RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 08
08
Bram membuka pintu kamar itu
pelan-pelan lalu masuk diiringi Surya. Nampak di atas meja tak teratur buah
segar berdesakan dengan botol-botol infus
yang belum terpakai. Saat ini Paman Juhri sedang tertidur pulas. Pelan-pelan
Bram mendekati Paman Juhri. Tiba-tiba berdering HP-nya Surya, ternyata itu
panggilan dari rumah yang menyuruhnya cepat pulang. Surya pun buru-buru pulang.
Kini hanya ia sendiri yang tinggal di kamar itu. Ia meletakkan tas bahunya di
tempat yang aman, lalu duduk di tepi ranjang Paman Juhri. Ia hampir meneteskan
air mata karena terharu melihat Paman Juhri yang terbaring layu. Ia sudah
merasa Paman Juhri ini seperti mertuanya sendiri. Hampir setengah jam ia berada
di ruang Kumala A4 ini, baru ingat bahwa tadi sore ia tidak sempat pamitan
dengan Julak Idar dan Ayu. Padahal sekarang hampir pukul sebelas malam.
Haruskah ia memberi kabar sekarang? Harus! Itu sangat harus, tetapi apakah Ayu
itu masih belum tidur? Akhirnya ia memutuskan harus memberitahu bahwa ia berada
di Banjarmasin. Cepat-cepat ia mengeluarkan HP-nya, tetapi HP itu tak ada di
sakunya. Dicarinya di dalam tas ternyata juga tak ada. Astagfirullah! Ternyata
HP-nya ketinggalan. Wah, bisa kacau nih. Bukankah HP itu wajib harus dibawa
kemana pun ia pergi? Tanpa HP ia tak bisa dihubungi dan juga tak bisa
menghubungi rekan-rekannya yang lain, lebih-lebih lagi Julak Idar dan Ayu.
Karena semua nomor-nomor penting ada di dalam HP itu. Tak ada satu nomor pun
yang dapat diingatnya. Bagaimana ini? Apa boleh buat. Tiba-tiba ia melihat
Paman Juhri membuka matanya pelan-pelan. Perlahan ia menoleh ke arah Bram lama
sekali. Nampaknya Paman Juhri itu mencoba mengenalimya.
“Bram,
Bram Baswenda kan?” tanyanya mengejutkan Bram yang lagi bingung.
Bram
mengangguk mengiyakan pertanyaan Paman Juhri itu. Paman Juhri matanya
berkaca-kaca, bahwa itu memang benar-benar Bram. Tak lama kemudian dia
tersenyum layu tetapi tiba-tiba ia terisak-isak menahan tangis seperti anak
kecil, dan kini malah menangis semakin keras sejadi-jadinya. Setelah cukup lama
Paman Juhri menangis baru ia mulai dapat menenangkan dirinya.
“Tahu dari
mana kalau aku di rumah sakit?“ tanya Paman Juhri masih sesegukan menahan
tangis.
“Ada yang
ngasih tahu. Tadi sore si Surya nelpon katanya Pian dirawat di rumah sakit. Ia
juga yang membawa ulun ke sini.”.
“Tarima
kasih ya. Mana Surya-nya?”
“Baru saja
pulang.”
Nampak
Paman Juhri berusaha bangun tetapi masih mengantuk berat karena masih ada pengaruh
obat penenang itu. Paman Juhri tak mampu menahan rasa kantuknya kini ia
tertidur lagi. Ternyata isi infus sudah mau habis. Bagaimana cara memberitahu
perawat yang tugas. Ini juga baru yang pertama kalinya ia menunggu pasien di
Ansari Saleh ini. Untunglah di dinding ada tombol bel. Cepat ia menekan
tombolnya dan tak lama kemudian datang dua orang perawat mengganti botol infus
itu. Setelah berbicara seperlunya kedua perawat itupun keluar ruangan. Dari
perawat itu tadi Bram mendapat penjelasan bahwa Paman Juhri ini masuk rumah
sakit karena tensinya naik, dan asmanya juga kumat, detak jantungnya juga
kencang. Untung cepat dilarikan ke rumah sakit. Jika terlambat sedikit saja
barangkali tak bisa tertolong lagi. Saat itu sempat diberikan pertolongan
pertama dengan memberikan oksigen dan dua buah tablet kecil ditambah dengan
obat serbuk yang ditaruh di bawah lidah. Dalam waktu relatif singkat tensinya
langsung turun ke 130/80.
***
Pertama kali
ia mengenal Paman Juhri ini ketika mendapat tawaran jadi guru honorer di SMP
Garuda Muda Banjarmasin. Saat itu Bram merasa sudah masanya keluar dari Panti
Asuhan Makmur Bahagia tempatnya diasuh itu, karena ia bukan anak-anak lagi dan
panti asuhan itu juga sudah melebihi kapasitasnya. Pada saat yang sama Paman Juhri
menawarkan bedakan miliknya sendiri sebagai salah satu pilihan bagi Bram. Tanpa
pikir panjang lagi ia memilih pindah ke bedakan itu. Ternyata Paman Juhri itu
adalah orang tua dari Yunita Indah Permata Sari guru honor yang baru di SMP
Garuda Muda Banjarmasin. Memang benar kata orang-orang, dua hati bisa saling
menyatu dan bisa subur bersemi karena seringnya bertemu. Itulah yang terjadi
antara ia dan Yuni. Awalnya saling menyapa dan saling berbagi cerita lalu
berbagi suka dan berbagi duka, saling pikat memikat dan saling tawan menawan,
akhirnya jadian. Apalagi yang satu tampan dan yang satu cantik bagaikan pinang
dibelah dua. Ternyata keduanya sama-sama jatuh hati pada pandangan pertama, dan
sama-sama cinta pertama. Sayang Yuni umurnya tidak panjang, keburu dipanggil
pulang ke rahmatullah sebelum sampai di pelaminan. Padahal waktu itu cinta
mereka sedang subur-suburnya bersemi di dalam hati. Kata orang-orang cinta
pertama kan selalu tertanam kokoh di hati, tak akan terlupakan sampai ke mati.
Ternyata benar, walaupun kini sudah ada Ayu sebagai penggantinya, tetap saja
Yuni itu wanita sepesial yang sangat berkesan di hatinya. Meski kini sudah ada
Ayu tetap saja tak sama seperti Yuni.
***
Sudah tiga
hari ia menunggu dan menjaga Paman Juhri di rumah sakit, berarti sudah sudah
tiga hari juga ia berada di rumah sakit ini. Sebagai penunggu dan penjaga
pasien maka ia sekaligus juga berfungsi sebagai sebagai keluarga pasen. Ya
harus bagaimana lagi? Padahal tadinya ada yang menunggu Paman Juhri ini, yaitu
orang yang dipercaya menerima pembayaran sewa bedakan itu. Tetapi selama Bram
ada di sini orang itu tak pernah ada lagi di ruangan ini. Itu artinya selama
tak ada keluarganya yang datang selama itu juga ia membantu dan melayani
seluruh keperluan pasien ini. Untunglah semua biaya makan dan minum Bram selama
di sini ditanggung oleh Paman Juhri. Untuk yang satu ini sejak hari pertama
Paman Juhri telah mempercayakan dompet dan tas kecil miliknya kepada Bram. Hal
ini semata-mata untuk kemudahan Paman Juhri sendiri, karena terkadang dokter
juga memberi resep obat di luar jaminan Askes. Selain itu diperlukan juga untuk
biaya makan dan lain-lain bagi Bram selama berada di rumah sakit ini.
Ada
sesuatu yang aneh dalam perasaannya saat ini. Bukankah tadinya ia ingin melupakan
Ayu? Tetapi pada kenyataannya tidak semudah itu, karena semakin dilupakan
semakin kuat cintanya kepada Ayu. Padahal selama di sini ia lumayan sibuk.
Seyogyanya ia bisa melupakan Ayu, tetapi kenyataanya tak bisa. Semakin banyak
waktu bersendiri semakin dalam juga ingatannya kepada Ayu. Mengapa ia tak bisa
melupakanya? Apakah karena memang cintanya pada Ayu begitu mendalam? Bisa jadi
kan? Buktinya sedikitpun ia tak dapat melupakannya.
Tiba-tiba
di hari ke tiga ini ia mendengar beberapa orang bergegas ke kamar ini. Ternyata
itu adalah puteri kembar Paman Juhri yang tidak diketahui alamatnya itu. Bram
sudah mengenal keduanya, yang satu namannya Rasmiyati dipanggil Iras dan yang
satunya Rusmiyati dipanggil Irus. Irus datang bersama suaminya, sedang Iras
hanya datang seorang diri. Sebenarnya ada yang aneh. Mengapa Iras ini datang
tidak bersama suami? Apakah suaminya itu amat sangat sibuk? Ataukah memang
tidak ...? Jangan-jangan? Ah tidak baik berburuk sangka. Meski demikian
kedatangan Iras dan Irus tetap saja sangat menggembirakannya. Bukan hanya Paman
Juhri yang sangat sukacita, tetapi ia juga turut gembira, karena kedua putrinya
itu bisa menggantikannya di rumah sakit ini.
Si kembar
ini adalah anak dari istri pertama yang sudah meninggal. Irus dan Iras
mengikuti suaminya masing-masing yang tak ada lagi kabar berita kedua puterinya
itu entah berada di mana. Untunglah pada hari ini keduanya sudah datang.
Sungguh sangat mengharukan nenyaksikan Paman Juhri yang begitu sukacita melihat
kedua anak yang ditunggu-tunggu telah datang. Kedua anaknya itu segera mencium
tangan ayahnya sambil meneteskan air mata. Sementara itu Paman Juhri terharu
melihat kedua anaknya ini. Air matanya dibiarkan berlinangan begitu saja
membasahi kedua pipinya, begitu juga kedua anaknya ini. Ia tak menyangka sama
sekali anak yang sudah lama tak diketahui hutan rimbanya ini, akhirnya hari ini
datang juga menemuinya. Ia tak menyangka anaknya itu datang menemuinya hari
ini. Alhamdulillah. Kini hanya ada isak tangis yang hampir tak terdengar dari
ketiga beranak itu. Sementara Bram dan suami Irus hanya bisa diam memandang
turut merasakan keharuan ketiganya.
“Ulun
baru tahu,” kata salah satu putrinya itu.
“Yang
penting kalian sudah datang, Abah sudah gembira. Kasihan Bram sendiri saja
menunggu Abah di sini.”
Paman
Juhri dan kedua anaknya itu mengucapkan terima kasih kepada Bram yang telah
menunggu dan menjaganya selama beberapa hari ini. Jadi mulai hari ini ia bisa
istirahat sebelum kembali ke Hantarukung. Bram mengemasi semua barang-barang
bawaannya. Sementara itu Iras yang datang tanpa suami itu memperhatikannya
tanpa berkedip sedikitpun. Bram terus mengemasi barang-barangnya tanpa
memperhatikan Iras. Ia sudah menduga pasti akan terjadi seperti itu. Ini adalah
rahasia yang lama terpendam. Tiba-tiba Paman Juhri membisikan sesuatu sebelum
Bram keluar dari rumah sakit.
***
Tepat pukul
dua belas siang Bram meninggalkan rumah sakit. Ia tidak langsung pulang tetapi
mampir dulu di warung sekedar mengisi perut. Setelah selesai makan barulah ia
naik ojek ke bedakan Paman Juhri. Sejak ia diangkat di SMPN Hantarukung, ia
tidak lagi tinggal di bedakan. Meski demikian kamar 4 di Blok A itu sengaja
tidak disewakan, karena kamar itu khusus disediakan jika sewaktu-waktu ia ke
Banjarmasin. Meski Yuni sudah tiada Paman Juhri tetap memperlakukannya sama
seperti sebelum Yuni meninggal, bahkan ia sudah mengangganya sebagai anaknya
sendiri. Sesampainya di bedakan ia mengeluarkan kunci kamar ini yang selalu
disimpannya. Yang pertama-tama dilakukannya adalah berbaring istirahat sejenak
di tempat tidur. Diperhatikannya situasi dan kondisi kamar itu. Tak ada yang
berubah. Ranjang lemari cermin dinding dan peralatan lainnya tetap di tempatnya
semula, bahkan poster-posternya juga masih di tempat semula. Semuanya sama
seperti enam bulan yang lalu. Satu-satunya yang tak ada adalah peralatan
memasak dan pesawat tv. Setelah cukup beristirahat ia bangkit lalu mengeluarkan
sabun mandi sikat gigi dan pasta gigi lalu ke kamar mandi. Saat melihat ruang
dapur yang sempit, nampak rak piring itu masih ada bersama piring sendok dan
gelas. Sebentar kemudian ia masuk ke kamar mandi. Kamar mandinya juga tetap
kamar mandi istimewa yang berbeda dengan kamar mandi lainnya di bedakan ini.
Dia memutar kran airnya begitu deras. Betapa segar air yang membasahi tubuhnya.
Tiba-tiba ia baru sadar bahwa masih belum sholat, padahal saat ini sudah pukul
14.00 siang. Cepat ia mengambil air udhu.
Selesai
sholat ia kembali berbaring di tempat tidur. Kini terbayang kembali semua
peristiwa yang pernah terjadi di tempat tidur ini. Di sinil;ah dulu ia
mengucapkan janji setia dengan Yuni. Meski di sini ia bisa berbuat apa saja,
tetapi itu tak pernah melakukan yang satu itu. Kenapa? Karena ia memang selalu
mengingat larangan itu.
Tiba-tiba
ia teringat bisikan Paman Juhri di rumah sakit tadi. Ia langsung berdiri sambil
berpikir sejenak. Kalau tidak salah benda itu ada di bawah kasur ini.
Diperiksanya di tempat biasanya orang menaruh sesuatu yang penting. Tetapi tidak
ada apa-apa. Apakah sudah diambil orang? Apakah itu hanya bohong-bohongan Paman
Juhri saja? Tidak mungkin Paman Juhri
berbohong. Barangkali ada di bagian kaki. Tidak ada juga. Di sini sudah, di
sini juga sudah. Ia hampir saja putus asa. Ia bingung lalu mondar-mandir,
kembali berbaring lagi, lalu berdiri di dekat jendela matanya terarah ke luar
sana. Bedakan ini masih sama seperti dulu tetapi penghuninya baru semuanya. Itu
tidak penting yang penting ia harus dapat menemukan benda yang dibisikan Paman
Juhri itu.
Kini ia
kembali tiduran lagi. Matanya menatap ke langit-langit rumah otaknya
berputar-putar memikirkan benda yang dibisikan Paman Juhri tadi. Setelah
berpikir keras, baru ia ingat. Bukankah tadi ada secarik kertas yang sudah
usang? Barangkali yang dimaksud itu adalah memang kertas usang itu? Bisa jadi
kan? Ah sayang kertas itu sudah terbuang di bawah jendela. Cepat ia bangkit
langsung ke jendela. Diperhatikannya rerumputan di bawah jendela itu. Kertas
itu nampak di rerumputan itu. Cepat ia keluar mengambilnya. Meski sobekan
kertas kecil ini kusam dan kumal tetapi ini bukan kertas biasa. Di kertas ini
tertulis Astuti Kelana SH MH, Panglima Batur 15 Banjarmasin. Dan di halaman
belakang tertulis di dalam wadah baras. Sayang ia tak tahu di mana Jalan Panglima
Batur itu. Apakah ini perlu ditanyakan pada Paman Juhri? Tetapi ia baru saja
mau beristirahat. Lagi pula enggan rasanya ia bertemu dengan Iras yang sangat
mencurigakan itu siang tadi.
Akhirya
ia memutuskan besok saja pergi ke rumah sakit. Lalu apa pula maksudnya tulisan
di dalam wadah baras ini? Bukankah ia sudah tak tinggal di sini lagi? Berarti
di sini tak ada wadah baras. Tetapi tulisan ini? Tentu ada maksudnya kan?
Sekarang ia ingat. Dulu ia menggunakan sebuah ember khusus untuk menyimpan
beras. Dan ember itu ada di dapur. Ia tak sabar ingin cepat-cepat membuka wadah
baras itu.
Astaghfirullah.
Alhamdulillah. Mimpi apa tadi malam? Ternyata di dalam ember itu ada dua pak
uang kertas seratus ribuan dan selembar surat. Ini uang apa ya? Diambil dan
diperhatikannya surat yang diprint itu. Ia antusias sekali ingin mengetahui isi
surat ini. Astaghfirullah, alhamdulillah. Subhanallah wal hamdulillah wa laa
ilaha illallah wallahu akbar. Betapa terkejutnya ketika ia membaca surat yang
hampir saja tidak dipercayainya ini. Dibacanya berkali-kali surat yang sangat
mengejutkan sekaligus menggembirakan ini. Betapa sukacitanya ia karenanya.
Ternyata hari ini adalah hari keberuntungannya. Sedikitpun tak terduga sama
sekali bahwa hari ini ia akan menemui surat ini.
Tiba-tiba
saja ada yang mengetuk pintu beberapa kali. Siapa ya? Mendengar ketukan itu,
dapat dipastikan bahwa yang mengetuk itu tentu sangat mengenalnya. Tapi siapa
ya? Bukankah penghuni bedakan ini semuanya orang baru? Berarti tak ada yang
mengenalnya. Atau? Bisa jadi salah seorang di antaranya masih ada penghuni
lama. Ah masa bodoh. Sekenal apapun orang itu, ia tetap tak suka ada orang yang
mengganggunya yang lagi senang saat ini. Kini lagi-lagi orang itu mengetuk
pintu, malah kini lebih keras lagi. Menyebalkan! Cepat ia menyimpan surat
keberuntungan itu ke dalam saku celananya, dan uang yang dua kabat itu juga
disimpannya di kedua saku celananya. Pintu itu masih saja diketuk bahkan lebih
keras lagi. Akhirnya dengan malas pintu itu dibukanya lambat-lambat. Astaghfirullah.
Ternyata itu Iras. Tidak kapok-kapoknya juga perempuan ini mengganggunya.
Dasar! Dasar perempuan tak punya malu. Tetapi mengapa ia pulang. Bukankah ia
lebih baik menjaga dan menunggu Abahnya di rumah sakit?
“Ras, kok
kamu pulang? Bukankah kamu seharusnya menjaga Abah di rumah sakit?”
“Kan ada
Irus? Kami gantian. Hari ini giliran Irus, aku giliran besok.”
“O gitu
ya?”
“Iya. Kok
kamu sepertinya tak suka ya?”
“Bukan,
bukan begitu. Bukan tak suka. Aku cuma ..”
“Cuma
apa?”
“Ya cuma
bingung aja.”
Tiba-tiba
saja Iras menyelonong masuk begitu saja, sedang Bram hanya melongo bingung
harus berbuat apa. Apakah ia harus masuk mengikuti apa yang mau dilakukan Iras
di sini? Tetapi ia harus masuk. Ia tak mau Iras mengobrak-pabrik pakaiannya
yang ada di dalam tas bahunya itu. Untung saja uang yang dua kabat itu ada di
dalam saku celananya. Dirabanya saku celananya, kabatan duit itu masih ada di
saku celananya. Sakabat ada di saku kiri dan sakabatnya lagi di saku kanan.
Lalu surat itu? Dia lupa, apakah ada di dalam tas? Ataukah ada di saku
celananya juga? Dirabanya saku belakang celananja. Alhamdulillah, ternyata
surat itu juga ada di dalam saku belakang celananya. Meski demikian ia tetap
harus masuk ke dalam melihat apa yang dilakukan Iras.
Diam-diam
Bram masuk langsung ke tempat tidur, ternyata benar. Pakaian kotornya yang
ditaruh di atas kasur semua diambil Ira. Diam-diam Bram menuju ke kamar mandi,
dilihatnya Iras sedang mencuci semua pakaiannya yang kotor. Barangkali supaya
Bram tak bisa kemana-mana, karena pakaiannya basah semua. Untunglah masih ada
satu yaitu yang dipakainya sekarang. Nampak betapa Iras begitu asiknya mencuci
semua pakaian itu. Melihat gelagat ini sepertinya Bram harus segera menyelamatkan
diri secepatnya. Ia tak ingin kejadian tahun yang lalu itu terulang kembali.
Cepat ia kembali ke tempat tidur langsung mengambil tas dan kabur dari rumah
itu. Sesampainya di luar ia langsung memanggil ojek.
“Bang, ke
pasar baru.”
“Pasar barunya di mana?”
“Samping
Mesjid Noor.”
Tukang,
ojek itu segera meluncur membawanya kabur dari Iras. Tak lama kemudian mereka
sudah sampai ke tujuan. Setelah membayar ongkos ojek, ia langsung masuk ke
salah satu toko pakaian. Ia memilih jean dan kaos oblong yang sesuai nomor
badannya iapun masuk ke kamar pas langsung ganti pakaian. Sekarang
penampilannya tidak lagi kumal dan kusam berantakan tetapi segar dengan kaos
oblong kuning gading cerah meriah dengan celana jean warna kuning gelap.
Setelah itu ia langsung mencari warung makan terdekat. Alhamdulillah, kalau
soal makan dan pakaian tak ada masalah. Kan ada banyak uang di sakunya? Selesai
makan ia langsung menuju ke Mesjid Noor untuk sholat Ashar.
Sehabis
sholat Ashar ia tidak langsung pergi tetapi beristirahat sebentar. Kondisi dan
suasana di dalam mesjid yang hening dan sejuk segar ini membuat pikiran jadi
plong jiwanya langsung jadi damai dan badannya pun terasa segar sekarang.
Tiba-tiba baru terpikir olehnya mau kemana sekarang. Apakah kembali ke bedakan
lagi? Tidak. Bram tak mau ke sana lagi, pasti Iras sudah merencanakan perangkap
baru. Atau ke rumah sakit lagi? Kenapa harus ke rumah sakit lagi? Ya, ia
sebaiknya memang harus ke rumah, karena ia harus menghindar dari perangkap yang
sudah dipasang Iras di kamar bedakan itu. Akhirnya Bram memutuskan lebih baik
kembali ke rumah sakit. Ia keluar dari Mesjid Noor langsung naik ojek ke Rumak
Sakit lagi.
Dalam
perjalanan ke rumah sakit ia teringat Iras. Meski tak semuda alm Yuni ia juga
cantik menarik berhidung mancung berbibir tipis. Bedanya Iras bermata cemerlang
menantang agresif dan bergelora bagai amukan gelombang tujuh samudera,
sedangkan alm Yuni bermata bening sendu merindu yang senyum dan kerling matanya
selalu menawan menancap tajam di relung hati sampai yang paling dalam. Yang
seratus persen mirip dan serupa bahkan sama persis dengan Rahayu Agustina yang
biasa dipanggilnya Ayu itu. Tentu saja Ayu jauh lebih muda dari Yuni. Tak
terasa ternyata ia sudah sampai di rumah sakit. Setelah membayar ongkos ojek ia
langsung masuk ke rumah sakit. Tiba-tiba ia terkejut mendengar ada keributan.
Nampak
seorang perempuan bergegas langkahnya terlihat gontai. Matanya menatap nanar ke
arah dua orang suster yang bergegas mendorong kereta pasien yang baru. “Suster
… Suster!” teriak perempuan itu setengah menjerit.
“Maaf,
kami ada pasien yang harus dibawa ke IGD.”
Perempuan
itu tak mau menyerah begitu saja. Ia terus mencari seseorang yang bisa memberi
tahu informasi yang diinginkannya. Sebentar kemudian datang seorang dokter.
Perempuan itu mendekat. “Dokter,” sapanya. Kata-katanya belum selesai. “Pak,
ada pasien gawat darurat Pak,” sela perawat itu menunjuk kereta dorong tadi.
Bram
sangat terharu melihat perempuan itu kecewa menatap dokter yang pergi begitu
saja. Nampak jelas terlihat di wajahnya eskpressi marah kecewa dan sedih campur
aduk jadi satu. Sementara orang-orang hanya lewat tak seorang pun yang perduli.
Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang membezuk keluarganya, ada
yang bergegas ke apotek menebus obat. Ada yang baru datang membeli makanan buat
yang menunggu pasien. Tak sampai hati Bram membiarkan perempuan itu semakin
kecewa. Didekatinya perempuan itu barangkali saja ada yang bisa dibantunya.
Baru saja ia ingin bertanya tiba-tiba saja keduanya jadi terperanjat.
“Kak Bram
ya?”
“Dewi?
Kamu Dewi kan?”
Perempuan
yang sangat kecewa itu mengangguk sedih menunduk layu menangis tersedu-sedan.
Ia berusaha menahan tangis tapi tak bisa.
“Siapa
yang sakit?”
“Bobi,”
jawabnya layu tak bersemangat.
“Bobi?
Kamu jadian sama Bobi ya?”
Dewi
tidak menyahut. Ia bahkan tertunduk layu, sedih.
“Dia
dirawat di ruang apa?”
“Nah itu
dia. Tadinya di Ruang Kumala sekarang sudah tak ada.”
“Ke
mana?”
Dewi
tidak nenyahut ia malah terisak-isak sekuat tenaga menahan tangis tetapi tak
mampu. Akhirnya ia menangis sejadi-jadinya. Kini ia sudah berhenti menangis.
Matanya masih nanar memandang jauh ke sana, ke arah kereta jenazah yang
didorong dua orang perawat menuju ke kamar mayat. Tanpa banyak bicara lagi ia
langsung berlari diiringi oleh Bram ke arah kereta jenazah itu.
“Berhenti
sebentar Pak.” pinta Dewi setengah memaksa kepada perawat itu.
“Ada apa
ya?”
“Ini
jenazah siapa Pak?”
Petugas
itu tidak menjawab ia pelan-pelan membuka kain penutup jenazah itu. Ternyata
itu jenazah perempuan lansia. Nampak wajah Dewi dan Bram sedikit lega setelah
melihat bahwa itu bukan jenazah Bobi.
“Kalian
keluarganya ya?”
“Bukan
Pak. Maaf salah orang. Saya kira tadi ia itu …”
“Memangnya ada keluarga kalian yang meninggal juga ya?”
“Nggak
pasti juga Pak.”
“Tanyakan
saja kepada petugas jaga.” usul petugas itu lalu pergi ke kamar mayat.
“Oh iya,
benar itu, kenapa bisa lupa gitu ya?” gumam Dewi bicara sendiri langsung pergi
ke Ruang Kumala diiringi Bram.
“Kabarnya
Kak Bram bertugas di SMPN Hantarukung ya?”
“Kok
tau?”
“Ya taulah.
Itu kan kampung halaman Dewi?”
“Kalo
gitu kamu pasti kenal dong sama Ayu.”
“Ayu?”
“Iya
Ayu.”
“Ayu yang
mana?”
“Itu.
Yang ada di rumah Julak Idar itu.”
“O itu.
Itu bukan Ayu. Itu Rahayu Agustina kami biasa menyebutnya Agus.”
“Iya Agus
itu maksudku. Memang orang menyebutnya Agus tapi aku biasa menyebutnya Ayu. Kan
namanya Rahayu tuh?”
“Memangnya ada apa Kak Bram? Mau kirim salam ya?”
“Kamu ada
nomor kontaknya nggak?”
“Nggak,
tapi kalau mau kirim salam Dewi bisa menyampaikannya lewat Imay.
“Imay itu
siapa?”
“Imay itu
adik aku. Ia bisa menyampaikan pesan Kak Bram secara lisan. Gimana?”
“Ya,
boleh juga tuh.”
“Gimana
isi pesannya? Biar Dewi sampaikan lewat ponsel.”
“Bilang
bahwa sekarang aku ada di Banjarmasin lagi menunggu pasien di rumah sakit.
Bilang juga bahwa aku berangkat malam-malam jadi tidak sempat pamit. Dan HP aku
ketingalan di rumah jadi tidak bisa dihubungi liwat HP.”
“Cuma
segitu saja pesannya? Habis?”
“Iyya,
itu saja.”
“Dewi
kira tadi isinya rayuan gombal. Hahaha.”
Dewi
mengambil ponselnya lalu berhenti berjalan dan sedikit menjauh dari Bram.
Nampak ia mengontak adiknya. Sebentar kemudian ia memasukan lagi HP-nya ke
dalam tas sandangya. Selanjutnya mereka kembali meneruskan jalannya ke tujuan
semula. Keduanya tampak akrab senyam-senyum sepanjang jalan. Tak terasa mereka
sudah sampai di Ruang Kumala. Bram melihat kamar A4 pintunya tertutup rapat.
Bram tidak masuk ke kamar itu, tetapi langsung saja ke ruang petugas jaga.
Mereka langsung menemui petugas jaga.
“Apa yang
bisa kami Bantu, Bu?”tanya petugas yang paling dekat dengan Dewi.
“Saya
ingin tahu pasien yang bernama Bobiansyah,” ujar Dewi lalu ia menjelaskan
tentang Bobi yang tadinya dirawat di Ruang Kumala ini.
“Tunggu
sebentar ya, saya cek dulu di computer ya.” ujar petugas itu dengan ramah.
Dewi dan
Bram menunggu beberapa saat.
“Bagaimana?” tanya Dewi melihat ekspressi petugas yang nampak berubah.
Sepertinya telah terjadi sesuatu pada Bobi.
“A a
apakah Bobi sudah meninggal?”
Dewi
nampak sepertinya ada yang begitu mencekam di hatinya. Sebenarnya Dewi takut
menanyakannya, tapi raut wajah petugas itu yang membuat ia tidak sabar menunggu
untuk mengetahui apa sebenarnya apa yang telah terjadi pada Boby.
“Ma maaf
Bu, bukan itu maksudnya. Tapi ..”
“Tapi
apa? Apa dia baik-baik saja? Terus di mana kamarnya di rawat?”
“Tadi
siang pasien itu sudah keluar. Selanjutnya ia sudah bisa berobat jalan.
“Lho?
Tadi pagi ia masih di sini.”
“Data di
komputer menyatakan seperti itu. Ibu bisa menghubungi pihak keluarga.”
“Terima
kasih ya.”
“Sama-sama Bu.”
Bram
keluar dari Ruang Petugas itu dengan tenang sedangkan Dewi masih kelihatan
sedih. Meski ia berusaha menutupinya dengan seyum tetapi tetap saja tak bisa
hilang begitu saja dari wajahnya.
“Kak Bram
mau ke kamar berapa? Kan Kak Bram mau ke Ruang Kumala?”
“Aku ke
mushalla dulu. Kan sebentar lagi magrib? Kamu kan mau ke rumah Bobi?”
“Maunya
sih begitu. Tetapi Kak Bram kan tahu sendiri
kaya gimana sikap keluarganya sama Dewi.”
“Lalu di
rumah sakit ini?’
“Dewi
lihat-lihat dulu. Dewi bisa masuk kalau tak ada yang membenci Dewi.”
“Waw!
Back street dong?”
Dewi
tidak menyahut ia hanya tertunduk layu sepanjang jalan. Dari jauh mereka berdua
nampak seperti pasangan yang sedang dirundung malang. Tanpa diketahui Bram
tiba-tiba pintu kamar A4 itu terbuka nampak Iras berdiri di ambang pintu.
Mengapa da di sini? Bukankah tadi Iras ditinggalkannya di rumah. Itulah
sebabnya ia nampak kesal geram melihat Bram berjalan dengan seorang wanita.
Melihat gelagat ini Bram mempercepat jalannya. Sesampainya di depan mushalla ia
berhenti sedang Dewi terus berlalu hingga menghilang di tikungan lorong ini.
Sesaat
dilihatnya jam dinding mushalla telah menunjukkan pukul 18.00. Berarti tak lama
lagi masuk waktu Magrib. Ia mau langsung mengambil air udhu, tetapi tiba-tiba
saja ada suara yang memanggilnya.
“Kok Kak
Bram tega meninggalkan Iras sendiri?”
“E Iras.
Mau sholat juga ya? Mari kita sama-sama,” jawab Bram balik bertanya mencoba
mengalihkan pembicaraan.
“Kak Bram
jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan. Memang benar ya Kak Bram mau
meninggalkan Iras?”
“Siapa
yang mau meninggalkan? Tadi kan kamu sibuk mencuci pakaianku? Sudahlah nanti
saja bicaranya, mari kita sama-sama ke mushalla. Sebentar lagi masuk waktu
Magrib.”
“Kak Bram saja situ yang masuk.”
“Kamu
nggak sholat?”
“Nggak.”
“Lho?
Kenapa?”
“Ya nggak
boleh aja. Tiga hari lagi baru bisa sholat.”
“O gitu
ya? Ya sudah, tunggu saja di ruangan. Nanti, saya juga akan ke ruangan.”
Alhamdulullah,” gumam Bram di dalam hati.
Berarti
dalam beberapa hari ke depan ia marasa aman dari gangguan Iras. Akhirnya Iras
terpaksa menurut walaupun wajahnya nampak cembrut. Bukankah Bram bisa
berpura-pura alergi dekat-dekat dengan perempuan yang sedang M itu. Dilihatnya
Iras pergi sambil mengomel dengan omelan yang tak jelas. Sedangkan Bram
langsung mengambil air udhu.
Sehabis
Magrib Bram tidak langsung ke ruangan Paman Juhri tetapi ia tetap berada di
mushalla ini. Ada beberapa hal yang masih mengganjal dihatinya. Salah satunya
sudah dapat diatasi yaitu masalah memberi kabar buat Ayu dan Julak Idar. Adapun
masalah yang lainnya yaitu masalah isi surat dan alamat notaris yang di Jalan
Panglima Batur itu. Dan masih ada satu hal lagi yaitu bagaimana caranya melepaskan
diri dari perangkap-perangkap Iras yang penuh dengan trik-trik itu.
Pertama-tama ia harus tahu apa isi surat itu. Ia baru membaca
pendahuluan yang menyatakan bahwa uang dua puluh juta itu adalah uangnya
sendiri. Bagaimana bisa? Kalau soal ia adalah anak dari cucu tokoh gerombolan
pembrontak di Kalimantan Selatan ini, ia sudah tahu dari Ibu Panti Asuhan.
Tetapi yang ini? Yang ada di surat ini adalah fakta baru yang sangat
mengejutkannya. Mengapa baru sekarang ia mengungkap rahasia ini? Mengapa ia
baru membuka rahasia ini setelah dua puluh enam tahun berjalan? Mengapa?
Pertama-tama dalam surat ini terungkap orangtuanya sampai sekarang tak
diketahui dimana adanya. Ke dua, bedakan blok A itu dulunya dibangun dengan
uang titipan orangtuanya. Berarti yang Blok A ini milik orangtuanya yang
kepemilikannya jatuh kepadanya sebagai ahli waris. Ternyata seluruh bedakan itu
diawali dari Blok yang miliknya itu. Di surat itu terungkap bahwa terhitung
sejak 1 Januari 2013 Blok A itu diserah-terimakan kepada Bram Baswenda.
Terhitung sejak tanggal tsb pemilik Blok A itu sudah dibalik-namakan atas
namanya. Surat serah terima dan balik-nama pemilik ada pada Notaris Astuti
Kelana SH MH, Panglima Batur 15 Banjarmasin. Alamat notaris itnlah yang harus
ditanyakannya langsung kepada Paman Juhri. Itulah salah satu alasannya mengapa
ia mau kembali ke rumah sakit ini lagi.
Perlahan
dia bangkit lalu keluar dan terus berjalan menuju ke Ruang Kumala A4. Sesampainya
di ruang itu. Ia langsung menaruh tasnya di lantai. Nampaknya Paman Juhri
sedang tertidur pulas karena pengaruh obat penenang. Sementara Irus dan
suaminya sedang makan nasi bungkus. Bram berdiri sebentar di samping tempat
tidur Paman Juhri. Sebenarnya ia ingn menanyakan alamat aslinya notaries itu,
tetapi ia tak sampai hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar