Ibas itu ya?”  
       “Iya Abah. Apakah Kak Bram itu pulang kampung?”
       “Pulang kampung? Ia kan tidak punya kampung? Mau pulang ke mana?”
       “Kak Bram bukan tidak punya kampung, tetapi ia tidak pernah pulang kampung.”
       “Lho? Dang, kamu tahu dari mana?”
       “Itu cuma perkiraan Ulun saja Abah.”
       “Perkiraan bagaimana? Memangya Idang itu nujum ya?”
       “Bukan nujum Abah. Tapi ini fakta.”
       “Lho? Fakta apa Dang?”
       “Abah masih ingat kan? Waktu Kak Bram menceritakan tentang ….. ”
       “Tentang apa Dang?”
       “Sssst, jangan keras-keras Abah. Ini rahasia. Sekaligus aib keluarga.”
       “Aib keluarga kita?”
       “Bukan, bukan aib keluarga kita Abah, tetapi aib keluarga Kak Bram itu.”
       “Astagfirullah, jangan asal bicara Dang. Idang tahu dari mana?”
       “Dari Kak Bram sendiri.”
       “Masa sih?”
       “Abah lupa ya? Kan Abah sendiri yang bilang? Bahwa Datunya Kak Bram itu adalah Tokoh Gerombolan di Kawasan Meratus. Datu dan kakeknya itu hilang tak diketahui masih hidup atau sidah meninggal ketika pembersihan sisa-sisa gerombolan pemberontak itu. Berarti ayahnya Kak Bram itu adalah cucu dari tokoh itu,” jelas Ayu setengah berbisik.
       “Jadi maksud Idang pemberontak itu aib keluarga Ibas?”
        “Iya.”
       “Itu kan dulu? Sekarang tidak lagi. Lagi pula anak sekarang, termasuk Guru Ibas itu tidak tahu apa-apa tentang gerombolan itu. Sudahlah jangan membicarakan masalah itu. Abah jadi ngeri mendengarnya.”
       “Tetap saja itu aib keluarga Kak Bram. Kalau tidak, mengapa ia harus diberi nama Bram Baswenda yang tak ada sedikitpun inguh ngaran urang banua. Kenapa tidak diberi nama Hamberan, Taberi, Syarifuddin, Tajuddin, Fahruraji, Jamal dan lain-lain. Lagi pula di mata orang-orang seumuran Abah, mereka itu adalah gerombolan yang oleh pemerintah dianggap sebagai pemberontak yang harus dibersihkan.”
       “Tapi Guru Ibas kan tidak punya keluarga.”
       “Jadi Abah masih mengangap Kak Bram itu tidak punya keluarga?”
       “Iya pasti.”
      “Lalu yang memasukkannya ke Panti asuhan itu siapa? Siapa yang memberitahukan kepada Kak Bram bahwa datu dan kakeknya itu adalah tokoh gerombolan yang hilang lenyap entah ke mana? Siapa Abah?”
       “Tentu saja keluarganya atau paling tidak keluarga jauh. Bisa juga tetangganya.”
       “Nah itulah yang ulun maksud keluarga Kak Bram.”
       “Bisa jadi. Mungkin juga ya?”     
       “Iya pasti. Karena Kak Bram hanya menceritakan rahasia itu kepada kita. Itu berarti Kak Bram telah mempercayakan rahasia keluarganya kepada kita. Dan tidak mungkin Kak Bram menghianati kita. Tidak mungkin ia meninggalkan ulun merana seperti ini. Tidak mungkin kan?”
       “Harusnya begitu”
       “Tetapi kenyataannya Kak Bram tega pergi tanpa kabar berita. Mengapa Kak Bram tega berkhianat? Mestinya kalau ingin menemui keluarganya juga harusnya memberi kabar, kan? Tidak seperti angin terbang tanpa kabar berita.”
       “Tunggu dulu Dang, jangan terlalu berburuk sangka begitu saja. Abah ini sebenarnya sangat paham dan mengerti apa yang idang rasakan saat ini.”
       “Lalu maksud Abah apa?”
       “Maksud Abah itu begini.” Ia minum kopi dan makan koe. Sementara Ayu cemas-cemas harap menunggu apa yang akan diucapkan Abah.
       “Kalau ada sesuatu yang membuat Guru Ibas tidak bisa memberi kabar, itu sama ibaratnya kita berdiri di tepi laut. Yang kita lihat memang air laut, tetapi janganlah kita mengira bahwa laut itu adalah air keseluruhan. Kalau kita menyelam sampai ke dasar kita pasti melihat ikan-ikan dengan aneka warnanya. Seperti itulah perumpamaannya. Bagaimana? Apakah Idang bisa memahami kata kata abah?”
        “Inggih Abah. Maksudnya ambil hikmahnya dari semua ini, gitu ya Bah?”
        “Bisa juga begitu. Yang jelas Guru Ibas tidak memberi kabar, tentu ada alasannya.”
        “Apa alasannya Bah?”
        “Alasannya itu … ”
         “Apa Bah?”
        “Apa ya? Wah, Abah tidak tahu juga.”
        “Tapi kita harus tahu alasannya Bah?”
        “Kita tunggu saja. Biarkan seperti air mengalir. Nanti juga kita akan tahu sendiri.”
        “Memang bisa begitu?”
        “Iya, iya bisa lah. Percaya saja sama Abah?”
        “Iya Abah. Ulun percaya awan pian.”
        Dari langgar Al Hijrah sayup-sayup terdengar suara azan. Julak Idar masuk ganti pakaian untuk sholat, kemudian ke halaman dan lalu. menghidupkan mesin kendaraannya dan langsung menuju ke Langgar Al Hijrah.
       Hari masih pukul dua siang tetapi mendung semakin berat. Dari jauh nampak Siti Patmah yang biasa dipanggil Imah itu mengendarai bebeknya lambat-lambat dan berhenti di samping rumah Pak Bram. Ia mengeluarkan HP-nya dan menghubungi seseorang. Siapa yang dihubunginya? Mengapa ia menelpon di samping rumah yang tak ada orangnya itu? Itu kan sangat mencurigakan? Masa Imah menelpon sembunyi-sembunyi di belakang suami? Apakah ia menelpon selingkuhannya? Atau menelpon orang lain? Ataukah menelpon Pak Bram? Bisa jadi kan? Bukankah Pak Bram itu memang disukai banyak wanita? Bisa jadi Imah ini juga salah satu penyukanya kan? Padahal Ayu itu kan sahabatnya sendiri? Kedatangannya kemaren juga karena ia prihatin atas kesedihan sahabatnya itu. Masa sih dia itu sahabat makan sahabat? Atau STT, sahabat tukang tikung. Itu rasanya tidak mungkin kan? Bukankah Ayu itu temannya sejak masa anak-anak.
       Dari jauh nampak Imah itu berseri-seri matanya berkaca-kaca. Sepertinya ada bunyi dering di ujung sana. Itu artinya di rumah ini memang ada orangnya. O jadi Imah ini memang menelpon Pak Bram. Tetapi tiba-tiba wajahnya tampak kesal, sebal. Kenapa? Ternyata dering itu berhenti tiba-tiba. Sepertinya telponnya langsung direjek begitu saja. Dicobanya sekali lagi nomor yang diberikan Agus kemaren itu, bahkan kali ini tak ada dering sama sekali. Ingin rasanya ia menggedor pintu rumah itu. Atau mengintipnya dari lobang, Ah, masa perempuan bersuami masih mengintip-intip lelaki bujangan? Jangan-jangan bisa timbul fitnah lagi. Bahaya kan? Wah! Dasar keterlaluan Pak Bram ini. Ini tidak bisa dibiarkan. Agus harus diberitahu bahwa Bram itu memang benar-benar ada di rumah ini. Ayu harus tahu bahwa Bram itu bersembunyi di rumah ini. Ia ingin memberitahu liwat HP tetapi tidak jadi, karena HP yang ada di rumah itu sama dengan telpon rumah. Nah kalau yang mengangkatnya itu Julak Idar? Nggak lucu kan? Akhirnya Imah memutuskan menyampaikannya langsung secara lisan kepada Ayu yang biasa dipanggilnya Agus itu.
       Imah cepat-cepat menuju rumah Julak Idar. Hanya dalam hitungan detik ia sudah sampai. Sesampainya di halaman ia langsung membunyikan klakson kendaraannya beberapa kali. Ayu keluar dan Imah cepat turun dari kendaraan, langsung setengah berlari ke pelataran.
       “Ada, ada Gus,” katanya tergopoh-gopoh.
       “Apa? Apanya yang ada?” jawab Agustina balik bertanya.
      “Pak Bram ada di rumahnya Gus. Pak Bram bersembunyi di rumahnya Gus.”
      “Ah masa? Kamu tahu dari mana?”
      “Tadi kan aku ada di samping rumahnya. Lalu aku telpon nomor yang kamu beri itu.”
      “Lalu?”
      “Bunyinya ada di rumah itu tetapi langsung direjek, lalu aku telpon lagi tapi HP-nya tidak berbunyi lagi.”
      “Wah, HP-nya ketinggalan dong.”
      “Lho, ketinggalan bagaimana?”
      “Kak Bram itu sudah pergi beberapa hari yang lalu. Ada mobil yang menjemputnya.”
      “Wah, kamu tahu dari siapa?”
      “Dari Mala. Mala itu orang yang aku suruh memata-matai Kak Bram. ”
      “Lalu perginya ke mana?”
      “Nah itu dia yang aku tidak tahu. Tak ada seorang pun yang tahu kemana perginya. Termasuk si Mala itu. ”
***

        Sudah satu minggu ini Bram meninggalkan Bumi Amuk Hantarukung. sudah satu minggu juga ia berpisah dengan Ayu yang sangat mencintainya itu. Itu berarti ia sudah satu minggu berada di rumah kost-kostannya di Banjarmasin Barat. Di sini kost-kostan seperti ini disebut bedakan. Di sinilah ia tinggal semenjak keluar dari panti asuhan dulu. Di sini pulalah Yuni alm mantannya itu sering datang ke kamarnya. Sayang Yuni keburu pulang ke rahmatullah sebelum sampai ke pelaminan.
       Ah mengapa ia harus mengingat kembali mantannya itu? Bukankah tujuannya ke Banjarmasin ini memenuhi panggilan pemilik bedakan yang juga orangtua almarhumah Yuni itu. Seminggu yang lalu itu ia menerima telpon dari Surya teman kuliahnya dulu.
       ”Bram, kamu harus segera ke Banjarmasin. Penting. Cepat ya.”
       ”Ada apa? Kok sebegitu pentignya. Surya, memangnya ada apa sih?”
       ”Paman Juhri masuk rumah sakit. Asmanya kambuh. Kabarnya gawat dari biasanya.”
       ”O gitu ya? Kamu tau dari mana?”
       ”Baru saja terima telpon dari Lilis.”
       ”Rumah sakit mana?”
       ”Ansari Saleh Ruang Kumala kamar 4.”
       ”Tapi ini kan sudah sore? Sebentar lagi malam. Mana musim hujan lagi.”
       ”Bram tunggu di rumah , nanti aku yang jemput.”
       ”Surya, memangnya kamu ada di mana?”
       ”Di Kandangan. Ini aku sedang meluncur ke rumah kamu, tunggu ya.”
       ”Lho, memangnya kita naik apa?”
       ”Aku bawa mobil orangtuaku.” 
       Bram mengemasi pakaian seperlunya saja. Yang membuat ia tak habis pikir kenapa Paman Juhri itu memintanya datang ke Banjarmasin? Ia kan bukan keluarganya? Ada apa ya? Barangkali Paman Juhri sudah mengangapnya sebagai anak sendiri karena ia memang sangat dekat. Memang ada juga anaknya dari istri pertama, tetapi semua sudah berkeluarga dan mengikuti suaminya entah di mana.
       Sebenarnya Paman Juhri ini adalah pensiunan guru. Di sekolah biasa dipanggil Pak Juhri. Di bedakan ini ia biasa dipanggil Paman Kost, kemudian berubah menjadi Paman Juhri. Akibatnya Bram pun ikut memanggilnya Paman Juhri. Padahal ia adalah seorang guru senior di mana Bram Baswenda tercatat sebagai guru tidak tetap di sekolah itu.
       Tak berapa lama Surya datang menjemputnya. Tanpa banyak bicara ia langsung masuk mobil dan mereka pun berangkat ke Banjarmasin.
       Baru saja memasuki kota Rantau hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi masuk waktu magrib. Tak lama kemudian mereka sampai di Pulau Pinang. Surya memarkir kijangnya di halaman rumah makan dan langsung menuju ke kamar kecil, sebentar kemudian mereka mengambil air udhu dan langsung mengerjakan sholat magrib. Sehabis itu mengisi perut secukupnya kemudian berangkat ke Banjarmasin. Tepat pukul sepuluh malam mereka tiba di Rumah Sakit Ansari Saleh Banjarmasin. Setelah memarkir mobil mereka langsung menuju Ruang Kumala A4.
       Ia menengok pasien di dalamnya lewat kaca jendela. Nampak seorang pasien lansia terbaring lemas. Jarum infus masih melekat di tangan kanannya dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Di depan pintu kamar itu ia bimbang dan ragu. Benarkah orang tua yang terbaring itu Paman Juhri? Astagfirullah, itu memang Paman Juhri. Di ruang itu tak ada seorang pun yang menunggu dan menjaganya. Sebagai seorang pesiunan guru golongan IV ia mendapat fasilitas ruang kelas satu yang hanya dihuni untuk satu orang, terlihat kamar itu terkesan sepi tak berpenghuni. Itu karena Paman Juhri ini sekarang hidup sendiri. Setelah Yuni Indah Permata Sari meninggal dunia,  setahun  kemudian  istrinya juga meninggal. 
       Kini di hari tuanya ini Paman Juhri hanya hidup sendiri. Ia masih punya putri kembar dri istri pertamanya, tetapi masing-masing ikut suami dan tidak diketahui dimana adanya. Padahal dulu ia berharap bisa mendapatkan cucu dari Yuni. Masih segar dalam ingatannya. Paman Juhri ini sangat menyanginya. Sampai-sampai ingin menjodohkannya dengan putrinya itu. Sejak itu ia tak perlu lagi membayar sewa di bedakan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar