RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 10
10
Pagi ini Dewi tidak seperti biasanya. Ia
baru keluar dari kamarnya setelah lewat pukul tujuh, bahkan hampir pukul
delapan. Dilihatnya pintu kamar Bram masih tertutup rapat. Barangkali saja ia
masih tidur. Sebenarnya ia mau mengajak Bram sarapan pagi nasi goreng istimewa
buatannya. Atau kalau perlu dia sendiri yang membawa makanan itu ke kamar Bram
untuk sarapan bersama.
“Baru bangun Wi? Tegur Jamaluddin Affandi.
Dewi hanya senyam-senyum dibilang baru bangun tidur. Jelas terlihat
wajahnya yang kusam tak sempat terurus. Kali ni sepertinya ia memang sengaja
seperti tak mau menatap wajah Jamal, meski sejak tadi Jamal terus menerus
menatapnya.
“Kamu sakit ya?”
Dewi menggelengkan kepalanya perlahan.
“Lantas kenapa kamu nampak layu gitu?”
“Aku tak apa-apa.”
“Benar kamu tidak sakit? Kamu lagi marah sama aku ya?”
Kembali Dewi hanya mengelengkan kepala sambil melihat pintu kamar Bram
yang masih tertutup itu. Memang sedikitpun ia tidak marah pada cowok ini. Jamal
pun tidak bertanya-tanya lagi, tetapi ia masih memperhatikan keganjilan Dewi
yang tidak seperti biasanya. Sudah lima menit ia memperhatikan pintu itu namun
belum beranjak juga. Dewi bingung.
“Bram sudah keluar,” kata Jamal langsung
membuyarkan pikiran Dewi.
“Kemana?”
“Lari pagi. Palingan ke siring. Kalau mau ke sana bisa aku antar. Mau?”
“Nggak usah Kak. Paginya juga sudah agak siangan. Dewi mau ke pasar saja
nih.“
“Mau diantar?”
“Hahahaha. Lho kan pasarnya dekat sini?”
“O gitu ya?”
Dewi pergi ke pasar LKMD yang tidak jauh dari kontrakan, sesampainya di
pasar ia bingung sendiri. Apa yang mau dibeli? Karena memang bukan itu
maksudnya. Diam-diam ia kembali ke kontrakan, menurunkan kendaraannya dan pergi
ke siring. Barangkali Kak Bram ada di sana.
***
Matahari pagi di ufuk timur masih belum
begitu tinggi, hari pun baru pukul tujuh pagi. Kalau hari Minggu biasanya saat
seperti ini adalah jam ramai-ramainya orang berolahraga. Tetapi ini hari Rabu,
meskipun ini hari libur besar tetap tetap saja tidak seramai hari Minggu,
karena pagi ini banyak yang masih tertidur pulas sehabis bertahun baruan tadi
malam. Meski demikian tentu ada yang jogging mengelilingi areal Mesjid Raya
Sabilal Muhtadin. Salah satunya adalah Bram yang tak mau ketinggalan
menyempatkan diri berolah raga pagi. Terkadang berlari-lari, lalu jalan cepat
bahkan kadang-kadang juga hanya jalan santai biasa. Lalu menyeberang lewat
Jembatan Merdeka dan akhirnya juga sama iapun santai melepas lelah di sepanjang
siring Tendean. Dilihatnya di sini ada beberapa pejalan kaki tanpa sepatu atau
sandal, berjalan santai di selasar siring yang sengaja dibuat kasar berbatu
krikil ini. Diam-diam iapun melepaskan sepatunya dan mulai berjalan tanpa
sepatu ikutan seperti yang lainnya itu. Setelah dirasa cukup ia pun duduk
santai di siring sambil menikmati geliat pagi Sungai Martapura yang indah
berliku membelah kota Banjarmasin.
Di sini ia hanya diam karena ia masih galau sejak meninggalkan Bumi Amuk Hantarukung. Dia sudah
galau bimbang dan ragu antara cinta dan prinsip. Di satu sisi ia masih mencitai
Ayu yang sudah Janda itu. Di sisi lain ia harus mempertahankan prinsipnya
‘Pantang Pemuda Makan Sisa’. Lalu? Begitu sampai di Banjarmasin ia jadi tambah
galau karena di sini ada Iras dan Dewi yang tengah menjebak dengan perangkapnya
masing-masing. Tiba-tiba saja Dewi sudah duduk di sampingnya membuat Bram jadi
terkejut karenanya.
“Kok Kak Bram ke sini nggak
ngajak-ngajak?“
“Kamu sih bangun kesiangan, bagaimana
mau mengajak?”
“Lalu Kak Bram sendiri bangunnya nggak
kesiangan ya?”
“Enggak lah. Kalau kesiangan kan aku
masih di tempat tidur? Hehehehe.”
“Ya, Dewi kesiangan. Tapi kenapa Kak
Bram menyendiri? Lagi Galau ya?”
“Wi kita pulang yu,” ajak Bram
tiba-tiba.
“Kok pulang? Dewi kan baru datang? Dewi
juga mau bersantai-santai di sini.”
“Kan masih ada pagi yang lain?”
“Pagi yang lain memang masih banyak
tetapi tidak seindah pagi ini.”
“Kenapa?”
“Karena ada Kak Bram.”
“Lho? Ada atau tidaknya aku tak ada
pengaruhnya kan?”
“Kata siapa? Lagi pula Dewi sudah lama
menanti saat ini.”
“Kok gitu? Lalu bagaimana dengan Bobi?”
“Tak ada restu dari keluarganya. Lagi
pula kan ...”
“Tak ada harapan lagi? Begitu maksudmu?”
Dewi hanya tertunduk layu membenarkan
dugaan itu.
“Wah! Sadis amat kamu Wi.”
“Kok sadis? Sadis apanya?”
“Ya sadis aja. Masa begitu mudah berpindah ke lain hati?”
“Lho bisa saja kan? Lagi pula apa yang
bisa diharapkan dari Bobi yang kemungkinan besar sebentar lagi juga akan
selesai usianya.”
“Nah itu dia yang aku maksud tadi. Belum
apa-apa sudah memvonis begitu.”
“Kan Kak Bram sendiri yang bilang begitu? Bahwa pasien yang dikirim ke
sana itu kebanyakannya akan meninggal di sana. Sudah lupa ya?”
“Siapa tahu operasinya berhasil?”
“Kan sama saja? Keluarganya juga tak ada
yang mau menerima Dewi.”
“Jangan putus asa. Siapa tahu mereka
akan berubah.”
“Itu sama saja menunggu buah bungur.”
“Tapi keluarga Bobi itu kan bukan
bungur? Suatu saat bisa saja berubah. Itu hanya memerlukan kesabaran.”
“Ya, kesabaran. Tapi sampai kapan?”
“Seperti kata pepatah batu itu sekeras
apapun jika terus-terus mendapat tetesan air akhirnya akan membekas juga.”
“Jadi intinya Kak Bram tak suka sama
Dewi ya?”
“Oh, eh, ti tidak ... bu .. bukan
begitu.”
“Lalu kenapa?”
“Aku lupa sesuatu yang harus aku
kerjakan hari ini.”
“Kan Kak Bram tidak sendirian di sini?
Ada Dewi yang akan menemani dan siap membantu. Apapun itu. Memangnya apa itu
sih? Sangat penting ya?”
“Ya itu, itu tuh. Aku lupa sesuatu. Kamu
tahu nggak di mana alamatnya Notaris Aspandi Kelana SH MH, Panglima Batur 15
Banjarmasin,” tanya Bram sengaja ia salah-salahkan nama Astuti Kelana menjadi
Aspandi Kelana.
“Memangnya sangat penting ya alamat
notaris itu?”
“Enggak juga.”
“Kalau nggak penting kenapa begitu
serius nanyanya?”
Bram tak bisa menjawab pertanyaan itu.
Ia terpaksa diam tak tahu apa yang harus diucapkan. Yang jelas ia tak mungkin
mengatakan hal yang sebenarnya.
“Kalau Notaris Aspandi Kelana Dewi
nggak tahu. Yang Dewi tahu Notaris Astuti Kelana SH MH tapi alamatnya bukan di
situ. Kalau tidak di Jalan Pangeran Antasari tentu di Jalan Meratus bukan di
Panglima Batur.”
“Alhamdulillah” bisik Bram di dalam
hati.
Barangkali bisa melacaknya bersama
Jamal. Padahal jika menanyakan kepada Paman Juhri tentu langsung diketahuinya
dengan pasti, tetapi ia tidak bisa. Kenapa? Karena di sana ada Iras. Untunglah
dengan penjelasan Dewi ini rasanya sudah cukup menjadi pentunjuk awal.
“Wi, kita pulang yu,” ajak Bram kepada
Dewi yang masih kebingungan.
Dewi tidak menjawab ia masih bingung.
Bram memasang sepatunya dan langsung beranjak dari tempat duduknya. Dewi juga
ikutan berdiri dan berjalan di samping Bram. Seperti tadi malam Dewi
menyerahlan kunci kendaraannya selanjutnya mereka pulang. Sesampainya di
bedakan mereka masuk kamar masing-masing. Sebentar kemudian terdengar semburan
air dari kamar mandi. Rupanya Bram belum mandi tadi padi.
Sehabis mandi ia menghempaskan badannya
di tempat tidur. Aneh, tiba-tiba ia jadi ingat Ayu yang jauh di sana. Apakah ia
memang tak bisa jauh dari Perempuan berjilbab biru itu? Begitu dalamkah
cintanya pada janda muda yang telah berhasil mencuri hatinya itu? Ayu bukan
hanya berhasil mencuri hatinya tetapi juga telah berhasil merampok hatinya.
Itulah sebabnya semakin jauh Bram meninggalkannya semakin kuat pula rindunya
pada Ayu. Semakin kuat gangguan godaan dan rayuan yang datang bertubi-tubi,
semakin dalam pula cinta dan rindunya pada Ayu.
Benar juga kata-orang-orang, kalau cinta
sudah mendalam sepanas apapun masalah menghadang hati tetap terasa sejuk dan
adem ayem. Kalau cinta sudah melekat yang jauh jadi terasa dekat. Kalau cinta
sudah menggila yang ada hanya perasaaan tanpa berpikir panjang semuanya jadi
tak penting lagi. Kalau cinta sudah menggila pikiran sudah tak berfungsi lagi
bahkan semuanya sudah tertutup rapat.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi ada yang
mengetuk pintu. Ia sengaja tak langsung membuka pintu. Ia lebih memilih
menunggu beberapa saat untuk mengetahui siapa yang mengetuk itu. Pintu itu
diketuk lagi tetapi kali diiringi dengan ucapan salam.
“Assalamu alaikum”
“Wa alaikum salam.”
Alhamdulillah, ketika pintu dibuka
ternyata yang mengetuk itu adalah Jamaluddin Affandi bukan Dewi yang
dikhawatirkannya. Merekapun langsung bersalaman lalu sama- sama dukuk melantai.
Maklum di kamar ini tak ada kursi tamunya. Layaknya sahabat yang baru bertemu
tentu banyak hal yang dibicarakan. Khususnya pengalaman sebagai guru yang baru
diangkat di tempat tugas masing-masing. Akhirnya pembicaraan mereka mengerucut
dan sampai pada masalah keinginan Bram melacak alamat notaris Astuti Kelana,
SH,MH yang menurut Dewi kalau tidak di Jalan Meratus bisa jadi di Jalan
Pangeran Antasari.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka
pun keluar. Jamal mengeluarkan motor bebeknya dan mereka langsung menuju ke
Jalan Meratus. Hanya sekitar seperempat jam mereka sudah memasuki Jalan
Meratus. Jamal memperlambat kendaraannya.
“Bram,”
“Ya, apa Mal?”
“Kamu melihat-lihat yang di sebelah
kiri, aku melihat-lihat yang di kanan jalan. Begitu ada papan nama Notaris
Astuti kita berhenti.”
“Siip.”
Mulailah dijalankan pelacakan alamat
notaris itu. Tidak terlalu jauh perjalanan pelacakan itu. Tiba-tiba Bram
melihat ada papan nama Notaris itu. Cepat ia menepuk bahu Jamal.
“Mal, berhenti Mal.
“Ada?”
“Ya ada Mal. Berhenti di sini.”
Ternyata itu adalah rumah tinggal yang
disulap jadi kantor notaris. Jelas terpampang nama notaris itu di sana.
Sayangnya ini tahun baru 2014. Hari ini adalah libur besar semua kantor
tutup.
“Mal, bagaimana Mal. Kita masuk saja
atau bagaimana?”
”Memang hari ini hari libur, tetapi
barangkali saja ini juga rumah Ibu Notaris itu sendiri. Jadi patut juga kita
coba. Moga-moga aja bisa diterima.”
Pintu pagarnya terbuka lebar. Di halaman
itu ada sebuah mobil dan dua motor bebek. Memang sebaiknya dicoba dulu. Apalagi
pagar kantor itu tidak ditutup. Jadi mereka bisa masuk sampai ke halaman.
Pelan-pelan Jamal memasukkan bebeknya ke halaman notaris itu. Pada saat yang
sama seorang perempuan seumuran tante-tante berdiri di ambang pintu dengan
pandangan bingung melihat kedua tamu yang tak diundang itu. Bram dan Jamal
turun dari kendaraan dan langsung mendekati ibu itu.
“Bu, boleh kami menemui yang punya rumah
ini Bu?”
“Ya boleh lah asal kalian nggak
mengapa-mengapa. Memangnya kalian mau apa?”
“Kebetulan ada yang perlu saya bicarakan
dengan Ibu notaris.”
”Itu saya sendiri, memangnya kalian
siapa?”
“Saya Bram Baswenda Bu. Saya disuruh Pak
Juhriansyah untuk mememui Ibu.”
“Pak Juhriansyah yang pensiunan guru SMP
itu kan?”
“Benar Bu.”
“Ya mari masuk, kita bicara di dalam
saja. Silakan duduk.”
Bram dan Jamal masuk dan duduk di kursi
tamu. Nampaknya ruang ini benar-benar ruang tamu yang disulap dan disekat-sekat
menjadi kantor Notaris. Tentu saja pada hari-hari kerja di sini ada beberapa
karyawan. Berbeda dengan hari libur. Hari ini yang ada di sini hanyalah ia dan
Jamal saja. Ia langsung menyerahkan KTP. Ibu Notaris itu masuk ke ruang
kerjanya dan tak lama setelah itu ia keluar lagi membawa sebuah map berisi
berkas dan menyerahkan kembali KTP Bram.
”Sebelum ditandatangani silakan dibaca
dengan saksama.”
Setelah dibacanya surat itu berulang
kali, ternyata ini adalah Surat Hibah Serah Terima Kepelimikan sebidang tanah
beserta bangunan yang ada di atasnya. Intinya adalah Muhammad Juhriansyah
menyerahkan tanah dan bedakan Blok A itu kepada Bram Baswenda, terhitung mulai
tanggal satu bulan Juli tahun duaribu tigabelas. Surat itu dibuat di atas segel
bermaterai dan diperkuat oleh dua orang saksi.
“Bagaimana? Sudah jelas maksudnya?”
“Ya Bu. Sudah jelas Bu.”
“Kalau begitu silahkan tanda tangani di
sisi kanan setiap lembarnya. Yang di sebelah kiri itu adalah tanda tangan Pak
Juhriansyah.”
Tanpa pikir panjang lagi Bram langsung menandatangangi
setiap lembarnya sesuai dengan arahan Ibu Notaris itu. Setelah ia selesai
menandatangani semua helainya dokumen itu, ia menyerahkannya kembali.
“Ini adalah naskah aslinya. Yang asli
ini dibuat rangkap dua. Satu ditinggal
pada Notaris sebagai Pejabat Pencacat Akta Tanah dan satunya lagi di kirim ke
Kantor pertanahan untuk kelengkapan pengurusan akta tanah balik nama hak milik.
Satu lembar salinan akta itu untuk Bram Baswenda. Ini akta tanahnya sudah
selesai. Simpan baik-baik ya. Jangan sampai disalahgunakan orang lain.”
“Wah, jadi merepotkan Ibu.”
“Biasa saja. Merepotkan apa? Lagi pula
saya tidak merasa direpotkan.“
“Ini kan hari libur?”
“Benar, tetapi nanti siang saya akan
berangkat ke Surabaya. Kamu juga akan kembali ke Kandangan kan? Jadi untung
kamu datang hari ini, ya sekalian saja kita selesaikan. Dari pada besok atau
lusa saya tak ada di sini, kan kamunya yang repot?”
“Iya Bu. Jadi berapa ongkos atau biaya
yang harus saya bayar Bu?”
“Tidak Ada. Semuanya sudah dibayar lunas
oleh Pak Juhriansyah.”
“O gitu ya bu? Makasih Bu.”
“Ya sama-sama.”
Bram menyimpan semua berkas yang
diserahkan notaris itu dan siap beranjak
dari ruang tamu itu. Setelah bersalaman dan mengucapkan salam Bram
dan Jamal pergi dan kembali, tentu saja mereka harus singgah di warung makan
lebih dulu. Kenapa? Karena harinya memang sudah agak siang dan Bram sendiri
juga sudah merasa lapar.
***
Hari ini Jum’at tanggal 3 Januari 2014.
Berarti Bram sudah dua hari tidak membezuk Paman Juhri. Sebenarnya ia mau
sekali ke rumah sakit itu, tetapi ia harus istirahat dan mempersiapkan mental
lebih dahulu sebelum bertemu dengan Iras yang nekad itu. Itulah sebabnya ia
masih malas-malasan di kamarnya sendiri. Padahal tadi malam ia masih tidur di
bedakan ini. Hari ini pagi-pagi sekali ia sudah sarapan katupat kandangan,
setelah itu ia naik ojek pulang ke bedakan ini.
Nampak pintunya masih dikunci oleh Iras. Berarti kunci duplikat itu
masih ada di tangannya. Itu artinya kapan-kapan ia bisa saja nongol tiba-tiba
di kamar ini. Untuk mencegahnya Bram sengaja membuat palang pintu yang dilekatkan dengan paku. Palang
pintu ini sifatnya darurat dan hanya bisa dibuka dari dalam. Jadi untuk
sementara ia aman dari serbuan sekonyong-konyong.
Ia akan ke rumah sakit ba’da Jum’at nanti. Jadi masih ada waktu sekitar
dua jam lagi. Ia akan melaksanakan Jum’atannya di mesjid terdekat yang bisa
dicapai dengan jalan kaki. Untuk itu segala sesuatu sudah disiapkan lebih
dahulu, jadi tinggal mengambil air udhu saja lagi.
***
Sesuai rencana, ba’da Jum’at Bram kembali ke
Rumah sakit. Tetapi begitu meliwati bagian informasi ia sudah dihadang Iras di
tengah lorong. Sorot matanya tajam penuh kekesalan dan kekecewaan. Ia tak
perduli dengan keadaan sekitar, karena orang lain juga sibuk dengan
keperluannya masing-masing. Bram terkejut, ia cepat menguasai diri, karena hal
ini memang sudah diprediksinya sebelumnya. Dengan tenang ia melangkah ke Ruang
Kumala tetapi tetap dikawal ketat oleh Iras.
“Kak Bram, Iras mau bicara nih.”
“Bicara saja. Sambil jalan kan bisa? Dan diteruskan di kamar Abah. Bisa kan?”
“Nggak bisa. Iras mau bicara serius empat mata.”
“Di mana?”
“Ya di sini. Kita duduk di sini saja,” ajak Iras sambil menarik tangan
Bram.
Sempat juga Bram terkejut ketika tiba-tiba saja Iras menyentak tangannya
begitu keras mengajaknya duduk di kursi kosong yang ada di lorong itu. Kalau
pagi biasanya kursi-kursi ini adalah kursi tunggu pasien sebelum ke klinik.
Kalau siang seperti ini kursi-kursi ini kosong melompong. Dengan berat hati
Bram mau saja ikut duduk menuruti keinginan Iras itu. Berapa kali Bram sempat
melirik Iras ini sedang Iras-nya terus mengarahkan pandangannya kosong jauh ke
depan sana.
“Sebenarnya Iras mau bicara apa sih?”
“Kak Bram tau nggak? Kalau Iras beberapa malam ini tak bisa tidur?”
“Nggak tau.”
“Iras selalu memikirkan Kak Bram.”
Bram sengaja tak menyahut ia hanya nenghela nafas panjang yang terasa
amat berat baginya. Ia tak ingin bicara yang bisa saja membuat salah pengetian
bagi Iras. Karena ia juga pernah mengalami beberapa malam tak bisa tidur. Ia
juga memaklumi bahwa Iras ini orangnya nekad. Ia bisa berbuat apa saja demi
memenuhi keinginannya. Itulah sebabnya ia harus berhati-hati dalam bicara dan
harus penuh perhitungan dalam bertindak. Semua itu ia lakukan agar tidak
terjadi penyesalan di kemudian hari.
“Terus terang Kak Bram, Iras tak bisa lagi bohong dan menyembunyikan
perasaan ini. Iras tak tahu lagi harus bagaimana mengatakannya. Jauh sebelum
Yuni meninggal Iras sudah jatuh cinta.
Iras cemburu melihat Kak Bram berduaan dengan Yuni.”
Bram masih diam tak tahu harus berkata
apa. Dia tak menyangka bahwa Iras ini begitu dalam mencintainya. Kini ia tak
tahu lagi apa yang harus dilakukan? Tetapi ia juga tak mau menerima Iras.
“Iras tidak meminta jawaban sekarang,
tetapi Iras juga berharap banyak Kak Bram tidak mengecewaan Iras. Janji ya?” katanya harap-harap cemas.
Bram sengaja tidak menjawab. Ia juga tidak melemparkan senyum seperti
biasa. Ia takut Iras bisa salah paham. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak
akan terseyum lagi. Karena ia sadar bahwa berapa banyak gadis yang terpikat
hanya karena senyuman ini.
Ia beranjak dari tempat itu diiringi oleh Iras yang masih dongkol itu.
“Kak Bram,” kata Iras tiba-tiba.
“Oh iya, a .. a … apa Ras?” jawab Bram bingung karenanya.
“Iras tahu, pasti Kak Bram tidak suka kan sama Iras?”
Ia bingung harus menjawab apa, karena ia memang tak suka. Tetapi bukan
Iras namannya kalau mau menyerah begitu saja.
“Ya sudahlah, jika Kak Bram tak bisa menerima Iras sebagai pendamping,
sebagai sahabat juga boleh. Boleh ya? Boleh kan?”
“Bukankah kita ini juga sudah sahabatan? Iras mau sahabat yang
bagaimana?”
“Ya sahabat. Sahabat yang lebih sahabat.”
Bram tidak mau bicara lagi. Buat apa bicara? Sebenarnya yang diinginkan
Iras bukan hanya sekedar sahabat, tetapi
lebih dari seorang sahabat. Sahabat macam apa itu? Mau yang bagaimana lagi?
Teman makan teman? Atau Teman tapi mesra? Itu sama saja dengan memberi harapan
palsu yang akibatnya tentu lebih berbahaya lagi bagi Iras.
“Bagaimana? Masa sebagai sahabat Kak Bram juga tak mau? Mau kan?”
“Bu bukan itu maksudnya. Aku harap Iras jangan salah mengerti.”
“Baik. Iras tak akan salah mengerti jika Kak Bram mau menjelaskan
mengapa setiap bertemu Iras seperti melihat hantu?” tanyanya langsung
menggandeng Bram erat-erat.
“O tidak begitu. Sebenarnya aku bukan menghindar. Aku juga tidak seperti
melihat hantu,” jawab Bram sambil melepaskan gandengan Iras dan berusaha
menjaga jarak.
Iras bukannya menjauh malah semakin mendekat menempel lagi kaya
perangko. Dalam keadaan seperti ini ia tak bisa berbuat banyak selain berdiam
membiarkan Iras berbuat seperti itu. Kini terdengar isakan Iras menahan tangis.
“Kak Bram, sejujurnya Iras takut hidup tanpa pendamping.”
Bram terkejut seketika dan melepaskan dirinya dari dempetan Iras itu.
Nampak jelas Iras menangis. Apakah ia memang benar-benar menangis? ataukah itu
hanya tangisan pura-pura. Hal ini membuat Bram semakin tak mengerti. Tak terasa
mereka sudah sampai di Ruang Kumala. Dari kaca jendela Kamar A4 jelas terlihat
Paman Juhri sedang duduk. Tangannya tak diinfus lagi dan di hidungnya juga tak
ada lagi selang oksigen. Pelan-pelan Bram masuk, Iras tetap di luar duduk di
bangku panjang.
“Assalamu alaikum,” Bram mengucapkan salam ketika memasuki ruangan itu.
“Wa alaikum salam,” sahut Paman Juhri serempak bersama Irus dan
suaminya.
“Abah kelihatan mulai segar sekarang. Sudah bisa makan kan sekarang?”
”Sudah,” sahut Irus. “Tetapi bukan makanan yang ada di rumah sakit ini.”
Bram langsung menyalami Paman Juhri dan Irus suami istri. Wajah Paman
Juhri nampak sedikit cerah tidak pucat pasi lagi seperti beberapa hari yang
lalu.
“Lalu makanan yang mana?”
“Nasi bungkus,” sahut suami Irus. “Abah tidak mau makan masakan rumah
sakit.”
“Kada barasa apa-apa,” sahut Paman Juhri nampak mulai tersenyum.
“Tapi masakan rumah sakit itu kan makanan sehat?” sahut Bram menyayangkan
Paman Juhri yang tak mau memakan makanan rumah sakit.
“Abah sudah coba memakannya, tetapi tak bisa masuk,” jawab Paman Juhri
datar.
“Benar Kak Bram, pasien yang lain juga tak ada yang mau.”
“Waduh, sayang ya? Padahal semua itu sudah dibayar semua. Dan itu tidak
murah. Meski tak ada rasanya harganya itu sama mahalnya dengan makanan
restoran.”
“Jadi Abah harus bayar berapa?”
“Tidak perlu itu, sudah masuk jaminan Askes. Ya tak apa-apa juga. Yang
penting Abah sudah mulai mau makan.”
“Iya Kak Bram. Kami juga berterima kasih pada Kak Bram yang telah
menjaga Abah selama kami belum datang.”
“Itu juga sudah menjadi kewajiban saya. Karena Abah ini juga sudah saya
anggap sebagai orangtua saya sendiri.”
“Abah juga terima kasih banyak. Selain itu Abah juga banyak-banyak minta
ridha karena Abah telah menyusahkan kamu selama beberaapa hari ini. Kamu juga
banyak membantu Abah di sini,” sahut Paman Juhri yang mulai nampak berseri-seri
wajahnya.
“Iya Abah, Ulun juga banyak-banyak minta ridho dan juga tak lupa
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah memberikan ganjaran
yang berlipat ganda pada Abah karena Abah sudah menganggap ulun sebagai anak
sendiri selama ini.”
Tak terasa air mata meleleh perlahan di pipi Paman Juhri mendengar
ucapan Bram itu. Andaikan Yuni masih hidup tentu ia adalah orang tua paling
berbahagia di dunia ini. Sayang putri kesayangannya itu sudah tiada. Kini Paman
Juhri nampak masih terlihat sedih. Kenapa? Tentu itu karena putri yang satu itu
masih tak mau kawin dengan siapa pun selain Bram.
Sebenarnya sudah lama Paman Juhri mau mengatakannya tetapi tetap tak
mampu mengatakannya. Ia juga sudah melihat kenyataan bahwa Iras bukanlah
perempuan yang disukai Bram. Hal inilah yang masih mengganjal di hatinya.
Orangtua mana yang tak sedih melihat anaknya tak punya jodoh selamanya?
Haruskah ia memohon dengan sepenuh hati dan permohonan yang sedalam-dalamnya
kepada Bram Baswenda?
***
Malam semakin gelap semakin larut ketika
hujan ini akhirnya reda juga. Abah sudah lama tertidur pulas, tetapi Ayu masih
belum tidur. Ia sedang memikirkan Yayangnya. Sudah seminggu ini Kak Bram tidak
datang, padahal hari Senin ini anak-anak masuk sekolah kembali. Masih
terngiang-ngiang di telinganya sore tadi Mayang adiknya Dewi itu memberi tahu
lewat HP-nya bahwa Kak Bram itu sekarang ada di Banjarmasin. Ia berangkat buru-buru jadi lupa membawa
HP-nya. Yang jadi masalah adalah mengapa pesan itu harus lewat Mayang? Pesan
itu datangnya dari Dewi kakak Mayang yang di Banjarmasin. Dewi itu kan suka ganti-ganti pacar? Bukankah Dewi itu
selain cantik ia juga pandai merayu? Cemburu? Sangat cemburu. Lelaki ganteng
begitu perempuan mana yang tak kepincut? Pokoknya besok atau lusa ia harus
menyusulnya ke Banjarmasin. Bagaimana pun caranya ia harus ke Banjarmasin.
***
Pagi-pagi sekali Ayu sudah memarkir
kendaraannya di halaman rumah Kak Bram. Dengan berbekal kunci duplikat ia
membuka rumah itu dan langsung masuk. Yang pertama dicarinya adalah HP. Ia
langsung menemukan HPnya yang tergeletak di tempat tidur. Ia mencari
ces-cesannya yang juga tak jauh dari HP-nya. Ia ingin sekali mengetahui isinya.
Bukankah HP itu menyimpan banyak rahasia? Ia ingin mengetahui foto-foto siapa
yang ada? SMS dan rayuan gombal siapa yang masuk? Dan Nama-nama siapa yang ada?
Untuk mengetahui semua itu, tentu saja ia harus mences baterainya dulu.
Sementara mengeces ia melihat rumah ini sangat berantakan. Di mana-mana
berserakan pakaian yang harus dicuci. Sebenarnya ia mau saja mencucikan
semuanya, tetapi tak bisa. Karena hari ini ia akan pergi ke Banjarmasin. Ia kan belum minta ijin? Ia juga harus memikirkan
apakah ia pergi sendirian? Ataukah pergi bersama Mayang? Memang yang paling
tepat adalah pergi bersama mayang, karena hanya Mayang yang mengetahui di mana
Kak Bram itu sekarang. Bukankah menurut Dewi Kak Bram itu menginap di
bedakan tempatnya si Dewi itu? Kalau
berangkat hari ini kendalanya adalah ia belum memesan taksi. Di sini mobil
angkutan antar kota itu di sebut taksi.
Ayu memeriksa HP itu sudah ada powernya. Betapa terkejut Ayu ketika
melihat nama Gadis Misterius Lebay di deretan nama-nama yang ada di HP ini. Dan
lebih terkejut lagi ketika membaca SMS-SMSnya. Bukan hanya terkejut ia juga kesal. Kenapa banyak rayuan gombal
dalam SMS itu? Ternyata Kak Bram selingkuh di belakangnya. Menyebalkan! Ia
tidak bisa lagi menyaring siapa yang merayu, siapa yang menggombal. Ingin
rasanya ia membanting menghancurkan HP itu. Tetapi kalau HP itu hancur tak ada lagi bukti yang bisa
ditunjukkan. Memang di HP itu ada juga SMS dari Ayu, tetapi SMS Gadis Misterius
Lebay itu benar-benar gombal. Itu sangat mengganggu pikirannya. Yang lebih
menyakitkan hatinya kenapa SMS yang dikirimnya ke Banjarbaru itu tidak
ada?
Menyebalkan! Ia ingin cepat-cepat meninggalkan rumah itu. Andaikan punya
sayap ia ingin terbang agar bisa secepatnya bertemu Kak Bram. Ia ingin
menumpahkan kejengkelan kedongkolan dan kemarahannya pada Kak Bram. Diam-diam
dia benci tapi rindu. Diam-diam ia marah-marah tapi kangen. Diam-diam ia
dongkol tapi mau.
Ia menghubungi Mayang. Ditunggunya beberapa saat, HPnya memang bunyi
tetapi tak diangkat. Dicobanya sekali lagi, ditunggunya lagi tetapi masih belum
diangkat juga. Padahal ia perlu bicara. Ia mulai kesal. Dicobanya lagi, kali
ini HPnya mulai diangkat.
“Halo, assalamu alaikum” suara Mayang di ujung sana.
“Wa alaikum salam. Mayang, ini aku Agus.”
“Iya, Ada apa Gus?”
“Besuk bisa nggak kamu menemaniku ke Banjarmasin?”
“Besok ya?”
“Ya besok. Katanya Kak Bram menginap di kontrakannya Dewi. Tolong ya
temani aku menemuinya.”
“Bisa. Aku mau bicara sama Abah dulu ya. Rencananya aku juga mau ke sana, sekalian ada yang akan dibicarakan dengan
Kak Dewi.”
“Sekalian kamu pesan taksi sama sopir Asad. Kan rumahnya dekat kamu? biar aku yang bayar.
Makasih dulu ya. Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar