Haruskah Aku?
Cerpen:
Hamberan Syahbana
Kuperhatikan belakangan ini ada yang berubah pada ayah angkatku ini. Dia
sudah berubah menjadi orang lain. Padahal selama belasan tahun ia adalah
seorang ayah yang baik, ayah yang sangat penyayang. dan selalu memanjakanku.
Mau apa saja aku tinggal bilang. Dia juga telah mencukupi segala keperluanku.
Mulai dari kebutuhan makan minum, pakaian sampai pendidikanku hingga semester
akhir perkuliahanku.. Dia juga tak segan-segan mengeluarkan biaya yang kuperlukan
berapa pun besarnya. Tetapi, kini ada yang sangat berubah, dia mencoba menjaga
jarak. Ini terlihat jelas pada sikap dan tingkah lakunya yang serba kaku kepadaku.
Begitu juga sikapku. Diantara kami seakan-akan ada jurang pemisah yang dalam.
Bicara hanya seperlunya. Tak terdengar lagi kata sayang yang dulunya begitu
akrab ditelingaku. Dan akupun tak pernah lagi
bermanja-manja.
***
Seingatku dulu, setelah kedua orang tuaku
meninggal karena suatu kecelakaan, aku menjadi anak angkat di rumah ini. Waktu
itu aku berusia sekitar lima tahunan. Jadi aku sudah tahu sejak awal bahwa aku
hanyalah anak angkat di keluarga ini. Ketika aku menanjak remaja, barulah aku tahu
bahwa mengangkat anak adalah salah satu usaha untuk memancing kehamilan. Menurut
anggapan masyarakat, mengangkat anak bisa memancing kehamilan. Dan
kebanyakannya memang berhasil. Tetapi tidak dengan keluarga ini. Kehamilan yang
dinanti-nantikan tak kunjung tiba. Maka jadilah aku sebagai satu-satunya anak
di keluarga ini.
Kini aku sudah berusia dua puluh dua tahun dan sudah menyelesaikan
semester akhirku. Tahun ini juga aku akan diwisuda. Aku membayangkan kedua
orang ini pasti akan semakin sayang kepadaku. Tetapi apa yang terjadi?
Sedikitpun tak ada tanda-tanda kebahagiaan itu. Aku jadi bingung. Apa yang
terjadi dengan ibuku ini? Perempuan yang selama ini kuanggap sebagai ibu
kandungku sendiri belakangan ini tidak seperti biasanya. Meskipun ia berusaha
menutup-tutupi seakan tak ada apa-apa. Tetapi aku curiga pasti ada sesuatu yang
tak beres. Kini ia berubah menjadi perenung. Hampir
tiada hari tanpa merenung.
***
Suatu hari sewaktu aku
menyelesaikan tugas akhir di FKIP Unlam, tiba-tiba saja Ponselku berbunyi. “Ina, cepat pulang. Langsung ke Rumah
Sakit Ulin,” suara ayah angkatku terbata-bata, setelah itu tak ada suara lagi.
Pasti ayah angkatku ini tak sanggup meneruskan bicaranya. Berikutnya Ponselku
berbunyi lagi, ada SMS, lalu kupencet, ”Ibumu pingsan. Ayah tunggu Ina di ruang
IGD.”
“Astagfirullah, selamatkan ibuku Ya Allah,” Aku terkejut bukan kepalang.
Aku langsung menuju parkiran dan terus kustarter bebekku. Dalam waktu sekejap
aku sudah berada di IGD RSUD Ulin Banjarmasin. Kulihat ibuku terbaring lemas.
Dan jarum infuse sudah melekat di tangan kirinya. Di hidungnya juga terpasang
selang oxygen alat bantu pernafasan. Setelah proses administrasi selesai
dinyatakan bahwa ibu harus rawat inap.
Berapa hari kemudian baru kuketahui, ternyata ibuku ini mengidap
penyakit kanker rahim stadium akhir. Kanker itu sudah berakar dan menjalar ke
seluruh tubuh. Tak bisa dioperasi lagi. Satu-satu tindakan adalah kimoterapi
yang harus dijalani selama enam bulan. Dengan kata lain sisa hidup ibuku ini
hanya berkisar enam bulan, bahkan bisa kurang.
“Jika ibu nanti dipanggil lebih dulu, pasti ayahmu akan sangat
menderita,” begitu kata ibuku pada bulan pertama rawat inap di rumah sakit.
“Ah ibu jangan bilang gitu,” sahutku lirih. Ada rasa miris di hatiku.
“Tak ada yang lebih mengerti tentang ayah kecuali ibu dan kamu anakku,”
kata ibu, dan ini baru kusadari bahwa saat itu ia ingin mengatakan sesuatu
tetapi ragu.
“Ibu tahu, ayahmu tak bisa hidup tanpa ibu dan juga kamu. Hanya ibu dan
kamu yang sangat mengerti ayahmu. Membiarkan ia kawin dengan wanita lain sama
artinya dengan membunuhnya secara perlahan. Dan hidupmu
juga akan menderita”
“Ah ibu, tak akan terjadi apa-apa dengan Ina Bu,”
kataku berusaha menghiburnya.
Waktu itu ibu masih bisa duduk walaupun hanya di tempat tidur. Dan dua
bulan kemudian, jangankan duduk menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan pun
harus dibantu. Tak tahan rasanya aku melihat penderitaan ibu. Kini sedikitpun
tak ada lagi sisa-sisa keceriaan dan kecantikannya. Rambutnya yang indah ikal
bergelombang kini semuanya sudah rontok. Tubuh yang dulunya putih segar, kini
sudah hitam kurus dan keriput. Kimoterapi itu kini telah membakar seluruh
jaringan tubuhnya. Tak terasa air mataku berlinang begitu derasnya membasahi
pipi ini.
Apakah ini suatu musibah? Ataukah ini hanya teguran? Atau bisa jadi ini
adalah ujian? Atau sebaliknya ini adalah laknat? Selama berminggu-minggu
pertanyaan itu bolak-balik dalam pikiranku. Sampai akhirnya suatu malam yang
tak pernah kubayangkan. Waktu itu kami hanya berdua di kamar. Ayah angkatku baru
saja keluar mengambil obat penahan rasa sakit. Kulihat ibuku mengisyaratkan
agar aku mendekat. Nampaknya ada sesuatu yang ingin dia katakan.
“Ina, rasanya ibu tak lama lagi… ,” ibu tak
sanggup meneruskan kata-katanya.
Aku terkejut, aku bungkam. Tak ada yang dapat kukatakan, walau hanya
basa basi. Tapi aku tahu maksud ibu ini. Sekali lagi air mata ini membasahi
pipi. Aneh, malam ini nampak ibu agak tegar. Apakah ini pertanda bahwa hidup
ibu akan segera berakhir? Biasanya orang yang akan meninggal akan terlihat
lebih segar. Inikah yang terjadi ada ibu?
“Jangan menangis, ibu sudah mengikhlaskan semuanya. Hanya saja ibu tak
tega melihat ayahmu sendirian.”
“Ya ibu, Ina akan menjaga ayah,” sahutku sekenanya saja.
Kulihat ibu tersenyum tapi aku tidak tahu apa maksudnya. Matanya berkaca-kaca
seakan terlepas dari beban yang amat berat. Meskipun aku sadar bahwa
kemungkinan besar itu adalah senyum ibuku yang terakhir.
“Syukurlah kalau sudah bersedia,” begitu katanya. Kulihat ibu semakin
tegar. Sebaliknya aku jadi bingung. Apa maksud ibu yang sebenarnya?
“Ya bu, percaya saja sama Ina,” sahutku juga masih sekenanya saja.
“Kalau begitu tak ada lagi yang perlu aku ragukan, aku akan tenang
meninggalkan kalian berdua. Jaga ayahmu baik-baik, hanya kau satu-satunya
harapan ibu. Terima kasih Ina. Jadilah kau istri yang baik.”
“Ma … ma maksud ibu?” tanyaku tersendat-sendat.
“Ibu juga sudah mewasiatkan ini pada ayahmu, dan dia sudah menyetujui.”
“Masya Allah, Astagfirullah, Kenapa harus Ina Bu? Kan banyak wanita
lain?”
“Tidak. tak ada wanita lain yang lebih mengerti
tentang ayahmu selain kamu.”
“Tapi Bu, … ”
“Ina, Sudahlah. Kalau kau benar-benar sayang Ibu, kabulkanlah permintaan
ibu. Kalau kau benar-benar sayang ayahmu, turutilah apa kata ibu. Ini adalah
permintaan ibu yang terakhir. Ini adalah wasiat Ibu yang harus kamu terima.”
“Ya ... ya bu,” jawabku sambil sesegukan. Aku terpaksa harus mengiyakan.
Aku takut ibu meninggal dalam keadaan penasaran. Aku takut roh ibu yang penasaran
akan melayang-layang diantara langit dan bumi.
Tiba-tiba saja aku merasa bagai berada di lembah yang kian menyempit. Seketika
dadaku berdebar-debar, tubuhku gemetar.
Keringat dingin pun membasahi sekujur tubuh. Bagaimana mungkin aku harus
menjadi istri dari lelaki yang sudah kuanggap ayah kandungku sendiri? Apa pula
kata orang nanti? Barangkali aku dianggap secara diam-diam bermain api selama ini. Aku takut
ini bisa jadi fitnah?
***
Ibuku sudah meninggal dua bulan sudah lalu.
Seperti janjiku pada ibu, aku harus menjaga dan melayani ayah sebaik-baiknya,
meski terasa agak kaku. Hanya saja pada waktu makan kami tak pernah lagi satu
meja. Semuanya sekarang jadi serba salah. Yang dulunya aku bebas keluar masuk
kamar, walau dengan pakaian yang sangat minim, kini aku harus melindungi auratku.
Demikian pula dengan ayahku. Benar kata almarhumah ibu. Tak ada wanita lain
yang sanggup menggantikan ibu, kecuali aku. Karena ayah selalu hidup dengan
pola hidup dan pola makan yang tepat dan teratur. Dan yang paling penting
kuingat ialah ayah ini banyak alerginya.
Dia alergi pada udang dan semua jenis ikan laut. Dia juga alergi semua
jenis bahan pengawet dan penyedap rasa. Bukan itu saja tetapi juga alergi pada
obat antalgin dan semua yang berakhiran gin. Aku sudah diberitahu ibu jauh-jauh
hari, bahkan ibu menyuruhku mencatatnya dan mengingatnya baik-baik.
Semuanya sudah kulakukan dengan ikhlas. Hanya satu yang belum
kulaksanakan, yaitu aku harus menjadi istri yang baik. Sejujurnya aku ingin menolaknya.
Karena sedikitpun tidak ada rasa yang satu itu di hatiku. Tetapi ada rasa tak
tega menolaknya. Karena aku sudah berjanji, meski hanya basa basi. Belakangan
ini selalu terbayang dalam benakku roh ibu gentayangan melayang-layang di
antara langit dan bumi.
***
Sekali-sekali terpikir juga olehku menepati janji
itu. Tapi aku tak bisa. Sebenarnya apa sih sulitya menjadi istri yang baik? Apalagi
tak ada satu pun pacarku yang serius selama ini. Bukankah selama ini aku telah
memposisikan diri sebagai pengganti almarhumah ibu angkatku? Semuanya sudah
kulakukan kecuali satu yaitu menjadi istri yang baik.
“Tak ada salahnya kamu menepati janji itu,” demikian saran ustadzah
Mahfuzah yang biasa tempatku curhat. “Lagi pula tak baik kalian berdua lama-lama
hidup satu atap tanpa nikah. Ingat iblis selalu berada di antara kalian
berdua.”
“Tapi Ina nggak bisa bu. Ina sudah terlanjur menjadi anak yang baik.”
“Itu dulu, sekarang kan situasinya lain. Aku sarankan sebaiknya kau
terima saja.”
“Tapi bu?”
“Ini kan darurat? Ya… memang memerlukan proses, biarkan peroses itu
mengalir seperti air. Insya Allah kalian akan menjadi keluarga sakinah mawaddah
warrahmah.”
“Mulailah dengan menghilangkan kesan bahwa ia adalah ayahmu. Ingatlah
bahwa lelaki itu hanyalah ayah angkat. Di dalam agama kita, ayah angkat adalah
orang lain meski sangat berjasa dalam hidupmu. Dengan kata lain lelaki itu
bukan muhrimmu. Cobalah kamu banyak-banyak mengingat kedua orang tuamu dulu.”
“Aku nggak bisa bu, aku sudah lupa wajah-wajah mereka.”
“Kalau begitu cobalah ciptakan wajah mereka melalui imajinasimu.
Kirimlah doa banyak-banyak di tiap sehabis sholatmu. Insya Allah akan ada jalan
keluarnya.”
“Ya bu akan saya coba.”
“Ya gitu dong. Selanjutnya mulailah mengingatnya hanya sebagai lelaki.”
***
Beberapa hari berlakangan ini aku mencoba
mengikuti saran ustadzhah Mahfuzah. Diam-diam kuperhatikan lelaki ini, dia
memang tanpan juga mempesona. Memang seperti inilah lelaki idamanku. Dalam usia
empatpuluhan lelaki ini masih kelihatan menarik. Wajah tampan menawan, bodinya
juga oke. Tak jauh beda dengan mantan-mantanku dulu. Apalagi dengan mantanku
yang baru putus. Astagfirullah, Ya Allah ya Robi. Mengapa aku begitu jauh
berangan-angan?
Hari ini kucoba sarapan pagi satu meja. Diam-diam kulihat ada sesuatu
yang lain dari biasanya. Sesekali dia melirik ke arahku, dan cepat berpura-pura
tidak terjadi apa-apa. Sesekali kami bertemu pandang. Ah aku malu, tiba-tiba
aku merasa ada perasaan yang lain dalam hatiku. Inilah kali pertama aku merasa
perasaan itu. Tiba-tiba saja dadaku
berdebar-debar saat lelaki ini memandangku dengan pandangan aneh. Seluruh tubuhku
jadi gemetar, badanku terasa panas dingin. Aneh aku merasa ada perasaan lain, rasanya
sama seperti aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan mantanku yang sudah tiada
itu.
“Enak nasi gorengnya saya suka,” kata lelaki itu memecah kekakuan
sekaligus membuyarkan lamunanku.
“O gitu ya?” jawabku sembari mencoba tersenyum. Kami mulai akrab seperti
biasanya. “Bapak mau nambah?” tanyaku lagi.
“O ya, nambah. Aku mau nambah lagi, tapi….rasanya kaya gini ya?” tanya
lelaki itu. Nampaknya ia sadar, bahwa nasi goreng kali ini lebih asin. Kata
orang kalau rasanya seperti ini. Itu tandanya yang masak mau… . Ah aku malu jadinya.
Lagi-lagi aku tersenyum. Entah dari mana datangnya
inisiatipku ini? Tapi aku suka bahwa lekaki ini telah menangkap maknanya. Cepat-cepat
aku menambahkan nasi ke piringnya, dan pada saat yang sama dia juga begitu. Tapi
aneh, tangan lelaki ini malah memegang tanganku. Aku terkejut, terkesima.
Dadaku semakin berdebar-debar, tapi aku suka. Kami berpandangan agak lama.
Tanpa suara, bicara hanya antara mata. Tiba-tiba aku sadar, aku terkejut, aku
cepat-cepat menunduk. Aku, aku . Alhamdulillah, hm malu aku jadinya.
Banjarmasin,
Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar