menu

Jumat, 10 Juni 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 08



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 08

08
  
       Bram membuka pintu kamar itu pelan-pelan lalu masuk diiringi Surya. Nampak di atas meja tak teratur buah segar berdesakan dengan botol-botol infus yang belum terpakai. Saat ini Paman Juhri sedang tertidur pulas. Pelan-pelan Bram mendekati Paman Juhri. Tiba-tiba berdering HP-nya Surya, ternyata itu panggilan dari rumah yang menyuruhnya cepat pulang. Surya pun buru-buru pulang. Kini hanya ia sendiri yang tinggal di kamar itu. Ia meletakkan tas bahunya di tempat yang aman, lalu duduk di tepi ranjang Paman Juhri. Ia hampir meneteskan air mata karena terharu melihat Paman Juhri yang terbaring layu. Ia sudah merasa Paman Juhri ini seperti mertuanya sendiri. Hampir setengah jam ia berada di ruang Kumala A4 ini, baru ingat bahwa tadi sore ia tidak sempat pamitan dengan Julak Idar dan Ayu. Padahal sekarang hampir pukul sebelas malam. Haruskah ia memberi kabar sekarang? Harus! Itu sangat harus, tetapi apakah Ayu itu masih belum tidur? Akhirnya ia memutuskan harus memberitahu bahwa ia berada di Banjarmasin. Cepat-cepat ia mengeluarkan HP-nya, tetapi HP itu tak ada di sakunya. Dicarinya di dalam tas ternyata juga tak ada. Astagfirullah! Ternyata HP-nya ketinggalan. Wah, bisa kacau nih. Bukankah HP itu wajib harus dibawa kemana pun ia pergi? Tanpa HP ia tak bisa dihubungi dan juga tak bisa menghubungi rekan-rekannya yang lain, lebih-lebih lagi Julak Idar dan Ayu. Karena semua nomor-nomor penting ada di dalam HP itu. Tak ada satu nomor pun yang dapat diingatnya. Bagaimana ini? Apa boleh buat. Tiba-tiba ia melihat Paman Juhri membuka matanya pelan-pelan. Perlahan ia menoleh ke arah Bram lama sekali. Nampaknya Paman Juhri itu mencoba mengenalimya.


      “Bram, Bram Baswenda kan?” tanyanya mengejutkan Bram yang lagi bingung.
       Bram mengangguk mengiyakan pertanyaan Paman Juhri itu. Paman Juhri matanya berkaca-kaca, bahwa itu memang benar-benar Bram. Tak lama kemudian dia tersenyum layu tetapi tiba-tiba ia terisak-isak menahan tangis seperti anak kecil, dan kini malah menangis semakin keras sejadi-jadinya. Setelah cukup lama Paman Juhri menangis baru ia mulai dapat menenangkan dirinya.
     “Tahu dari mana kalau aku di rumah sakit?“ tanya Paman Juhri masih sesegukan menahan tangis.
     “Ada yang ngasih tahu. Tadi sore si Surya nelpon katanya Pian dirawat di rumah sakit. Ia juga yang membawa ulun ke sini.”.
     “Tarima kasih ya. Mana Surya-nya?”
     “Baru saja pulang.”

       Nampak Paman Juhri berusaha bangun tetapi masih mengantuk berat karena masih ada pengaruh obat penenang itu. Paman Juhri tak mampu menahan rasa kantuknya kini ia tertidur lagi. Ternyata isi infus sudah mau habis. Bagaimana cara memberitahu perawat yang tugas. Ini juga baru yang pertama kalinya ia menunggu pasien di Ansari Saleh ini. Untunglah di dinding ada tombol bel. Cepat ia menekan tombolnya dan tak lama kemudian datang dua orang perawat mengganti botol infus itu. Setelah berbicara seperlunya kedua perawat itupun keluar ruangan. Dari perawat itu tadi Bram mendapat penjelasan bahwa Paman Juhri ini masuk rumah sakit karena tensinya naik, dan asmanya juga kumat, detak jantungnya juga kencang. Untung cepat dilarikan ke rumah sakit. Jika terlambat sedikit saja barangkali tak bisa tertolong lagi. Saat itu sempat diberikan pertolongan pertama dengan memberikan oksigen dan dua buah tablet kecil ditambah dengan obat serbuk yang ditaruh di bawah lidah. Dalam waktu relatif singkat tensinya langsung turun ke 130/80. 

***
       Pertama kali ia mengenal Paman Juhri ini ketika mendapat tawaran jadi guru honorer di SMP Garuda Muda Banjarmasin. Saat itu Bram merasa sudah masanya keluar dari Panti Asuhan Makmur Bahagia tempatnya diasuh itu, karena ia bukan anak-anak lagi dan panti asuhan itu juga sudah melebihi kapasitasnya. Pada saat yang sama Paman Juhri menawarkan bedakan miliknya sendiri sebagai salah satu pilihan bagi Bram. Tanpa pikir panjang lagi ia memilih pindah ke bedakan itu. Ternyata Paman Juhri itu adalah orang tua dari Yunita Indah Permata Sari guru honor yang baru di SMP Garuda Muda Banjarmasin. Memang benar kata orang-orang, dua hati bisa saling menyatu dan bisa subur bersemi karena seringnya bertemu. Itulah yang terjadi antara ia dan Yuni. Awalnya saling menyapa dan saling berbagi cerita lalu berbagi suka dan berbagi duka, saling pikat memikat dan saling tawan menawan, akhirnya jadian. Apalagi yang satu tampan dan yang satu cantik bagaikan pinang dibelah dua. Ternyata keduanya sama-sama jatuh hati pada pandangan pertama, dan sama-sama cinta pertama. Sayang Yuni umurnya tidak panjang, keburu dipanggil pulang ke rahmatullah sebelum sampai di pelaminan. Padahal waktu itu cinta mereka sedang subur-suburnya bersemi di dalam hati. Kata orang-orang cinta pertama kan selalu tertanam kokoh di hati, tak akan terlupakan sampai ke mati. Ternyata benar, walaupun kini sudah ada Ayu sebagai penggantinya, tetap saja Yuni itu wanita sepesial yang sangat berkesan di hatinya. Meski kini sudah ada Ayu tetap saja tak sama seperti Yuni. 
***
       Sudah tiga hari ia menunggu dan menjaga Paman Juhri di rumah sakit, berarti sudah sudah tiga hari juga ia berada di rumah sakit ini. Sebagai penunggu dan penjaga pasien maka ia sekaligus juga berfungsi sebagai sebagai keluarga pasen. Ya harus bagaimana lagi? Padahal tadinya ada yang menunggu Paman Juhri ini, yaitu orang yang dipercaya menerima pembayaran sewa bedakan itu. Tetapi selama Bram ada di sini orang itu tak pernah ada lagi di ruangan ini. Itu artinya selama tak ada keluarganya yang datang selama itu juga ia membantu dan melayani seluruh keperluan pasien ini. Untunglah semua biaya makan dan minum Bram selama di sini ditanggung oleh Paman Juhri. Untuk yang satu ini sejak hari pertama Paman Juhri telah mempercayakan dompet dan tas kecil miliknya kepada Bram. Hal ini semata-mata untuk kemudahan Paman Juhri sendiri, karena terkadang dokter juga memberi resep obat di luar jaminan Askes. Selain itu diperlukan juga untuk biaya makan dan lain-lain bagi Bram selama berada di rumah sakit ini.

       Ada sesuatu yang aneh dalam perasaannya saat ini. Bukankah tadinya ia ingin melupakan Ayu? Tetapi pada kenyataannya tidak semudah itu, karena semakin dilupakan semakin kuat cintanya kepada Ayu. Padahal selama di sini ia lumayan sibuk. Seyogyanya ia bisa melupakan Ayu, tetapi kenyataanya tak bisa. Semakin banyak waktu bersendiri semakin dalam juga ingatannya kepada Ayu. Mengapa ia tak bisa melupakanya? Apakah karena memang cintanya pada Ayu begitu mendalam? Bisa jadi kan? Buktinya sedikitpun ia tak dapat melupakannya.

       Tiba-tiba di hari ke tiga ini ia mendengar beberapa orang bergegas ke kamar ini. Ternyata itu adalah puteri kembar Paman Juhri yang tidak diketahui alamatnya itu. Bram sudah mengenal keduanya, yang satu namannya Rasmiyati dipanggil Iras dan yang satunya Rusmiyati dipanggil Irus. Irus datang bersama suaminya, sedang Iras hanya datang seorang diri. Sebenarnya ada yang aneh. Mengapa Iras ini datang tidak bersama suami? Apakah suaminya itu amat sangat sibuk? Ataukah memang tidak ...? Jangan-jangan? Ah tidak baik berburuk sangka. Meski demikian kedatangan Iras dan Irus tetap saja sangat menggembirakannya. Bukan hanya Paman Juhri yang sangat sukacita, tetapi ia juga turut gembira, karena kedua putrinya itu bisa menggantikannya di rumah sakit ini.

       Si kembar ini adalah anak dari istri pertama yang sudah meninggal. Irus dan Iras mengikuti suaminya masing-masing yang tak ada lagi kabar berita kedua puterinya itu entah berada di mana. Untunglah pada hari ini keduanya sudah datang. Sungguh sangat mengharukan nenyaksikan Paman Juhri yang begitu sukacita melihat kedua anak yang ditunggu-tunggu telah datang. Kedua anaknya itu segera mencium tangan ayahnya sambil meneteskan air mata. Sementara itu Paman Juhri terharu melihat kedua anaknya ini. Air matanya dibiarkan berlinangan begitu saja membasahi kedua pipinya, begitu juga kedua anaknya ini. Ia tak menyangka sama sekali anak yang sudah lama tak diketahui hutan rimbanya ini, akhirnya hari ini datang juga menemuinya. Ia tak menyangka anaknya itu datang menemuinya hari ini. Alhamdulillah. Kini hanya ada isak tangis yang hampir tak terdengar dari ketiga beranak itu. Sementara Bram dan suami Irus hanya bisa diam memandang turut merasakan keharuan ketiganya. 

       “Ulun baru tahu,” kata salah satu putrinya itu.
       “Yang penting kalian sudah datang, Abah sudah gembira. Kasihan Bram sendiri saja menunggu Abah di sini.”

       Paman Juhri dan kedua anaknya itu mengucapkan terima kasih kepada Bram yang telah menunggu dan menjaganya selama beberapa hari ini. Jadi mulai hari ini ia bisa istirahat sebelum kembali ke Hantarukung. Bram mengemasi semua barang-barang bawaannya. Sementara itu Iras yang datang tanpa suami itu memperhatikannya tanpa berkedip sedikitpun. Bram terus mengemasi barang-barangnya tanpa memperhatikan Iras. Ia sudah menduga pasti akan terjadi seperti itu. Ini adalah rahasia yang lama terpendam. Tiba-tiba Paman Juhri membisikan sesuatu sebelum Bram keluar dari rumah sakit.  
***
       Tepat pukul dua belas siang Bram meninggalkan rumah sakit. Ia tidak langsung pulang tetapi mampir dulu di warung sekedar mengisi perut. Setelah selesai makan barulah ia naik ojek ke bedakan Paman Juhri. Sejak ia diangkat di SMPN Hantarukung, ia tidak lagi tinggal di bedakan. Meski demikian kamar 4 di Blok A itu sengaja tidak disewakan, karena kamar itu khusus disediakan jika sewaktu-waktu ia ke Banjarmasin. Meski Yuni sudah tiada Paman Juhri tetap memperlakukannya sama seperti sebelum Yuni meninggal, bahkan ia sudah mengangganya sebagai anaknya sendiri. Sesampainya di bedakan ia mengeluarkan kunci kamar ini yang selalu disimpannya. Yang pertama-tama dilakukannya adalah berbaring istirahat sejenak di tempat tidur. Diperhatikannya situasi dan kondisi kamar itu. Tak ada yang berubah. Ranjang lemari cermin dinding dan peralatan lainnya tetap di tempatnya semula, bahkan poster-posternya juga masih di tempat semula. Semuanya sama seperti enam bulan yang lalu. Satu-satunya yang tak ada adalah peralatan memasak dan pesawat tv. Setelah cukup beristirahat ia bangkit lalu mengeluarkan sabun mandi sikat gigi dan pasta gigi lalu ke kamar mandi. Saat melihat ruang dapur yang sempit, nampak rak piring itu masih ada bersama piring sendok dan gelas. Sebentar kemudian ia masuk ke kamar mandi. Kamar mandinya juga tetap kamar mandi istimewa yang berbeda dengan kamar mandi lainnya di bedakan ini. Dia memutar kran airnya begitu deras. Betapa segar air yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba ia baru sadar bahwa masih belum sholat, padahal saat ini sudah pukul 14.00 siang. Cepat ia mengambil air udhu.

       Selesai sholat ia kembali berbaring di tempat tidur. Kini terbayang kembali semua peristiwa yang pernah terjadi di tempat tidur ini. Di sinil;ah dulu ia mengucapkan janji setia dengan Yuni. Meski di sini ia bisa berbuat apa saja, tetapi itu tak pernah melakukan yang satu itu. Kenapa? Karena ia memang selalu mengingat larangan itu.

       Tiba-tiba ia teringat bisikan Paman Juhri di rumah sakit tadi. Ia langsung berdiri sambil berpikir sejenak. Kalau tidak salah benda itu ada di bawah kasur ini. Diperiksanya di tempat biasanya orang menaruh sesuatu yang penting. Tetapi tidak ada apa-apa. Apakah sudah diambil orang? Apakah itu hanya bohong-bohongan Paman Juhri saja?  Tidak mungkin Paman Juhri berbohong. Barangkali ada di bagian kaki. Tidak ada juga. Di sini sudah, di sini juga sudah. Ia hampir saja putus asa. Ia bingung lalu mondar-mandir, kembali berbaring lagi, lalu berdiri di dekat jendela matanya terarah ke luar sana. Bedakan ini masih sama seperti dulu tetapi penghuninya baru semuanya. Itu tidak penting yang penting ia harus dapat menemukan benda yang dibisikan Paman Juhri itu.

       Kini ia kembali tiduran lagi. Matanya menatap ke langit-langit rumah otaknya berputar-putar memikirkan benda yang dibisikan Paman Juhri tadi. Setelah berpikir keras, baru ia ingat. Bukankah tadi ada secarik kertas yang sudah usang? Barangkali yang dimaksud itu adalah memang kertas usang itu? Bisa jadi kan? Ah sayang kertas itu sudah terbuang di bawah jendela. Cepat ia bangkit langsung ke jendela. Diperhatikannya rerumputan di bawah jendela itu. Kertas itu nampak di rerumputan itu. Cepat ia keluar mengambilnya. Meski sobekan kertas kecil ini kusam dan kumal tetapi ini bukan kertas biasa. Di kertas ini tertulis Astuti Kelana SH MH, Panglima Batur 15 Banjarmasin. Dan di halaman belakang tertulis di dalam wadah baras. Sayang ia tak tahu di mana Jalan Panglima Batur itu. Apakah ini perlu ditanyakan pada Paman Juhri? Tetapi ia baru saja mau beristirahat. Lagi pula enggan rasanya ia bertemu dengan Iras yang sangat mencurigakan itu siang tadi.
       Akhirya ia memutuskan besok saja pergi ke rumah sakit. Lalu apa pula maksudnya tulisan di dalam wadah baras ini? Bukankah ia sudah tak tinggal di sini lagi? Berarti di sini tak ada wadah baras. Tetapi tulisan ini? Tentu ada maksudnya kan? Sekarang ia ingat. Dulu ia menggunakan sebuah ember khusus untuk menyimpan beras. Dan ember itu ada di dapur. Ia tak sabar ingin cepat-cepat membuka wadah baras itu.

       Astaghfirullah. Alhamdulillah. Mimpi apa tadi malam? Ternyata di dalam ember itu ada dua pak uang kertas seratus ribuan dan selembar surat. Ini uang apa ya? Diambil dan diperhatikannya surat yang diprint itu. Ia antusias sekali ingin mengetahui isi surat ini. Astaghfirullah, alhamdulillah. Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Betapa terkejutnya ketika ia membaca surat yang hampir saja tidak dipercayainya ini. Dibacanya berkali-kali surat yang sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan ini. Betapa sukacitanya ia karenanya. Ternyata hari ini adalah hari keberuntungannya. Sedikitpun tak terduga sama sekali bahwa hari ini ia akan menemui surat ini.
       Tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu beberapa kali. Siapa ya? Mendengar ketukan itu, dapat dipastikan bahwa yang mengetuk itu tentu sangat mengenalnya. Tapi siapa ya? Bukankah penghuni bedakan ini semuanya orang baru? Berarti tak ada yang mengenalnya. Atau? Bisa jadi salah seorang di antaranya masih ada penghuni lama. Ah masa bodoh. Sekenal apapun orang itu, ia tetap tak suka ada orang yang mengganggunya yang lagi senang saat ini. Kini lagi-lagi orang itu mengetuk pintu, malah kini lebih keras lagi. Menyebalkan! Cepat ia menyimpan surat keberuntungan itu ke dalam saku celananya, dan uang yang dua kabat itu juga disimpannya di kedua saku celananya. Pintu itu masih saja diketuk bahkan lebih keras lagi. Akhirnya dengan malas pintu itu dibukanya lambat-lambat. Astaghfirullah. Ternyata itu Iras. Tidak kapok-kapoknya juga perempuan ini mengganggunya. Dasar! Dasar perempuan tak punya malu. Tetapi mengapa ia pulang. Bukankah ia lebih baik menjaga dan menunggu Abahnya di rumah sakit?
 
       “Ras, kok kamu pulang? Bukankah kamu seharusnya menjaga Abah di rumah sakit?”
       “Kan ada Irus? Kami gantian. Hari ini giliran Irus, aku giliran besok.”
       “O gitu ya?”
       “Iya. Kok kamu sepertinya tak suka ya?”
       “Bukan, bukan begitu. Bukan tak suka. Aku cuma ..”
       “Cuma apa?”
       “Ya cuma bingung aja.”

       Tiba-tiba saja Iras menyelonong masuk begitu saja, sedang Bram hanya melongo bingung harus berbuat apa. Apakah ia harus masuk mengikuti apa yang mau dilakukan Iras di sini? Tetapi ia harus masuk. Ia tak mau Iras mengobrak-pabrik pakaiannya yang ada di dalam tas bahunya itu. Untung saja uang yang dua kabat itu ada di dalam saku celananya. Dirabanya saku celananya, kabatan duit itu masih ada di saku celananya. Sakabat ada di saku kiri dan sakabatnya lagi di saku kanan. Lalu surat itu? Dia lupa, apakah ada di dalam tas? Ataukah ada di saku celananya juga? Dirabanya saku belakang celananja. Alhamdulillah, ternyata surat itu juga ada di dalam saku belakang celananya. Meski demikian ia tetap harus masuk ke dalam melihat apa yang dilakukan Iras.

       Diam-diam Bram masuk langsung ke tempat tidur, ternyata benar. Pakaian kotornya yang ditaruh di atas kasur semua diambil Ira. Diam-diam Bram menuju ke kamar mandi, dilihatnya Iras sedang mencuci semua pakaiannya yang kotor. Barangkali supaya Bram tak bisa kemana-mana, karena pakaiannya basah semua. Untunglah masih ada satu yaitu yang dipakainya sekarang. Nampak betapa Iras begitu asiknya mencuci semua pakaian itu. Melihat gelagat ini sepertinya Bram harus segera menyelamatkan diri secepatnya. Ia tak ingin kejadian tahun yang lalu itu terulang kembali. Cepat ia kembali ke tempat tidur langsung mengambil tas dan kabur dari rumah itu. Sesampainya di luar ia langsung memanggil ojek.

       “Bang, ke pasar baru.”
       “Pasar barunya di mana?”
       “Samping Mesjid Noor.”

       Tukang, ojek itu segera meluncur membawanya kabur dari Iras. Tak lama kemudian mereka sudah sampai ke tujuan. Setelah membayar ongkos ojek, ia langsung masuk ke salah satu toko pakaian. Ia memilih jean dan kaos oblong yang sesuai nomor badannya iapun masuk ke kamar pas langsung ganti pakaian. Sekarang penampilannya tidak lagi kumal dan kusam berantakan tetapi segar dengan kaos oblong kuning gading cerah meriah dengan celana jean warna kuning gelap. Setelah itu ia langsung mencari warung makan terdekat. Alhamdulillah, kalau soal makan dan pakaian tak ada masalah. Kan ada banyak uang di sakunya? Selesai makan ia langsung menuju ke Mesjid Noor untuk sholat Ashar.
       Sehabis sholat Ashar ia tidak langsung pergi tetapi beristirahat sebentar. Kondisi dan suasana di dalam mesjid yang hening dan sejuk segar ini membuat pikiran jadi plong jiwanya langsung jadi damai dan badannya pun terasa segar sekarang. Tiba-tiba baru terpikir olehnya mau kemana sekarang. Apakah kembali ke bedakan lagi? Tidak. Bram tak mau ke sana lagi, pasti Iras sudah merencanakan perangkap baru. Atau ke rumah sakit lagi? Kenapa harus ke rumah sakit lagi? Ya, ia sebaiknya memang harus ke rumah, karena ia harus menghindar dari perangkap yang sudah dipasang Iras di kamar bedakan itu. Akhirnya Bram memutuskan lebih baik kembali ke rumah sakit. Ia keluar dari Mesjid Noor langsung naik ojek ke Rumak Sakit lagi.  

       Dalam perjalanan ke rumah sakit ia teringat Iras. Meski tak semuda alm Yuni ia juga cantik menarik berhidung mancung berbibir tipis. Bedanya Iras bermata cemerlang menantang agresif dan bergelora bagai amukan gelombang tujuh samudera, sedangkan alm Yuni bermata bening sendu merindu yang senyum dan kerling matanya selalu menawan menancap tajam di relung hati sampai yang paling dalam. Yang seratus persen mirip dan serupa bahkan sama persis dengan Rahayu Agustina yang biasa dipanggilnya Ayu itu. Tentu saja Ayu jauh lebih muda dari Yuni. Tak terasa ternyata ia sudah sampai di rumah sakit. Setelah membayar ongkos ojek ia langsung masuk ke rumah sakit. Tiba-tiba ia terkejut mendengar ada keributan.

       Nampak seorang perempuan bergegas langkahnya terlihat gontai. Matanya menatap nanar ke arah dua orang suster yang bergegas mendorong kereta pasien yang baru. “Suster … Suster!” teriak perempuan itu setengah menjerit.
       “Maaf, kami ada pasien yang harus dibawa ke IGD.” 

       Perempuan itu tak mau menyerah begitu saja. Ia terus mencari seseorang yang bisa memberi tahu informasi yang diinginkannya. Sebentar kemudian datang seorang dokter. Perempuan itu mendekat. “Dokter,” sapanya. Kata-katanya belum selesai. “Pak, ada pasien gawat darurat Pak,” sela perawat itu menunjuk kereta dorong tadi.

       Bram sangat terharu melihat perempuan itu kecewa menatap dokter yang pergi begitu saja. Nampak jelas terlihat di wajahnya eskpressi marah kecewa dan sedih campur aduk jadi satu. Sementara orang-orang hanya lewat tak seorang pun yang perduli. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang membezuk keluarganya, ada yang bergegas ke apotek menebus obat. Ada yang baru datang membeli makanan buat yang menunggu pasien. Tak sampai hati Bram membiarkan perempuan itu semakin kecewa. Didekatinya perempuan itu barangkali saja ada yang bisa dibantunya. Baru saja ia ingin bertanya tiba-tiba saja keduanya jadi terperanjat.

       “Kak Bram ya?”
       “Dewi? Kamu Dewi kan?”
       Perempuan yang sangat kecewa itu mengangguk sedih menunduk layu menangis tersedu-sedan. Ia berusaha menahan tangis tapi tak bisa.
       “Siapa yang sakit?”
       “Bobi,” jawabnya layu tak bersemangat.
       “Bobi? Kamu jadian sama Bobi ya?”
       Dewi tidak menyahut. Ia bahkan tertunduk layu, sedih.
       “Dia dirawat di ruang apa?”
       “Nah itu dia. Tadinya di Ruang Kumala sekarang sudah tak ada.”
       “Ke mana?”

       Dewi tidak nenyahut ia malah terisak-isak sekuat tenaga menahan tangis tetapi tak mampu. Akhirnya ia menangis sejadi-jadinya. Kini ia sudah berhenti menangis. Matanya masih nanar memandang jauh ke sana, ke arah kereta jenazah yang didorong dua orang perawat menuju ke kamar mayat. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung berlari diiringi oleh Bram ke arah kereta jenazah itu.

       “Berhenti sebentar Pak.” pinta Dewi setengah memaksa kepada perawat itu.  
       “Ada apa ya?”
       “Ini jenazah siapa Pak?”

       Petugas itu tidak menjawab ia pelan-pelan membuka kain penutup jenazah itu. Ternyata itu jenazah perempuan lansia. Nampak wajah Dewi dan Bram sedikit lega setelah melihat bahwa itu bukan jenazah Bobi.

       “Kalian keluarganya ya?”
       “Bukan Pak. Maaf salah orang. Saya kira tadi ia itu …”
       “Memangnya ada keluarga kalian yang meninggal juga ya?”
       “Nggak pasti juga Pak.”
       “Tanyakan saja kepada petugas jaga.” usul petugas itu lalu pergi ke kamar mayat.
      “Oh iya, benar itu, kenapa bisa lupa gitu ya?” gumam Dewi bicara sendiri langsung pergi ke Ruang Kumala diiringi Bram.

       “Kabarnya Kak Bram bertugas di SMPN Hantarukung ya?”
       “Kok tau?”
       “Ya taulah. Itu kan kampung halaman Dewi?”
       “Kalo gitu kamu pasti kenal dong sama Ayu.”
       “Ayu?”
       “Iya Ayu.”
       “Ayu yang mana?”
       “Itu. Yang ada di rumah Julak Idar itu.”
       “O itu. Itu bukan Ayu. Itu Rahayu Agustina kami biasa menyebutnya Agus.”
       “Iya Agus itu maksudku. Memang orang menyebutnya Agus tapi aku biasa menyebutnya Ayu. Kan namanya Rahayu tuh?”
       “Memangnya ada apa Kak Bram? Mau kirim salam ya?” 
      “Kamu ada nomor kontaknya nggak?”
       “Nggak, tapi kalau mau kirim salam Dewi bisa menyampaikannya lewat Imay.
       “Imay itu siapa?”
       “Imay itu adik aku. Ia bisa menyampaikan pesan Kak Bram secara lisan. Gimana?”
       “Ya, boleh juga tuh.”
       “Gimana isi pesannya? Biar Dewi sampaikan lewat ponsel.”
       “Bilang bahwa sekarang aku ada di Banjarmasin lagi menunggu pasien di rumah sakit. Bilang juga bahwa aku berangkat malam-malam jadi tidak sempat pamit. Dan HP aku ketingalan di rumah jadi tidak bisa dihubungi liwat HP.”
       “Cuma segitu saja pesannya? Habis?”
       “Iyya, itu saja.”
       “Dewi kira tadi isinya rayuan gombal. Hahaha.”

       Dewi mengambil ponselnya lalu berhenti berjalan dan sedikit menjauh dari Bram. Nampak ia mengontak adiknya. Sebentar kemudian ia memasukan lagi HP-nya ke dalam tas sandangya. Selanjutnya mereka kembali meneruskan jalannya ke tujuan semula. Keduanya tampak akrab senyam-senyum sepanjang jalan. Tak terasa mereka sudah sampai di Ruang Kumala. Bram melihat kamar A4 pintunya tertutup rapat. Bram tidak masuk ke kamar itu, tetapi langsung saja ke ruang petugas jaga. Mereka langsung menemui petugas jaga.

       “Apa yang bisa kami Bantu, Bu?”tanya petugas yang paling dekat dengan Dewi.
       “Saya ingin tahu pasien yang bernama Bobiansyah,” ujar Dewi lalu ia menjelaskan tentang Bobi yang tadinya dirawat di Ruang Kumala ini.
       “Tunggu sebentar ya, saya cek dulu di computer ya.” ujar petugas itu dengan ramah.
       Dewi dan Bram menunggu beberapa saat.
       “Bagaimana?” tanya Dewi melihat ekspressi petugas yang nampak berubah. Sepertinya telah terjadi sesuatu pada Bobi.  
       “A a apakah Bobi sudah meninggal?”
        Dewi nampak sepertinya ada yang begitu mencekam di hatinya. Sebenarnya Dewi takut menanyakannya, tapi raut wajah petugas itu yang membuat ia tidak sabar menunggu untuk mengetahui apa sebenarnya apa yang telah terjadi pada Boby.
       “Ma maaf Bu, bukan itu maksudnya. Tapi ..”
       “Tapi apa? Apa dia baik-baik saja? Terus di mana kamarnya di rawat?”
       “Tadi siang pasien itu sudah keluar. Selanjutnya ia sudah bisa berobat jalan.
       “Lho? Tadi pagi ia masih di sini.”
       “Data di komputer menyatakan seperti itu. Ibu bisa menghubungi pihak keluarga.”
       “Terima kasih ya.”
       “Sama-sama Bu.”

       Bram keluar dari Ruang Petugas itu dengan tenang sedangkan Dewi masih kelihatan sedih. Meski ia berusaha menutupinya dengan seyum tetapi tetap saja tak bisa hilang begitu saja dari wajahnya.

       “Kak Bram mau ke kamar berapa? Kan Kak Bram mau ke Ruang Kumala?”
       “Aku ke mushalla dulu. Kan sebentar lagi magrib? Kamu kan mau ke rumah Bobi?” 
       “Maunya sih begitu. Tetapi Kak Bram kan tahu sendiri  kaya gimana sikap keluarganya sama Dewi.”
       “Lalu di rumah sakit ini?’
       “Dewi lihat-lihat dulu. Dewi bisa masuk kalau tak ada yang membenci Dewi.”
       “Waw! Back street dong?”

       Dewi tidak menyahut ia hanya tertunduk layu sepanjang jalan. Dari jauh mereka berdua nampak seperti pasangan yang sedang dirundung malang. Tanpa diketahui Bram tiba-tiba pintu kamar A4 itu terbuka nampak Iras berdiri di ambang pintu. Mengapa da di sini? Bukankah tadi Iras ditinggalkannya di rumah. Itulah sebabnya ia nampak kesal geram melihat Bram berjalan dengan seorang wanita. Melihat gelagat ini Bram mempercepat jalannya. Sesampainya di depan mushalla ia berhenti sedang Dewi terus berlalu hingga menghilang di tikungan lorong ini.

      Sesaat dilihatnya jam dinding mushalla telah menunjukkan pukul 18.00. Berarti tak lama lagi masuk waktu Magrib. Ia mau langsung mengambil air udhu, tetapi tiba-tiba saja ada suara yang memanggilnya.

       “Kok Kak Bram tega meninggalkan Iras sendiri?”
       “E Iras. Mau sholat juga ya? Mari kita sama-sama,” jawab Bram balik bertanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
       “Kak Bram jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan. Memang benar ya Kak Bram mau meninggalkan Iras?”
       “Siapa yang mau meninggalkan? Tadi kan kamu sibuk mencuci pakaianku? Sudahlah nanti saja bicaranya, mari kita sama-sama ke mushalla. Sebentar lagi masuk waktu Magrib.”
       “Kak Bram saja situ yang masuk.”
       “Kamu nggak sholat?”
       “Nggak.”
       “Lho? Kenapa?”
       “Ya nggak boleh aja. Tiga hari lagi baru bisa sholat.”
       “O gitu ya? Ya sudah, tunggu saja di ruangan. Nanti, saya juga akan ke ruangan.”
       Alhamdulullah,” gumam Bram di dalam hati.

       Berarti dalam beberapa hari ke depan ia marasa aman dari gangguan Iras. Akhirnya Iras terpaksa menurut walaupun wajahnya nampak cembrut. Bukankah Bram bisa berpura-pura alergi dekat-dekat dengan perempuan yang sedang M itu. Dilihatnya Iras pergi sambil mengomel dengan omelan yang tak jelas. Sedangkan Bram langsung mengambil air udhu.

       Sehabis Magrib Bram tidak langsung ke ruangan Paman Juhri tetapi ia tetap berada di mushalla ini. Ada beberapa hal yang masih mengganjal dihatinya. Salah satunya sudah dapat diatasi yaitu masalah memberi kabar buat Ayu dan Julak Idar. Adapun masalah yang lainnya yaitu masalah isi surat dan alamat notaris yang di Jalan Panglima Batur itu. Dan masih ada satu hal lagi yaitu bagaimana caranya melepaskan diri dari perangkap-perangkap Iras yang penuh dengan trik-trik itu.
       Pertama-tama ia harus tahu apa isi surat itu. Ia baru membaca pendahuluan yang menyatakan bahwa uang dua puluh juta itu adalah uangnya sendiri. Bagaimana bisa? Kalau soal ia adalah anak dari cucu tokoh gerombolan pembrontak di Kalimantan Selatan ini, ia sudah tahu dari Ibu Panti Asuhan. Tetapi yang ini? Yang ada di surat ini adalah fakta baru yang sangat mengejutkannya. Mengapa baru sekarang ia mengungkap rahasia ini? Mengapa ia baru membuka rahasia ini setelah dua puluh enam tahun berjalan? Mengapa?
      Pertama-tama dalam surat ini terungkap orangtuanya sampai sekarang tak diketahui dimana adanya. Ke dua, bedakan blok A itu dulunya dibangun dengan uang titipan orangtuanya. Berarti yang Blok A ini milik orangtuanya yang kepemilikannya jatuh kepadanya sebagai ahli waris. Ternyata seluruh bedakan itu diawali dari Blok yang miliknya itu. Di surat itu terungkap bahwa terhitung sejak 1 Januari 2013 Blok A itu diserah-terimakan kepada Bram Baswenda. Terhitung sejak tanggal tsb pemilik Blok A itu sudah dibalik-namakan atas namanya. Surat serah terima dan balik-nama pemilik ada pada Notaris Astuti Kelana SH MH, Panglima Batur 15 Banjarmasin. Alamat notaris itnlah yang harus ditanyakannya langsung kepada Paman Juhri. Itulah salah satu alasannya mengapa ia mau kembali ke rumah sakit ini lagi.

       Perlahan dia bangkit lalu keluar dan terus berjalan menuju ke Ruang Kumala A4. Sesampainya di ruang itu. Ia langsung menaruh tasnya di lantai. Nampaknya Paman Juhri sedang tertidur pulas karena pengaruh obat penenang. Sementara Irus dan suaminya sedang makan nasi bungkus. Bram berdiri sebentar di samping tempat tidur Paman Juhri. Sebenarnya ia ingn menanyakan alamat aslinya notaries itu, tetapi ia tak sampai hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar