menu

Rabu, 15 Juni 2016

Haruskah Aku?



Haruskah Aku?
Cerpen: Hamberan Syahbana

      Kuperhatikan belakangan ini ada yang berubah pada ayah angkatku ini. Dia sudah berubah menjadi orang lain. Padahal selama belasan tahun ia adalah seorang ayah yang baik, ayah yang sangat penyayang. dan selalu memanjakanku. Mau apa saja aku tinggal bilang. Dia juga telah mencukupi segala keperluanku. Mulai dari kebutuhan makan minum, pakaian sampai pendidikanku hingga semester akhir perkuliahanku.. Dia juga tak segan-segan mengeluarkan biaya yang kuperlukan berapa pun besarnya. Tetapi, kini ada yang sangat berubah, dia mencoba menjaga jarak. Ini terlihat jelas pada sikap dan tingkah lakunya yang serba kaku kepadaku. Begitu juga sikapku. Diantara kami seakan-akan ada jurang pemisah yang dalam. Bicara hanya seperlunya. Tak terdengar lagi kata sayang yang dulunya begitu akrab ditelingaku. Dan akupun tak pernah lagi bermanja-manja.


***
     Seingatku dulu, setelah kedua orang tuaku meninggal karena suatu kecelakaan, aku menjadi anak angkat di rumah ini. Waktu itu aku berusia sekitar lima tahunan. Jadi aku sudah tahu sejak awal bahwa aku hanyalah anak angkat di keluarga ini. Ketika aku menanjak remaja, barulah aku tahu bahwa mengangkat anak adalah salah satu usaha untuk memancing kehamilan. Menurut anggapan masyarakat, mengangkat anak bisa memancing kehamilan. Dan kebanyakannya memang berhasil. Tetapi tidak dengan keluarga ini. Kehamilan yang dinanti-nantikan tak kunjung tiba. Maka jadilah aku sebagai satu-satunya anak di keluarga ini.  
     Kini aku sudah berusia dua puluh dua tahun dan sudah menyelesaikan semester akhirku. Tahun ini juga aku akan diwisuda. Aku membayangkan kedua orang ini pasti akan semakin sayang kepadaku. Tetapi apa yang terjadi? Sedikitpun tak ada tanda-tanda kebahagiaan itu. Aku jadi bingung. Apa yang terjadi dengan ibuku ini? Perempuan yang selama ini kuanggap sebagai ibu kandungku sendiri belakangan ini tidak seperti biasanya. Meskipun ia berusaha menutup-tutupi seakan tak ada apa-apa. Tetapi aku curiga pasti ada sesuatu yang tak beres. Kini ia berubah menjadi perenung. Hampir tiada hari tanpa merenung.
***
     Suatu hari sewaktu aku menyelesaikan tugas akhir di FKIP Unlam, tiba-tiba saja Ponselku berbunyi. “Ina, cepat pulang. Langsung ke Rumah Sakit Ulin,” suara ayah angkatku terbata-bata, setelah itu tak ada suara lagi. Pasti ayah angkatku ini tak sanggup meneruskan bicaranya. Berikutnya Ponselku berbunyi lagi, ada SMS, lalu kupencet, ”Ibumu pingsan. Ayah tunggu Ina di ruang IGD.”
     “Astagfirullah, selamatkan ibuku Ya Allah,” Aku terkejut bukan kepalang. Aku langsung menuju parkiran dan terus kustarter bebekku. Dalam waktu sekejap aku sudah berada di IGD RSUD Ulin Banjarmasin. Kulihat ibuku terbaring lemas. Dan jarum infuse sudah melekat di tangan kirinya. Di hidungnya juga terpasang selang oxygen alat bantu pernafasan. Setelah proses administrasi selesai dinyatakan bahwa ibu harus rawat inap.

     Berapa hari kemudian baru kuketahui, ternyata ibuku ini mengidap penyakit kanker rahim stadium akhir. Kanker itu sudah berakar dan menjalar ke seluruh tubuh. Tak bisa dioperasi lagi. Satu-satu tindakan adalah kimoterapi yang harus dijalani selama enam bulan. Dengan kata lain sisa hidup ibuku ini hanya berkisar enam bulan, bahkan bisa kurang.

     “Jika ibu nanti dipanggil lebih dulu, pasti ayahmu akan sangat menderita,” begitu kata ibuku pada bulan pertama rawat inap di rumah sakit.
     “Ah ibu jangan bilang gitu,” sahutku lirih. Ada rasa miris di hatiku.
     “Tak ada yang lebih mengerti tentang ayah kecuali ibu dan kamu anakku,” kata ibu, dan ini baru kusadari bahwa saat itu ia ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu.
     “Ibu tahu, ayahmu tak bisa hidup tanpa ibu dan juga kamu. Hanya ibu dan kamu yang sangat mengerti ayahmu. Membiarkan ia kawin dengan wanita lain sama artinya dengan membunuhnya secara perlahan. Dan hidupmu juga akan menderita”
     “Ah ibu, tak akan terjadi apa-apa dengan Ina Bu,” kataku berusaha menghiburnya.

     Waktu itu ibu masih bisa duduk walaupun hanya di tempat tidur. Dan dua bulan kemudian, jangankan duduk menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan pun harus dibantu. Tak tahan rasanya aku melihat penderitaan ibu. Kini sedikitpun tak ada lagi sisa-sisa keceriaan dan kecantikannya. Rambutnya yang indah ikal bergelombang kini semuanya sudah rontok. Tubuh yang dulunya putih segar, kini sudah hitam kurus dan keriput. Kimoterapi itu kini telah membakar seluruh jaringan tubuhnya. Tak terasa air mataku berlinang begitu derasnya membasahi pipi ini.
     Apakah ini suatu musibah? Ataukah ini hanya teguran? Atau bisa jadi ini adalah ujian? Atau sebaliknya ini adalah laknat? Selama berminggu-minggu pertanyaan itu bolak-balik dalam pikiranku. Sampai akhirnya suatu malam yang tak pernah kubayangkan. Waktu itu kami hanya berdua di kamar. Ayah angkatku baru saja keluar mengambil obat penahan rasa sakit. Kulihat ibuku mengisyaratkan agar aku mendekat. Nampaknya ada sesuatu yang ingin dia katakan.

     “Ina, rasanya ibu tak lama lagi… ,” ibu tak sanggup meneruskan kata-katanya.

      Aku terkejut, aku bungkam. Tak ada yang dapat kukatakan, walau hanya basa basi. Tapi aku tahu maksud ibu ini. Sekali lagi air mata ini membasahi pipi. Aneh, malam ini nampak ibu agak tegar. Apakah ini pertanda bahwa hidup ibu akan segera berakhir? Biasanya orang yang akan meninggal akan terlihat lebih segar. Inikah yang terjadi ada ibu?

     “Jangan menangis, ibu sudah mengikhlaskan semuanya. Hanya saja ibu tak tega melihat ayahmu sendirian.”
     “Ya ibu, Ina akan menjaga ayah,” sahutku sekenanya saja.

      Kulihat ibu tersenyum tapi aku tidak tahu apa maksudnya. Matanya berkaca-kaca seakan terlepas dari beban yang amat berat. Meskipun aku sadar bahwa kemungkinan besar itu adalah senyum ibuku yang terakhir. 
  
     “Syukurlah kalau sudah bersedia,” begitu katanya. Kulihat ibu semakin tegar. Sebaliknya aku jadi bingung. Apa maksud ibu yang sebenarnya?  
     “Ya bu, percaya saja sama Ina,” sahutku juga masih sekenanya saja.
     “Kalau begitu tak ada lagi yang perlu aku ragukan, aku akan tenang meninggalkan kalian berdua. Jaga ayahmu baik-baik, hanya kau satu-satunya harapan ibu. Terima kasih Ina. Jadilah kau istri yang baik.”
     “Ma … ma maksud ibu?” tanyaku tersendat-sendat.
     “Ibu juga sudah mewasiatkan ini pada ayahmu, dan dia sudah menyetujui.”
     “Masya Allah, Astagfirullah, Kenapa harus Ina Bu? Kan banyak wanita lain?”
     “Tidak. tak ada wanita lain yang lebih mengerti tentang ayahmu selain kamu.”
     “Tapi Bu, … ”
     “Ina, Sudahlah. Kalau kau benar-benar sayang Ibu, kabulkanlah permintaan ibu. Kalau kau benar-benar sayang ayahmu, turutilah apa kata ibu. Ini adalah permintaan ibu yang terakhir. Ini adalah wasiat Ibu yang harus kamu terima.”
    “Ya ... ya bu,” jawabku sambil sesegukan. Aku terpaksa harus mengiyakan. Aku takut ibu meninggal dalam keadaan penasaran. Aku takut roh ibu yang penasaran akan melayang-layang diantara langit dan bumi.

     Tiba-tiba saja aku merasa bagai berada di lembah yang kian menyempit. Seketika  dadaku berdebar-debar, tubuhku gemetar. Keringat dingin pun membasahi sekujur tubuh. Bagaimana mungkin aku harus menjadi istri dari lelaki yang sudah kuanggap ayah kandungku sendiri? Apa pula kata orang nanti? Barangkali aku dianggap secara diam-diam bermain api  selama ini. Aku takut ini bisa jadi fitnah?

***
     Ibuku sudah meninggal dua bulan sudah lalu. Seperti janjiku pada ibu, aku harus menjaga dan melayani ayah sebaik-baiknya, meski terasa agak kaku. Hanya saja pada waktu makan kami tak pernah lagi satu meja. Semuanya sekarang jadi serba salah. Yang dulunya aku bebas keluar masuk kamar, walau dengan pakaian yang sangat minim, kini aku harus melindungi auratku. Demikian pula dengan ayahku. Benar kata almarhumah ibu. Tak ada wanita lain yang sanggup menggantikan ibu, kecuali aku. Karena ayah selalu hidup dengan pola hidup dan pola makan yang tepat dan teratur. Dan yang paling penting kuingat ialah ayah ini banyak alerginya.

     Dia alergi pada udang dan semua jenis ikan laut. Dia juga alergi semua jenis bahan pengawet dan penyedap rasa. Bukan itu saja tetapi juga alergi pada obat antalgin dan semua yang berakhiran gin. Aku sudah diberitahu ibu jauh-jauh hari, bahkan ibu menyuruhku mencatatnya dan mengingatnya baik-baik.
     Semuanya sudah kulakukan dengan ikhlas. Hanya satu yang belum kulaksanakan, yaitu aku harus menjadi istri yang baik. Sejujurnya aku ingin menolaknya. Karena sedikitpun tidak ada rasa yang satu itu di hatiku. Tetapi ada rasa tak tega menolaknya. Karena aku sudah berjanji, meski hanya basa basi. Belakangan ini selalu terbayang dalam benakku roh ibu gentayangan melayang-layang di antara langit dan bumi.

***
     Sekali-sekali terpikir juga olehku menepati janji itu. Tapi aku tak bisa. Sebenarnya apa sih sulitya menjadi istri yang baik? Apalagi tak ada satu pun pacarku yang serius selama ini. Bukankah selama ini aku telah memposisikan diri sebagai pengganti almarhumah ibu angkatku? Semuanya sudah kulakukan kecuali satu yaitu menjadi istri yang baik.

     “Tak ada salahnya kamu menepati janji itu,” demikian saran ustadzah Mahfuzah yang biasa tempatku curhat. “Lagi pula tak baik kalian berdua lama-lama hidup satu atap tanpa nikah. Ingat iblis selalu berada di antara kalian berdua.”
     “Tapi Ina nggak bisa bu. Ina sudah terlanjur menjadi anak yang baik.”
     “Itu dulu, sekarang kan situasinya lain. Aku sarankan sebaiknya kau terima saja.”
     “Tapi bu?”
     “Ini kan darurat? Ya… memang memerlukan proses, biarkan peroses itu mengalir seperti air. Insya Allah kalian akan menjadi keluarga sakinah mawaddah warrahmah.”
     “Mulailah dengan menghilangkan kesan bahwa ia adalah ayahmu. Ingatlah bahwa lelaki itu hanyalah ayah angkat. Di dalam agama kita, ayah angkat adalah orang lain meski sangat berjasa dalam hidupmu. Dengan kata lain lelaki itu bukan muhrimmu. Cobalah kamu banyak-banyak mengingat kedua orang tuamu dulu.”
     “Aku nggak bisa bu, aku sudah lupa wajah-wajah mereka.”
     “Kalau begitu cobalah ciptakan wajah mereka melalui imajinasimu. Kirimlah doa banyak-banyak di tiap sehabis sholatmu. Insya Allah akan ada jalan keluarnya.”
     “Ya bu akan saya coba.”
     “Ya gitu dong. Selanjutnya mulailah mengingatnya hanya sebagai lelaki.”

***
     Beberapa hari berlakangan ini aku mencoba mengikuti saran ustadzhah Mahfuzah. Diam-diam kuperhatikan lelaki ini, dia memang tanpan juga mempesona. Memang seperti inilah lelaki idamanku. Dalam usia empatpuluhan lelaki ini masih kelihatan menarik. Wajah tampan menawan, bodinya juga oke. Tak jauh beda dengan mantan-mantanku dulu. Apalagi dengan mantanku yang baru putus. Astagfirullah, Ya Allah ya Robi. Mengapa aku begitu jauh berangan-angan?
     Hari ini kucoba sarapan pagi satu meja. Diam-diam kulihat ada sesuatu yang lain dari biasanya. Sesekali dia melirik ke arahku, dan cepat berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Sesekali kami bertemu pandang. Ah aku malu, tiba-tiba aku merasa ada perasaan yang lain dalam hatiku. Inilah kali pertama aku merasa perasaan itu.  Tiba-tiba saja dadaku berdebar-debar saat lelaki ini memandangku dengan pandangan aneh. Seluruh tubuhku jadi gemetar, badanku terasa panas dingin. Aneh aku merasa ada perasaan lain, rasanya sama seperti aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan mantanku yang sudah tiada itu.
   
     “Enak nasi gorengnya saya suka,” kata lelaki itu memecah kekakuan sekaligus membuyarkan lamunanku.
     “O gitu ya?” jawabku sembari mencoba tersenyum. Kami mulai akrab seperti biasanya. “Bapak mau nambah?” tanyaku lagi.
     “O ya, nambah. Aku mau nambah lagi, tapi….rasanya kaya gini ya?” tanya lelaki itu. Nampaknya ia sadar, bahwa nasi goreng kali ini lebih asin. Kata orang kalau rasanya seperti ini. Itu tandanya yang masak mau… . Ah aku malu jadinya.

     Lagi-lagi aku tersenyum. Entah dari mana datangnya inisiatipku ini? Tapi aku suka bahwa lekaki ini telah menangkap maknanya. Cepat-cepat aku menambahkan nasi ke piringnya, dan pada saat yang sama dia juga begitu. Tapi aneh, tangan lelaki ini malah memegang tanganku. Aku terkejut, terkesima. Dadaku semakin berdebar-debar, tapi aku suka. Kami berpandangan agak lama. Tanpa suara, bicara hanya antara mata. Tiba-tiba aku sadar, aku terkejut, aku cepat-cepat menunduk. Aku, aku . Alhamdulillah, hm malu aku jadinya.
                                                                                      Banjarmasin, Desember 2010   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar