RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 07
07
Hari ini
hari Minggu. Sejak dini hari tadi Ayu tak bisa tidur lagi. Sehabis sholat
Shubuh ia langsung merebus air dan memasak buat makan pagi. Memang
kedengarannya sangat aneh, ini bukan kebiasaan ibu-ibu di sini. Di sini sarapan
pagi tidak di rumah tetapi di warung, termasuk juga Abah. Memang tidak semuanya
seperti itu, ada juga satu dua yang sarapan di rumah. Ayu belakangan ini
termasuk yang biasa sarapan di rumah. Abah memahami perubahan sikap Ayu belakangan
ini. Itu karena hubungannya dengan Bram sedikit membaik. Bukankah istri yang
baik selalu mempersiapkan sarapan buat suami? Bukankah sudah seharusnya ia
membiasakan dari sekarang? Abah geleng-geleng kepala dan manggut-manggut kepala
lalu pergi cepat-cepat ke warung katupat Acil Siti yang murah meriah.
Ayu sengaja
melakukan semua ini buat menyambut kedatangan calon suaminya. Bukankah ini hari
Minggu? Hari ini sudah memasuki masa berakhirnya liburan sekolah. Kak Bram
pasti lagi malas-malasan. Ia ingin menghubungi Kak Bram lewat HP mengajak
sarapan pagi buatannya sendiri. Setelah itu baru keliling-keliling seperti sore
beberapa hari yang lalu. Maklum ia kan sangat menikmatinya bahkan ketagihan
ingin mengulang kembali kebahagian itu.
Cepat ia
mengambil HP jadulnya dan menghubungi Kak Bram, tetapi tak ada jawaban.
Panggilannya memang berdering tetapi tidak diangkat. Dicobanya berkali-kali
tetap saja tak diangkat-angkat. Yang ada malah pemberitahuan bahwa nomor itu
tidak bisa dihubungi. Ada apa ya? Ia
mencoba menyapanya lewat SMS.
“Assalamu
alaikum Kak Bram sayang. Masih tidur ya? Bangun sayang. Hari sudah siang nih.
Hari ini kan hari Minggu? Kita jalan-jalan yu. Ke air terjun Mu’ui atau ke
Pagat Barabai. Ayu tunggu di rumah ya.”
Ayu bersabar dan
terus bersabar menunggu SMS jawaban. Sambil
menunggu SMS Ayu pergi ke dapur
dan menggoreng ikan sepat siam asin kesukaannya. Tak lupa juga ia membuat
cacapan bawang bakar dengan asam jeruk plus cabai rawit yang pedas itu. Untuk sementara
ia dapat melupakan kekesalan dan kejengkelannya itu. Betapa lahap ia makan.
Bukan hanya menunya yang sepesial tetapi ia memang sangat lapar. Sehabis makan
ia langsung ke kamarnya melihat apakah sudah ada SMS balasan. Ternyata belum
ada juga. Sambil menunggu SMS, ia membuka TV parabola. Bahkan sudah berjam-jam
menonton tv ternyata tak ada juga jawaban yang diharapkan. Bermacam hiburan
sudah dilihatnya tetapi tak ada yang dapat dinikmatinya. TV-nya main sendiri
dan dia-nya tiduran sendiri. Akhirya Ayu pun kesal lalu melemparkan tubuhnya ke
ranjang sambil tetap menunggu SMS balasan. Sialnya ternyata SMS yang
dinanti-nanti masih tak ada juga. Ia mulai serba salah, kesal dan dongkol jadi
satu dalam hatinya. Bahkan sudah sampai puncaknya. Semuanya jadi serba salah.
Duduk salah berdiri salah. Ia mondar mandir sendiri di kamar tidurnya. Lalu
keluar ke ruang tamu ke beranda kembali lagi ke dalam bahkan sampai ke ruang
dapur. Lalu kembali lagi ke ruang tamu dan berdiri di balik jendela.
Sepasang
matanya yang bening itu mulai merah menyala menahan kesal. Dilihatnya cuaca
mulai mendung, langit kelabu semakin gelap. Jam di dinding sudah menunjukkan
pukul sepuluh lewat dua puluh menit, sedangkan SMS balasan belum juga datang.
Padahal jam segini biasanya ia sudah ke pasar Wasah Hilir membeli ikan yang
harus di masak untuk makan hari ini. Sebab kalau terlambat bisa-bisa yang
tertinggal hanya ikan sisa. Tentu kurang menarik selera. Apalagi Abah itu
orangnya sangat cerewet dan suka pilih-pilih ikan untuk makan siang.
Ayu
menurunkan kendaraan, lalu menstarter kendaraannya dan terus pergi ke pasar
dengan harapan masih bisa membeli ikan gabus segar kesukaan Abah. Ia sengaja
tidak membawa HP, karena selain jadul
HP-nya juga berfungsi sebagai telpon
rumah. Setelah memarkir kendaraan ia
langsung mencari ikan gabus segar. Beruntung sekali masih ada ikan yang
dicarinya, ia membeli setengah kilo cukup untuk makan hari ini. Setelah
membayar harga ikan itu ia langsung pulang membawa ikan yang sudah siap
digoreng atau dipanggang. Sesampainya di rumah ia tidak langsung memasak ikan
gabus itu, tetapi dimasukkannya ke dalam kulkas. Ia langsung memeriksa HP,
siapa tahu sudah ada SMS balasan. Ternyata masih belum ada juga. Ia sangat
kecewa berat. Menyebalkan! Benar-benar menyebalkan. Kini timbul
rasa benci di hatinya, tetapi
juga masih ada rasa sayang. Inikah yang namanya benci tapi sayang? Cinta memang
terkadang menyisakan perasaan kesal dan rindu jadi satu.
Diam-diam
Ayu mulai menyadari bahwa memang sulit mencintai pria lajang yang disukai
banyak gadis. Ia juga sadar bahwa ia bukan janda yang kaya raya, ia hanyalah
janda miskin yang tidak punya apa-apa. Satu-satunya andalannya hanya kecantikan
semata. Sayangnya kecantikan seorang janda hanya mampu menarik lelaki seperti
Datuk Maringgih yang istrinya juga ada di mana-mana. Kini ia kembali galau
seperti dulu lagi.
***
Hari ini
seharian ia hanya merenung mengapa hati yang baru berbunga-bunga ini kembali
menjadi gersang? Mengapa lelaki yang sangat dicintainya itu begitu tega
menyengsarakan hatinya? Sungguh tidak ada yang lebih menyebalkan hatinya selain
dari telpon tak diangkat dan SMSnya tak dibalas-balas. Kemaren sore secara
diam-diam ia pergi ke rumah Kak Bram, rumahnya terkunci. Tetapi kenapa ditelpon
tak diangkat dan di SMS tak ada balasan. Meski tak ada di tempat tetapi masih
bisa mengangkat telpon kan? Meski tak ada di rumah masih bisa kan membalas SMS?
Sebenarnya ia salah apa? Bukankah beberapa hari ini tak ada sedikit pun
kata-katanya yang menyakitkan Kak Bram? Tetapi
kenapa jadi begini? Apa yang dirasakannya
ini Abah
tidak boleh tahu. Ia berusaha merahasiakan
kegalauannya ini. Ia harus tetap kuat walau lelaki Idamannya itu mengetahui
bahwa ia seorang janda. Meski kekasihnya itu telah terpikat seorang gadis yang
benar-benar masih gadis, ia harus tetap bertahan seakan tak terjadi apa-apa.
Kini dadanya mulai terasa sesak nafasnya semakin berat. Meski demikian ia
berusaha untuk tidak menangis di depan Abah. Ia harus merebut kembali kemesraan
yang mulai menjauh darinya. Ia harus mendapatkan kembali Kak Bram yang
meninggalkan duka di hatinya. Mengapa lelaki yang selalu ada di hatinya itu
kini pergi hanya karena ia seorang janda? Mengapa ini terjadi saat ia baru saja
merasakan kembali kemesraan itu? Mengapa? Mengapa dan mengapa?
***
Pagi ini Ayu
merasa lesu tak bersemangat. Hatinya sedang galau karena Kak Bram hilang entah
kemana. Diam-diam gelagat ini terlihat juga oleh Abah. Ia melihat ada sesuatu
yang lain, ia juga ikut merasakannya.
“Ada apa Dang?”
Ayu tak menjawab
karena ia memang tak mendengar. Pikirannya melayang jauh menggapai kenangan
indah yang dirasakannya belakangan ini. Ia membiarkan angan-angan itu semakin
jauh agar dapat mengikis keperihannya saat ini.
“Dang. Idang,”
sapa Julak Idar sekali lagi langsung membuyarkan khayalan Ayu.
“I, i, inggih
Abah. Ada apa Bah?”
“Lho? Ada apa?
Sebenarnya ada apa Dang?”
“Tidak ada
apa-apa Abah.”
“Tidak ada
apa-apa bagaimana? Muka patah tiga begitu kok dibilang tidak ada apa-apa.
Apakah ini ada hubungannya dengan Guru
Ibas?”
“Inggih Abah.”
“Lho? Bukankah
kalian nampak akur-akur saja?”
“Inggih Abah.”
“Lalu masalahnya
apa?”
“Nah itu dia
Abah. Kak Bram itu aneh.”
“Aneh? Aneh
apanya?”
“Ya aneh. Masa
telpon tidak diangkat? SMS tidak dibalas? apa sih maunya? Kabur?”
“Apa? Kabur
katamu?”
“Inggih. Kak Bram itu kabur Abah.”
“Dari mana Idang
tahu bahwa ia itu kabur? Idang sudah memeriksa ke rumahnya?”
“Sudah
Abah.”
“Wah! Ini
tidak bisa dibiarkan begitu saja. Abah harus mencarinya sampai ketemu.”
Tiba-tiba
terdengar bunyi klakson kendaraan di halaman. Tetapi itu bukan bunyi klakson
kendaraan Kak Bram. Abah cepat keluar. Ternyata itu adalah Imah. teman Ayu
sejak anak-anak.
“Assalamua
alaikum.”
“Wa alaikum salam. E
Imah.Lama tidak mampir ke sini. Kemana saja?”
“Tidak kamana-mana,
masih di sini-sini saja. O ya Julak ulun lawas kada batamuan wan Agus41.
Apakah Agus-nya ada?”
“Idangnya ada di dalam
tuh. Dang, ada Imah ni.”
Abah masuk
karena Imah datang untuk menemui Ayu. Ayu keluar menemuinya. Dilihatnya Imah
masih seperti biasa tak ada yang berubah. Penampilannya juga seperti masih
lajang, padahal anaknya sudah dua. Ayu berusaha tampil seperti tak ada tapa-apa
pada dirinya. Seperti biasa keduanya sama-sama duduk di beranda.
“Agus kamu
kenapa? Sepertinya ada yang tidak beres?”
Ayu hanya tersenyum
seperti tak terjadi apa-apa, tetapi Imah
sangat mengerti keadaan Ayu.
Rambutnya yang kusut masai memberitahukan keadaan hatinya yang
sebenarnya.
“Kok kamu
senyum-senyum gitu? Sebenarnya ada apa Gus?”
“Benar kata orang
cinta itu tidak selamanya membuat kita bahagia? Imah …”
Imah berpikir
mencari makna ucapan Agustina yang terdengar layu.
“Iya Gus.
Ada kalanya cinta itu membuat orang berduka.” Imah diam sesaat, “Apakah ada
hubungannya dengan Pak Bram?”
“Iya, Kak Bram
telah pergi meninggalkanku Mah.”
“Kumbang tidak
seekor kembang pun tidak sekaki hilang satu cepat cari pengganti.”
“Tapi aku sangat
menyayanginya.”
“Apakah Pak Bram
juga sangat menyayangimu?”
Ayu menggeleng lalu
menundukkan kepalanya, “Mah, Lelaki itu sulit ditebak ya. Kemaren bilang cinta,
sekarang pergi entah ke mana.”
“Jangan-jangan …” Imah sengaja tak meneruskan kalimat itu. Ia takut
sahabatnya ini jadi semakin pedih.
“Kenapa Mah?”
“Apakah Pak Bram
itu punya perempuan lain?”
“Maksud kamu ia
selingkuh?”
“Nah itu dia,
selingkuh, dan … “
“Apa iya Mah?”
“Ya bisa jadi
kan? Laki-laki itu kalau sudah dikasih hati mau menginjak kepala.”
“Tetapi selama
ini Kak Bram tidak pernah begitu.”
“Yakin? Apakah
kamu sudah pernah membuktikan?”
“Caranya?”
“Kita intip saja
di rumahnya, atau di tempatnya bekerja. Gampang kan?”
“Percuma.”
“Belum dicoba
sudah bilang percuma. Takut ya? Malu ya? Kalau soal yang beginian tak ada
istilah takut. Apalagi Malu. Ah bagaimana kamu ini?”
“Ya percuma
saja.”
“Kok
percuma? Kamu sudah ke rumahnya?”
“Iyya.”
“Kapan?”
“Kemaren. Tapi
Kak Bram-nya tidak ada.”
“Kalau gitu
kamu-nya yang salah.”
“Lho aku yang
salah? Memang salahnya dimana?”
“Salahnya kamu datang
saat sekolah sudah libur. Pak Bramnya lagi pulang kampung.”
“Pulang kampung?
Dia itu tak punya kampung.”
“Kok bisa?”
Ayu diam, ia tak
perlu menjelaskan keluarga Kak Bram, itu
adalah rahasia keluarga. Kelak tentu
akan jadi rahasianya juga. Di sini hanya Abah dan dia yang tahu bahwa Kakeknya
Kak Bram itu adalah tokoh gerombolan di kawasan Meratus yang dinyatakan
Pemerintah sebagai Pemberontak. Dia yang pernah menculik dan membunuh beberapa
penduduk hanya demi perjuangan pemberontak. Itu adalah sesuatu yang sangat
rahasia. Ayahnya yang yang tidak tahu menahu urusan itu harus berkelana dari
kota ke kota. Termasuk menghilangkan identitas dan mengganti nama anaknya
menjadi Bram Baswenda yang sedikit pun tak ada bau-bau Hulu Sungai-nya. Nah
pada saat itulah ia dititipkan di panti asuhan tanpa mengetahui siapa orang
tuanya yang sebenarnya.
***
Sehabis
sholat Zuhur ia ingin duduk-duduk di beranda mengingat-ingat kembali
pembicaraannya dengan Imah tadi pagi. Tetapi ia merasa kurang pantas dilihat
orang. Ia pun mengurungkan keinginannya itu. Ia hanya berdiri memandang keluar
lewat jendela. Dilihatnya di luar sana sedikit pun tak ada sinar matahari yang
menembus pepohonan kelapa dan rimbunnya dedaunan. Itu bukan karena pepohonan
yang menghalangi, tetapi memang karena cuaca berawan langit dipenuhi dengan
awan hitam. Sehingga nampak seperti senja, seperti mau malam saja. Tetapi
sebenarnya bukan itu yang dipikirannya. Ia justru baru kepikiran apa yang
dikatakan Imah tadi pagi. Bisa bisa jadi Kak Bram itu meninggalkannya karena
selingkuh. Bukankah selama ini banyak gadis yang tebar pesona untuk mendapatkan
Kak Bram? Bisa jadi ia terpikat salah satunya kan? Apalagi gadis-gadis itu
semuanya cantik-cantik dan belum bersuami. Berbeda dengan dirinya yang sudah
menjadi janda. Meski demikian ia masih merasa lebih baik dari gadis-gadis itu,
statusnya memang sudah janda. Sedang gadis-gadis itu meskipun secara kesat mata
masih gadis, tetapi siapa tahu mereka itu sudah tidak perawan lagi. Bisa jadi
kan?
Astagfirullah, mengapa pikirannya jadi memikirkan aib orang lain? Yang
jelas ia berharap jangan sampai Kak Bram itu selingkuh, itu saja. Meskipun ia
mengetatahui bahwa di luar sana banyak gadis-gadis yang ingin merebut Kak Bram
dari tangannya. Untuk menghilangkan pikiran buruknya itu ia cepat menyalakan
tv. Hampir setengah jam sudah Ayu menonton tv tetapi tak ada satupun yang dapat
menghiburnya. Ia malah kepikiran apa yang dikatakan Imah tadi. Bisa jadi Kak
Bram itu pulang kampung tetapi di mana kampungnya?
Tanpa
diketahuinya diam-diam Abah sudah duduk di dekatnya. Maksudnya mau menonton tv
juga mau minum kopi hangat.
“Dang.”
Jangankan
mendengar sapaan Abah ia juga tidak mengetahui Abah sudah duduk di sampingnya
menonton tv. Ia malah memikirkan pembicaraannya dengan Imah tadi pagi.
“Dang,”
sapa Abah sedikit lebih keras membuyarkan lamunannya.
“Ya, ya Abah. A
ada apa Bah?” jawabnya tergagap-gagap
“Tidak ada
apa-apa. Abah hanya minta buatkan kopi dan bawakan juga koenya ya.”
“Ya Abah,” sahut
Ayu langsung berdiri menuju ke ruang dalam. Tak lama kemudian ia datang lagi
membawa kopi hangat dalam gelas besar bersama piring yang berisi koe, lalu
menaruhnya. Abah langsung meminum kopi panas itu sambil meniup-niupnya. Nampak
ia sangat menikmati kopi dan koe yang baru dibeli siang
ini. Kini Ayu kembali menonton tv, tetapi ia masih memikirkan Kak Bram. Abah
diam-diam memperhatikan ada yang aneh, ia melilhat pandangan hampa di mata Ayu.
Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Apakah ia masih memikirkan Guru Ibas
itu?
“Dang, kamu
sedang memikirkan Guru Ibas itu ya?”
“Iya Abah. Apakah Kak Bram itu pulang kampung?”
“Pulang kampung?
Ia kan tidak punya kampung? Mau pulang ke mana?”
“Kak Bram bukan
tidak punya kampung, tetapi ia tidak pernah pulang kampung.”
“Lho? Dang, kamu
tahu dari mana?”
“Itu cuma
perkiraan Ulun saja Abah.”
“Perkiraan
bagaimana? Memangya Idang itu nujum ya?”
“Bukan nujum
Abah. Tapi ini fakta.”
“Lho? Fakta apa
Dang?”
“Abah
masih ingat kan? Waktu Kak Bram menceritakan tentang ….. ”
“Tentang apa
Dang?”
“Sssst, jangan
keras-keras Abah. Ini rahasia. Sekaligus aib keluarga.”
“Aib keluarga
kita?”
“Bukan, bukan aib
keluarga kita Abah, tetapi aib keluarga Kak Bram itu.”
“Astagfirullah,
jangan asal bicara Dang. Idang tahu dari mana?”
“Dari Kak Bram
sendiri.”
“Masa sih?”
“Abah lupa ya?
Kan Abah sendiri yang bilang? Bahwa Datunya Kak Bram itu adalah Tokoh
Gerombolan di Kawasan Meratus. Datu dan kakeknya itu hilang tak diketahui masih
hidup atau sidah meninggal ketika pembersihan sisa-sisa gerombolan pemberontak
itu. Berarti ayahnya Kak Bram itu adalah cucu dari tokoh itu,” jelas Ayu
setengah berbisik.
“Jadi maksud Idang pemberontak itu aib keluarga Ibas?”
“Iya.”
“Itu kan dulu?
Sekarang tidak lagi. Lagi pula anak sekarang, termasuk Guru Ibas itu tidak tahu
apa-apa tentang gerombolan itu. Sudahlah jangan membicarakan masalah itu. Abah
jadi ngeri mendengarnya.”
“Tetap saja itu
aib keluarga Kak Bram. Kalau tidak, mengapa ia harus diberi nama Bram Baswenda
yang tak ada sedikitpun inguh ngaran urang banua. Kenapa tidak diberi nama
Hamberan, Taberi, Syarifuddin, Tajuddin, Fahruraji, Jamal dan lain-lain. Lagi
pula di mata orang-orang seumuran Abah, mereka itu adalah gerombolan yang oleh
pemerintah dianggap sebagai pemberontak yang harus dibersihkan.”
“Tapi Guru Ibas
kan tidak punya keluarga.”
“Jadi Abah masih
mengangap Kak Bram itu tidak punya keluarga?”
“Iya pasti.”
“Lalu yang
memasukkannya ke Panti asuhan itu siapa? Siapa yang memberitahukan kepada Kak
Bram bahwa datu dan kakeknya itu adalah tokoh gerombolan yang hilang lenyap
entah ke mana? Siapa Abah?”
“Tentu saja
keluarganya atau paling tidak keluarga jauh. Bisa juga tetangganya.”
“Nah itulah yang
ulun maksud keluarga Kak Bram.”
“Bisa jadi.
Mungkin juga ya?”
“Iya
pasti. Karena Kak Bram hanya menceritakan rahasia itu kepada kita. Itu berarti
Kak Bram telah mempercayakan rahasia keluarganya kepada kita. Dan tidak mungkin
Kak Bram menghianati kita. Tidak mungkin ia meninggalkan ulun merana seperti
ini. Tidak mungkin kan?”
“Harusnya begitu”
“Tetapi
kenyataannya Kak Bram tega pergi tanpa kabar berita. Mengapa Kak Bram tega
berkhianat? Mestinya kalau ingin menemui keluarganya juga harusnya memberi
kabar, kan? Tidak seperti angin terbang tanpa kabar berita.”
“Tunggu dulu
Dang, jangan terlalu berburuk sangka begitu saja. Abah ini sebenarnya sangat
paham dan mengerti apa yang idang rasakan saat ini.”
“Lalu maksud Abah
apa?”
“Maksud Abah itu
begini.” Ia minum kopi dan makan koe. Sementara Ayu cemas-cemas harap menunggu
apa yang akan diucapkan Abah.
“Kalau ada
sesuatu yang membuat Guru Ibas tidak bisa memberi kabar, itu sama ibaratnya
kita berdiri di tepi laut. Yang kita lihat memang air laut, tetapi janganlah
kita mengira bahwa laut itu adalah air keseluruhan. Kalau kita menyelam sampai
ke dasar kita pasti melihat ikan-ikan dengan aneka warnanya. Seperti itulah
perumpamaannya. Bagaimana? Apakah Idang bisa memahami kata kata abah?”
“Inggih
Abah. Maksudnya ambil hikmahnya dari semua ini, gitu ya Bah?”
“Bisa juga
begitu. Yang jelas Guru Ibas tidak memberi kabar, tentu ada alasannya.”
“Apa
alasannya Bah?”
“Alasannya
itu … ”
“Apa
Bah?”
“Apa ya?
Wah, Abah tidak tahu juga.”
“Tapi kita
harus tahu alasannya Bah?”
“Kita
tunggu saja. Biarkan seperti air mengalir. Nanti juga kita akan tahu sendiri.”
“Memang
bisa begitu?”
“Iya, iya
bisa lah. Percaya saja sama Abah?”
“Iya Abah.
Ulun percaya awan pian.”
Dari
langgar Al Hijrah sayup-sayup terdengar suara azan. Julak Idar masuk ganti
pakaian untuk sholat, kemudian ke halaman dan lalu. menghidupkan mesin
kendaraannya dan langsung menuju ke Langgar Al Hijrah.
Hari
masih pukul dua siang tetapi mendung semakin berat. Dari jauh nampak Siti
Patmah yang biasa dipanggil Imah itu mengendarai bebeknya lambat-lambat dan
berhenti di samping rumah Pak Bram. Ia mengeluarkan HP-nya dan menghubungi seseorang.
Siapa yang dihubunginya? Mengapa ia menelpon di samping rumah yang tak ada
orangnya itu? Itu kan sangat mencurigakan? Masa Imah menelpon sembunyi-sembunyi
di belakang suami? Apakah ia menelpon selingkuhannya? Atau menelpon orang lain?
Ataukah menelpon Pak Bram? Bisa jadi kan? Bukankah Pak Bram itu memang disukai
banyak wanita? Bisa jadi Imah ini juga salah satu penyukanya kan? Padahal Ayu
itu kan sahabatnya sendiri? Kedatangannya kemaren juga karena ia prihatin atas
kesedihan sahabatnya itu. Masa sih dia itu sahabat makan sahabat? Atau STT,
sahabat tukang tikung. Itu rasanya tidak mungkin kan? Bukankah Ayu itu temannya
sejak masa anak-anak.
Dari jauh nampak
Imah itu berseri-seri matanya berkaca-kaca. Sepertinya ada bunyi dering di
ujung sana. Itu artinya di rumah ini memang ada orangnya. O jadi Imah ini
memang menelpon Pak Bram. Tetapi tiba-tiba wajahnya tampak kesal, sebal.
Kenapa? Ternyata dering itu berhenti tiba-tiba. Sepertinya telponnya langsung
direjek begitu saja. Dicobanya sekali lagi nomor yang diberikan Agus kemaren
itu, bahkan kali ini tak ada dering sama sekali. Ingin rasanya ia menggedor
pintu rumah itu. Atau mengintipnya dari lobang, Ah, masa perempuan bersuami
masih mengintip-intip lelaki bujangan? Jangan-jangan bisa timbul fitnah lagi.
Bahaya kan? Wah! Dasar keterlaluan Pak Bram ini. Ini tidak bisa dibiarkan. Agus
harus diberitahu bahwa Bram itu memang benar-benar ada di rumah ini. Ayu harus
tahu bahwa Bram itu bersembunyi di rumah ini. Ia ingin memberitahu liwat HP
tetapi tidak jadi, karena HP yang ada di rumah itu sama dengan telpon rumah.
Nah kalau yang mengangkatnya itu Julak Idar? Nggak lucu kan? Akhirnya Imah
memutuskan menyampaikannya langsung secara lisan kepada Ayu yang biasa
dipanggilnya Agus itu.
Imah cepat-cepat
menuju rumah Julak Idar. Hanya dalam hitungan detik ia sudah sampai.
Sesampainya di halaman ia langsung membunyikan klakson kendaraannya beberapa
kali. Ayu keluar dan Imah cepat turun dari kendaraan, langsung setengah berlari
ke pelataran.
“Ada, ada Gus,”
katanya tergopoh-gopoh.
“Apa? Apanya yang
ada?” jawab Agustina balik bertanya.
“Pak Bram ada di
rumahnya Gus. Pak Bram bersembunyi di rumahnya Gus.”
“Ah masa? Kamu tahu
dari mana?”
“Tadi kan aku ada di
samping rumahnya. Lalu aku telpon nomor yang kamu beri itu.”
“Lalu?”
“Bunyinya ada di rumah
itu tetapi langsung direjek, lalu aku telpon lagi tapi HP-nya tidak berbunyi
lagi.”
“Wah, HP-nya
ketinggalan dong.”
“Lho, ketinggalan
bagaimana?”
“Kak Bram itu sudah
pergi beberapa hari yang lalu. Ada mobil yang menjemputnya.”
“Wah, kamu tahu dari
siapa?”
“Dari Mala. Mala itu
orang yang aku suruh memata-matai Kak Bram. ”
“Lalu perginya ke
mana?”
“Nah itu dia yang aku
tidak tahu. Tak ada seorang pun yang tahu kemana perginya. Termasuk si Mala
itu. ”
***
Sudah satu
minggu ini Bram meninggalkan Bumi Amuk Hantarukung. sudah satu minggu juga ia
berpisah dengan Ayu yang sangat mencintainya itu. Itu berarti ia sudah satu
minggu berada di rumah kost-kostannya di Banjarmasin Barat. Di sini kost-kostan
seperti ini disebut bedakan. Di sinilah ia tinggal semenjak keluar dari panti
asuhan dulu. Di sini pulalah Yuni alm mantannya itu sering datang ke kamarnya.
Sayang Yuni keburu pulang ke rahmatullah sebelum sampai ke pelaminan.
Ah mengapa ia harus mengingat kembali
mantannya itu? Bukankah tujuannya ke Banjarmasin ini memenuhi panggilan pemilik
bedakan yang juga orangtua almarhumah Yuni itu. Seminggu yang lalu itu ia
menerima telpon dari Surya teman kuliahnya dulu.
”Bram, kamu harus segera ke Banjarmasin.
Penting. Cepat ya.”
”Ada apa? Kok sebegitu pentignya. Surya,
memangnya ada apa sih?”
”Paman Juhri masuk rumah sakit. Asmanya
kambuh. Kabarnya gawat dari biasanya.”
”O gitu ya? Kamu tau dari mana?”
”Baru saja terima telpon dari Lilis.”
”Rumah sakit mana?”
”Ansari Saleh Ruang Kumala kamar 4.”
”Tapi ini kan sudah sore? Sebentar lagi
malam. Mana musim hujan lagi.”
”Bram tunggu di rumah , nanti aku yang
jemput.”
”Surya, memangnya kamu ada di mana?”
”Di Kandangan. Ini aku sedang meluncur
ke rumah kamu, tunggu ya.”
”Lho, memangnya kita naik apa?”
”Aku bawa mobil orangtuaku.”
Bram mengemasi pakaian seperlunya saja.
Yang membuat ia tak habis pikir kenapa Paman Juhri itu memintanya datang ke
Banjarmasin? Ia kan bukan keluarganya? Ada apa ya? Barangkali Paman Juhri sudah
mengangapnya sebagai anak sendiri karena ia memang sangat dekat. Memang ada
juga anaknya dari istri pertama, tetapi semua sudah berkeluarga dan mengikuti
suaminya entah di mana.
Sebenarnya Paman Juhri ini adalah
pensiunan guru. Di sekolah biasa dipanggil Pak Juhri. Di bedakan ini ia biasa
dipanggil Paman Kost, kemudian berubah menjadi Paman Juhri. Akibatnya Bram pun
ikut memanggilnya Paman Juhri. Padahal ia adalah seorang guru senior di mana
Bram Baswenda tercatat sebagai guru tidak tetap di sekolah itu.
Tak berapa lama Surya datang
menjemputnya. Tanpa banyak bicara ia langsung masuk mobil dan mereka pun
berangkat ke Banjarmasin.
Baru saja memasuki kota Rantau hari
sudah mulai gelap dan sebentar lagi masuk waktu magrib. Tak lama kemudian
mereka sampai di Pulau Pinang. Surya memarkir kijangnya di halaman rumah makan
dan langsung menuju ke kamar kecil, sebentar kemudian mereka mengambil air udhu
dan langsung mengerjakan sholat magrib. Sehabis itu mengisi perut secukupnya
kemudian berangkat ke Banjarmasin. Tepat pukul sepuluh malam mereka tiba di
Rumah Sakit Ansari Saleh Banjarmasin. Setelah memarkir mobil mereka langsung
menuju Ruang Kumala A4.
Ia menengok pasien di dalamnya lewat
kaca jendela. Nampak seorang pasien lansia terbaring lemas. Jarum infus masih
melekat di tangan kanannya dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Di depan
pintu kamar itu ia bimbang dan ragu. Benarkah orang tua yang terbaring itu
Paman Juhri? Astagfirullah, itu memang Paman Juhri. Di ruang itu tak ada
seorang pun yang menunggu dan menjaganya. Sebagai seorang pesiunan guru golongan
IV ia mendapat fasilitas ruang kelas satu yang hanya dihuni untuk satu orang,
terlihat kamar itu terkesan sepi tak berpenghuni. Itu karena Paman Juhri ini
sekarang hidup sendiri. Setelah Yuni Indah Permata Sari meninggal dunia, setahun
kemudian istrinya juga
meninggal.
Kini di hari tuanya ini Paman Juhri
hanya hidup sendiri. Ia masih punya putri kembar dri istri pertamanya, tetapi
masing-masing ikut suami dan tidak diketahui dimana adanya. Padahal dulu ia
berharap bisa mendapatkan cucu dari Yuni. Masih segar dalam ingatannya. Paman
Juhri ini sangat menyanginya. Sampai-sampai ingin menjodohkannya dengan
putrinya itu. Sejak itu ia tak perlu lagi membayar sewa di bedakan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar