RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 09
09
Diam-diam
Bram keluar mencari warung kopi tetapi tak jadi karena ada Iras duduk seorang
diri di luar. Nampak Iras cukup gelisah tentu sedang menantinya dari tadi.
“Kak Bram
mau pergi lagi ya?”
“Tidak ke
mana-mana,” jawabnya bohong. Sebenarnya ia memang mau pergi.
“Ah tidak
usah ngeles. Pasti mau keluar kan?”
Dengan
terpaksa Bram duduk juga di samping Iras yang lagi kesal itu. Rupanya Iras ini
semakin ditolak cintanya semakin keras kemauannya. Padahal Bram sudah
tegas-tegas menolaknya, tetapi Iras tak mau tahu. Pokoknya bagaimana pun
caranya ia harus dapat menggantikan kedudukan Yuni. Sebenarnya ini hanya suatu
kesalahpahaman berkepanjangan. Dulu ketika Bram sedang galau karena baru saja
ditinggalkan Yuni berpulang ke rahmatullah, Iras inilah yang selalu
menyemangatinya sehingga Bram bisa menerima kenyataan bahwa Yuni itu memang
sudah meninggal. Selama itu Iraslah yang selalu menggantikan Yuni memperhatikan
dan melayani semua keperluannya sehari-hari.
Seingatnya dulu Yuni selalu melayaninya seakan sudah hidup berumah
tangga. Meskipun tidak tinggal serumah tetapi sangat berdekatan, hanya berjalan
beberapa langkah saja. Sejak mereka memadu hati mengucap janji itulah mereka
selalu bersama, yang sudah mendapat restu dan diamini oleh Paman Juhri.
Sayangnya Yuni keburu dipanggil Ilahi. Padahal tak lama lagi mereka akan
menikah. Sebelum pernikahan itu calon mertuanya sudah menjanjikan bahwa
sebagian bedakan itu akan menjadi milik mereka berdua. Berarti pendapatan
mereka perbulannya sudah bisa menjamin keperluan hidup sehari-hari.
“Kenapa
Kak Bram berubah?” tanya Iras membuyarkan lamunanmya.
“Tidak.
Tak ada yang berubah.”
“Tetapi kini tidak seperti Kak Bram yang
Iras kenal dulu.”
“Memangnya dulu aku seperti apa?”
“Dulu Kak
Bram sangat dekat, Ah Iras jadi malu.”
“Malu
apaan? Ah gila kamu.”
“Iras
memang tergila-gila sama Kak Bram,” katanya lalu memegang tangan Bram.
“E e, apa
ini? Jangan, jangan gini. Malu dilihat orang.”
“Mana
orangnya? Tak ada kok. Tak ada orang yang melihat.”
“Ya ya
tapi jangan di sni, malu kalau ada yang lihat.”
“Lantas
di mana? Di dalam? Di dalam kan ada Irus dan suaminya.”
Bram
tidak menjawab tetapi ia berusaha melepaskan tangan Iras, tetapi Iras tak mau.
Bahkan ia semakin merapat lagi. Memang benar kata orang-orang cinta itu semakin
dilarang semakin memanas. Semakin ditolak semakin kencang usahanya. Bram
kewalahan menghadapinya. Ia harus mencari cara yang jitu untuk melepaskannya.
“Kak Bram,
Iras tak mau digantung. Kita harus cepat-cepat menikah”
“Menikah?”
“Iya,
menikah. Kak Bram takut ya?”
“Kan Iras
sudah menikah?”
“Menikah
dengan siapa?”
“JMenikah
dengan suami kamu? Kenapa suaminya tidak.”
“Suami
apa? Kawin saja tak pernah. Masa punya suami?”
“Lho?
Yang menikah dulu itu siapa?”
“Yang
menikah itu Irus bukan Iras. Memang Iras sempat mau menikah, tapi batal.”
“Kenapa?”
“Masa
menikah dengan orang yang istrinya ada di mana-mana?”
“Dari
mana kamu tahu istrinya ada di mana-mana?”
“Kan ada
yang kasih tahu? Ah itu tidak penting lagi.”
“Kok,
tidak penting?”
“Iyya,
itu tidak penting. Sekarang kan ada Kak Bram?”
“Lho?
Tapi aku kan juga sudah punya calon?”
“Iya
sudah punya calon. Calonnya itu Iras kan?”
“Bukan.
Bukan kamu.”
“Siapa?”
“Ya
adalah. Nanti juga kamu akan tahu sendiri.”
“Karena
itu juga nggak penting lagi. Iras mau kok dimadu. Yang penting bisa jadi istri
Kak Bram. Lagi pula Kak Bram juga belum menikah kan?”
“Sekarang
sih belum. Tapi sebentar lagi akan menikah.”
“Jadi Kak
Bram tidak mau menikah dengan Iras ya?”
“Iya. Aku
tidak mau.”
“Jadi
selama ini Iras hanya jadi barang mainan?”
“Barang
mainan gimana? Semestinya kan kamu juga harus mengerti? Bahwa calon istri aku
itu bukan kamu.”
“Tak ada
gunanya bicara dengan orang yang tak mau mengerti. Tetapi yang penting Kak Bram
mau nggak manikah dengan Iras? Kalau nggak mau lebih baik Iras mati saja”
“Jangan!
Jangan bunuh diri. Bunuh diri itu dosa. Itu dosa yang tak ada ampunannya.”
“Kalau
begitu nikahilah Iras, supaya tidak bunuh diri.”
“Mana
mungkin? Aku tidak bisa membatalkan rencana pernikahan itu.”
Bram
terpaksa berbohong, padahal sebenarnya belum ada rencana menikah dengan janda
muda itu. Meski sejujurnya ia juga sangat mencintai janda itu. Tetapi ia memang
benar-benar belum ada rencana menikah, entahlah kalau nanti.
“Iras
tidak meminta Kak Bram membatalkan pernikahan itu.”
“Maksudnya?”
“Iras mau
kok Jadi istri kedua”
“Apa?”
tanya Bram tak percaya.
“Iras mau
menjadi isri kedua,” ulang Iras sekali lagi.
“Kamu
memang mau jadi istri kedua, tetapi dia-nya yang tidak mau dimadu.”
Bram
terdiam beberapa saat bingung menghadapi Iras yang nekad dan bersedia jadi
istri kedua ini. Bagaimana caranya bisa melepaskan diri dari keinginan Iras
ini. Sekarang ia jadi serba salah. Mau tidur di rumah sakit? Di sini ada Iras.
Pulang ke bedakan? Pasti akan diikuti Iras juga.
“Iras,
sebaiknya kau pikirkan masak-masak. Pikirkan pakai otak. Jangan Baper. Jangan
hanya pakai perasaan. Sebelum kamu menyesal di kemudian hari. Di luar sana
masih banyak lelaki lain yang jauh lebih baik dari aku, lebih tampan, lebih
macho dan lebih tajir.”
“Iras
sudah pikirkan semuanya bahkan akibatnya pun sudah Iras pikirkan masak-masak.
Bahkan rasanya Iras tak bisa hidup tanpa Kak Bram. Iras tak bisa jauh dari Kak
Bram.”
“Ah
jangan lebay ah.”
“Kok
dibilang lebay? Pokoknya Iras nggak mau lagi lepas dari Kak Bram.”
“Ya,
lebay, karena Iras tidak bisa begitu. Aku kan juga harus kawin dengan calon aku
itu. Percayalah, tak ada perempuan yang sanggup hidup berbagi suami. Terutama
istri pertama.”
“Setidaknya Iras merasa aman jika bersuami Kak Bram.”
“Kenapa
kamu bersikeras seperti itu? Apakah kamu … ”
Bram tidak
meneruskan pertanyaan itu.
“Kenapa?
“Maaf ya,
tapi aku boleh tahu kan alasanmu mau menikah dengan aku?”
“Kak Bram
curiga ya?”
“Ya,
tetapi kenapa harus aku?”
“Ya itu
karena .. karena… ”
“Karena
apa?”
“Ya karena Iras sangat mencintai Kak Bram.
Itu saja.”
“Hanya
karena itu?”
“Ya hanya
karena itu.”
“Tapi
bukan karena … ah tidak elok aku
menanyakannya. Tapi jujur saja ya, Iras tidak itu kan?” tanya Bram sambil
menggerakan telapak tangan menggambarkan seperti orang hamil duluan.
“Ya Allah
ya Rabbi, Tega benar Kak Bram menuduh yang tidak-tidak. Gini-gini juga Iras
masih perawan asli. Jangan kuatir. Dijamin masih suci. Itu kan juga karena Iras
sangat mencintai Kak Bram? Karena Iras memang belum menemukan lelaki yang Iras
cintai selain Kak Bram. Ya itu saja. Lagi pula hanya itulah yang dapat Iras
persembahkan di malam pertama itu nanti.”
“Ah
lebay. Ribet bicara dengan kamu, dari tadi itu-itu melulu yang dibicarakan.” Bram
langsung berdiri ingin cepat-cepat pergi tetapi Iras mencegahnya dan cepat
menangkap tangannya.
“Kak Bram
mau kemana? Mau pergi lagi ya?”
“Mau ke
mushalla.”
Sebenarnya Iras mau ikut tetapi karena lagi M maka ia tak bisa berbuat
apa-apa selain terpaksa membiarkan Bram pergi begitu saja.
“Alhamdulillah.” bisik Bram di hati.
Akhirnya
dapat juga ia melepaskan dari si Iras yang menyebalkan itu. Ia cepat-cepat
pergi meninggalkan rumah sakit itu. Padahal ada sesuatu yang sangat penting
yang harus ditanyakan langsung pada Paman Juhri. Biarlah ditanyakan lain waktu
saja. Yang penting bisa lepas dari cengkeraman Iras yang sudah tak karuan lagi
bicaranya. Sekarang ia jadi bingung harus pergi ke mana membawa diri malam ini.
Kenapa? Karena sekarang ia baru ingat ternyata ini adalah malam tahun baru.
Jalan-jalan menuju arah ke tengah kota pasti macet total. Atau bahkan mungkin
ditutup sama sekali khusus untuk malam tahun baru ini saja. Satu-satunya tujuan
adalah arah pinggiran kota. Kini ia baru teringat Pasar Tungging yang ada di
Jalan Belitung Darat. Ke sanalah tujuannya malam ini, seterusnya akan
dipikirkan di sana saja nanti. Kenapa harus ke sana? Karena ia harus membeli
pakaian siap pakai, sarung dan keperluan lainnya. Tentu saja ia harus membeli
tas pungung untuk membawa barang beliannya. Ia pun langsung naik ojek ke Pasar
Tungging itu. Dari sini tukang ojek itu menyusuri Jalan Brigjen Hassan Baseri
yang dulunya bernama Jalan Kayu Tangi dan anehnya sampai sekarang masih banyak yang
menyebutnya Jalan Kayu Tangi. Kini ojek ini sedang melintasi bundaran Kayu
Tangi.
Malam ini
jalan-jalan yang dilaluinya selalu terdengar bunyi terompet dan petasan silih
berganti. Dan sepanjang Jalan Brigjen Hasan Basery mulai bergerak lamban
merayap karena jalan ini termasuk salah satu tujuan malam tahun baruan. Meski
saat itu masih beberapa jam lagi, tetapi suasananya kini mulai terasa.
Akibatnya ojek yang membwanya tidak bisa bertjalan cepat. Apa boleh buat memang
begitu adanya.
Tak terasa
ia sudah berada di Jalan S. Parman yang dulunya dikenal dengan nama Jalan
Kalimantan. Sebelum sampai di perempatan Jalan Belitung - S. Parman tukang ojek
ini berbalik arah dan lalu belok kiri sekitar 200 meter lalu menyeberang
jembatan kecil dan belok kiri lagi masuk ke Jalan Simpang Belitung. Tak berapa
lama ia sudah sampai di muara Jalan Simpang Belitung tepatnya di samping Mesjid
Al Mujahidin lalu belok kanan masuk Jalan Belitung. Ojek teus melaju langsung
menuju ke Pasar Tungging di wilayah Belitung Darat.
Sesampainya di Pasar Tungging yang pertama-tama dibelinya adalah tas
punggung model koper yang pakai roda, sehingga bila isinya terlalu banyak tas
itu cukup ditarik saja. Ia ingin membeli yang lainnya tetapi ia kembali merasa
lapar. Ia pun berbalik arah mencari warung makan yang lebih nyaman. Setelah
berjalan beberapa langkah ia melihat ada warung seafood yang menarik
perhatiannya. Itu bukan café tenda, tetapi kamar tamu yang disulap menjadi
café. Ke sanalah tujuannya.
Begitu
melangkah masuk ternyata di pojok ruangan terlihat Dewi yang ada di rumah sakit
tadi. Dewi tersenyum manis melambaikan tangan. Senyum itu masih manis seperti
mereka masih kuliah dulu. Bram tidak langsung duduk tetapi ia memesan seporsi
udang bakar kesukaannya, kemudian ia duduk di samping Dewi. Secara tak sengaja
mereka sama-sama melirik, membuat Dewi langsung tertunduk malu.
“Kamu
sudah ke rumah Bobi?”
“Sudah.
Tetapi Bobi-nya tak ada di rumah.”
“Lho?
Memangnya mana?”
“Menurut
tetangganya Bobi dibawa ke Singapura.”
“Apa
sebegitu parahnya hingga harus ke Singapura?”
“Kak Bram
kan tahu sendiri? Bobi itu anak orang kaya. Di mata mereka Dewi hanya orang
kampung yang tak selevel.”
“Wah kaya
sinetron saja. Apakah mereka lupa? Banyak yang berobat ke luar negeri itu
ternyata cuma mengantar umur saja kan? Memangnya ia sakit apa sih?”
“Kanker
otak stadium akhir,” jawabnya lirih dan tertunduk layu.
Nampak
air matanya tak terbendung meleleh di pipinya yang ranum itu. Terharu juga Bram
mendengarnya. Tak ada yang dapat dilakukannya selain berdoa semoga operasinya
barhasil sukses.
“Kamu
cinta dia?”
Dewi tidak
menjawab ia hanya mengangguk lemas.
“Ya kita
doakan saja semoga operasinya berhasil”
Dewi tak
menjawab lagi-lagi ia hanya mengangguk lemas. Sebentar kemudian nasi pesanan
Bram sudah datang. Dewi masih sesegukan menahan tangisnya. Tiba-tiba Bram
terkejut. Mengapa pesanannya bisa jadi begini? Perasaannya tadi ia tidak memesan
kepiting raja. Bukankah ia hanya memesan udang bakar? Kenapa yang datang dua
porsi udang bakar plus gorengan kepiting raja?
“Mas
siapa yang pesan ini? Saya hanya pesan udang bakar kan?”
“Iyya,
yang udang bakar ini pesanan Mas kan?”
“Iyya.
Lalu yang kepiting itu?”
“Ini
semuanya gratis Mas. Termasuk juga yang punya Mbak ini.”
“Lho?
Bagaimana ceritanya bisa berubah gratis seperti ini?”
“Iyya
Mas. Ini benar-benar gratis Mas.”
“Kenapa?
Masa?”
“Karena
Mas dan Mbak ini tamu istimewa kami.”
“Kata
siapa?”
“Kata bos
kami. Ya bos yang punya café ini.”
“Memangnya siapa sih bos cafe ini?”
“Mas
Fari. Nama lengkapnya Nafari Ahmadie. Katanya kalian sudah saling kenal.”
“O jadi
yang punya cafe ini Nafari?”
“Iya Mas.
Sudah saling kenal kan?”
“Kalau
yang itu bukan kenal lagi, tetapi sangat kenal. Kirain siapa?”
Tiba-tiba
yang punya café sudah berdiri di depan mereka. Meski sudah lama tak bertemu
tetapi senyum ramahnya masih seperti dulu. Memang sih mereka bukan satu kampus
yang sama, tetapi sering bertemu dalam kegiatan pementasan drama. Mereka itu
sering bertemu dalam festival atau parade teater antar kampus Maklum sama-sama
aktivis teater kampus.
“Wah CLBK
nih,” sapanya menyalami Bram dan Dewi.
“Hahahaha
CLBK apaan? Pacaran saja nggak pernah,” jawab Bram tertawa
“Kalian
kan selalu bersama? Di mana ada Bram pasti di sana ada Dewi. Iya kan?”
“Selalu
bersama bukan berarti pacaran kan? Ini juga ketemunya hanya kebetulan.”
Dewi
hanya senyam-senyum. Pacaran sungguhan pun ia tak keberatan. Maklum dulu ia
juga pernah jatuh hati sama seniornya ini. Apalagi sekarang Bobi sudah tidak
bisa diharapkan lagi. Bahkan dulu Dewi sempat juga tebar pesona tetapi sayang
keburu disambar Yuni. Akhirnya mereka hanya berteman. Hanya dalam hitungan
detik mereka asik kangen-kangenan. Maklum sekarang mereka sudah sendiri-sendiri
menjalani suratan masing-masing. Tak terasa mereka sudah selesai makan malam
dan keduanya sudah bersiap-siap mau pergi ke tujuannya masing-masing.
“Fari,
makasih makan gratisannya ya,” kata Bram lalu berdiri dari tempat
duduknya.
“Saya
juga terima kasih,” kata Dewi yang juga sudah berdiri.
“Kembali
kasih. Sering-sering saja datang ke sini.”
“Jangan,
nanti bisa bangkrut kamu. Saya makannya banyak lho,” celoteh Bram.
“Nggak
juga. Sama sekali tak akan membuat saya bangkrut. Insya Allah, Allah akan menggantikannya
dengan rezeki yang lain.”
“Amin,”
Dewi dan Bram sama-sama mengaminkannya.
“Ngomong-ngomong, habis ini kalian mau kemana nih? Tahun baruan ya?”
“Nggak
juga. Saya mau ke Pasar Tungging. Entahlah si Dewi ini.”
“Lho, kenapa
ke Pasar Tungging?”
“Ini kan
malam tahun baru. Jalan-jalan ke Pasar Baru juga macet semua.”
“O iya
ya.”
Setelah
mengucapkan salam Bram dan Dewi langsung keluar dari safe itu. Kali ini ada
yang aneh, ternyata Dewi juga ikut. Malah sedikitpun ia tak canggung-canggung
jalan berdampingan dengan Bram. Yang lebih aneh lagi ternyata Dewi malah nekad
merapat ke tubuh Bram. Awalnya Bram bisa mengerti dan sedikit tenggang rasa
bahwa ini adalah efek dari kegalauan hatinya. Tetapi lama kelamaan Dewi ini
semakin merapat saja. Wah kacau. Ini bukan lagi tenggang rasa tetapi sudah
menjurus ke arah lain. Untung saja ini jauh dari kampung. Meski demikian, ia
juga harus tetap waspada. Siapa tahu di pasar ini ada yang tinggal sekampung
dengan Julak Idar. Wah, bisa lebih kacau.
Bram
membeli tas koper yang ada rodanya. Selanjutnya ia membeli jeans dan kaos
oblong. Rupanya Dewi memaklumi keinginan lelaki yang pernah ditaksirnya dulu.
Tapi yang ia bingung kenapa Bram ini seleranya rendahan sekali. Masa membeli
pakaian di pasar tungging? Meski yang dijual di sini bukan barang bekas, tetapi
tetap saja kesannya pasar murahan. Akhirnya atas saran dan selera Dewi ia
membeli dua lembar celana jeans biru tua dan dua lembar kaos oblong warna biru laut.
Sebenarnya warna inilah yang murahan..Kenapa? Karena wara ini sama saja persis dengan seragam
buruh salah satu pabrik kayu lapis di kota ini. Untuk sekedar menghibur Dewi
yang sedang galau ia mau saja menerima usulnya. Barangkali ini dapat meringankan kegalauan hatinya.
Sekarang
mau apa lagi? Makan malam sudah dan beli pakaian sudah. Beli keperluan sikat
gigi dan mandi juga sudah. Apalagi? Oh iya. Satu-satunya yang belum adalah
bagaimana caranya melepaskan diri dari perempuan yang nekad ini? Wah, kacau.
Ini sama saja dengan lepas dari masalah yang satu masuk ke masalah yang lain.
Di rumah sakit tadi ada Iras dan di sini ada Dewi. Kok sama ya? Lepas dari Iras
masuk ke perangkap Dewi. Rasanya sudah berkali-kali mereka ini melewati jalan
yang sama. Dan keduanya bukan anak ABG tetapi pasangan dewasa seperti yang lagi
mabuk cinta. Lihat saja yang perempuan itu, seperti tak mau berpisah saja. Ini
benar-benar nampak seperti sepasang kekasih. Sampai saat ini mereka hanya
diam-diaman saja. Diam-diam Bram juga seperti terbawa dengan kemesraan kilat
ini. Bahagia juga rasanya Dewi bisa berjalan bersama lelaki yang pernah
diidamkannya dulu. Apakah ia semudah ini berpindah ke lain hati? Haruskah ia
berpindah dari Bobi ke Bram? Bukankah Bobi juga tak bisa diharapkan lagi?
Bukankah selama ini pasien yang terpaksa dibawa ke Singapura itu kebanyakannya
pulang hanya tinggal nama? Tak ada salahnya kan jika ia mencintai lelaki yang
pernah diidamkannya ini?
“Rasanya
kita sudah berkali-kali melewati jalan ini.”
“Kak Bram
sudah bosan ya?”
“Nggak
juga. Tapi gimana ya?”
“Kak Bram
mau pulang ke rumah sakit itu lagi ya?”
“Maunya
sih gitu, tapi …”
“Tapi apa
Kak Bram?”
“Sekarang
kan malam tahun baru?”
“Memangnya kalo malam tahun baru ada apa ya Kak?”
“Nggak
apa-apa. Cuma jalannya macet total. Jalan Hasan Basry itu kan termasuk jalan
tersibuk malam ini. Karena jalan itu termasuk salah satu tempat berkumpulnya
para remaja merayakan malam tahun baruan.”
“Maksud
Kak Bram Jalan Kayu Tangi?”
“Iya itu
maksudnya. Jadi aku nggak bisa balik ke sana,” jawab Bram berbohong.
Sebenarnya bukan jalan macet itu yang jadi masalah, tetapi di sana ada
Iras yang sudah memasang perangkap. Sayangnya di sini juga ada perangkap yang
dipasang Dewi.
“Kenapa
nggak nginap di kontarkan Dewi saja?”
“Bedakan
maksud kamu?
“Iya
maksudnya itu bedakan.”
“Memangnya bedakannya ada di mana?”
“Di dekat
sini.”
“Wah
nggak bisa begitu. Masa di sana?”
“Iya.
Memangnya kenapa?”
“Wah!
Kacau!”
“Kacau
bagaimana? Kan kita tidak beruat apa-apa?”
“Tapi kan
masyarakat mikirnya tidak begitu?”
“Nggak
juga”
“Nggak
bagaimana? Jika ada pria wanita kumpul satu kamar, kesannya negative.”
“Lho Kak
Bram mikirnya porno gitu?”
“Lho,
tadi kan kamu bilang nginap di bedakan kamu?”
“Iya, di
bedalan Dewi tetapi Kak Bram tidak satu kamar dengan Dewi. Gini-gini juga Dewi
belum pernah yang gitu-gituan. Eh Kak Bram ngomongnya gitu. Ngarap ya?”
“Ah
ngarap apaan? Maksudnya gimana?”
“Di situ
ada kamar kosong yang disewakan Rp. 50.000,- per malamnya khusus untuk keluarga
penghuni bedakan. Nah Kak Bram di situ tuh tidurnya. Masa tidur di kamar Dewi?
Gak lucu ah.”
“Hahahaha, aku kira tadi ya gitu.”
“Ah nggak
lucu ah,” kata Dewi sambil mencubit Bram.
“Aduh!
Sakit tau?”
“Habis
Kak Bram nakal.”
“Nakal
apanya?”
Tak
terasa mereka sudah sampai di depan parkiran. Dewi langsung menyerahkan kunci
kontak kendaraannya kepada Bram. Dan anehnya Bram mau saja menerima kunci itu.
Sepertinya sudah ada kesepakatan tidak tertulis antara mereka berdua. Itu
artinya Bram malam ini akan menginap di kontrakan Dewi. Setelah membayar uang
parkir mereka pun langsung menuju ke bedakan itu. Ternyata itu tidak jauh.
Hanya dalam beberapa detik mereka sudah sampai. Dan mereka langsung menghadap
kepada pemiliki bedakan. Sebenarnya wajah orang ini tidak asing bagi Bram,
tetapi kali ini ia benar-benar lupa orangtua siapa Pak Haji ini.
“Assalamu
alaikum.”
“Wa
alaikum salam. Masuk, masuk.”
“E,
bukankah kamu ini Bram? Kamu Bram kan?”
“Iya Pak
Haji. Saya Bram Baswenda.”
“Sebentar
ya. Kamu keluarganya si Dewi ini ya?”
“Bukan
Pak Haji,” jawab Bram dan Dewi serentak.
“Pacar?”
“Bukan,”
jawab mereka kembali bersamaan.
“Teman?”
Keduanya
mengangguk mengiyakan Pak Haji yang agak sangsi. Nampaknya ia agak curiga.
Setelah otaknya berputar-putar, Bram ini dulu pernah datang ke sini. Bukan
hanya sekali dua kali tetapi lumayan sering. Bukankah Bram ini teman anaknya
yang baru diangkat di Kabupaten Tanah Laut itu? Iya benar tak salah lagi ini
Bram Baswenda teman Jamaluddin Affandi itu?
“Maksudnya gini Pak Haji. Bram ini mau menginap di sini. Boleh kan?”
tanya Dewi mengejutkan Pak Haji yang lagi menatap Bram Baswenda itu.
“Tetapi
menginapnya tidak di kamar kamu kan?”
“Ya tidak
lah. Masa satu kamar?”
“Ya baiklah.
Asal jangan satu kamar saja. Kalau mau bertamu, ya boleh-boleh saja. Tetapi
ingat, tidurnya jangan satu kamar ya. Bahaya.”
“Ya Pak
Haji.”
“Rasanya
kamu ini dulu sering ke sini kan?”
“Ya. Saya
teman seangkatan Jamaluddin Affandi? Saya diangkat di Hulu Sungai Selatan,
Jamal diangkat di Kabupaten Tanah Laut.”
“O iya,
saya lupa. Jamalnya juga ada di Banjarmasin sekarang. Tapi ia sedang keluar
entah ke mana. Tetapi kalau boleh saya tau, kenapa kamu mau nginap di sini?”
Bram pun menjelaskan alasan mengapa ia harus
menginap di sini. Tentu saja ia tidak bilang alasan yang sebenarnya. Dia hanya
sedikit mengarang yang berkenaan dengan jalanan macet karena malam tahun baru,
dan ingin beristirahat setelah beberapa malam tidur di rumah sakit itu.
Sekarang ia merasa cukup lega bisa terhindar dari jebakan si Iras yang mulai
nekad itu.
“O gitu
ya? Rencananya mau berapa malam menginap di sini?”
“Yang
jelas dua malam dulu Pak Haji.”
“O gitu
ya? Di sini memang biasa menyewakan kamar kosong buat keluarga yang mau
menginap. Khususnya yang berbeda jenis, seperti kamu ini. Sewanya lima puluh
ribu per malam. Jadi kamu harus bayar sekarang seratus ribu.”
Tak perlu
banyak pertimbangan lagi. Bram langsung membayar seratus ribu rupiah sebagai
pembayaran uang sewa untuk dua malam ke depan.
“Ini kuncinya.
Kebetulan kamar ini
bersebelaha dengan kamar Dewi. Ingat, jangan tidur satu kamar ya.”
“Iya Pak
Haji,” jawab Bram seraya menerima kuncinya.
Dewi pun
dengan sukarela mengantarkan Bram. Sungguh sangat beruntung Bram bertemu dengan
Dewi. Jadi ia bisa menginap di bedakan ini sekaligus bisa ketemu Jamaluddin
Affandi. Barangkali Jamal bisa membantunya menemukan alamat Notaris itu.
Sesampainya di depan kamar Bram langsung membuka pintu dan langsung masuk ke
kamar yang masih gelap itu. Dia bingung kenapa Dewi juga ikut masuk kamar ini?
Kamarnya kan ada di sebelah? Sebenarnya ia ini mau apa ya? Jangan-jangan,
jangan-jangan .. . O ternyata ia langsung menyalakan listriknya. Baiklah kalau
hanya itu. Asalkan jangan keterusan berbuat seperti di pasar tadi. Kalau dia
nekad lagi? Wah! Kan bisa gawat?
Begitu
listrik menyala maka terang benderanglah kamar ini. Dilihatnya ada sebuah
tempat tidur tanpa kasur tanpa bantal tanpa guling. Jangankan kasur, tempat
tidur itu juga tak ada alas atau tikarnya. Bagaimana ia mau tidur? Meskipun di
pojok itu ada sapu tetapi lantainya masih saja kotor dan berdebu. Tiba-tiba
saja Dewi dengan cekatan mengambil sapu langsung membersihkan lantai. Tak lama
kemudian datang suruhan Pak Haji membawa kasur tipis lengkap dengan seprei plus
bantal dan guling. Setelah menggelar kasur orang itu pun langsung keluar.
“Dewi,
kamar kamu di mana sih?“ tanyanya pura-pura tidak mengetahuinya, padahal ia
sudah tahu karena memang diberitahu Pak Haji tadinya.
“Hahaha,
kok Kak Bram pakai nanya-nanya segala? Kan sudah dikasih tahu sama Pak Haji
tadi? Kak Bram tidak suka ya Dewi ada di sini? E nanti dulu. Kak Bram jangan
berpikiran yang bukan-bukan. Atau Kak Bram yang mau nakal-nakalan?”
“Siapa
yang mau nakal-nakalan? Kan kata guru agama kalau ada yang dua-duaan seperti
ini, yang ketiga adalah … .”
“Syaitan?”
“Nah, itu
kamu tahu.”
“Ya, iya
bentar lagi.”
“Sebentar
lagi apanya?”
“Sebentar
lagi Dewi menyebelah. Kan kamar Dewi ada di sebelah ini?“
“O gitu
ya?“
“Hahahaha, pura-pura lupa ya? Sebenarnya Dewi juga mau ke sebelah,
tetapi tak tega melihat Kak Bram bingung. Nih sudah bersih lantainya. Selamat
bobo ya?“
“Dewi,
makasih ya.“
“Sama-sama Kak Bram.“ katanya langsung keluar.
Kini
hanya tinggal ia sendiri di kamar ini. Ah lega rasanya. Ya betapa lega bisa
lepas dari jebakan Iras. Pertama-tama yang harus dilakukannya adalah menutup
dan mengunci pintu. Siapa tahu Dewi ini juga sama nekadnya dengan Iras. Jadi ia
harus berhati-hati dan harus tetap waspada. Kemudian ia mengeluarkan
perlengkapan mandi yang baru dibelinya di pasar tadi. Berikutnya ia mandi. Waw,
betapa segarnya saat air itu membasahi tubuhnya. Selesai mandi tak lupa ia
mengambil air udhu untuk sholat Isya.
Sehabis
sholat tentu saatnya istirahat total, ia langsung menghempaskan dirinya di
tempat tidur. Betapa nyamannya bisa beristirakat dan menenangkan diri saat ini.
Maunya ia langsung tidur. Tetapi entah sudah berapa lama ia tiduran
menggelimpang di atas pembaringan. Dia sendiri juga tidak tahu pasti, kenapa
jadi gelisah seperti ini. Padahal tadi itu Dewi hanya sekali dua kali saja menempalkan
kepala ke bahunya.
Diam-diam
Bram mencoba mencari tahu, mendengarkan suaranya Dewi. Tetapi sejak keluar dari
kamar ini tidak terdengar sama sekali suara Dewi. Apakah ia sudah tertidur
pulas? Ataukah Bram-nya saja yang gelisah sendiri.
Sebenarnya banyak sehali kenangan indah yang dilaluinya bersama Dewi
saat dulu sebelum ia menjalin hubungan dengan Yuni. Sayang Dewi lebih memilih
Bobiansyah lelaki yang secara finansial lebih mapan darinya, dan tentu juga
lebih mampu memenuhi semua keinginan Dewi. Untuk itu ia harus pasrah meyerah.
Lagi pula buat apa menjalin hubungan dengan cewek matre seperi Dewi itu? Ia
harus cepat berpindah ke lain hati. Di saat itulah ia menemukan dermaga yang
baru buat menyandarkan hatinya yang lagi galau. Di saat itulah ia menemukan
dermaga yang lain. Dermaga yang baru itu adalah Yunita, yang diam-diam sudah
lama ada hati padanya.
Ternyata
malam semakin larut dan Bram pun merasa teramat lelah. Ia tak tahan lagi
menahan kantuknya. Hanya dalam sekejap ia sudah tertidur pulas.
Casino Online - Login to your casino account
BalasHapusTo 동두천 출장마사지 do 용인 출장마사지 this, register at the casino or sign 세종특별자치 출장샵 up to your account. This will 서산 출장샵 allow you to 의정부 출장샵 play games like blackjack, roulette, craps, poker,