menu

Kamis, 07 Juli 2016

RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 12



RINDU DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 12


       Abah membawa piring gado-gado dan satenya menuju ke dapur. Ia sengaja menjauh agar Ayu dan Guru Ibas itu bisa lebih santai dan leluasa mengeluarkan isi hati masing-masing. Sepertinya makan gado-gado sepiring berdua ini bukanlah pilihan yang salah bahkan sudah menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian semua kegalauan kebekuan yang ada di hatinya belakangan ini bisa tercairkan karenanya. Semua uneg-uneg dan ganjalan yang mengganggu bisa dihilangkan. Semua kelesuan bisa segar kembali. Semua kebimbangan yang ada di hati keduanya belakangan ini bisa berbunga-bunga kembali. Itulah harapan Abah dan itu juga harapan Ayu dan Bram. Tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan tetapi memerlukan proses. Salah satunya melalui makan sepiring berdua itu.


       Ayu merasa inilah saatnya ia harus mengeluarkan semua taktis dan strategis untuk memiliki Kak Bram sepenuhnya. Meskipun seorang janda tentu ia tidak mau terlihat sebagai janda kegatelan, apalagi janda murahan. Tetapi ia merasa inilah saatnya untuk bertindak. Inilah saat yang tepat untuk memikat Kak Bram agar tak berpindah ke lain hati selamanya. Karena kalau tidak sekarang, kapan lagi? Untuk itu ia sengaja memasang aksi wajah muramnya. Meski demikian ia tetap mengupayakan agar makan gado-gado sepiring berdua ini menjadi saat mesra semesra-mesranya. Diam-diam ia mulai melirik, Kak Bram mulai bereaksi. Ia mulai membuka bugkusan itu lalu membuatnya ke dalam piring. 

       “Ayu marah ya?”
       Ayu diam saja. Ia sengaja tidak menjawab tetapi ia tetap memasang wajah cemberut seperti tadi. Ia mulai menyendok gado-gado tapi bukan untuknya. Ia sengaja menyuapkannya ke mulut Kak Bram. Yang begini inilah yang membuat Bram bingung  tak tahu  harus berbuat  apa,  tetapi ia tetap membuka mulutnya untuk menerima gado-gado itu.

       “Lho? Kok kenapa aku yang makan? Kenapa bukan Ayu yang makan?”
       “Nggak mau disuapi ya?”
       “Bukan, bukan nggak mau.”
       “O gitu ya? Kalau Ayu yang  menyuapi nggak mau ya?”
       “Mau, mau, mau sekali. Tetapi kenapa kamu sendiri tidak makan? Kan gado-gado ini aku bawakan khusus buat kamu. Bukan buat aku.”
       “Kalau mau makan ya makan aja. Kalau nggak mau ya nggak usah. Jangan banyak tanya itu dan ini.”
       “Tapi, tapi ..” ia tak bisa meneruskan bicaranya karena mulutnya penuh dengan gado-gado dan sate.
       “Tapi apa?”
       “Ya tapi aja.” 
       “Atau jangan-jangan,” kata Ayu sambil menyodorkan tusukan sate buat Kak Bram.
       “Kok Ayu ngomongnya gitu? Ada apa sih?” tanyanya sambil mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
       “Jadi Ayu tidak boleh menyuapi ya? Yang boleh cuma Iras dan Dewi saja ya? Atau cuma gadis Misterius Lebay itu saja yang boleh menyuapi Kak Bram. Iya kan?”  
       “Kok itu, itu?”
       “Itu apa? Gadis Misterius Lebay?”
       “Ayu tahu dari mana?”
       “Ya tahu lah.”
       “Ya tahunya dari mana?”
       “Lho? Kenapa Kak Bram yang nanya? Itu pacarnya Kak Bram kan?”
       “Pacar dari mana? Kenal saja nggak. Masa pacaran sama orang tak dikenal?”
       “Ya nggak mungkin lah.”
       “Nah tu kan? Ayu sendiri tahu. Nggak mungkin kan? Aneh.”
       “Ya nggak mungkin tidak mengenalnya. Kak Bram pasti sangat mengenalnya kan?”
       “Mengenal bagaimana?”
       “Ya pasti. Masa tidak mengenal orangnya tetapi namanya ada di dalam HP? Itu berarti Kak Bram sangat mengenalnya kan? Bahkan gadis ini sangat special di hati Kak Bram kan? Makanya nama gadis itu ditulis dengan nama yang sangat rahasia. Hanya Kak Bram seorang yang tahu kan?”
       “Sumpah, ya sumpah aku tidak tahu itu.”
       “Kura-kura dalam perahu sudah gaharu cendana pula,” sahut Ayu kembali menyuapi gado-gado ke mulut Kak Bram.
       “Apaan tuh? Ada apa dengan kura-kura dan gaharu,” tanya Kak Bram mengambil setusuk sate lagi potongan ketupat gado-gado itu lalu memasukkannya ke mulut Ayu.

       Walaupun Ayu masih memasang wajah cemberut tetapi ia sangat menyukai suapan balasan Kak Bram ini. Itu berarti Kak Bram juga suka sama Ayu. Jadinya ya suka sama suka. Bahkan ketika Bram mendekatkan tusukan sate itu ke mulutnya, ia tidak menolak tetapi langsung memakan satenya satu persatu sampai habis. Nampaknya mereka sudah mulai mesra meski bibir Ayu yang selalu basah merekah itu masih belum mau tersenyum. Tapi itu sudah lumayan membuat hatinya berbunga-bunga kembali. Walau mereka berdua hanya diam-diaman ternyata suap-suapan gado-gado dan sate itu berjalan sangat lancar tanpa gangguan papa-apa. Dan ternyata diam-diam gado-gado dan sate itu sudah hampir habis.

       Tiba-tiba saja Abah muncul, anehnya Abah langsung keluar. Padahal saat itu Ayu sedang menyuapi Bram dengan sendok dan Bram juga sedang menyuapi Ayu dengan tusuk sate. Mereka terkejut ketika sadar bahwa Abah nampaknya tidak bereaksi apa-apa, bahkan ia pura-pura tidak melihat apa-apa. Padahal Abah itu tersenyum bahagia melihat keduanya langsung tak bergerak seperti robot kehabisan baterai. Bram tertawa sendiri, bahkan sampai terpingkal-pingkal, sebaliknya Ayu jadi semakin cemberut karena menahan malu. Ternyata itu hanya malu-malu tetapi mau.
   
       “Gadis Misterius Lebay itu siapa sih?” tanya Ayu langsung membuat Bram diam tak bisa tertawa lagi.
       “Apa maksud Kura-kura dalam perahu sudah gaharu cendana pula itu tadi?”
       “Lho? Kok pertanyaan dijawab dengan pertanyaan? Bukan begitu caranya?”
       “Tapi aku memang benar-benar tidak tahu apa maksudmu. Apa itu?”
       “Oo jadi Kak Bram ini Kura-kura dalam perahu sudah gaharu cendana pula. Pura-pura tidak tahu sudah tahu bertanya pula.”
       “O itu ya maksudnya? Aku kira apaan.”
       “Sekarang sudah tahu kan? Gadis Lebay itu siapa sih?”
       “Kok itu lagi?! Memangnya perlu ya mengetahui orang yang masih misterius itu?”
       “Harus!”
       “Kenapa?”
       “Karena nama itu ada di HP Kak Bram.”
       “O? jadi HP itu ada sama Ayu? Pantas saja aku mencari kemana-mana tak dapat-dapat juga. Ternyata HP itu ada sama Ayu. Kembalikan HP itu sekarang juga.”
       “Nggak mau! Pokoknya sebelum Kak Bram menjawab pertanyaan Ayu, HP itu tetap Ayu sandra.”
       “Kok disandra? Kenapa tidak pemiliknya saja yang Ayu sandra?”
       “Enak aja. Memangnya Kak Bram mau disandra juga? Supaya bisa macam-macam gitu ya? Nggak bakalan deh. Nauzubillahi min zaalik.”
       “Nggak segitunya juga kan?”
       “Pokoknya selama belum menjawab pertanyaan Ayu, selama itu juga HP ini Ayu sandra.”
       “Tidak bisa begitu.”
       “Kenapa?”
       “Karena semua nama yang Ayu sebutkan tadi itu tak ada apa-apanya.”
       “Benar nih? Nggak ada apa-apanya? Atau malah sebalik? Ada apa-apanya kan?”
       “Sumpah.”
       “Sumpah?
       “Ya sumpah.”
       “Terang bulan terang lah di kali, buaya timbul kusangka mati.”
       “Pantun apaan pula tuh?”
       “Jangan percaya mulut laki-laki, berani sumpah takut akan mati.”
       “Sumpah mati, perempuan itu tak ada apa-apanya dibanding Ayu.”
       “Kenapa?” tanya Ayu pura-pura bingung padahal ia sangat menyukainya.
       “Karena aku suka kamu.”
       “Ah lebay, jangan lebay ah.”
       “Siapa yang lebay?”
       “Kak Bram.”
       “Kok aku? Ya biar nggak papa. Dibilang lebay juga nggak keberatan.”
       “Kenapa?!”
       “Karena aku sayang kamu.” jawabnya datar setengah berbisik, lalu menengok kiri kanan kalau-kalau ada Abah sedang mengintip.
       “Apa?! Ayu nggak jelas dengarnya.”
       “Aku sayang kamu?” jawab Bram agak sedikit nyaring tapi masih dengan suara datar. Sebenarnya ia sangat bahagia mendengar kata-kata itu. Inilah untuk pertama kalinya ia mendengarnya langsung dari mulut Kak Bram sendiri.
       “Cuma itu? Cuma sayang?” tanyanya lagi. Sebenarnya itu sudah lebih dari cukup.
       “Nggak cuma itu, tetapi juga …”
       “Juga apa?” desak Ayu ingin jawaban lebih pasti lagi.
       “Juga… juga… “
       “Juga apa?”
       “Ya juga, juga, … juga anu.”
       “Anu apa?”
       “Ya anu.”
       “Anu apa?!”
       “Ya anu anu… anu anu gitu gitu.”
       “Kok anu anu melulu? Masa jawabannya hanya anu gitu?”
       “Mau tahu jawaban yang nggak pakai anu anu itu ya?”
       “Ya iya lah. Memangnya anu itu apa sih?”
       “Sini aku bisiki.”

       Aneh Ayu mau saja mendekatkan telinganya. Anehnya ia juga memejamkan matanya. Ada apa ya? Tiba-tiba? Tiba-tiba? Ayu merasa ada sesuatu yang menyentuh pipinya. Inilah pertama kalinya ia merasakan itu yang datang begitu tiba-tiba.

       “Kak Bram! Apa, apa yang Kak Bram lakukan?” bisiknya kaget luar biasa.
       “Anu, anu, aku mencintaimu Ayu.”
       “Oooogh.”

       Tiba-tiba saja Ayu merasa mengawang-awang. Meski itu hanya sedikit sentuhan, tetapi itu sudah cukup membuatnya mabuk kepayang. Ia tidak marah, karena ia tahu bahwa Kak Bram memang sudah benar-benar masuk perangkapnya. Ia baru sadar bahwa jika ada sepasang laki-laki dan perempuan, yang ketiganya adalah syetan. Maka sebelum terjadi lebih jauh lagi. Ayu cepat berdiri langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar-keluar lagi.

       Astagfirullah.
       Bram cepat sadar bahwa apa yang baru saja diperbuatnya tadi. Meski hanya sedetik cium di pipi tetap saja itu perbuatan yang tidak terpuji. Kini ia termangu seorang diri bagai orang dungu yang bingung tak tahu harus berbuat apa. Sementara di depannya piring yang tadinya berisi gado-gado dan sate itu sudah habis ludes semuanya. Sepertinya piring-piring dan sendok itu juga bingung harus diapakan sesudah ini.

      Alhamdulillah.
      Untung saja Ayu cepat menyadari dan cepat masuk ke kamarnya. Sebagai seseorang yang sudah lama menjanda tentu saja sudah pasti tak akan mampu menolak godaan yang manis bagaikan madu itu. Siapapun itu pasti tak bisa melepaskan diri dari hasrat yang sangat menyesatkan dan menyesakkan dada ini. Karena itu tak ada jalan lain selain dari menjauhi sejauh-jauhnya dari keinginan itu. Setelah semuanya telah terjadi secepat itu, Ayu menggigit bibirya sendiri menahan gejolak begitu dahsyat menggelegar di hatinya. Meski hatinya bertolak belakang dengan pikirannya, ia tetap harus dapat bertahan melawan semuanya itu.

       Alangkah indahnya cinta ini jika seandainya ia mampu membuka matanya sehingga ia bisa menatap mesra wajah Kak Bram dalam jarak yang begitu dekat. Dan jadilah saat itu tadi akan membuat mereka sama-sama diam membisu dan hanya saling berpandangan saja. Bicara hanya antara mata, bicara hanya antara hati.

       Astaghfirullah mengapa ia jadi sejauh itu berpikiran yang buka-bukan. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Meski ia hanya seorang janda, tetapi ia bukan janda murahan yang bisa seenaknya begitu saja diobok-obok dan diapa-apakan. Tidak. Meski ia seorang janda ia harus manjadi janda yang tetap terhormat. Meski seorang janda ia harus tetap menjaga kehormatannya dari perbuatan dosa yang tak terpuji itu. Dan itu diperlukan keteguhan iman.

       Diam-diam Bram berdiri mendekati pintu yang sengaja tidak dikunci Ayu itu dan ia memasang telinganya setajam-tajamnya. Sebenarnya ia sendiri bingung mengapa naluri binalnya ini muncul tiba-tiba begitu saja. Apakah Julak Idar sengaja memberi kesempatan baginya? Ah tidak mungkin. Ini pasti semata-mata karena efek godaan syetan yang sangat menggebu-gebu itu.      

***

       Abah sangat gelisah, karena sejak tadi pagi sampai sore ini Ayu masih belum pulang. Selama ini ia tak pernah seperti ini. Sudah ditanyakannya kepada tetangga dan orang-orang yang lewat tetapi tak ada seorang pun yang tahu. Apakah ia berada di rumah anak angkatnya itu? Bisa jadi. Mengingat kemaren pagi keduanya begitu mesra makan gado-gado sepiring berdua. Bisa jadi ia ingin mengulang kembali kemesraan itu. Seperti dalam lirik lagu, Kemesraan ini janganlah cepat berlalu. Abah langsung menghubungi anak angkatnya itu lewat HP.

       “Guru, apakah Idang ada di rumah Guru?”
       “Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa Abah?” 
       “Dia tidak ada di rumah. Sejak tadi pagi belum pulang-pulang juga.”
       “Memangnya ada apa dengan Ayu Abah?”
       “Nah itu dia. Abah juga tidak tahu apa sebabnya.”
       “Ayu kabur? Ke mana kaburnya Abah?”
       “Abah juga tidak tahu. Kalau bisa kamu cepat ke sini.”
       “Ya Abah. Ulun langsung ka rumah Pian.”

       Hanya dalam hitungan menit Bram sudah sampai. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung menemui Abah angkatnya itu. Abah berdiri di balik jendela memandang jauh ke luar. Wajahnya muram pikirannya kacau. Inilah pertama kalinya ia melihat pendekar yang sangat ditakuti ini terlihat galau. Kaburnya Ayu ini sangat memukul perasaannya. Demikian pula dengan Bram. Ada apa dengan Ayu?. Apakah karena perbuatannya kemaren? Apakah karena insiden kecil itu yang membuatnya tidak terima karena diaggap sebagai janda murahan?
        “Abah? Sebenarnya apa yang terjadi Abah?”
        “Abah juga tidak tahu,” jawab Julak Idar.

        Anak angkatnya sudah datang. Ditatapnya wajah Bram. Sepertinya ada sesuatu yang sedang disidiknya. Menyadari bahwa  Abah sedang memperhatikannya Bram jadi grogi dan jadi serba salah tingkah. Ia merasa sedang dicurigai oleh Abah.  

       “Guru, jawab tarus tarang lah.”
       Bram bagai kena strum aliran listrik ia hanya mengangguk takut.
       “Sebenarnya apa yang terjadi pagi kemaren itu?”
       Bram tak mampu menjawab, ia gugup tak mampu bicara.
       “Waktu itu kan abah keluar? Kalian asik suap-suapan gado-gado dan sate itu kan?”
      “Iya Abah.”
      “Setelah itu apa yang terjadi?”
      “Tidak ada apa-apa Abah.”
      “Benar tidak ada apa-apa?” tanya Abah sambil menatap tajam menyorot mata Bram.
      “Iya Abah tidak ada apa-apa,” jawab Bram tak berani menatap muka Julak Idar.
      “Guru, bilang saja terus terang, Abah tidak marah.”    

       Bram masih tertunduk malu. Sebenarnya memang ada insiden kecil waktu itu tetapi ia tidak berani berterus terang. Ia takut kena marah Julak Idar.

       “Sakali lagi Abah tanyakan, benarkah tak terjadi apa-apa pagi kemaren itu?”
       Bram masih tak berani menjawab, ia hanya meggelengkan kepalanya.
       “Tapi kenapa Idang kabur? Pasti ada apa-apa kan?”
       “Iya, ada juga tapi … sedikit Abah.”
       “Nah, ada sedikit kan? Banyak juga Abah tidak marah.”
       Bram masih belum bisa menduga dengan pasti. Apakah Abah ini benar-benar tidak marah? Ataukah hanya pura-pura tidak marah?
       “Guru, Abah mau tahu. Sebenarnya yang Guru maksud sedikit itu apa sih?”
       “Ya itu, cuma sedikit saja Abah. Cuma Ayu-nya saja yang kaya gitu.”
       “Ya kalau cuma sedikit. Itu biasa bagi orang sedang kasmaran kan?”
       Bram hanya mengangguk.
       “Sebenarnya Idang itu kamu apakan dia? Kamu peluk?”
       Bram hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
       “Atau kamu cium? Kamu cium kan?”
       “Iya,” jawab Bram dengan suara datar ketakutan.
       “Apa??.,Jadi? Jadi Idang itu kamu cium?”
       “Iya, sedikit Abah.”
       “Sedikit bagaimana?”

       Julak Idar pura-pura berang, padahal sebenarnya ia isuka mendengar pengakuan itu. Berarti anak angkatnya ini benar-benar tertarik. Bukankah tertarik itu karena dia ada perhatian? Itu tentu akan berlanjut dengan menyukai. Berarti cinta Idang selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Berarti mereka berdua ini memang suka sama suka. Tetapi mengapa Idang kabur? Apakah ada masalah yang lebih serius sehingga Idang itu kabur?

       “Kalau hanya dicium, tidak mungkin ia kabur. Pasti ada yang lebih dari itu.”
       “Benar Abah, hanya itu. Itu pun hanya sekejap di pipi kanan..”
       “Tetapi kenapa ia kabur? Atau Guru juga nyosor ke mana-mana?”
       “Nggak Abah”
       “Kenapa?”
       “Nggak berani. Ulun tidak berani. Demi Tuhan hanya itu Abah.”
       “Ah tidak mungkin. Abah tahu benar Idang itu sangat menyukai Guru. Kalau cuma sedikit saja, tidak mungkin ia kabur. Berarti bukan itu saja. Iya kan?”
       “I .. i … iya juga Abah.” jawabnya langsung tertunduk malu.
       “Nah tu kan? Apa itu?” desak Abah tidak sabar menunggu jawaban yang pasti.
       “Barangkali … karena ini Abah,” jawab Bram sambil menyerahkan HP-nya.
       “Apa? Karena HP? Hanya karena HP ini?”
       “Iya Abah. Karena HP ini.”
       “Tidak mungkin hanya karena HP. Masa hanya karena HP ia jadi kabur?”

       Julak Idar memperhatikan apa yang dimaksud Bram dengan HP itu. Setelah diamati dengan seksama ternyata HP itu sudah terbuka dan di situ tertulis nama Gadis Misterius Lebay di dalam daftar nama di HP ini.

       “Ini apa maksudnya? Memangnya siapa Gadis Lebay ini?”
       “Nah itu dia Abah.  Ulun sendiri sampai sekarang masih belum tahu.”
       “Tidak mungkin idak tahu. Guru pasti kenal dengan perempuan ini. Iya kan?”
       “Tidak Abah. Sungguh ulun kada kenal. Demi Tuhan.”
       “Tapi kenapa nama ini ada di sini?”
       “Itu  juga yang ditanyakan Ayu.”
       “Kawan?”
       “Tidak Abah. Itu lain kawan ulun.”
       “Jangan-jangan … jangan-jangan gadis lebay ini selingkuhan Guru ya?”
       “Bukan, bukan itu maksudnya Abah.”
       “Teman bukan, pacar bukan, selingkuhan bukan, Sebenarnya ia itu siapa?”
       “Bukan siapa-siapa Abah.”
       “Apa? Bukan?”
       “Iya Abah. Itu bukan siapa-siapa.”
       “Tapi namanya itu ada di HP ini. Dan namanya sangat rahasia. Gadis Lebay. Apa itu?”
       “Itu juga yang ditanyakan Ayu Abah.”
       “Aduh! Gimana ini? Pusing kepala Abah.”

       Tiba-tiba Abah merasa lemas tak berdaya, pandangannya berkunang-kunang, ia sempoyongan. Untung saja Bram cepat menangkapnya sebelum jatuh terkapar di lantai, lalu dibawa dan dibaringkannya di tempat tidur. Bram ke dapur membuat kopi hangat dan cepat membawanya ke kamar tidur Abah angkatnya ini. Menaruh kopi itu di atas kursi.  

      “Abah, ini kopi panas, sebaiknya diminum selagi hangat. Biar Abah segar.”
      Aroma kopi hangat itu segar menyengat membuat Julak Idar merasa ingin cepat-cepat meminumnya. Bram membantu mendudukan Abah angkatnya itu lalu mengangkat gelas membantu menyeruput kopi itu sedikit-sedikit. Alhamdulillah. Setelah menyeruput kopi hangat itu akhirnya Abah segar kembali. Ia sedikit demi sedikit mulai dapat bergerak. Lalu berdiri dan keluar kamar tidurnya. Kemudian kembali berdiri di depan jendela melihat jauh ke depan sana. Sebenartnya tak perubahan dengan kebun kelapa itu. Justru yang berubah itu di hati Julak Idar sendiri. Meski tubuhnya sudah pulih segar kembali, tetapi ia tidak mampu menyembunyikan kegalauan hatinya.

       “Guru, bagaimana caranya agar Idang itu cepat pulang.”
       “Waduh, itu jua yang ulun pikirAkan Abah.”
       “Pokoknya paling lambat pukul sepuluh malam ini Idang harus sudah pulang.”
       “Bagaimana caranya? Sekarang kan sudah  pukul lima?”
       “Kita masih punya waktu lima jam. Semoga Ayu bisa kita temukan sebelum pukul sepuluh.”
       “Amin,” Bram mengaminkan doa Abah angkatnya itu.

       Abah diam sejenak. Matanya berputar-putar itu pertanda bahwa pikirannya juga ikut berputar-putar. Kenapa ia tidak mengandalkan pendekar-pendekar kesayangannya saja? Ia diam-diam mengambil HP, lalu menghubungi murid-murid andalannya yang tersebar di seluruh pelosok kawasan Bumi Amuk Hantarukung. Mulai yang ada di Desa Hamawang, Sungai Paring, Ulin, Bayur, Pajampang, Hantarukung, Wasah Hulu, Wasah Tengah, Asam Cangkuk, Padang Haur, Sungai Kacil, Kapuh, Sarang Halang, Telaga Bidadari, Simpur, Garunggang, Hamparaya, Padang Haur, Halayung, Ulin, Bayur, Sirih, Simpur Padang, Tambingkar, Kalumpang dan Balimau.
       Kali ini Abah tidak main-main. Ia sengaja mengumpulkan semua murid andalannya. Hanya dalam hitungan menit semua murid-muridnya yang terdiri dari para jawara dan pendekar-pendekar pilihan itu sudah hadir di rumahnya. Abah menatap satu per satu murid andalannya itu. Sebalik para jawara dan pendekar-pendekar itu bingung dan bertanya-tanya di dalam hati, buat apa mereka dikumpulkan seperti ini. Apakah telah terjadi penistaan terhadap martabat perguruan? Apakah guru kita mendapat perlakuan tak wajar dari perguruan lain? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang bergejolak di hati masing-masing.

      “Abah, sebenarnya ada apa Abah?” tanya salah seorang muridnya.
      “Begini, Abah minta tolong.”
      “Siap Abah, itu memang sudah kewajiban kami.”
      “Masalahnya Idang sampai sekarang masih belum pulang. Abah tidak tahu ada di mana dia sekarang?”  
      “Memangnya ada apa Abah?”
      “Ya biasalah, hanya sedikit kesalah pahaman antara Idang dengan Guru Ibas ini. Dia mengira Guru Ibas ini selingkuh dengan perempuan lain. Itu saja masalahnya. Padahal Abah tahu betul, Guru Ibas ini kada ada baisian salingkuhan.”

       Para pendekar itu manggut-mangut karena baru mengerti permasalahannya. Nampak Bram tertunduk malu, karena mata semua pendekar itu melihat ke arahnya. Itu memang benar, ia memang tak pernah selingkuh hanya Ayu-nya saja yang cemburu buta.

      “Abah minta kalian bisa membantu mencari imformasi di mana keberadaan Idang itu. Caranya ialah dengan mencari di mana Idang itu berada di sekitar tempat tinggal kalian masing-masing. Bila kalian menemukannya harap memberitahukan secepatnya. Selanjutnya Abah dan Guru Ibas ini yang akan menjemputnya.”
       Kembali para pendekar itu manggut-manggut. Sebenarnya masih banyak yang ingin bertanya tetapi kurang etis rasanya menanyakan itu, karena hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi akan masuk waktu Magrib.

       “Ingat ya! Kalian harus mencari informasi itu secara diam-diam. Jangan sampai menimbulkan keresahan di masyarakat. Jika terjadi hal-hal yang tak diinginkan supaya dilakukan dengan cara damai. Kecuali jika tidak mungkin dilakukan secara damai, itu saya serahkan pada kebijakan dan keputusan kalian.”

       Kembali para pendekar itu manggut-manggut dan saling berpandangan satu sama lain. Nampak wajah mereka mulai diliputi ketegangan dan keberingasan. Bukankah ini suatu pertanda dan isyarat bahwa segala sesuatu mungkin saja akan terjadi. Mulai dari yang mulus secara damai sampai pada tindak kekerasan. Sebenarnya mereka belum memahami secara pasti apakah Ayu itu benar-benar kabur. Ataukah Rahayu itu sama sekali bukan kabur? Mungkinkah masalah ini ada hubungannya dengan persaingan sesama guru kuntau? Atau mungkin juga ini dipacu oleh dendam lama dan persaingan antar perguruan yang begitu tiba-tiba muncul dan mencuat kembali.

       “Dan perlu kalian ingat, paling lambat pukul sepuluh malam ini Abah sudah bisa membawa pulang Idang. Itu berarti kalian sebelum pukul sepuluh harus sudah dapat menemukan informasi keberadaannya. Selanjutnya kita saling berhubungan liwat HP. Baik ke HP Abah atau ke HP Guru Ibas.”

       Julak Idar mengangkat selembar kartun yang bertuliskan nomor HP Bram dengan spidol warna hitam. Para pendekar itu pun langsung menyimpan nomor itu ke dalam HP-nya masing-masing.

       Ada pertanyaan?” tanyanya sambil memperhatikan kalau ada yang mau bertanya.

       Nampak para jawara dan pendekar-pendekar itu tertunduk layu sambil memikirkan bagaimana caranya dapat memenuhi tuntutan dan permintaan Guru kuntau panutan mereka ini. Terlintas dalam pikiran mereka cara-cara yang harus dilakukan agar misi ini berjalan mulus dan tuntas.

       “Baiklah pertemuan ini kita akhiri dan Assalamu alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.”
       “Wa alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh.” Jawab mereka serempak lalu bersalaman satu sama lain, kemudian menghidupkan mesin kendaraan masing-masing dan langsung pulang. Kini hanya Julak Idar dan Bram yang masih murung.
       Hari mulai gelap, Bram pamit minta diri lalu pulang ke rumahnya. Sebenarnya Abah merasa keberatan, karena ia memerlukan dukungan moral khususnya dari anak angkatnya ini, tetapi karena memahami keadaan dan keperluan anak angkatnya ini, meski berat hati dia juga mempersilakannya pulang.
***
       Sehabis sholat Isya Bram kembali ke rumah Abah sambil membawa dua bungkusan nasi yang baru dibelinya di warung Seafood di dekat Mesjid Su’ada itu. Satu untuk Abah dan satunya lagi untuk Ayu jika ia datang malam ini.
       Abah baru saja selesai sholat Isya. Malam ini ia sholat Magrib dan Isya di rumah saja. Matanya yang layu itu masih menyisakan kepedihan hatinya. Sepertinya hujan yang mulai turun rintil-rintik itu serasa ikut merasakan keresahan Abah dan anak angkatnya malam ini. Inilah saat-saat yang paling menegangkan menunggu kabar dari para jawara dan pendekar-pendekar itu. Sayangnya kabar yang ditunggu-tunggu masih belum datang. HP yang dipegangnya masih belum berbunyi-bunyi juga. Keduanya semakin gelisah karena sudah hampir pukul sembilan, masih belum ada kabar juga. Sekarang ia malah semakin gelisah. Ia berdiri, berjalan, duduk, berdiri lagi, keluar ke pelataran, masuk lagi. Begitulah tingkahnya yang serba salah itu. Sudah berkali-kali ia mondar di rumah ini. Bram pun jadi merasa sangat bersalah. Ia juga sangat menyesal, mengapa HP-nya itu sampai ketinggalan di rumah. Mengapa nama Gadis Misterius Lebay itu tidak dihapus-hapusnya juga di HP itu. Itulah sebenarnya yang jadi pangkal masalah, Tentu saja insiden kecil itu ikut jadi pemicu yang menyebabkan Ayu dari rumah ini. Dengan rasa malas dimakannya juga nasi bawaan anak angkatnya ini.
       Baru saja Abah selesai makan tiba-tiba datang dua orang pendekar tergesa-gesa. Sayangnya mereka itu bukannya membawa kabar malah menanyakan kabar yang masuk. Tentu saja itu membuat Julak Idar semakin pusing dan kesal.
       “Sebenarnya apa sih yang kalian lakukan? Masa sampai saat ini tak ada yang dapat informasi itu?” tanya Abah memandang kedua muridnya yang tak berani mengangkat muka. ”Sebaiknya kalian pergi saja. Yang kuperlukan kabar dari kalian sekarang.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar