menu

Jumat, 17 Juni 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 09



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 09

09

       Diam-diam Bram keluar mencari warung kopi tetapi tak jadi karena ada Iras duduk seorang diri di luar. Nampak Iras cukup gelisah tentu sedang menantinya dari tadi.

       “Kak Bram mau pergi lagi ya?”
       “Tidak ke mana-mana,” jawabnya bohong. Sebenarnya ia memang mau pergi.
       “Ah tidak usah ngeles. Pasti mau keluar kan?” 


       Dengan terpaksa Bram duduk juga di samping Iras yang lagi kesal itu. Rupanya Iras ini semakin ditolak cintanya semakin keras kemauannya. Padahal Bram sudah tegas-tegas menolaknya, tetapi Iras tak mau tahu. Pokoknya bagaimana pun caranya ia harus dapat menggantikan kedudukan Yuni. Sebenarnya ini hanya suatu kesalahpahaman berkepanjangan. Dulu ketika Bram sedang galau karena baru saja ditinggalkan Yuni berpulang ke rahmatullah, Iras inilah yang selalu menyemangatinya sehingga Bram bisa menerima kenyataan bahwa Yuni itu memang sudah meninggal. Selama itu Iraslah yang selalu menggantikan Yuni memperhatikan dan melayani semua keperluannya sehari-hari.

       Seingatnya dulu Yuni selalu melayaninya seakan sudah hidup berumah tangga. Meskipun tidak tinggal serumah tetapi sangat berdekatan, hanya berjalan beberapa langkah saja. Sejak mereka memadu hati mengucap janji itulah mereka selalu bersama, yang sudah mendapat restu dan diamini oleh Paman Juhri. Sayangnya Yuni keburu dipanggil Ilahi. Padahal tak lama lagi mereka akan menikah. Sebelum pernikahan itu calon mertuanya sudah menjanjikan bahwa sebagian bedakan itu akan menjadi milik mereka berdua. Berarti pendapatan mereka perbulannya sudah bisa menjamin keperluan hidup sehari-hari.

       “Kenapa Kak Bram berubah?” tanya Iras membuyarkan lamunanmya.
       “Tidak. Tak ada yang berubah.”
       “Tetapi kini tidak seperti Kak Bram yang Iras kenal dulu.”  
       “Memangnya dulu aku seperti apa?”
       “Dulu Kak Bram sangat dekat, Ah Iras jadi malu.” 
       “Malu apaan? Ah gila kamu.”
       “Iras memang tergila-gila sama Kak Bram,” katanya lalu memegang tangan Bram.
       “E e, apa ini? Jangan, jangan gini. Malu dilihat orang.”
       “Mana orangnya? Tak ada kok. Tak ada orang yang melihat.”
       “Ya ya tapi jangan di sni, malu kalau ada yang lihat.”
       “Lantas di mana? Di dalam? Di dalam kan ada Irus dan suaminya.”

       Bram tidak menjawab tetapi ia berusaha melepaskan tangan Iras, tetapi Iras tak mau. Bahkan ia semakin merapat lagi. Memang benar kata orang-orang cinta itu semakin dilarang semakin memanas. Semakin ditolak semakin kencang usahanya. Bram kewalahan menghadapinya. Ia harus mencari cara yang jitu untuk melepaskannya.

      “Kak Bram, Iras tak mau digantung. Kita harus cepat-cepat menikah”
       “Menikah?”
       “Iya, menikah. Kak Bram takut ya?”
       “Kan Iras sudah menikah?”
       “Menikah dengan siapa?”
       “JMenikah dengan suami kamu? Kenapa suaminya tidak.”
       “Suami apa? Kawin saja tak pernah. Masa punya suami?”
       “Lho? Yang menikah dulu itu siapa?”
       “Yang menikah itu Irus bukan Iras. Memang Iras sempat mau menikah, tapi batal.”
       “Kenapa?”
       “Masa menikah dengan orang yang istrinya ada di mana-mana?”
       “Dari mana kamu tahu istrinya ada di mana-mana?”
       “Kan ada yang kasih tahu? Ah itu tidak penting lagi.”
       “Kok, tidak penting?”
       “Iyya, itu tidak penting. Sekarang kan ada Kak Bram?”
       “Lho? Tapi aku kan juga sudah punya calon?”
       “Iya sudah punya calon. Calonnya itu Iras kan?”
       “Bukan. Bukan kamu.”
       “Siapa?”
       “Ya adalah. Nanti juga kamu akan tahu sendiri.”
       “Karena itu juga nggak penting lagi. Iras mau kok dimadu. Yang penting bisa jadi istri Kak Bram. Lagi pula Kak Bram juga belum menikah kan?”
       “Sekarang sih belum. Tapi sebentar lagi akan menikah.”
       “Jadi Kak Bram tidak mau menikah dengan Iras ya?”
       “Iya. Aku tidak mau.”
       “Jadi selama ini Iras hanya jadi barang mainan?”
       “Barang mainan gimana? Semestinya kan kamu juga harus mengerti? Bahwa calon istri aku itu bukan kamu.”
       “Tak ada gunanya bicara dengan orang yang tak mau mengerti. Tetapi yang penting Kak Bram mau nggak manikah dengan Iras? Kalau nggak mau lebih baik Iras mati saja”
       “Jangan! Jangan bunuh diri. Bunuh diri itu dosa. Itu dosa yang tak ada ampunannya.”
       “Kalau begitu nikahilah Iras, supaya tidak bunuh diri.”
       “Mana mungkin? Aku tidak bisa membatalkan rencana pernikahan itu.”

       Bram terpaksa berbohong, padahal sebenarnya belum ada rencana menikah dengan janda muda itu. Meski sejujurnya ia juga sangat mencintai janda itu. Tetapi ia memang benar-benar belum ada rencana menikah, entahlah kalau nanti.

       “Iras tidak meminta Kak Bram membatalkan pernikahan itu.”
       “Maksudnya?”
       “Iras mau kok Jadi istri kedua”
       “Apa?” tanya Bram tak percaya.
       “Iras mau menjadi isri kedua,” ulang Iras sekali lagi.
       “Kamu memang mau jadi istri kedua, tetapi dia-nya yang tidak mau dimadu.”

       Bram terdiam beberapa saat bingung menghadapi Iras yang nekad dan bersedia jadi istri kedua ini. Bagaimana caranya bisa melepaskan diri dari keinginan Iras ini. Sekarang ia jadi serba salah. Mau tidur di rumah sakit? Di sini ada Iras. Pulang ke bedakan? Pasti akan diikuti Iras juga.

       “Iras, sebaiknya kau pikirkan masak-masak. Pikirkan pakai otak. Jangan Baper. Jangan hanya pakai perasaan. Sebelum kamu menyesal di kemudian hari. Di luar sana masih banyak lelaki lain yang jauh lebih baik dari aku, lebih tampan, lebih macho dan lebih tajir.”
       “Iras sudah pikirkan semuanya bahkan akibatnya pun sudah Iras pikirkan masak-masak. Bahkan rasanya Iras tak bisa hidup tanpa Kak Bram. Iras tak bisa jauh dari Kak Bram.”
       “Ah jangan lebay ah.”
       “Kok dibilang lebay? Pokoknya Iras nggak mau lagi lepas dari Kak Bram.”
       “Ya, lebay, karena Iras tidak bisa begitu. Aku kan juga harus kawin dengan calon aku itu. Percayalah, tak ada perempuan yang sanggup hidup berbagi suami. Terutama istri pertama.”
       “Setidaknya Iras merasa aman jika bersuami Kak Bram.”
       “Kenapa kamu bersikeras seperti itu? Apakah kamu … ”
       Bram tidak meneruskan pertanyaan itu.
       “Kenapa?
       “Maaf ya, tapi aku boleh tahu kan alasanmu mau menikah dengan aku?” 
       “Kak Bram curiga ya?” 
       “Ya, tetapi kenapa harus aku?” 
       “Ya itu karena .. karena… ” 
       “Karena apa?”
       “Ya karena Iras sangat mencintai Kak Bram. Itu saja.”
       “Hanya karena itu?”
       “Ya hanya karena itu.”
       “Tapi bukan karena  … ah tidak elok aku menanyakannya. Tapi jujur saja ya, Iras tidak itu kan?” tanya Bram sambil menggerakan telapak tangan menggambarkan seperti orang hamil duluan. 
       “Ya Allah ya Rabbi, Tega benar Kak Bram menuduh yang tidak-tidak. Gini-gini juga Iras masih perawan asli. Jangan kuatir. Dijamin masih suci. Itu kan juga karena Iras sangat mencintai Kak Bram? Karena Iras memang belum menemukan lelaki yang Iras cintai selain Kak Bram. Ya itu saja. Lagi pula hanya itulah yang dapat Iras persembahkan di malam pertama itu nanti.”
       “Ah lebay. Ribet bicara dengan kamu, dari tadi itu-itu melulu yang dibicarakan.” Bram langsung berdiri ingin cepat-cepat pergi tetapi Iras mencegahnya dan cepat menangkap tangannya.
       “Kak Bram mau kemana? Mau pergi lagi ya?”
       “Mau ke mushalla.”
       Sebenarnya Iras mau ikut tetapi karena lagi M maka ia tak bisa berbuat apa-apa selain terpaksa membiarkan Bram pergi begitu saja.
       “Alhamdulillah.” bisik Bram di hati.

       Akhirnya dapat juga ia melepaskan dari si Iras yang menyebalkan itu. Ia cepat-cepat pergi meninggalkan rumah sakit itu. Padahal ada sesuatu yang sangat penting yang harus ditanyakan langsung pada Paman Juhri. Biarlah ditanyakan lain waktu saja. Yang penting bisa lepas dari cengkeraman Iras yang sudah tak karuan lagi bicaranya. Sekarang ia jadi bingung harus pergi ke mana membawa diri malam ini. Kenapa? Karena sekarang ia baru ingat ternyata ini adalah malam tahun baru. Jalan-jalan menuju arah ke tengah kota pasti macet total. Atau bahkan mungkin ditutup sama sekali khusus untuk malam tahun baru ini saja. Satu-satunya tujuan adalah arah pinggiran kota. Kini ia baru teringat Pasar Tungging yang ada di Jalan Belitung Darat. Ke sanalah tujuannya malam ini, seterusnya akan dipikirkan di sana saja nanti. Kenapa harus ke sana? Karena ia harus membeli pakaian siap pakai, sarung dan keperluan lainnya. Tentu saja ia harus membeli tas pungung untuk membawa barang beliannya. Ia pun langsung naik ojek ke Pasar Tungging itu. Dari sini tukang ojek itu menyusuri Jalan Brigjen Hassan Baseri yang dulunya bernama Jalan Kayu Tangi dan anehnya sampai sekarang masih banyak yang menyebutnya Jalan Kayu Tangi. Kini ojek ini sedang melintasi bundaran Kayu Tangi.

       Malam ini jalan-jalan yang dilaluinya selalu terdengar bunyi terompet dan petasan silih berganti. Dan sepanjang Jalan Brigjen Hasan Basery mulai bergerak lamban merayap karena jalan ini termasuk salah satu tujuan malam tahun baruan. Meski saat itu masih beberapa jam lagi, tetapi suasananya kini mulai terasa. Akibatnya ojek yang membwanya tidak bisa bertjalan cepat. Apa boleh buat memang begitu adanya.
      Tak terasa ia sudah berada di Jalan S. Parman yang dulunya dikenal dengan nama Jalan Kalimantan. Sebelum sampai di perempatan Jalan Belitung - S. Parman tukang ojek ini berbalik arah dan lalu belok kiri sekitar 200 meter lalu menyeberang jembatan kecil dan belok kiri lagi masuk ke Jalan Simpang Belitung. Tak berapa lama ia sudah sampai di muara Jalan Simpang Belitung tepatnya di samping Mesjid Al Mujahidin lalu belok kanan masuk Jalan Belitung. Ojek teus melaju langsung menuju ke Pasar Tungging di wilayah Belitung Darat.
       Sesampainya di Pasar Tungging yang pertama-tama dibelinya adalah tas punggung model koper yang pakai roda, sehingga bila isinya terlalu banyak tas itu cukup ditarik saja. Ia ingin membeli yang lainnya tetapi ia kembali merasa lapar. Ia pun berbalik arah mencari warung makan yang lebih nyaman. Setelah berjalan beberapa langkah ia melihat ada warung seafood yang menarik perhatiannya. Itu bukan café tenda, tetapi kamar tamu yang disulap menjadi café. Ke sanalah tujuannya.

       Begitu melangkah masuk ternyata di pojok ruangan terlihat Dewi yang ada di rumah sakit tadi. Dewi tersenyum manis melambaikan tangan. Senyum itu masih manis seperti mereka masih kuliah dulu. Bram tidak langsung duduk tetapi ia memesan seporsi udang bakar kesukaannya, kemudian ia duduk di samping Dewi. Secara tak sengaja mereka sama-sama melirik, membuat Dewi langsung tertunduk malu.

       “Kamu sudah ke rumah Bobi?”
       “Sudah. Tetapi Bobi-nya tak ada di rumah.”      
       “Lho? Memangnya mana?”
       “Menurut tetangganya Bobi dibawa ke Singapura.”
       “Apa sebegitu parahnya hingga harus ke Singapura?”
       “Kak Bram kan tahu sendiri? Bobi itu anak orang kaya. Di mata mereka Dewi hanya orang kampung yang tak selevel.”
       “Wah kaya sinetron saja. Apakah mereka lupa? Banyak yang berobat ke luar negeri itu ternyata cuma mengantar umur saja kan? Memangnya ia sakit apa sih?”
      “Kanker otak stadium akhir,” jawabnya lirih dan tertunduk layu.

       Nampak air matanya tak terbendung meleleh di pipinya yang ranum itu. Terharu juga Bram mendengarnya. Tak ada yang dapat dilakukannya selain berdoa semoga operasinya barhasil sukses.

      “Kamu cinta dia?”
      Dewi tidak menjawab ia hanya mengangguk lemas.
      “Ya kita doakan saja semoga operasinya berhasil”      

     Dewi tak menjawab lagi-lagi ia hanya mengangguk lemas. Sebentar kemudian nasi pesanan Bram sudah datang. Dewi masih sesegukan menahan tangisnya. Tiba-tiba Bram terkejut. Mengapa pesanannya bisa jadi begini? Perasaannya tadi ia tidak memesan kepiting raja. Bukankah ia hanya memesan udang bakar? Kenapa yang datang dua porsi udang bakar plus gorengan kepiting raja?

       “Mas siapa yang pesan ini? Saya hanya pesan udang bakar kan?”
       “Iyya, yang udang bakar ini pesanan Mas kan?”       
       “Iyya. Lalu yang kepiting itu?”     
       “Ini semuanya gratis Mas. Termasuk juga yang punya Mbak ini.”      
       “Lho? Bagaimana ceritanya bisa berubah gratis seperti ini?”    
       “Iyya Mas. Ini benar-benar gratis Mas.”
       “Kenapa? Masa?”
       “Karena Mas dan Mbak ini tamu istimewa kami.”
       “Kata siapa?”
       “Kata bos kami. Ya bos yang punya café ini.”
       “Memangnya siapa sih bos cafe ini?”      
       “Mas Fari. Nama lengkapnya Nafari Ahmadie. Katanya kalian sudah saling kenal.”
       “O jadi yang punya cafe ini Nafari?”
       “Iya Mas. Sudah saling kenal kan?”
       “Kalau yang itu bukan kenal lagi, tetapi sangat kenal. Kirain siapa?”

       Tiba-tiba yang punya café sudah berdiri di depan mereka. Meski sudah lama tak bertemu tetapi senyum ramahnya masih seperti dulu. Memang sih mereka bukan satu kampus yang sama, tetapi sering bertemu dalam kegiatan pementasan drama. Mereka itu sering bertemu dalam festival atau parade teater antar kampus Maklum sama-sama aktivis teater kampus.

       “Wah CLBK nih,” sapanya menyalami Bram dan Dewi.
       “Hahahaha CLBK apaan? Pacaran saja nggak pernah,” jawab Bram tertawa     
       “Kalian kan selalu bersama? Di mana ada Bram pasti di sana ada Dewi. Iya kan?”
       “Selalu bersama bukan berarti pacaran kan? Ini juga ketemunya hanya kebetulan.”

       Dewi hanya senyam-senyum. Pacaran sungguhan pun ia tak keberatan. Maklum dulu ia juga pernah jatuh hati sama seniornya ini. Apalagi sekarang Bobi sudah tidak bisa diharapkan lagi. Bahkan dulu Dewi sempat juga tebar pesona tetapi sayang keburu disambar Yuni. Akhirnya mereka hanya berteman. Hanya dalam hitungan detik mereka asik kangen-kangenan. Maklum sekarang mereka sudah sendiri-sendiri menjalani suratan masing-masing. Tak terasa mereka sudah selesai makan malam dan keduanya sudah bersiap-siap mau pergi ke tujuannya masing-masing.

       “Fari, makasih makan gratisannya ya,” kata Bram lalu berdiri dari tempat duduknya.  
       “Saya juga terima kasih,” kata Dewi yang juga sudah berdiri.
       “Kembali kasih. Sering-sering saja datang ke sini.”
       “Jangan, nanti bisa bangkrut kamu. Saya makannya banyak lho,” celoteh Bram.
       “Nggak juga. Sama sekali tak akan membuat saya bangkrut. Insya Allah, Allah akan menggantikannya dengan rezeki yang lain.”
       “Amin,” Dewi dan Bram sama-sama mengaminkannya.
       “Ngomong-ngomong, habis ini kalian mau kemana nih? Tahun baruan ya?”
       “Nggak juga. Saya mau ke Pasar Tungging. Entahlah si Dewi ini.”
       “Lho, kenapa ke Pasar Tungging?”
       “Ini kan malam tahun baru. Jalan-jalan ke Pasar Baru juga macet semua.”
       “O iya ya.”

       Setelah mengucapkan salam Bram dan Dewi langsung keluar dari safe itu. Kali ini ada yang aneh, ternyata Dewi juga ikut. Malah sedikitpun ia tak canggung-canggung jalan berdampingan dengan Bram. Yang lebih aneh lagi ternyata Dewi malah nekad merapat ke tubuh Bram. Awalnya Bram bisa mengerti dan sedikit tenggang rasa bahwa ini adalah efek dari kegalauan hatinya. Tetapi lama kelamaan Dewi ini semakin merapat saja. Wah kacau. Ini bukan lagi tenggang rasa tetapi sudah menjurus ke arah lain. Untung saja ini jauh dari kampung. Meski demikian, ia juga harus tetap waspada. Siapa tahu di pasar ini ada yang tinggal sekampung dengan Julak Idar. Wah, bisa lebih kacau.        

       Bram membeli tas koper yang ada rodanya. Selanjutnya ia membeli jeans dan kaos oblong. Rupanya Dewi memaklumi keinginan lelaki yang pernah ditaksirnya dulu. Tapi yang ia bingung kenapa Bram ini seleranya rendahan sekali. Masa membeli pakaian di pasar tungging? Meski yang dijual di sini bukan barang bekas, tetapi tetap saja kesannya pasar murahan. Akhirnya atas saran dan selera Dewi ia membeli dua lembar celana jeans biru tua dan dua lembar kaos oblong warna biru laut. Sebenarnya warna inilah yang murahan..Kenapa? Karena  wara ini sama saja persis dengan seragam buruh salah satu pabrik kayu lapis di kota ini. Untuk sekedar menghibur Dewi yang sedang galau ia mau saja menerima usulnya. Barangkali ini  dapat meringankan kegalauan hatinya.

       Sekarang mau apa lagi? Makan malam sudah dan beli pakaian sudah. Beli keperluan sikat gigi dan mandi juga sudah. Apalagi? Oh iya. Satu-satunya yang belum adalah bagaimana caranya melepaskan diri dari perempuan yang nekad ini? Wah, kacau. Ini sama saja dengan lepas dari masalah yang satu masuk ke masalah yang lain. Di rumah sakit tadi ada Iras dan di sini ada Dewi. Kok sama ya? Lepas dari Iras masuk ke perangkap Dewi. Rasanya sudah berkali-kali mereka ini melewati jalan yang sama. Dan keduanya bukan anak ABG tetapi pasangan dewasa seperti yang lagi mabuk cinta. Lihat saja yang perempuan itu, seperti tak mau berpisah saja. Ini benar-benar nampak seperti sepasang kekasih. Sampai saat ini mereka hanya diam-diaman saja. Diam-diam Bram juga seperti terbawa dengan kemesraan kilat ini. Bahagia juga rasanya Dewi bisa berjalan bersama lelaki yang pernah diidamkannya dulu. Apakah ia semudah ini berpindah ke lain hati? Haruskah ia berpindah dari Bobi ke Bram? Bukankah Bobi juga tak bisa diharapkan lagi? Bukankah selama ini pasien yang terpaksa dibawa ke Singapura itu kebanyakannya pulang hanya tinggal nama? Tak ada salahnya kan jika ia mencintai lelaki yang pernah diidamkannya ini?

       “Rasanya kita sudah berkali-kali melewati jalan ini.”
       “Kak Bram sudah bosan ya?”
       “Nggak juga. Tapi gimana ya?”
       “Kak Bram mau pulang ke rumah sakit itu lagi ya?”
       “Maunya sih gitu, tapi …”
       “Tapi apa Kak Bram?”
       “Sekarang kan malam tahun baru?”
       “Memangnya kalo malam tahun baru ada apa ya Kak?”
       “Nggak apa-apa. Cuma jalannya macet total. Jalan Hasan Basry itu kan termasuk jalan tersibuk malam ini. Karena jalan itu termasuk salah satu tempat berkumpulnya para remaja merayakan malam tahun baruan.”
       “Maksud Kak Bram Jalan Kayu Tangi?”
       “Iya itu maksudnya. Jadi aku nggak bisa balik ke sana,” jawab Bram berbohong.      

       Sebenarnya bukan jalan macet itu yang jadi masalah, tetapi di sana ada Iras yang sudah memasang perangkap. Sayangnya di sini juga ada perangkap yang dipasang Dewi.

       “Kenapa nggak nginap di kontarkan Dewi saja?”
       “Bedakan maksud kamu?
       “Iya maksudnya itu bedakan.”
       “Memangnya bedakannya ada di mana?”
       “Di dekat sini.”
       “Wah nggak bisa begitu. Masa di sana?”
       “Iya. Memangnya kenapa?”
       “Wah! Kacau!”
       “Kacau bagaimana? Kan kita tidak beruat apa-apa?”
       “Tapi kan masyarakat mikirnya tidak begitu?”
       “Nggak juga”
       “Nggak bagaimana? Jika ada pria wanita kumpul satu kamar, kesannya negative.”
       “Lho Kak Bram mikirnya porno gitu?”
       “Lho, tadi kan kamu bilang nginap di bedakan kamu?”
       “Iya, di bedalan Dewi tetapi Kak Bram tidak satu kamar dengan Dewi. Gini-gini juga Dewi belum pernah yang gitu-gituan. Eh Kak Bram ngomongnya gitu. Ngarap ya?”
       “Ah ngarap apaan? Maksudnya gimana?”
       “Di situ ada kamar kosong yang disewakan Rp. 50.000,- per malamnya khusus untuk keluarga penghuni bedakan. Nah Kak Bram di situ tuh tidurnya. Masa tidur di kamar Dewi? Gak lucu ah.”
       “Hahahaha, aku kira tadi ya gitu.”
       “Ah nggak lucu ah,” kata Dewi sambil mencubit Bram.
       “Aduh! Sakit tau?”
       “Habis Kak Bram nakal.”
       “Nakal apanya?”

       Tak terasa mereka sudah sampai di depan parkiran. Dewi langsung menyerahkan kunci kontak kendaraannya kepada Bram. Dan anehnya Bram mau saja menerima kunci itu. Sepertinya sudah ada kesepakatan tidak tertulis antara mereka berdua. Itu artinya Bram malam ini akan menginap di kontrakan Dewi. Setelah membayar uang parkir mereka pun langsung menuju ke bedakan itu. Ternyata itu tidak jauh. Hanya dalam beberapa detik mereka sudah sampai. Dan mereka langsung menghadap kepada pemiliki bedakan. Sebenarnya wajah orang ini tidak asing bagi Bram, tetapi kali ini ia benar-benar lupa orangtua siapa Pak Haji ini.

       “Assalamu alaikum.”
       “Wa alaikum salam. Masuk, masuk.”
       “E, bukankah kamu ini Bram? Kamu Bram kan?”
       “Iya Pak Haji. Saya Bram Baswenda.”
       “Sebentar ya. Kamu keluarganya si Dewi ini ya?”
       “Bukan Pak Haji,” jawab Bram dan Dewi serentak.
       “Pacar?”
       “Bukan,” jawab mereka kembali bersamaan.
       “Teman?”

       Keduanya mengangguk mengiyakan Pak Haji yang agak sangsi. Nampaknya ia agak curiga. Setelah otaknya berputar-putar, Bram ini dulu pernah datang ke sini. Bukan hanya sekali dua kali tetapi lumayan sering. Bukankah Bram ini teman anaknya yang baru diangkat di Kabupaten Tanah Laut itu? Iya benar tak salah lagi ini Bram Baswenda teman Jamaluddin Affandi itu? 

       “Maksudnya gini Pak Haji. Bram ini mau menginap di sini. Boleh kan?” tanya Dewi mengejutkan Pak Haji yang lagi menatap Bram Baswenda itu.
       “Tetapi menginapnya tidak di kamar kamu kan?”
       “Ya tidak lah. Masa satu kamar?”
       “Ya baiklah. Asal jangan satu kamar saja. Kalau mau bertamu, ya boleh-boleh saja. Tetapi ingat, tidurnya jangan satu kamar ya. Bahaya.”
       “Ya Pak Haji.”
       “Rasanya kamu ini dulu sering ke sini kan?”
       “Ya. Saya teman seangkatan Jamaluddin Affandi? Saya diangkat di Hulu Sungai Selatan, Jamal diangkat di Kabupaten Tanah Laut.”
       “O iya, saya lupa. Jamalnya juga ada di Banjarmasin sekarang. Tapi ia sedang keluar entah ke mana. Tetapi kalau boleh saya tau, kenapa kamu mau nginap di sini?”

       Bram pun menjelaskan alasan mengapa ia harus menginap di sini. Tentu saja ia tidak bilang alasan yang sebenarnya. Dia hanya sedikit mengarang yang berkenaan dengan jalanan macet karena malam tahun baru, dan ingin beristirahat setelah beberapa malam tidur di rumah sakit itu. Sekarang ia merasa cukup lega bisa terhindar dari jebakan si Iras yang mulai nekad itu.

       “O gitu ya? Rencananya mau berapa malam menginap di sini?”
       “Yang jelas dua malam dulu Pak Haji.”
       “O gitu ya? Di sini memang biasa menyewakan kamar kosong buat keluarga yang mau menginap. Khususnya yang berbeda jenis, seperti kamu ini. Sewanya lima puluh ribu per malam. Jadi kamu harus bayar sekarang seratus ribu.”

       Tak perlu banyak pertimbangan lagi. Bram langsung membayar seratus ribu rupiah sebagai pembayaran uang sewa untuk dua malam ke depan.

       “Ini  kuncinya.  Kebetulan  kamar  ini  bersebelaha dengan kamar Dewi. Ingat, jangan tidur satu kamar ya.”
       “Iya Pak Haji,” jawab Bram seraya menerima kuncinya.

      Dewi pun dengan sukarela mengantarkan Bram. Sungguh sangat beruntung Bram bertemu dengan Dewi. Jadi ia bisa menginap di bedakan ini sekaligus bisa ketemu Jamaluddin Affandi. Barangkali Jamal bisa membantunya menemukan alamat Notaris itu. Sesampainya di depan kamar Bram langsung membuka pintu dan langsung masuk ke kamar yang masih gelap itu. Dia bingung kenapa Dewi juga ikut masuk kamar ini? Kamarnya kan ada di sebelah? Sebenarnya ia ini mau apa ya? Jangan-jangan, jangan-jangan .. . O ternyata ia langsung menyalakan listriknya. Baiklah kalau hanya itu. Asalkan jangan keterusan berbuat seperti di pasar tadi. Kalau dia nekad lagi? Wah! Kan bisa gawat?

       Begitu listrik menyala maka terang benderanglah kamar ini. Dilihatnya ada sebuah tempat tidur tanpa kasur tanpa bantal tanpa guling. Jangankan kasur, tempat tidur itu juga tak ada alas atau tikarnya. Bagaimana ia mau tidur? Meskipun di pojok itu ada sapu tetapi lantainya masih saja kotor dan berdebu. Tiba-tiba saja Dewi dengan cekatan mengambil sapu langsung membersihkan lantai. Tak lama kemudian datang suruhan Pak Haji membawa kasur tipis lengkap dengan seprei plus bantal dan guling. Setelah menggelar kasur orang itu pun langsung keluar.

       “Dewi, kamar kamu di mana sih?“ tanyanya pura-pura tidak mengetahuinya, padahal ia sudah tahu karena memang diberitahu Pak Haji tadinya.
       “Hahaha, kok Kak Bram pakai nanya-nanya segala? Kan sudah dikasih tahu sama Pak Haji tadi? Kak Bram tidak suka ya Dewi ada di sini? E nanti dulu. Kak Bram jangan berpikiran yang bukan-bukan. Atau Kak Bram yang mau nakal-nakalan?”
       “Siapa yang mau nakal-nakalan? Kan kata guru agama kalau ada yang dua-duaan seperti ini, yang ketiga adalah … .”
       “Syaitan?”
       “Nah, itu kamu tahu.” 
       “Ya, iya bentar lagi.”
       “Sebentar lagi apanya?”
       “Sebentar lagi Dewi menyebelah. Kan kamar Dewi ada di sebelah ini?“
       “O gitu ya?“
       “Hahahaha, pura-pura lupa ya? Sebenarnya Dewi juga mau ke sebelah, tetapi tak tega melihat Kak Bram bingung. Nih sudah bersih lantainya. Selamat bobo ya?“
       “Dewi, makasih ya.“
       “Sama-sama Kak Bram.“ katanya langsung keluar.

       Kini hanya tinggal ia sendiri di kamar ini. Ah lega rasanya. Ya betapa lega bisa lepas dari jebakan Iras. Pertama-tama yang harus dilakukannya adalah menutup dan mengunci pintu. Siapa tahu Dewi ini juga sama nekadnya dengan Iras. Jadi ia harus berhati-hati dan harus tetap waspada. Kemudian ia mengeluarkan perlengkapan mandi yang baru dibelinya di pasar tadi. Berikutnya ia mandi. Waw, betapa segarnya saat air itu membasahi tubuhnya. Selesai mandi tak lupa ia mengambil air udhu untuk sholat Isya. 
       Sehabis sholat tentu saatnya istirahat total, ia langsung menghempaskan dirinya di tempat tidur. Betapa nyamannya bisa beristirakat dan menenangkan diri saat ini. Maunya ia langsung tidur. Tetapi entah sudah berapa lama ia tiduran menggelimpang di atas pembaringan. Dia sendiri juga tidak tahu pasti, kenapa jadi gelisah seperti ini. Padahal tadi itu Dewi hanya sekali dua kali saja menempalkan kepala ke bahunya.
       Diam-diam Bram mencoba mencari tahu, mendengarkan suaranya Dewi. Tetapi sejak keluar dari kamar ini tidak terdengar sama sekali suara Dewi. Apakah ia sudah tertidur pulas? Ataukah Bram-nya saja yang gelisah sendiri.

       Sebenarnya banyak sehali kenangan indah yang dilaluinya bersama Dewi saat dulu sebelum ia menjalin hubungan dengan Yuni. Sayang Dewi lebih memilih Bobiansyah lelaki yang secara finansial lebih mapan darinya, dan tentu juga lebih mampu memenuhi semua keinginan Dewi. Untuk itu ia harus pasrah meyerah. Lagi pula buat apa menjalin hubungan dengan cewek matre seperi Dewi itu? Ia harus cepat berpindah ke lain hati. Di saat itulah ia menemukan dermaga yang baru buat menyandarkan hatinya yang lagi galau. Di saat itulah ia menemukan dermaga yang lain. Dermaga yang baru itu adalah Yunita, yang diam-diam sudah lama ada hati padanya.
       Ternyata malam semakin larut dan Bram pun merasa teramat lelah. Ia tak tahan lagi menahan kantuknya. Hanya dalam sekejap ia sudah tertidur pulas.

1 komentar:

  1. Casino Online - Login to your casino account
    To 동두천 출장마사지 do 용인 출장마사지 this, register at the casino or sign 세종특별자치 출장샵 up to your account. This will 서산 출장샵 allow you to 의정부 출장샵 play games like blackjack, roulette, craps, poker,

    BalasHapus