menu

Sabtu, 04 Juni 2016

Mengungkap Keunikan Gumam Asa Bungkam Mata Gergaji Ali Syamsudin Arsi



Mengungkap Keunikan Gumam Asa Bungkam Mata Gergaji
Ali Syamsudin Arsi
oleh Hamberan Syahbana
I
       Bungkam Mata Gergaji adalah sebuah buku kumpulan gumam Ali Syamsudin Arsi, yang biasa disebut dengan panggilan Bung ASA, salah seorang sastrawan dari Kalimantan Selatan yang dikenal luas sebagai penulis puisi. Sedangkan di jejaring social facebook dunia maya Bung ASA ini biasa menggunakan akun Ali Arsyi. Buku ini diterbitkan oleh Framepublishing Yogyakarta. Sebuah buku berukuran 13,5 x 20 cm, tebal 148 + xiv halaman dengan nomor ISBN 978-979-16848-4-7. Desain cover oleh Nur Wahida Idris dengan gambar cover lukisan Pintu Larangan karya Darvies Rasyidin. Cetakan pertama buku ini terbit pada bulan Februari 2011.
       Buku ini menyajikan kumpulan 7 Gumam Asa yang terdiri dari (1). Luka Merah, Merah Apel, (2). Ragam Jejak Rentak-rentak, (3). Bungkam Mata Gergaji, (4) Di Langit Buku Tak Terbaca, (5). Selanjutnya Kartini, (6). Gumam Kepada Gumam, dan (7). Lembar Demi Lembar.  
      Dilihat sepintas lalu buku ini nampak biasa-biasa saja. Pertama kali membaca isinya seperti arikel kolum yang berisi banyak sindiran halus dan kritik mengelitik terhadap berbagai hal yang terjadi di negara kita. Tetapi ketika dibaca berulang kali dan lebih dalam lagi ternyata ini bukan artikel kolum. Meski isi dan semangatnya sama tetapi berbeda dalam bentuk dan tekhnik penulisannya. Perbedaan itu terletak pada penggunaan pemaparan kata dan penyampaian masalah yang tidak langsung, tetapi menggunakan ungkapan-ungkapan perumpamaan yang harus dimaknai secara khusus. Tulisan yang seperti ini lebih mendekati pada karya sastra genre puisi. Atau barangkali gumam Asa ini adalah memang benar-benar puisi dalam bentuk tipografi yang berbeda dari puisi karya penyair lainnya. Hal inilah yang membuat buku ini menjadi sangat unik dan sangat berbeda dengan karya sastra dari penulis-penulis lainnya. Bukan saja berbeda dengan buku karya sastrawan Kalimantan Selatan, tetapi juga sangat berbeda dengan buku karya sastrawan Indonesia lainnya. Karena keunikan dan perbedaan inilah maka buku ini menjadi sangat menarik untuk ditelisik lebih dalam lagi. Bukan hanya menarik dalam hal tekhnis penulisannya saja, tetapi juga menarik dalam hal penyampaian isi, amanat dan pesan moralnya.  
       Berdasarkan paparan tsb. di atas maka kita perlu menelisik dan mencermati buku ini lebih dalam lagi. Utamanya tentang permasalahan apakah buku ini termasuk dalam katagori karya sastra genre puisi? Dan sejauh mana Kumpulan Gumam Asa ini dapat dihayati, diapresiasi dan dinikmati.
       Dalam menelisik dan mencermati Gumam Asa ini, kita bisa melakukan dengan cara yang paling sederhana. Yaitu dengan cara menelisik unsur intrinsik yang ada di dalam karya sastra tsb. Apakah di dalam gumam itu ada unsur intrinsik pembangun puisi? Adapun unsur instrinsik yang dimaksud adalah: (1). bunyi, (2). diksi dan ungkapan, (3). rima, (4). ritme, (5). imaji, (6). Majas, (7) Judul, (8). Tema, (9). Amanat dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
       Karya sastra itu dapat dikatagorikan sebagai karya yang masuk dalam genre puisi jika di dalamnya ditemukan sedikitnya ada 7 unsur intrinsik pembangun puisi tsb. Karena karya sastra genre puisi ini memiliki unsur intrinsik yang khas dan sangat berbeda dengan intrinsik cerpen dan novel. Unsur intrinsik pembangun sebuah cerpen dan novel itu ada 7, yaitu  (1). tema, (2). amanat, (3.) tokoh, (4). alur atau plot, (5). latar atau setting, (6). sudut pandang, dan (7). gaya bahasa.
***
       Kata gumam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suara omongan yang tertahan di dalam mulut. Karena suara itu tertahan dalam mulut maka  kesannya suara itu antara terdengar dan tidak. Bukan berarti dalam gumam itu tak ada kata-kata. Kata-kata itu tetap ada hanya suaranya saja yang kurang jelas. Secara konotatif kata gumam di sini maksudnya adalah karya sastra yang dideklarasikan oleh Ali Syamsudin Arsi dengan istilah Sastra Gumam. Menurut ASA sastra gumam ini terinpirasi dari suara gumam prosesi keagamaan warga transmigrasi asal Bali. Suara gumam yang sepintas lalu hanya bunyi gumam, ternyata dalam gumam yang tak terdengar jelas itu bersisi kata-kata suci yang menyuarakan banyak hal. Dalam hal yang sama gumam Asa ini juga mengungkapkan berbagai masalah yang padu dan menyatu. Ternyata rangkaian kata dan ungkapan tsb. sarat dengan makna, amanat dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
       Berkaitan dengan judul dan permasalahan tersebut diatas, esai ini sengaja ditulis untuk mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya tentang Gumam Asa ini. Mengingat terbatasnya kemampuan dan halaman yang ditentukan maka di sini kita hanya mengulas sebagian dari salah satunya saja, yaitu Gumam Asa 3 Bungkam Mata Gergaji. 

II
      Gumam Asa 3 ini berjudul Bungkam Mata Gergaji. Sedangkan kata Gergaji sendiri mengingatkan kita pada alat yang biasa digunakan untuk pemotong kayu. Dalam konteks Gumam ini secara denotative kata Gergaji maksudya adalah alat yang digunakan dalam penebangan hutan secara besar-besaran. Hal ini secara implisit dapat dilihat pada kutipan paragraf pembuka berikut ini.
Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul, negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik walaupun tengadah kulit yang keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas, sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetep bersih putih dan tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting.
       Meski paragraf pembuka di atas tidak menyebutkan secara khusus adanya gergaji mesin yang digunakan untuk menebang kayu, tetapi secara implisit diketahui bahwa Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul ini sebelum dibakar hangus tentulah ditebang dengan gergaji mesin. Dan sisa penebangan yang berserakan itu lalu dibakar dan dihangus-musnahkan. Karena membakar sisa-sisa penebangan yang berserakan itu jauh lebih mudah daripada membersihkan dengan cara apapun.    
       Paragraf pembuka ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang begitu dahsyat dan puitis. Hal ini ditandai dengan ungkapan Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul. Secara khusus ungkapan ini dibangun dengan majas tautotes, ada juga yang menyebutnya majas tautology yang ditandai dengan frasa hutan belantara yang bersinonim dan sama artinya dengan frasa rimba raya, demikian pula dengan ungkapan terlanjur hangus bertunggul-tunggul yang yang dipertegas lagi dengan unkapan yang sama maksudnya yaitu sudah sangat gundul. Ungkapan-ungkapan ini menjadi indah dibaca dan didengar karena adanya rima asonansi yang ditandai dengan pengulangan bunyi vokal [u] pada kata dan pada terlanjur, hangus, bertunggul-tunggul, sudah,  gundul dan pada kata gundul. Di sini juga ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [r] pada kata belantara yang bersajak dengan kata rimba raya. Dan di sini juga ada rima aliterasi yang ditandai dengan pengulangan bunyi konsonan [s] pada kata sudah yang bersajak dengan kata sangat. Dan masih banyak lagi rima-rima yang lain.
       Di sini juga ada untaian kata negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik yang dibangun dengan majas retoris yang ditandai dengan pertanyaan negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya. Di sini juga ada majas metafora yang ditandai dengan ungkapan hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan. Di sini juga ada majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul, tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya, dan dalam ungkapan walaupun tengadah kulit yang keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting. Di sini juga ada majas eupimisme yang ditandai dengan ungkapan cuci muka. Dan sekaligus dalam untaian kata sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetep bersih putih di sini ada majas litotes yang ditandai dengan ungkapan hanya cuci muka.
       Paragraf pembuka ini juga dibangun dan diperindah dengan ritme atau irama yang terbentuk dari pengulangan  bunyi vokal dan pengulangan bunyi konsonan. Hal ini jelas dapat kita rasakan pada untaian kata Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul. Di sini terasa keindahan bunyi karena adanya pengulangan bunyi vokal [a] yang dominan terasa pada Hutan belantara rimba raya. Di sii juga ada ritme yang terbentuk dari pengulangan bunyi [ul] pada kata bertunggul-tunggul dan pada kata gundul. Berikut ada juga pengulangan bungi vokal [e] pada rangkaian kata negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik walaupun tengadah kulit yang keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas, sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetep bersih putih dan tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting.
       Selain itu paragraf pembuka ini sepenuhnya dibangun dengan imaji visual. Membaca paragraf pembuka ini kita seakan benar-benar melihat Hutan belantara rimba raya yang terlanjur hangus bertunggul-tunggul dan sudah sangat gundul akibat dari penebangan dan pembakaran hutan yang tidak bertanggung jawab.
       Selain itu pembaca juga seakan melihat bahwa hutan belantara rimba raya yang sudah gundul itu tiba-tiba terbayang hutan belantara rimba raya yang kaya dengan keanekaragaman flora dan fauna daya pesona alam di samping berpuluh pesona alam lainnya. Kondisi itu tentu harus tetap menjadi yang terbaik. Ternyata tu hanyalah harapan yang sampai keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas. Terbukti dengan usaha penghijauan kembali yang tak seimbang dengan dampak kerusakan hutan akibat penebangan dan pembakaran hutan besar-besaran tsb.  
       Di sini juga ada imaji auditif kita seakan mendengar janji-janji yang tak pernah ada bukti. Hal ini ditandai dengan ungkapan Memang sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetap terlihat bersih putih santun dan memesona, dari ungkapan ini kita seakan benar-benar mendengar janji-janji dari pengusaha asing dan pengusaha domestic yang ikut merusak hutan hanya sekedar basa-basi yang tak pernah ada bukti. Demikian pula dengan para pejabat terkait yang hanya ikut mengambil keuntungan tanpa mengusut tuntas para pelaku perusakan tsb. selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting yang maksudnya hanya sebatas wacana yang tak pernah ada realisasi.
       Dari paragraf pembuka ini diperoleh bahwa penebangan hutan secara besar-besaran menyebabkan terjadinya kekeringn. Fungsi hutan yang biasanya sebagai penahan resapan air menjadi kurang berfungsi atau bahan tidak berfungsi lagi, dan berakibat terjadi kekeringan. Air hujan akan langsung mengalir ke laut dan cadangan air tanah menjadi tidak ada. Lalu terjadilah banjir. Dan kebakaran hutan yang parah dan diiringi hujan yang lebat akan mengakibatkan erosi, menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas. Kondisi tanah yang seperti ini akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan. Sedangkan kebakaran hutan dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti dengan hujan lebat. Erosi ini sangat berpengaruh pada kesuburan fisik tanah, maka terjadilah penghanyutan partikel-partikel tanah, perubahan struktur tanah, penurunan kapasitas infiltrasi dan penampungan, serta perubahan profil tanah. Akibat-akibat lain dari penebangan hutan ini adalah hutan menjadi gundul, terjadinya longsor, kebakaran dan lain sebagainya.
     Di samping itu penebangan dan pembakaran hutan besar-besaran mengundang sentimen dunia internasional yang menyatakan bahwa hutan tropis adalah paru-paru dunia. Jika terjadi kerusakan dan pembakaran hutan, itu akan berdampak terjadinya pemananasan global yang berakibat pada perusakan lapisan ozon.  
       Sebelum kita melangkah lebih jauh ada baiknya kita mengambil cuplikan yang dapat kita gunakan sebagai dasar pemahaman dari Bungkam Mata Gergaji ini. Untuk itu marilah kita cermati kutipan berikut di bawah ini.
“Tetapi, seluruh mata gergaji tetaplah melukai,” bungkam mata gergaji telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi. Mata gergaji bergerak di antara kerumunan orang-orang jalanan di antara runtuhnya gubuk-gubuk. ”Ayo, kita harus berkorban untuk kedamaian bangsa ini dan kita menjadi bagian dari keindahan yang memang sepantasnya dilaksanakan. Ayo,menyingkirlah kalian sebelum kami singkirkan,” mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran. 
       Kutipan di atas di awali dengan kalimat dalam tanda petik “Tetapi, seluruh mata gergaji tetaplah melukai” Kalimat ini mengingatkan kita pada mata gergaji. Secara denotatif frasa mata gergaji ini adalah memang benar-benar mata gergaji yang digunakan untuk memotong dan membelah kayu menjadi dua bagian. Tetapi dalam konteks Gumam Asa ini secara konotatif gergaji maknanya adalah suatu sistem untuk mematahkan menjadi dua kelompok yang berseberangan, saling tuding-menuding, saling tercerai berai. Dengan kata lain adalah sistem atau cara untuk menang dengan menggunakan segala cara termasuk cara-cara licik dan busuk. Dan pemenangan itu dilakukan secara bersama dalam sebuah konspirasi besar, layaknya barisan mata gergaji yang memotong dan memporak-porandakan sesuatu yang harus dilumpuhkan. Hal ini ditandai dengan ungkapan bungkam mata gergaji telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi. Mata gergaji bergerak di antara kerumunan orang-orang jalanan di antara runtuhnya gubuk-gubuk.
       Kutipan di atas menyajikan informasi bahwa telah terjadi kesewenang-wenangan yang jelas terbaca pada ungkapan bungkam mata gergaji telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar
       Ungkapan dalam kutipan di atas dibangun dengan majas hiperbola yang ditandai dengan ungkapan telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan. Kutipan di atas juga dibangun dengan imaji visual, di mana kita seakan-akan melihat telah terjadi penggusuran di mana-mana. Hal ini jelas terungkap dalam ungkapan Mata gergaji bergerak di antara kerumunan orang-orang jalanan di antara runtuhnya gubuk-gubuk. Di sini juga ada majas metafora jelas terbaca dalam ungkapan bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar.
      Selanjutnya kutipan paragraf di atas ada ungkapan yang ditulis dalam tanda kutip, ”Ayo, kita harus berkorban untuk kedamaian bangsa ini dan kita menjadi bagian dari keindahan yang memang sepantasnya dilaksanakan. Ayo, menyingkirlah kalian sebelum kami singkirkan,
      Dari kutipan ini diketahui bahwa ungkapan agar warga harus rela berkorban untuk kepetingan yang lebih besar yang ditandai dengan ungkapan harus berkorban untuk kedamaian bangsa ini. Di sini juga ada ancaman kesewenang-wenangan agar warga yang berada di jalur gusuran agar menyingkir sendiri sebelum di singkirkan secara paksa. Rangkaian kata yang ada di dalam tanda kutip [..] ini sepenuhnya dibangun imaji auditif. Di mana pembaca dibuat seakan-akan mendengar ucapan dalam bentuk himbauan sekaligus amcaman ini. Di sini juga ada majas ekslamasio yang ditandai dengan kata seru ayo pada klausa Ayo, kita harus berkorban untuk kedamaian bangsa ini dan pada klausa Ayo, menyingkirlah kalian sebelum kami singkirkan.
       Selanjutnya pada kutipan di atas ada ungkapan mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran. Di sini ada majas anaphora yang ditandai dengan pengulangan frasa mata gergaji di setiap awal klausa-klausa yang berurutan.
       Selanjutnya kita simak sebuah kutipan dari paragraf yang lain dari Bungkam Mata Gergaji di halaman 17 berikut di bawah ini
       Rute perjalanan mata gergaji boleh jadi ada di halaman parkir kantor polisi, atau bahkan dalam bilik jeruji besinya. Rute perjalanan mata gergaji boleh jadi ada di kamar-kamar yang disebut sebagai kejaksaan, bahkan sampai di sudut-sudut lacinya. Rute perjalanan mata gergaji, konon menurut berita miring yang beredar ada pula di atas gedung khusus pemberantasan korupsi, bersama dengan akar-akar gantung di lilitan pohon hiasnya. Rute perjalanan mata gergaji kadang kala singgah pula di istana pimpinan negara beserta patung-patung di luasnya halaman taman sarinya. Rute perjalanan mata gergaji bercokol do emper-emper kumuh yang namanya mahkamah agung, serta tali-tali layangan yang tersangkut di pojok jendelanya. Rute perjalanan mata gergaji sesekali duduk lesehan di bulu-bulu mata para hakim dan di saku baju pegacaranya. Rute perjalanan mata gergaji tidak kalah sengit ketika tersangkut berjuntai di ujung paku-paku tiang gedung perwakilan rakyat, akh itukan katanya saja. Rute perjalanan mata gergaji berpindah-pindah, berloncatan, kadang tak beraturan, tetapi selalu berlindung di balik keteraturannya. Rute perjalanan mata gergaji, akh rute demi rute berjalan menggelinding melompat silang sana silang sini nongkrong di sana sabet sebelah sini, sikat di akar gantung tarik di jebakan lainnya, jerat-jerat bungkam mata gergaji.
       Paragraf di atas dibangun dengan diksi dan ungkapan bermuatan sindiran tajam menyengat dan kritik menggelitik yang terjadi di semua lini. Hal ini jelas tergambar pada rute perjalanan mata gergaji. Bukankah seluruh mata gergaji itu tetap melukai? Sehingga ke mana mata gergaji itu berjalan, di sana pasti meninggalkan luka. Ke mana mata gergaji itu berjalan, di sana pasti ada hal-hal yang tidak terpuji. Lihatkah betapa lugas Guman ini menggambarkan bahwa perbuatan tidak terpuji itu ada  di halaman parkir kantor polisi, di dalam bilik jeruji besinya, di kejaksaan, di atas gedung pemberantasan korupsi, di istana Negara, di mahkamah agung, di bulu-bulu mata para hakim, di saku baju pegacaranya, di ujung gedung perwakilan rakyat, akh itukan katanya saja.
       Ternyata hal yang menyengsarakan itu, hal yang tidak terpuji itu bisa berpindah-pindah, berloncatan, kadang tak beraturan, tetapi selalu berlindung di balik keteraturannya, berjalan menggelinding melompat silang sana silang sini nongkrong di sana sabet sebelah sini, sikat di akar gantung tarik di jebakan lainnya, selalu saja ada jerat-jerat bungkam mata gergaji.
       Selanjutnya kita simak sebuah kutipan dari paragraf yang lain dari Bungkam Mata Gergaji di halaman 18 berikut di bawah ini
     Semakin ganas semakin terbuka semakin lenyap semakin pupus semakin tertutup semakin melegakan semakin ditertawakan semakin dilupakan semakin membingungkan semakin tidak jelas semakin jengkel semakin dipesta-pestakan semakin gila semakin semakin waras semakin baik semakin rusak; bungkam ke kiri ternyata dibungkam dari kanan, bungkam di atas ternyata malah dibungkam pula dari bawah. Akh, rute perjalanan mata gergaji.
       Dari kutipan di atas diperoleh bahwa di sini ada majas anaphora yang ditandai dengan pengulangan kata semakin di setiap awal klausa-klausa yang berurutan  Hal ini jelas terbaca bahwa perjalanan mata gergaji itu Semakin ganas semakin terbuka semakin lenyap semakin pupus semaki tertutup semakin melegakan semakin ditertawakan semakin dilupakan semakin membingungkan semakin tidak jelas semakin jengkel semakin dipesta-pestakan semakin gila semakin semakin waras semakin baik semakin rusak;
       Dari kutipan paragraf di atas diketahui bahwa perjalanan mata gergaji itu membuat semuanya menjadi amburadul, menjadi semakin mencemaskan, semakin menakutkan dan nampaknya itu semua tak dapat dihentikan. Karena bungkam ke kiri ternyata dibungkam dari kanan, bungkam di atas ternyata malah dibungkam pula dari bawah. Akh, rute perjalanan mata gergaji.
       Paragraf tsb. di atas dibangun sepenuhnya dengan ritme atau irama yang terbentuk dari pengulangan kata rute perjalanan, mata gergaji dan kata semakin yang tampil secara beruntun di sepanjang paragraf.   
       Selanjutnya kita simak sebuah kutipan dari paragraf yang lain dari Bungkam Mata Gergaji di halaman 22 berikut di bawah ini
Bila bungkam datang maka terimalah ia dengan puisi bertubi-tubi karena biasanya bungkam bergerak begitu cepat dan kadangkala ada pula secara lambat merambat-rambat. Bungkam merupakan bagian dari kekuasaan, bungkam adalah kesepakatan, bungkam adalah mematikan, bungkam adalah tikaman, bungkam adalah menyingkir dan enyahkan, bungkam adalah berbalik tangan, bungkam adalah memalingkan, bungkam adalah melemahkan, tumpul sampai ke pangkal-pangkal dermaga-dermaga hujanpun mampu dipindahkan karena bungkam tak lepas mantra segala mantra, bumngkam tak lepas pula dengan serangan di balik perdu semak belantara. Dalam tayangan bait-bait puisi. Meliuk menari menikam melilit   
      Dari kutipan di atas diperoleh bahwa paragraf ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang biasa dipakai dalam puisi podium atau puisi para pengunjuk rasa dan para demonstran di jalan-jalan yang sarat dengan sindiran tajam menyengat dan protes keras terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbedaannya adalah pada gumam ini mengungkapkan sesuatu dengan bahasa puisi yang dahsyat dan memukau.
       Kedahsyatan ungkapan itu sangat jelas terbaca jika dipaparkan dengan menggubah dan mengdaptasikannya menjadi rangkain gubahan seperti berikut ini
Bila bungkam datang maka terimalah ia
dengan puisi bertubi-tubi
karena biasanya bungkam bergerak begitu cepat
dan kadangkala ada pula secara lambat merambat-rambat.

Bungkam merupakan bagian dari kekuasaan,
bungkam adalah kesepakatan,
bungkam adalah mematikan,
bungkam adalah tikaman,
bungkam adalah menyingkir dan enyahkan,
bungkam adalah berbalik tangan,
bungkam adalah memalingkan,
bungkam adalah melemahkan,
 tumpul sampai ke pangkal-pangkal dermaga-dermaga
hujanpun mampu dipindahkan
karena bungkam tak lepas mantra segala mantra,
bungkam tak lepas pula dengan serangan di balik perdu semak belantara. Dalam tayangan bait-bait puisi.
Meliuk menari menikam melilit   

      Dari kutipan di atas diperoleh dan tak bisa dimungkiri lagi bahwa paragraf ini adalah puisi. Dan tentunya Bungkam Mata Gergaji ini adalah puisi yang dibangun dengan diksi dan ungkapan bahasa podiom, bahasa orasi, bahkan bisa juga dikatakan bahsa provokasi. Rangkaian diksi dan ungkapan di sini diperkuat lagi dengan rima, ritme, imaji dan majas yang juga sangat memukau. Ungkapan-ungkapan ini ketika dibaca sendiri terasa sangat menggugah, bahkan mampu membakar semangat yang kecut menjadi semangat yang berapi-api. Ketika dibaca dan diperdengarkan di tengah khalayak mampu menggugah dan membakar semangat pendengarnya.
III
       Gumam Asa 3 ini berjudul Bungkam Mata Gergaji. Judul ini terdiri dari dua kata yaitu bungkam dan mata gergaji. Kata bungkam secara denotatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah (1). tertutup (tutup mulut);  (2) tidak bersuara. Sedangkan kata bungkam dalam Gumam Asa 3 ini penekanannya lebih pada istilah membungkam. Kata membungkam sendiri secara denotatif menurut KBBI adalah (1), menutup mulut supaya diam; (2) membuat tidak berbunyi, tidak bersuara, tidak berbicara. Secara kononatif kata bungkam sesuai konteks Gumam Asa ini maksudnya adalah merupakan upaya paksa menahan, mengurung, mengalahkan, menjatuhkan, mematahkan, menghentikan, memenjarakan dan sebagainya.
       Frasa mata gergaji secara konotatif sesuai dengan konteks Gumam Asa makna konoitatifnya adalah suatu sistem untuk mematahkan menjadi dua berseberangan saling menuding saling tercerai berai sistem atau cara, dan untuk menang banyak menggunakan segala cara termasuk cara-cara licik dan busuk itu tidak akan dipedulikan karena bukan proses positif yang disasar tetapi puncak kemenangan walau yang lain tersungkur bahkan tak berkutik dan mata gergaji bukan hanya satu tetapi banyak mata tajam di sana, bukan hanya satu orang yang sebenarnya berbuat tetapi konspirasi dari banyak unsur, dan biasanya yang lemah akan sangat merasakan akibatnya sebab yang kuatlah yang punya kendali, tetepi bila 'rakyat banyak bersatu membentuk 'mata gergajinya sendiri' maka sulit yang lain untuk mengalahkan, sayangnya rakyat telah lebih dahulu dipisah bercerai berkeping-keping, tidak mampu bersatu untuk membentuk kekuatan melawan tirani itu, maka sama terbungkam dan sama tumpul mata gergaji.
       Berdasarkan paparan di atas ternyata Gumam Asa Bungkam Mata Gergaji ini adalah: murni karya sastra puisi tetapi dalam bentuk yang berbeda dari puisi-puisi lainnya. Perbedaan yang nampak mencolok adalah pada tipografi. Gumam Asa 3 Bungkam Mata Gergaji ini tidak menggunakan bait dan larik dalam tipografinya, tetapi lebih mirip dengan prosa yang menggunakan paragraf dan kalimat. Bentuk puisi seperti ini ada juga yang menyebutnya puisi prosais. Maksudnya puisi yang menggunakan bentuk prosa. Tetapi Gumam Asa ini juga sangat berbeda dengan puisi prosais karya penyair lainnya. Perbedaan yang mencolok adalah Gumam Asa ini benar-benar mirip prosa, hanya mirip tapi tak sama. Lebih jelasnya adalah serupa tapi tidak sama. Hal ini menjadi keunikan tersendiri bahwa Gumam Asa pada umumnya menyajikan paragraph panjang, bahkan ada yang lebih dari seratus kalimat.
       Layaknya sebuah puisi maka Gumam Asa 3 Bungkam Mata Gergaji ini juga dapat dihayati, diapresiasi dan dinikmati. Karena Bungkam Mata Gergaji ini dibangun dengan diksi dan ungkapan yang dahsyat, menyentuh, memukau dan meggugah. Semuanya itu karena pemilihan kata yang tepat dan proporsional sehingga mampu membentuk dan menciptakan rima asonansi, rima aliterasi dan ritme atau irama yang menimbulkan keindahan. Dan pemilihan kata yang tepat ini juga mampu menciptakan imaji visual dan imaji audutif yang mampu membuat pembaca seakan-akan melihat dan mendengar apa yang diungkapkan dalam Bungkam Mata Gergaji ini. Selain itu pemilihan kata yang tepat ini juga bisa menciptakan majas yang turut memperkuat dan memberi pendalaman kesan yang diungkapkan. Semuanya itulah yang membuat puisi ini menyentuh dan menggugah baik untuk dibaca dan direnungkan sendiri, maupun diperdengarkan di depan khalayak. Selain itu Bungkam Mata Gergaji ini.
       Berdasarkan isi dan cara mengungkapkannya Gumam Asa 3 Bungkam Mata Gergaji ini adalah puisi naratif sekaligus juga adalah puisi deskriptif impresionistik yang menerangjelaskan dan mengungkapkan kesan penyairnya terhadap berbagai situasi dan kondisi yang terjadi di tanah air tercinta ini.
      Dikatakan puisi naratip karena Bungkam Mata Gergaji ini telah mengungkapkan dan menjelaskan tentang apa dan bagaimana Bungkam Mata Gergaji itu termasuk juga sepak terjang perjalanan mata gergaji yang membungkam itu. Dan dikatakan puisi deskriptif impresionistik karena Bungkam Mata Gergaji ini telah mendeskripsikan secara terang benderang kesan penyairnya terhadap carut marut situasi dan kondisi di Negara kita dalam bentuk sindiran tajam menyengat dan kritik yang menggelitik.
IV
       Bungkam Mata Gergaji adalah Buku Kumpulan Gumam Asa karya Ali Syamsudin Arsi yang biasa dikenal dengan Bung ASA salah seorang sastrawan Kalimantan Selatan. Buku ini adalah salah satu buku yang turut serta memperkaya khazanah kreativitas dunia sastra di Kalimantan Selatan khususnya dan di Indonesia umumnya.
       Gumam Asa adalah salah satu kreativitas, inovasi dan gaya Ali Syamsudin Arsi dalam penulisan puisi yang yang tidak terikat dengan bait dan larik. Dalam hal gaya penuilisan seperti ini Ali Syamsudin Arsi lebih suka menyebutnya Sastra Gumam. Atau lebih tepatnya ia lebih suka menyebutnya Gumam Asa dari pada puisi.
       Gumam Asa adalah gaya penulisan puisi yang unik dan dan berbeda, yang lebih menekankan pada pengungkapan isi daripada bentuk tipografi. Gumam Asa adalah sindiran tajam menyengat dan kritik menggelitik yang menggambarkan kenyataan dan ketidak puasan penyair terhadap carut marut yagt terjadi di negatra kita.
     Akhirnya sampailah kita pada suatu kesimpulan bahwa Buku Kumpulan Gumam Asa Bungkam Mata Gergaji ini adalah karya sastra yang dari sudut pandang manapun tetap menarik untuk dibaca, dihayati, diapresiasi, dinikmati, dibicarakan, dicermati, ditelisik dan diteliti oleh siapapun. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua, bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, khsusnya bagi dunia sastra, baik di Kalimantan selatan maupun di Indonesia. Amin.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar