menu

Sabtu, 18 Juni 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 10



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 10

10

       Pagi ini Dewi tidak seperti biasanya. Ia baru keluar dari kamarnya setelah lewat pukul tujuh, bahkan hampir pukul delapan. Dilihatnya pintu kamar Bram masih tertutup rapat. Barangkali saja ia masih tidur. Sebenarnya ia mau mengajak Bram sarapan pagi nasi goreng istimewa buatannya. Atau kalau perlu dia sendiri yang membawa makanan itu ke kamar Bram untuk sarapan bersama.  


      “Baru bangun Wi? Tegur Jamaluddin Affandi.

       Dewi hanya senyam-senyum dibilang baru bangun tidur. Jelas terlihat wajahnya yang kusam tak sempat terurus. Kali ni sepertinya ia memang sengaja seperti tak mau menatap wajah Jamal, meski sejak tadi Jamal terus menerus menatapnya.

       “Kamu sakit ya?”
       Dewi menggelengkan kepalanya perlahan.
       “Lantas kenapa kamu nampak layu gitu?”
       “Aku tak apa-apa.”
       “Benar kamu tidak sakit? Kamu lagi marah sama aku ya?”

       Kembali Dewi hanya mengelengkan kepala sambil melihat pintu kamar Bram yang masih tertutup itu. Memang sedikitpun ia tidak marah pada cowok ini. Jamal pun tidak bertanya-tanya lagi, tetapi ia masih memperhatikan keganjilan Dewi yang tidak seperti biasanya. Sudah lima menit ia memperhatikan pintu itu namun belum beranjak juga. Dewi bingung.

       “Bram sudah keluar,” kata Jamal langsung membuyarkan pikiran Dewi.
       “Kemana?”
       “Lari pagi. Palingan ke siring. Kalau mau ke sana bisa aku antar. Mau?”
       “Nggak usah Kak. Paginya juga sudah agak siangan. Dewi mau ke pasar saja nih.“
       “Mau diantar?”
       “Hahahaha. Lho kan pasarnya dekat sini?”
       “O gitu ya?”

       Dewi pergi ke pasar LKMD yang tidak jauh dari kontrakan, sesampainya di pasar ia bingung sendiri. Apa yang mau dibeli? Karena memang bukan itu maksudnya. Diam-diam ia kembali ke kontrakan, menurunkan kendaraannya dan pergi ke siring. Barangkali Kak Bram ada di sana.
***
        Matahari pagi di ufuk timur masih belum begitu tinggi, hari pun baru pukul tujuh pagi. Kalau hari Minggu biasanya saat seperti ini adalah jam ramai-ramainya orang berolahraga. Tetapi ini hari Rabu, meskipun ini hari libur besar tetap tetap saja tidak seramai hari Minggu, karena pagi ini banyak yang masih tertidur pulas sehabis bertahun baruan tadi malam. Meski demikian tentu ada yang jogging mengelilingi areal Mesjid Raya Sabilal Muhtadin. Salah satunya adalah Bram yang tak mau ketinggalan menyempatkan diri berolah raga pagi. Terkadang berlari-lari, lalu jalan cepat bahkan kadang-kadang juga hanya jalan santai biasa. Lalu menyeberang lewat Jembatan Merdeka dan akhirnya juga sama iapun santai melepas lelah di sepanjang siring Tendean. Dilihatnya di sini ada beberapa pejalan kaki tanpa sepatu atau sandal, berjalan santai di selasar siring yang sengaja dibuat kasar berbatu krikil ini. Diam-diam iapun melepaskan sepatunya dan mulai berjalan tanpa sepatu ikutan seperti yang lainnya itu. Setelah dirasa cukup ia pun duduk santai di siring sambil menikmati geliat pagi Sungai Martapura yang indah berliku membelah kota Banjarmasin.

       Di sini ia hanya diam karena ia masih galau sejak meninggalkan Bumi Amuk Hantarukung. Dia sudah galau bimbang dan ragu antara cinta dan prinsip. Di satu sisi ia masih mencitai Ayu yang sudah Janda itu. Di sisi lain ia harus mempertahankan prinsipnya ‘Pantang Pemuda Makan Sisa’. Lalu? Begitu sampai di Banjarmasin ia jadi tambah galau karena di sini ada Iras dan Dewi yang tengah menjebak dengan perangkapnya masing-masing. Tiba-tiba saja Dewi sudah duduk di sampingnya membuat Bram jadi terkejut karenanya.   

       “Kok Kak Bram ke sini nggak ngajak-ngajak?“
       “Kamu sih bangun kesiangan, bagaimana mau mengajak?”
       “Lalu Kak Bram sendiri bangunnya nggak kesiangan ya?”
       “Enggak lah. Kalau kesiangan kan aku masih di tempat tidur? Hehehehe.”
       “Ya, Dewi kesiangan. Tapi kenapa Kak Bram menyendiri? Lagi Galau ya?”
       “Wi kita pulang yu,” ajak Bram tiba-tiba.
       “Kok pulang? Dewi kan baru datang? Dewi juga mau bersantai-santai di sini.”
       “Kan masih ada pagi yang lain?”
       “Pagi yang lain memang masih banyak tetapi tidak seindah pagi ini.”
       “Kenapa?”
       “Karena ada Kak Bram.”
       “Lho? Ada atau tidaknya aku tak ada pengaruhnya kan?”
       “Kata siapa? Lagi pula Dewi sudah lama menanti saat ini.”
       “Kok gitu? Lalu bagaimana dengan Bobi?”
       “Tak ada restu dari keluarganya. Lagi pula kan  ...”
       “Tak ada harapan lagi? Begitu maksudmu?”
       Dewi hanya tertunduk layu membenarkan dugaan itu.
       “Wah! Sadis amat kamu Wi.”
       “Kok sadis? Sadis apanya?”
       “Ya sadis aja. Masa begitu mudah berpindah ke lain hati?”
       “Lho bisa saja kan? Lagi pula apa yang bisa diharapkan dari Bobi yang kemungkinan besar sebentar lagi juga akan selesai usianya.”
       “Nah itu dia yang aku maksud tadi. Belum apa-apa sudah memvonis begitu.”
       “Kan Kak Bram sendiri yang bilang begitu? Bahwa pasien yang dikirim ke sana itu kebanyakannya akan meninggal di sana. Sudah lupa ya?”
       “Siapa tahu operasinya berhasil?”
       “Kan sama saja? Keluarganya juga tak ada yang mau menerima Dewi.”
       “Jangan putus asa. Siapa tahu mereka akan berubah.”
       “Itu sama saja menunggu buah bungur.”
       “Tapi keluarga Bobi itu kan bukan bungur? Suatu saat bisa saja berubah. Itu hanya memerlukan kesabaran.”
       “Ya, kesabaran. Tapi sampai kapan?”
       “Seperti kata pepatah batu itu sekeras apapun jika terus-terus mendapat tetesan air akhirnya akan membekas juga.”
       “Jadi intinya Kak Bram tak suka sama Dewi ya?”
       “Oh, eh, ti tidak ... bu .. bukan begitu.”
       “Lalu kenapa?”
       “Aku lupa sesuatu yang harus aku kerjakan hari ini.”
       “Kan Kak Bram tidak sendirian di sini? Ada Dewi yang akan menemani dan siap membantu. Apapun itu. Memangnya apa itu sih? Sangat penting ya?”
       “Ya itu, itu tuh. Aku lupa sesuatu. Kamu tahu nggak di mana alamatnya Notaris Aspandi Kelana SH MH, Panglima Batur 15 Banjarmasin,” tanya Bram sengaja ia salah-salahkan nama Astuti Kelana menjadi Aspandi Kelana.
       “Memangnya sangat penting ya alamat notaris itu?”
       “Enggak juga.”
       “Kalau nggak penting kenapa begitu serius nanyanya?”

       Bram tak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia terpaksa diam tak tahu apa yang harus diucapkan. Yang jelas ia tak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya.

        “Kalau Notaris Aspandi Kelana Dewi nggak tahu. Yang Dewi tahu Notaris Astuti Kelana SH MH tapi alamatnya bukan di situ. Kalau tidak di Jalan Pangeran Antasari tentu di Jalan Meratus bukan di Panglima Batur.”
       “Alhamdulillah” bisik Bram di dalam hati.

       Barangkali bisa melacaknya bersama Jamal. Padahal jika menanyakan kepada Paman Juhri tentu langsung diketahuinya dengan pasti, tetapi ia tidak bisa. Kenapa? Karena di sana ada Iras. Untunglah dengan penjelasan Dewi ini rasanya sudah cukup menjadi pentunjuk awal. 

      “Wi, kita pulang yu,” ajak Bram kepada Dewi yang masih kebingungan.

       Dewi tidak menjawab ia masih bingung. Bram memasang sepatunya dan langsung beranjak dari tempat duduknya. Dewi juga ikutan berdiri dan berjalan di samping Bram. Seperti tadi malam Dewi menyerahlan kunci kendaraannya selanjutnya mereka pulang. Sesampainya di bedakan mereka masuk kamar masing-masing. Sebentar kemudian terdengar semburan air dari kamar mandi. Rupanya Bram belum mandi tadi padi.
       Sehabis mandi ia menghempaskan badannya di tempat tidur. Aneh, tiba-tiba ia jadi ingat Ayu yang jauh di sana. Apakah ia memang tak bisa jauh dari Perempuan berjilbab biru itu? Begitu dalamkah cintanya pada janda muda yang telah berhasil mencuri hatinya itu? Ayu bukan hanya berhasil mencuri hatinya tetapi juga telah berhasil merampok hatinya. Itulah sebabnya semakin jauh Bram meninggalkannya semakin kuat pula rindunya pada Ayu. Semakin kuat gangguan godaan dan rayuan yang datang bertubi-tubi, semakin dalam pula cinta dan rindunya pada Ayu.
       Benar juga kata-orang-orang, kalau cinta sudah mendalam sepanas apapun masalah menghadang hati tetap terasa sejuk dan adem ayem. Kalau cinta sudah melekat yang jauh jadi terasa dekat. Kalau cinta sudah menggila yang ada hanya perasaaan tanpa berpikir panjang semuanya jadi tak penting lagi. Kalau cinta sudah menggila pikiran sudah tak berfungsi lagi bahkan semuanya sudah tertutup rapat.
       Tiba-tiba saja terdengar bunyi ada yang mengetuk pintu. Ia sengaja tak langsung membuka pintu. Ia lebih memilih menunggu beberapa saat untuk mengetahui siapa yang mengetuk itu. Pintu itu diketuk lagi tetapi kali diiringi dengan ucapan salam.

       “Assalamu alaikum”
       “Wa alaikum salam.”

       Alhamdulillah, ketika pintu dibuka ternyata yang mengetuk itu adalah Jamaluddin Affandi bukan Dewi yang dikhawatirkannya. Merekapun langsung bersalaman lalu sama- sama dukuk melantai. Maklum di kamar ini tak ada kursi tamunya. Layaknya sahabat yang baru bertemu tentu banyak hal yang dibicarakan. Khususnya pengalaman sebagai guru yang baru diangkat di tempat tugas masing-masing. Akhirnya pembicaraan mereka mengerucut dan sampai pada masalah keinginan Bram melacak alamat notaris Astuti Kelana, SH,MH yang menurut Dewi kalau tidak di Jalan Meratus bisa jadi di Jalan Pangeran Antasari.

       Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka pun keluar. Jamal mengeluarkan motor bebeknya dan mereka langsung menuju ke Jalan Meratus. Hanya sekitar seperempat jam mereka sudah memasuki Jalan Meratus. Jamal memperlambat kendaraannya.

       “Bram,”
       “Ya, apa Mal?”
       “Kamu melihat-lihat yang di sebelah kiri, aku melihat-lihat yang di kanan jalan. Begitu ada papan nama Notaris Astuti kita berhenti.”
       “Siip.”

       Mulailah dijalankan pelacakan alamat notaris itu. Tidak terlalu jauh perjalanan pelacakan itu. Tiba-tiba Bram melihat ada papan nama Notaris itu. Cepat ia menepuk bahu Jamal.

       “Mal, berhenti Mal.      
       “Ada?”
       “Ya ada Mal. Berhenti di sini.”

       Ternyata itu adalah rumah tinggal yang disulap jadi kantor notaris. Jelas terpampang nama notaris itu di sana. Sayangnya ini tahun baru 2014. Hari ini adalah libur besar semua kantor tutup. 

       “Mal, bagaimana Mal. Kita masuk saja atau bagaimana?”
       ”Memang hari ini hari libur, tetapi barangkali saja ini juga rumah Ibu Notaris itu sendiri. Jadi patut juga kita coba. Moga-moga aja bisa diterima.”

       Pintu pagarnya terbuka lebar. Di halaman itu ada sebuah mobil dan dua motor bebek. Memang sebaiknya dicoba dulu. Apalagi pagar kantor itu tidak ditutup. Jadi mereka bisa masuk sampai ke halaman. Pelan-pelan Jamal memasukkan bebeknya ke halaman notaris itu. Pada saat yang sama seorang perempuan seumuran tante-tante berdiri di ambang pintu dengan pandangan bingung melihat kedua tamu yang tak diundang itu. Bram dan Jamal turun dari kendaraan dan langsung mendekati ibu itu.

       “Bu, boleh kami menemui yang punya rumah ini Bu?”
       “Ya boleh lah asal kalian nggak mengapa-mengapa. Memangnya kalian mau apa?”
       “Kebetulan ada yang perlu saya bicarakan dengan Ibu notaris.”
       ”Itu saya sendiri, memangnya kalian siapa?”
       “Saya Bram Baswenda Bu. Saya disuruh Pak Juhriansyah untuk mememui Ibu.”
       “Pak Juhriansyah yang pensiunan guru SMP itu kan?”
       “Benar Bu.”
       “Ya mari masuk, kita bicara di dalam saja. Silakan duduk.”

       Bram dan Jamal masuk dan duduk di kursi tamu. Nampaknya ruang ini benar-benar ruang tamu yang disulap dan disekat-sekat menjadi kantor Notaris. Tentu saja pada hari-hari kerja di sini ada beberapa karyawan. Berbeda dengan hari libur. Hari ini yang ada di sini hanyalah ia dan Jamal saja. Ia langsung menyerahkan KTP. Ibu Notaris itu masuk ke ruang kerjanya dan tak lama setelah itu ia keluar lagi membawa sebuah map berisi berkas dan menyerahkan kembali KTP Bram. 

       ”Sebelum ditandatangani silakan dibaca dengan saksama.” 

       Setelah dibacanya surat itu berulang kali, ternyata ini adalah Surat Hibah Serah Terima Kepelimikan sebidang tanah beserta bangunan yang ada di atasnya. Intinya adalah Muhammad Juhriansyah menyerahkan tanah dan bedakan Blok A itu kepada Bram Baswenda, terhitung mulai tanggal satu bulan Juli tahun duaribu tigabelas. Surat itu dibuat di atas segel bermaterai dan diperkuat oleh dua orang saksi.

       “Bagaimana? Sudah jelas maksudnya?”
       “Ya Bu. Sudah jelas Bu.”
       “Kalau begitu silahkan tanda tangani di sisi kanan setiap lembarnya. Yang di sebelah kiri itu adalah tanda tangan Pak Juhriansyah.”

       Tanpa pikir panjang lagi Bram langsung menandatangangi setiap lembarnya sesuai dengan arahan Ibu Notaris itu. Setelah ia selesai menandatangani semua helainya dokumen itu, ia menyerahkannya kembali.

       “Ini adalah naskah aslinya. Yang asli ini dibuat rangkap dua. Satu  ditinggal pada Notaris sebagai Pejabat Pencacat Akta Tanah dan satunya lagi di kirim ke Kantor pertanahan untuk kelengkapan pengurusan akta tanah balik nama hak milik. Satu lembar salinan akta itu untuk Bram Baswenda. Ini akta tanahnya sudah selesai. Simpan baik-baik ya. Jangan sampai disalahgunakan orang lain.”
       “Wah, jadi merepotkan Ibu.”
       “Biasa saja. Merepotkan apa? Lagi pula saya tidak merasa direpotkan.“
       “Ini kan hari libur?”
       “Benar, tetapi nanti siang saya akan berangkat ke Surabaya. Kamu juga akan kembali ke Kandangan kan? Jadi untung kamu datang hari ini, ya sekalian saja kita selesaikan. Dari pada besok atau lusa saya tak ada di sini, kan kamunya yang repot?”
       “Iya Bu. Jadi berapa ongkos atau biaya yang harus saya bayar Bu?”
       “Tidak Ada. Semuanya sudah dibayar lunas oleh Pak Juhriansyah.”
       “O gitu ya bu? Makasih Bu.”
       “Ya sama-sama.”       

       Bram menyimpan semua berkas yang diserahkan notaris itu dan  siap beranjak dari  ruang tamu itu.  Setelah bersalaman dan mengucapkan salam Bram dan Jamal pergi dan kembali, tentu saja mereka harus singgah di warung makan lebih dulu. Kenapa? Karena harinya memang sudah agak siang dan Bram sendiri juga sudah merasa lapar.
***
       Hari ini Jum’at tanggal 3 Januari 2014. Berarti Bram sudah dua hari tidak membezuk Paman Juhri. Sebenarnya ia mau sekali ke rumah sakit itu, tetapi ia harus istirahat dan mempersiapkan mental lebih dahulu sebelum bertemu dengan Iras yang nekad itu. Itulah sebabnya ia masih malas-malasan di kamarnya sendiri. Padahal tadi malam ia masih tidur di bedakan ini. Hari ini pagi-pagi sekali ia sudah sarapan katupat kandangan, setelah itu ia naik ojek pulang ke bedakan ini.

       Nampak pintunya masih dikunci oleh Iras. Berarti kunci duplikat itu masih ada di tangannya. Itu artinya kapan-kapan ia bisa saja nongol tiba-tiba di kamar ini. Untuk mencegahnya Bram sengaja membuat palang pintu yang dilekatkan dengan paku. Palang pintu ini sifatnya darurat dan hanya bisa dibuka dari dalam. Jadi untuk sementara ia aman dari serbuan sekonyong-konyong.

       Ia akan ke rumah sakit ba’da Jum’at nanti. Jadi masih ada waktu sekitar dua jam lagi. Ia akan melaksanakan Jum’atannya di mesjid terdekat yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Untuk itu segala sesuatu sudah disiapkan lebih dahulu, jadi tinggal mengambil air udhu saja lagi.
***
       Sesuai rencana, ba’da Jum’at Bram kembali ke Rumah sakit. Tetapi begitu meliwati bagian informasi ia sudah dihadang Iras di tengah lorong. Sorot matanya tajam penuh kekesalan dan kekecewaan. Ia tak perduli dengan keadaan sekitar, karena orang lain juga sibuk dengan keperluannya masing-masing. Bram terkejut, ia cepat menguasai diri, karena hal ini memang sudah diprediksinya sebelumnya. Dengan tenang ia melangkah ke Ruang Kumala tetapi tetap dikawal ketat oleh Iras.

        “Kak Bram, Iras mau bicara nih.”
        “Bicara saja. Sambil jalan kan bisa? Dan diteruskan di kamar Abah. Bisa kan?”
        “Nggak bisa. Iras mau bicara serius empat mata.”
        “Di mana?”
        “Ya di sini. Kita duduk di sini saja,” ajak Iras sambil menarik tangan Bram.

       Sempat juga Bram terkejut ketika tiba-tiba saja Iras menyentak tangannya begitu keras mengajaknya duduk di kursi kosong yang ada di lorong itu. Kalau pagi biasanya kursi-kursi ini adalah kursi tunggu pasien sebelum ke klinik. Kalau siang seperti ini kursi-kursi ini kosong melompong. Dengan berat hati Bram mau saja ikut duduk menuruti keinginan Iras itu. Berapa kali Bram sempat melirik Iras ini sedang Iras-nya terus mengarahkan pandangannya kosong jauh ke depan sana.

        “Sebenarnya Iras mau bicara apa sih?”
        “Kak Bram tau nggak? Kalau Iras beberapa malam ini tak bisa tidur?”
        “Nggak tau.”
        “Iras selalu memikirkan Kak Bram.”

        Bram sengaja tak menyahut ia hanya nenghela nafas panjang yang terasa amat berat baginya. Ia tak ingin bicara yang bisa saja membuat salah pengetian bagi Iras. Karena ia juga pernah mengalami beberapa malam tak bisa tidur. Ia juga memaklumi bahwa Iras ini orangnya nekad. Ia bisa berbuat apa saja demi memenuhi keinginannya. Itulah sebabnya ia harus berhati-hati dalam bicara dan harus penuh perhitungan dalam bertindak. Semua itu ia lakukan agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

        “Terus terang Kak Bram, Iras tak bisa lagi bohong dan menyembunyikan perasaan ini. Iras tak tahu lagi harus bagaimana mengatakannya. Jauh sebelum Yuni meninggal Iras sudah  jatuh  cinta.  Iras  cemburu  melihat Kak Bram berduaan dengan Yuni.”

       Bram masih diam tak tahu harus berkata apa. Dia tak menyangka bahwa Iras ini begitu dalam mencintainya. Kini ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan? Tetapi ia juga tak mau menerima Iras.

       “Iras tidak meminta jawaban sekarang, tetapi Iras juga berharap banyak Kak Bram tidak mengecewaan Iras. Janji ya?” katanya harap-harap cemas.

       Bram sengaja tidak menjawab. Ia juga tidak melemparkan senyum seperti biasa. Ia takut Iras bisa salah paham. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak akan terseyum lagi. Karena ia sadar bahwa berapa banyak gadis yang terpikat hanya karena senyuman ini.
       Ia beranjak dari tempat itu diiringi oleh Iras yang masih dongkol itu.
       “Kak Bram,” kata Iras tiba-tiba.
       “Oh iya, a .. a … apa Ras?” jawab Bram bingung karenanya. 
       “Iras tahu, pasti Kak Bram tidak suka kan sama Iras?”
       Ia bingung harus menjawab apa, karena ia memang tak suka. Tetapi bukan Iras namannya kalau mau menyerah begitu saja.
       “Ya sudahlah, jika Kak Bram tak bisa menerima Iras sebagai pendamping, sebagai sahabat juga boleh. Boleh ya? Boleh kan?”
       “Bukankah kita ini juga sudah sahabatan? Iras mau sahabat yang bagaimana?”
       “Ya sahabat. Sahabat yang lebih sahabat.”

       Bram tidak mau bicara lagi. Buat apa bicara? Sebenarnya yang diinginkan Iras  bukan hanya sekedar sahabat, tetapi lebih dari seorang sahabat. Sahabat macam apa itu? Mau yang bagaimana lagi? Teman makan teman? Atau Teman tapi mesra? Itu sama saja dengan memberi harapan palsu yang akibatnya tentu lebih berbahaya lagi bagi Iras.

       “Bagaimana? Masa sebagai sahabat Kak Bram juga tak mau? Mau kan?”
       “Bu bukan itu maksudnya. Aku harap Iras jangan salah mengerti.”
       “Baik. Iras tak akan salah mengerti jika Kak Bram mau menjelaskan mengapa setiap bertemu Iras seperti melihat hantu?” tanyanya langsung menggandeng Bram erat-erat.
       “O tidak begitu. Sebenarnya aku bukan menghindar. Aku juga tidak seperti melihat hantu,” jawab Bram sambil melepaskan gandengan Iras dan berusaha menjaga jarak.

       Iras bukannya menjauh malah semakin mendekat menempel lagi kaya perangko. Dalam keadaan seperti ini ia tak bisa berbuat banyak selain berdiam membiarkan Iras berbuat seperti itu. Kini terdengar isakan Iras menahan tangis.

       “Kak Bram, sejujurnya Iras takut hidup tanpa pendamping.”

       Bram terkejut seketika dan melepaskan dirinya dari dempetan Iras itu. Nampak jelas Iras menangis. Apakah ia memang benar-benar menangis? ataukah itu hanya tangisan pura-pura. Hal ini membuat Bram semakin tak mengerti. Tak terasa mereka sudah sampai di Ruang Kumala. Dari kaca jendela Kamar A4 jelas terlihat Paman Juhri sedang duduk. Tangannya tak diinfus lagi dan di hidungnya juga tak ada lagi selang oksigen. Pelan-pelan Bram masuk, Iras tetap di luar duduk di bangku panjang. 

       “Assalamu alaikum,” Bram mengucapkan salam ketika memasuki ruangan itu.
       “Wa alaikum salam,” sahut Paman Juhri serempak bersama Irus dan suaminya.
       “Abah kelihatan mulai segar sekarang. Sudah bisa makan kan sekarang?”
       ”Sudah,” sahut Irus. “Tetapi bukan makanan yang ada di rumah sakit ini.”

       Bram langsung menyalami Paman Juhri dan Irus suami istri. Wajah Paman Juhri nampak sedikit cerah tidak pucat pasi lagi seperti beberapa hari yang lalu.
       “Lalu makanan yang mana?”
       “Nasi bungkus,” sahut suami Irus. “Abah tidak mau makan masakan rumah sakit.”
       “Kada barasa apa-apa,” sahut Paman Juhri nampak mulai tersenyum.
       “Tapi masakan rumah sakit itu kan makanan sehat?” sahut Bram menyayangkan Paman Juhri yang tak mau memakan makanan rumah sakit.
       “Abah sudah coba memakannya, tetapi tak bisa masuk,” jawab Paman Juhri datar.
       “Benar Kak Bram, pasien yang lain juga tak ada yang mau.”
       “Waduh, sayang ya? Padahal semua itu sudah dibayar semua. Dan itu tidak murah. Meski tak ada rasanya harganya itu sama mahalnya dengan makanan restoran.”
       “Jadi Abah harus bayar berapa?”
       “Tidak perlu itu, sudah masuk jaminan Askes. Ya tak apa-apa juga. Yang penting Abah sudah mulai mau makan.”
       “Iya Kak Bram. Kami juga berterima kasih pada Kak Bram yang telah menjaga Abah selama kami belum datang.”
       “Itu juga sudah menjadi kewajiban saya. Karena Abah ini juga sudah saya anggap sebagai orangtua saya sendiri.”
       “Abah juga terima kasih banyak. Selain itu Abah juga banyak-banyak minta ridha karena Abah telah menyusahkan kamu selama beberaapa hari ini. Kamu juga banyak membantu Abah di sini,” sahut Paman Juhri yang mulai nampak berseri-seri wajahnya.
       “Iya Abah, Ulun juga banyak-banyak minta ridho dan juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah memberikan ganjaran yang berlipat ganda pada Abah karena Abah sudah menganggap ulun sebagai anak sendiri selama ini.”  

       Tak terasa air mata meleleh perlahan di pipi Paman Juhri mendengar ucapan Bram itu. Andaikan Yuni masih hidup tentu ia adalah orang tua paling berbahagia di dunia ini. Sayang putri kesayangannya itu sudah tiada. Kini Paman Juhri nampak masih terlihat sedih. Kenapa? Tentu itu karena putri yang satu itu masih tak mau kawin dengan siapa pun selain Bram.
       Sebenarnya sudah lama Paman Juhri mau mengatakannya tetapi tetap tak mampu mengatakannya. Ia juga sudah melihat kenyataan bahwa Iras bukanlah perempuan yang disukai Bram. Hal inilah yang masih mengganjal di hatinya. Orangtua mana yang tak sedih melihat anaknya tak punya jodoh selamanya? Haruskah ia memohon dengan sepenuh hati dan permohonan yang sedalam-dalamnya kepada Bram Baswenda?

***
       Malam semakin gelap semakin larut ketika hujan ini akhirnya reda juga. Abah sudah lama tertidur pulas, tetapi Ayu masih belum tidur. Ia sedang memikirkan Yayangnya. Sudah seminggu ini Kak Bram tidak datang, padahal hari Senin ini anak-anak masuk sekolah kembali. Masih terngiang-ngiang di telinganya sore tadi Mayang adiknya Dewi itu memberi tahu lewat HP-nya bahwa Kak Bram itu sekarang ada di Banjarmasin. Ia berangkat buru-buru jadi lupa membawa HP-nya. Yang jadi masalah adalah mengapa pesan itu harus lewat Mayang? Pesan itu datangnya dari Dewi kakak Mayang yang di Banjarmasin. Dewi itu kan suka ganti-ganti pacar? Bukankah Dewi itu selain cantik ia juga pandai merayu? Cemburu? Sangat cemburu. Lelaki ganteng begitu perempuan mana yang tak kepincut? Pokoknya besok atau lusa ia harus menyusulnya ke Banjarmasin. Bagaimana pun caranya ia harus ke Banjarmasin. 
***
       Pagi-pagi sekali Ayu sudah memarkir kendaraannya di halaman rumah Kak Bram. Dengan berbekal kunci duplikat ia membuka rumah itu dan langsung masuk. Yang pertama dicarinya adalah HP. Ia langsung menemukan HPnya yang tergeletak di tempat tidur. Ia mencari ces-cesannya yang juga tak jauh dari HP-nya. Ia ingin sekali mengetahui isinya. Bukankah HP itu menyimpan banyak rahasia? Ia ingin mengetahui foto-foto siapa yang ada? SMS dan rayuan gombal siapa yang masuk? Dan Nama-nama siapa yang ada?

       Untuk mengetahui semua itu, tentu saja ia harus mences baterainya dulu. Sementara mengeces ia melihat rumah ini sangat berantakan. Di mana-mana berserakan pakaian yang harus dicuci. Sebenarnya ia mau saja mencucikan semuanya, tetapi tak bisa. Karena hari ini ia akan pergi ke Banjarmasin. Ia kan belum minta ijin? Ia juga harus memikirkan apakah ia pergi sendirian? Ataukah pergi bersama Mayang? Memang yang paling tepat adalah pergi bersama mayang, karena hanya Mayang yang mengetahui di mana Kak Bram itu sekarang. Bukankah menurut Dewi Kak Bram itu menginap di bedakan  tempatnya si Dewi itu? Kalau berangkat hari ini kendalanya adalah ia belum memesan taksi. Di sini mobil angkutan antar kota itu di sebut taksi.

       Ayu memeriksa HP itu sudah ada powernya. Betapa terkejut Ayu ketika melihat nama Gadis Misterius Lebay di deretan nama-nama yang ada di HP ini. Dan lebih terkejut lagi ketika membaca SMS-SMSnya. Bukan hanya terkejut ia juga kesal. Kenapa banyak rayuan gombal dalam SMS itu? Ternyata Kak Bram selingkuh di belakangnya. Menyebalkan! Ia tidak bisa lagi menyaring siapa yang merayu, siapa yang menggombal. Ingin rasanya ia membanting menghancurkan HP itu. Tetapi kalau HP itu  hancur tak ada lagi bukti yang bisa ditunjukkan. Memang di HP itu ada juga SMS dari Ayu, tetapi SMS Gadis Misterius Lebay itu benar-benar gombal. Itu sangat mengganggu pikirannya. Yang lebih menyakitkan hatinya kenapa SMS yang dikirimnya ke Banjarbaru itu tidak ada? 

       Menyebalkan! Ia ingin cepat-cepat meninggalkan rumah itu. Andaikan punya sayap ia ingin terbang agar bisa secepatnya bertemu Kak Bram. Ia ingin menumpahkan kejengkelan kedongkolan dan kemarahannya pada Kak Bram. Diam-diam dia benci tapi rindu. Diam-diam ia marah-marah tapi kangen. Diam-diam ia dongkol tapi mau.

       Ia menghubungi Mayang. Ditunggunya beberapa saat, HPnya memang bunyi tetapi tak diangkat. Dicobanya sekali lagi, ditunggunya lagi tetapi masih belum diangkat juga. Padahal ia perlu bicara. Ia mulai kesal. Dicobanya lagi, kali ini HPnya mulai diangkat.  

       “Halo, assalamu alaikum” suara Mayang di ujung sana.
       “Wa alaikum salam. Mayang, ini aku Agus.”
       “Iya, Ada apa Gus?”
       “Besuk bisa nggak kamu menemaniku ke Banjarmasin?”
       “Besok ya?”
       “Ya besok. Katanya Kak Bram menginap di kontrakannya Dewi. Tolong ya temani aku menemuinya.”
       “Bisa. Aku mau bicara sama Abah dulu ya. Rencananya aku juga mau ke sana, sekalian ada yang akan dibicarakan dengan Kak Dewi.”
       “Sekalian kamu pesan taksi sama sopir Asad. Kan rumahnya dekat kamu? biar aku yang bayar. Makasih dulu ya. Assalamu alaikum.”
       “Wa alaikum salam.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar