RINDU
DI BUMI AMUK HANTARUKUNG BAGIAN 12
Abah membawa piring
gado-gado dan satenya menuju ke dapur. Ia sengaja menjauh agar Ayu dan Guru
Ibas itu bisa lebih santai dan leluasa mengeluarkan isi hati masing-masing.
Sepertinya makan gado-gado sepiring berdua ini bukanlah pilihan yang salah
bahkan sudah menjadi sebuah keharusan. Dengan demikian semua kegalauan kebekuan
yang ada di hatinya belakangan ini bisa tercairkan karenanya. Semua uneg-uneg
dan ganjalan yang mengganggu bisa dihilangkan. Semua kelesuan bisa segar
kembali. Semua kebimbangan yang ada di hati keduanya belakangan ini bisa
berbunga-bunga kembali. Itulah harapan Abah dan itu juga harapan Ayu dan Bram.
Tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan tetapi memerlukan proses.
Salah satunya melalui makan sepiring berdua itu.
Ayu merasa inilah saatnya ia harus mengeluarkan semua taktis dan
strategis untuk memiliki Kak Bram sepenuhnya. Meskipun seorang janda tentu ia
tidak mau terlihat sebagai janda kegatelan, apalagi janda murahan. Tetapi ia
merasa inilah saatnya untuk bertindak. Inilah saat yang tepat untuk memikat Kak
Bram agar tak berpindah ke lain hati selamanya. Karena kalau tidak sekarang,
kapan lagi? Untuk itu ia sengaja memasang aksi wajah muramnya. Meski demikian
ia tetap mengupayakan agar makan gado-gado sepiring berdua ini menjadi saat
mesra semesra-mesranya. Diam-diam ia mulai melirik, Kak Bram mulai bereaksi. Ia
mulai membuka bugkusan itu lalu membuatnya ke dalam piring.
“Ayu marah ya?”
Ayu diam saja. Ia sengaja tidak menjawab tetapi ia tetap memasang wajah
cemberut seperti tadi. Ia mulai menyendok gado-gado tapi bukan untuknya. Ia
sengaja menyuapkannya ke mulut Kak Bram. Yang begini inilah yang membuat Bram
bingung tak tahu harus berbuat
apa, tetapi ia tetap membuka mulutnya
untuk menerima gado-gado itu.
“Lho? Kok kenapa aku yang makan? Kenapa bukan Ayu yang makan?”
“Nggak mau disuapi ya?”
“Bukan, bukan nggak mau.”
“O gitu ya? Kalau Ayu yang
menyuapi nggak mau ya?”
“Mau, mau, mau sekali. Tetapi
kenapa kamu sendiri tidak makan? Kan gado-gado ini aku bawakan khusus buat kamu. Bukan
buat aku.”
“Kalau mau makan ya makan aja. Kalau nggak mau ya nggak usah. Jangan
banyak tanya itu dan ini.”
“Tapi, tapi ..” ia tak bisa meneruskan bicaranya karena mulutnya penuh
dengan gado-gado dan sate.
“Tapi apa?”
“Ya tapi aja.”
“Atau jangan-jangan,” kata Ayu sambil menyodorkan tusukan sate buat Kak
Bram.
“Kok Ayu ngomongnya gitu? Ada apa sih?” tanyanya sambil mengunyah makanan yang ada
di mulutnya.
“Jadi Ayu tidak boleh menyuapi ya? Yang boleh cuma Iras dan Dewi saja
ya? Atau cuma gadis Misterius Lebay itu saja yang boleh menyuapi Kak Bram. Iya kan?”
“Kok itu, itu?”
“Itu apa? Gadis Misterius Lebay?”
“Ayu tahu dari mana?”
“Ya tahu lah.”
“Ya tahunya dari mana?”
“Lho? Kenapa Kak Bram yang nanya? Itu pacarnya Kak Bram kan?”
“Pacar dari mana? Kenal saja nggak. Masa pacaran sama orang tak dikenal?”
“Ya nggak mungkin lah.”
“Nah tu kan? Ayu sendiri tahu. Nggak mungkin kan? Aneh.”
“Ya nggak mungkin tidak mengenalnya. Kak Bram pasti sangat mengenalnya kan?”
“Mengenal bagaimana?”
“Ya pasti. Masa tidak mengenal orangnya tetapi namanya ada di dalam HP?
Itu berarti Kak Bram sangat mengenalnya kan? Bahkan gadis ini sangat special di hati
Kak Bram kan? Makanya nama gadis itu ditulis dengan
nama yang sangat rahasia. Hanya Kak Bram seorang yang tahu kan?”
“Sumpah, ya sumpah aku tidak tahu itu.”
“Kura-kura dalam perahu sudah gaharu cendana pula,” sahut Ayu kembali
menyuapi gado-gado ke mulut Kak Bram.
“Apaan tuh? Ada apa dengan kura-kura dan gaharu,” tanya Kak Bram
mengambil setusuk sate lagi potongan ketupat gado-gado itu lalu memasukkannya
ke mulut Ayu.
Walaupun Ayu masih memasang wajah cemberut tetapi ia sangat menyukai
suapan balasan Kak Bram ini. Itu berarti Kak Bram juga suka sama Ayu. Jadinya
ya suka sama suka. Bahkan ketika Bram mendekatkan tusukan sate itu ke mulutnya,
ia tidak menolak tetapi langsung memakan satenya satu persatu sampai habis.
Nampaknya mereka sudah mulai mesra meski bibir Ayu yang selalu basah merekah
itu masih belum mau tersenyum. Tapi itu sudah lumayan membuat hatinya
berbunga-bunga kembali. Walau mereka berdua hanya diam-diaman ternyata
suap-suapan gado-gado dan sate itu berjalan sangat lancar tanpa gangguan
papa-apa. Dan ternyata diam-diam gado-gado dan sate itu sudah hampir habis.
Tiba-tiba saja Abah muncul, anehnya Abah langsung keluar. Padahal saat
itu Ayu sedang menyuapi Bram dengan sendok dan Bram juga sedang menyuapi Ayu
dengan tusuk sate. Mereka terkejut ketika sadar bahwa Abah nampaknya tidak
bereaksi apa-apa, bahkan ia pura-pura tidak melihat apa-apa. Padahal Abah itu
tersenyum bahagia melihat keduanya langsung tak bergerak seperti robot
kehabisan baterai. Bram tertawa sendiri, bahkan sampai terpingkal-pingkal,
sebaliknya Ayu jadi semakin cemberut karena menahan malu. Ternyata itu hanya
malu-malu tetapi mau.
“Gadis Misterius Lebay itu siapa sih?” tanya Ayu langsung membuat Bram
diam tak bisa tertawa lagi.
“Apa maksud Kura-kura dalam perahu sudah gaharu cendana pula itu tadi?”
“Lho? Kok pertanyaan dijawab dengan pertanyaan? Bukan begitu caranya?”
“Tapi aku memang benar-benar tidak tahu apa maksudmu. Apa itu?”
“Oo jadi Kak Bram ini Kura-kura dalam perahu sudah gaharu cendana pula.
Pura-pura tidak tahu sudah tahu bertanya pula.”
“O itu ya maksudnya? Aku kira apaan.”
“Sekarang sudah tahu kan? Gadis Lebay itu siapa sih?”
“Kok itu lagi?! Memangnya perlu ya mengetahui orang yang masih misterius
itu?”
“Harus!”
“Kenapa?”
“Karena nama itu ada di HP Kak Bram.”
“O? jadi HP itu ada sama Ayu? Pantas saja aku mencari kemana-mana tak
dapat-dapat juga. Ternyata HP itu ada sama Ayu. Kembalikan HP itu sekarang
juga.”
“Nggak mau! Pokoknya sebelum Kak Bram menjawab pertanyaan Ayu, HP itu
tetap Ayu sandra.”
“Kok disandra? Kenapa tidak pemiliknya saja yang Ayu sandra?”
“Enak aja. Memangnya Kak Bram mau disandra juga? Supaya bisa macam-macam
gitu ya? Nggak bakalan deh. Nauzubillahi min zaalik.”
“Nggak segitunya juga kan?”
“Pokoknya selama belum menjawab pertanyaan Ayu, selama itu juga HP ini
Ayu sandra.”
“Tidak bisa begitu.”
“Kenapa?”
“Karena semua nama yang Ayu sebutkan tadi itu tak ada apa-apanya.”
“Benar nih? Nggak ada apa-apanya? Atau malah sebalik? Ada apa-apanya kan?”
“Sumpah.”
“Sumpah?
“Ya sumpah.”
“Terang bulan terang lah di kali, buaya timbul kusangka mati.”
“Pantun apaan pula tuh?”
“Jangan percaya mulut laki-laki, berani sumpah takut akan mati.”
“Sumpah mati, perempuan itu tak ada apa-apanya dibanding Ayu.”
“Kenapa?” tanya Ayu pura-pura bingung padahal ia sangat menyukainya.
“Karena aku suka kamu.”
“Ah lebay, jangan lebay ah.”
“Siapa yang lebay?”
“Kak Bram.”
“Kok aku? Ya biar nggak papa. Dibilang lebay juga nggak keberatan.”
“Kenapa?!”
“Karena aku sayang kamu.” jawabnya datar setengah berbisik, lalu
menengok kiri kanan kalau-kalau ada Abah sedang mengintip.
“Apa?! Ayu nggak jelas dengarnya.”
“Aku sayang kamu?” jawab Bram agak sedikit nyaring tapi masih dengan
suara datar. Sebenarnya ia sangat bahagia mendengar kata-kata itu. Inilah untuk
pertama kalinya ia mendengarnya langsung dari mulut Kak Bram sendiri.
“Cuma itu? Cuma sayang?” tanyanya lagi. Sebenarnya itu sudah lebih dari
cukup.
“Nggak cuma itu, tetapi juga …”
“Juga apa?” desak Ayu ingin jawaban lebih pasti lagi.
“Juga… juga… “
“Juga apa?”
“Ya juga, juga, … juga anu.”
“Anu apa?”
“Ya anu.”
“Anu apa?!”
“Ya anu anu… anu anu gitu gitu.”
“Kok anu anu melulu? Masa jawabannya hanya anu gitu?”
“Mau tahu jawaban yang nggak pakai anu anu itu ya?”
“Ya iya lah. Memangnya anu itu apa sih?”
“Sini aku bisiki.”
Aneh Ayu mau saja mendekatkan
telinganya. Anehnya ia juga memejamkan matanya. Ada apa ya? Tiba-tiba? Tiba-tiba? Ayu merasa
ada sesuatu yang menyentuh pipinya. Inilah pertama kalinya ia merasakan itu
yang datang begitu tiba-tiba.
“Kak Bram! Apa, apa yang Kak Bram lakukan?” bisiknya kaget luar biasa.
“Anu, anu, aku mencintaimu Ayu.”
“Oooogh.”
Tiba-tiba saja Ayu merasa mengawang-awang. Meski itu hanya sedikit
sentuhan, tetapi itu sudah cukup membuatnya mabuk kepayang. Ia tidak marah,
karena ia tahu bahwa Kak Bram memang sudah benar-benar masuk perangkapnya. Ia
baru sadar bahwa jika ada sepasang laki-laki dan perempuan, yang ketiganya
adalah syetan. Maka sebelum terjadi lebih jauh lagi. Ayu cepat berdiri langsung
masuk ke kamarnya dan tidak keluar-keluar lagi.
Astagfirullah.
Bram cepat sadar bahwa apa yang baru saja diperbuatnya tadi. Meski hanya
sedetik cium di pipi tetap saja itu perbuatan yang tidak terpuji. Kini ia
termangu seorang diri bagai orang dungu yang bingung tak tahu harus berbuat
apa. Sementara di depannya piring yang tadinya berisi gado-gado dan sate itu
sudah habis ludes semuanya. Sepertinya piring-piring dan sendok itu juga
bingung harus diapakan sesudah ini.
Alhamdulillah.
Untung saja Ayu cepat menyadari dan cepat masuk ke kamarnya. Sebagai
seseorang yang sudah lama menjanda tentu saja sudah pasti tak akan mampu
menolak godaan yang manis bagaikan madu itu. Siapapun itu pasti tak bisa
melepaskan diri dari hasrat yang sangat menyesatkan dan menyesakkan dada ini.
Karena itu tak ada jalan lain selain dari menjauhi sejauh-jauhnya dari
keinginan itu. Setelah semuanya telah terjadi secepat itu, Ayu menggigit
bibirya sendiri menahan gejolak begitu dahsyat menggelegar di hatinya. Meski
hatinya bertolak belakang dengan pikirannya, ia tetap harus dapat bertahan
melawan semuanya itu.
Alangkah indahnya cinta ini jika seandainya ia mampu membuka matanya
sehingga ia bisa menatap mesra wajah Kak Bram dalam jarak yang begitu dekat.
Dan jadilah saat itu tadi akan membuat mereka sama-sama diam membisu dan hanya
saling berpandangan saja. Bicara hanya antara mata, bicara hanya antara hati.
Astaghfirullah mengapa ia jadi sejauh itu berpikiran yang buka-bukan.
Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Meski ia hanya seorang janda, tetapi ia bukan
janda murahan yang bisa seenaknya begitu saja diobok-obok dan diapa-apakan.
Tidak. Meski ia seorang janda ia harus manjadi janda yang tetap terhormat.
Meski seorang janda ia harus tetap menjaga kehormatannya dari perbuatan dosa
yang tak terpuji itu. Dan itu diperlukan keteguhan iman.
Diam-diam Bram berdiri mendekati pintu yang sengaja tidak dikunci Ayu
itu dan ia memasang telinganya setajam-tajamnya. Sebenarnya ia sendiri bingung
mengapa naluri binalnya ini muncul tiba-tiba begitu saja. Apakah Julak Idar
sengaja memberi kesempatan baginya? Ah tidak mungkin. Ini pasti semata-mata
karena efek godaan syetan yang sangat menggebu-gebu itu.
***
Abah sangat gelisah, karena sejak tadi pagi
sampai sore ini Ayu masih belum pulang. Selama ini ia tak pernah seperti ini.
Sudah ditanyakannya kepada tetangga dan orang-orang yang lewat tetapi tak ada
seorang pun yang tahu. Apakah ia berada di rumah anak angkatnya itu? Bisa jadi.
Mengingat kemaren pagi keduanya begitu mesra makan gado-gado sepiring berdua.
Bisa jadi ia ingin mengulang kembali kemesraan itu. Seperti dalam lirik lagu, Kemesraan ini janganlah cepat berlalu.
Abah langsung menghubungi anak angkatnya itu lewat HP.
“Guru, apakah Idang ada di rumah Guru?”
“Tidak, dia tidak ada di sini. Kenapa Abah?”
“Dia tidak ada di rumah. Sejak tadi pagi belum pulang-pulang juga.”
“Memangnya ada apa dengan Ayu Abah?”
“Nah itu dia. Abah juga tidak tahu apa sebabnya.”
“Ayu kabur? Ke mana kaburnya Abah?”
“Abah juga tidak tahu. Kalau bisa kamu cepat ke sini.”
“Ya Abah. Ulun langsung ka rumah Pian.”
Hanya dalam hitungan menit Bram sudah sampai. Tanpa basa-basi lagi, ia
langsung menemui Abah angkatnya itu. Abah berdiri di balik jendela memandang
jauh ke luar. Wajahnya muram pikirannya kacau. Inilah pertama kalinya ia
melihat pendekar yang sangat ditakuti ini terlihat galau. Kaburnya Ayu ini
sangat memukul perasaannya. Demikian pula dengan Bram. Ada apa dengan Ayu?. Apakah karena
perbuatannya kemaren? Apakah karena insiden kecil itu yang membuatnya tidak
terima karena diaggap sebagai janda murahan?
“Abah? Sebenarnya apa yang terjadi Abah?”
“Abah juga tidak tahu,” jawab Julak Idar.
Anak angkatnya sudah datang. Ditatapnya
wajah Bram. Sepertinya ada sesuatu yang sedang disidiknya. Menyadari bahwa Abah sedang memperhatikannya Bram jadi grogi
dan jadi serba salah tingkah. Ia merasa sedang dicurigai oleh Abah.
“Guru, jawab tarus tarang lah.”
Bram bagai kena strum aliran listrik ia hanya mengangguk takut.
“Sebenarnya apa yang terjadi pagi kemaren itu?”
Bram tak mampu menjawab, ia gugup tak mampu bicara.
“Waktu itu kan abah keluar? Kalian asik suap-suapan gado-gado dan
sate itu kan?”
“Iya Abah.”
“Setelah itu apa yang terjadi?”
“Tidak ada apa-apa Abah.”
“Benar tidak ada apa-apa?” tanya Abah sambil menatap tajam menyorot mata
Bram.
“Iya Abah tidak ada apa-apa,” jawab Bram tak berani menatap muka Julak
Idar.
“Guru, bilang saja terus terang, Abah tidak marah.”
Bram masih tertunduk malu. Sebenarnya memang ada insiden kecil waktu itu
tetapi ia tidak berani berterus terang. Ia takut kena marah Julak Idar.
“Sakali lagi Abah tanyakan, benarkah tak
terjadi apa-apa pagi kemaren itu?”
Bram masih tak berani menjawab, ia hanya meggelengkan kepalanya.
“Tapi kenapa Idang kabur? Pasti ada apa-apa kan?”
“Iya, ada juga tapi … sedikit Abah.”
“Nah, ada sedikit kan? Banyak juga Abah tidak marah.”
Bram masih belum bisa menduga dengan pasti. Apakah Abah ini benar-benar
tidak marah? Ataukah hanya pura-pura tidak marah?
“Guru, Abah mau tahu. Sebenarnya yang Guru maksud sedikit itu apa sih?”
“Ya itu, cuma sedikit saja Abah. Cuma Ayu-nya saja yang kaya gitu.”
“Ya kalau cuma sedikit. Itu biasa bagi orang sedang kasmaran kan?”
Bram hanya mengangguk.
“Sebenarnya Idang itu kamu apakan dia? Kamu peluk?”
Bram hanya menjawabnya dengan gelengan
kepala.
“Atau kamu cium? Kamu cium kan?”
“Iya,” jawab Bram dengan suara datar ketakutan.
“Apa??.,Jadi? Jadi Idang itu kamu cium?”
“Iya, sedikit Abah.”
“Sedikit bagaimana?”
Julak Idar pura-pura berang, padahal
sebenarnya ia isuka mendengar pengakuan itu. Berarti anak angkatnya ini
benar-benar tertarik. Bukankah tertarik itu karena dia ada perhatian? Itu tentu
akan berlanjut dengan menyukai. Berarti cinta Idang selama ini tidak bertepuk
sebelah tangan. Berarti mereka berdua ini memang suka sama suka. Tetapi mengapa
Idang kabur? Apakah ada masalah yang lebih serius sehingga Idang itu kabur?
“Kalau hanya dicium, tidak mungkin ia kabur. Pasti ada yang lebih dari
itu.”
“Benar Abah, hanya itu. Itu pun hanya sekejap di pipi kanan..”
“Tetapi kenapa ia kabur? Atau Guru juga nyosor ke mana-mana?”
“Nggak Abah”
“Kenapa?”
“Nggak berani. Ulun tidak berani. Demi Tuhan hanya itu Abah.”
“Ah tidak mungkin. Abah tahu benar Idang itu sangat menyukai Guru. Kalau
cuma sedikit saja, tidak mungkin ia kabur. Berarti bukan itu saja. Iya kan?”
“I .. i … iya juga Abah.” jawabnya langsung tertunduk malu.
“Nah tu kan? Apa itu?” desak Abah tidak sabar menunggu jawaban yang pasti.
“Barangkali … karena ini Abah,” jawab Bram sambil menyerahkan HP-nya.
“Apa? Karena HP? Hanya karena HP ini?”
“Iya Abah. Karena HP ini.”
“Tidak mungkin hanya karena HP. Masa hanya karena HP ia jadi kabur?”
Julak Idar memperhatikan apa yang dimaksud Bram dengan HP itu. Setelah
diamati dengan seksama ternyata HP itu sudah terbuka dan di situ tertulis nama
Gadis Misterius Lebay di dalam daftar nama di HP ini.
“Ini apa maksudnya? Memangnya siapa Gadis Lebay ini?”
“Nah itu dia Abah. Ulun sendiri
sampai sekarang masih belum tahu.”
“Tidak mungkin idak tahu. Guru pasti kenal dengan perempuan ini. Iya kan?”
“Tidak Abah. Sungguh ulun kada kenal. Demi Tuhan.”
“Tapi kenapa nama ini ada di sini?”
“Itu juga yang ditanyakan Ayu.”
“Kawan?”
“Tidak Abah. Itu lain kawan ulun.”
“Jangan-jangan … jangan-jangan gadis lebay ini selingkuhan Guru ya?”
“Bukan, bukan itu maksudnya Abah.”
“Teman bukan, pacar bukan, selingkuhan bukan, Sebenarnya ia itu siapa?”
“Bukan siapa-siapa Abah.”
“Apa? Bukan?”
“Iya Abah. Itu bukan siapa-siapa.”
“Tapi namanya itu ada di HP ini. Dan namanya sangat rahasia. Gadis Lebay.
Apa itu?”
“Itu juga yang ditanyakan Ayu Abah.”
“Aduh! Gimana ini? Pusing kepala Abah.”
Tiba-tiba Abah merasa lemas tak berdaya, pandangannya berkunang-kunang,
ia sempoyongan. Untung saja Bram cepat menangkapnya sebelum jatuh terkapar di
lantai, lalu dibawa dan dibaringkannya di tempat tidur. Bram ke dapur membuat
kopi hangat dan cepat membawanya ke kamar tidur Abah angkatnya ini. Menaruh
kopi itu di atas kursi.
“Abah, ini kopi panas, sebaiknya diminum selagi hangat. Biar Abah
segar.”
Aroma kopi hangat itu segar menyengat membuat Julak Idar merasa ingin
cepat-cepat meminumnya. Bram membantu mendudukan Abah angkatnya itu lalu
mengangkat gelas membantu menyeruput kopi itu sedikit-sedikit. Alhamdulillah.
Setelah menyeruput kopi hangat itu akhirnya Abah segar kembali. Ia sedikit demi
sedikit mulai dapat bergerak. Lalu berdiri dan keluar kamar tidurnya. Kemudian
kembali berdiri di depan jendela melihat jauh ke depan sana. Sebenartnya tak perubahan dengan kebun
kelapa itu. Justru yang berubah itu di hati Julak Idar sendiri. Meski tubuhnya
sudah pulih segar kembali, tetapi ia tidak mampu menyembunyikan kegalauan
hatinya.
“Guru, bagaimana caranya agar Idang itu cepat pulang.”
“Waduh, itu jua yang ulun pikirAkan Abah.”
“Pokoknya paling lambat pukul sepuluh malam ini Idang harus sudah
pulang.”
“Bagaimana caranya? Sekarang kan sudah
pukul lima?”
“Kita masih punya waktu lima jam. Semoga Ayu bisa kita temukan sebelum pukul
sepuluh.”
“Amin,” Bram mengaminkan doa Abah angkatnya itu.
Abah diam sejenak. Matanya berputar-putar itu pertanda bahwa pikirannya
juga ikut berputar-putar. Kenapa ia tidak mengandalkan pendekar-pendekar
kesayangannya saja? Ia diam-diam mengambil HP, lalu menghubungi murid-murid
andalannya yang tersebar di seluruh pelosok kawasan Bumi Amuk Hantarukung.
Mulai yang ada di Desa Hamawang, Sungai Paring, Ulin, Bayur, Pajampang,
Hantarukung, Wasah Hulu, Wasah Tengah, Asam Cangkuk, Padang Haur, Sungai Kacil,
Kapuh, Sarang Halang, Telaga Bidadari, Simpur, Garunggang, Hamparaya, Padang
Haur, Halayung, Ulin, Bayur, Sirih, Simpur Padang, Tambingkar, Kalumpang dan
Balimau.
Kali ini Abah tidak main-main. Ia sengaja mengumpulkan semua murid
andalannya. Hanya dalam hitungan menit semua murid-muridnya yang terdiri dari
para jawara dan pendekar-pendekar pilihan itu sudah hadir di rumahnya. Abah
menatap satu per satu murid andalannya itu. Sebalik para jawara dan
pendekar-pendekar itu bingung dan bertanya-tanya di dalam hati, buat apa mereka
dikumpulkan seperti ini. Apakah telah terjadi penistaan terhadap martabat
perguruan? Apakah guru kita mendapat perlakuan tak wajar dari perguruan lain?
Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang bergejolak di hati masing-masing.
“Abah, sebenarnya ada apa Abah?” tanya salah seorang muridnya.
“Begini, Abah minta tolong.”
“Siap Abah, itu memang sudah kewajiban kami.”
“Masalahnya Idang sampai sekarang masih belum pulang. Abah tidak tahu
ada di mana dia sekarang?”
“Memangnya ada apa Abah?”
“Ya biasalah, hanya sedikit kesalah pahaman antara Idang dengan Guru
Ibas ini. Dia mengira Guru Ibas ini selingkuh dengan perempuan lain. Itu saja
masalahnya. Padahal Abah tahu betul, Guru Ibas ini kada ada baisian salingkuhan.”
Para pendekar itu manggut-mangut karena baru
mengerti permasalahannya. Nampak Bram tertunduk malu, karena mata semua
pendekar itu melihat ke arahnya. Itu memang benar, ia memang tak pernah
selingkuh hanya Ayu-nya saja yang cemburu buta.
“Abah minta kalian bisa membantu mencari
imformasi di mana keberadaan Idang itu. Caranya ialah dengan mencari di mana
Idang itu berada di sekitar tempat tinggal kalian masing-masing. Bila kalian
menemukannya harap memberitahukan secepatnya. Selanjutnya Abah dan Guru Ibas
ini yang akan menjemputnya.”
Kembali para pendekar itu manggut-manggut. Sebenarnya masih banyak yang
ingin bertanya tetapi kurang etis rasanya menanyakan itu, karena hari sudah
mulai gelap dan sebentar lagi akan masuk waktu Magrib.
“Ingat ya! Kalian harus mencari informasi itu secara diam-diam. Jangan
sampai menimbulkan keresahan di masyarakat. Jika terjadi hal-hal yang tak
diinginkan supaya dilakukan dengan cara damai. Kecuali jika tidak mungkin
dilakukan secara damai, itu saya serahkan pada kebijakan dan keputusan kalian.”
Kembali para pendekar itu manggut-manggut dan saling berpandangan satu
sama lain. Nampak wajah mereka mulai diliputi ketegangan dan keberingasan.
Bukankah ini suatu pertanda dan isyarat bahwa segala sesuatu mungkin saja akan
terjadi. Mulai dari yang mulus secara damai sampai pada tindak kekerasan. Sebenarnya
mereka belum memahami secara pasti apakah Ayu itu benar-benar kabur. Ataukah
Rahayu itu sama sekali bukan kabur? Mungkinkah masalah ini ada hubungannya
dengan persaingan sesama guru kuntau? Atau mungkin juga ini dipacu oleh dendam
lama dan persaingan antar perguruan yang begitu tiba-tiba muncul dan mencuat
kembali.
“Dan perlu kalian ingat, paling lambat pukul sepuluh malam ini Abah sudah
bisa membawa pulang Idang. Itu berarti kalian sebelum pukul sepuluh harus sudah
dapat menemukan informasi keberadaannya. Selanjutnya kita saling berhubungan
liwat HP. Baik ke HP Abah atau ke HP Guru Ibas.”
Julak Idar mengangkat selembar kartun yang bertuliskan nomor HP Bram
dengan spidol warna hitam. Para
pendekar itu pun langsung menyimpan nomor itu ke dalam HP-nya masing-masing.
“Ada pertanyaan?” tanyanya sambil memperhatikan
kalau ada yang mau bertanya.
Nampak para jawara dan pendekar-pendekar itu tertunduk layu sambil
memikirkan bagaimana caranya dapat memenuhi tuntutan dan permintaan Guru kuntau
panutan mereka ini. Terlintas dalam pikiran mereka cara-cara yang harus
dilakukan agar misi ini berjalan mulus dan tuntas.
“Baiklah pertemuan ini kita
akhiri dan Assalamu alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.”
“Wa alaikum salam warahmatullahi wabarokaatuh.” Jawab mereka serempak
lalu bersalaman satu sama lain, kemudian menghidupkan mesin kendaraan
masing-masing dan langsung pulang. Kini hanya Julak Idar dan Bram yang masih
murung.
Hari mulai gelap, Bram pamit minta diri lalu pulang ke rumahnya.
Sebenarnya Abah merasa keberatan, karena ia memerlukan dukungan moral khususnya
dari anak angkatnya ini, tetapi karena memahami keadaan dan keperluan anak
angkatnya ini, meski berat hati dia juga mempersilakannya
pulang.
***
Sehabis sholat Isya Bram kembali ke rumah Abah sambil
membawa dua bungkusan nasi yang baru dibelinya di warung Seafood di dekat
Mesjid Su’ada itu. Satu untuk Abah dan satunya lagi untuk Ayu jika ia datang
malam ini.
Abah baru saja selesai sholat Isya. Malam ini ia sholat Magrib dan Isya
di rumah saja. Matanya yang layu itu masih menyisakan kepedihan hatinya.
Sepertinya hujan yang mulai turun rintil-rintik itu serasa ikut merasakan
keresahan Abah dan anak angkatnya malam ini. Inilah saat-saat yang paling
menegangkan menunggu kabar dari para jawara dan pendekar-pendekar itu.
Sayangnya kabar yang ditunggu-tunggu masih belum datang. HP yang dipegangnya
masih belum berbunyi-bunyi juga. Keduanya semakin gelisah karena sudah hampir
pukul sembilan, masih belum ada kabar juga. Sekarang ia malah semakin gelisah.
Ia berdiri, berjalan, duduk, berdiri lagi, keluar ke pelataran, masuk lagi.
Begitulah tingkahnya yang serba salah itu. Sudah berkali-kali ia mondar di
rumah ini. Bram pun jadi merasa sangat bersalah. Ia juga sangat menyesal,
mengapa HP-nya itu sampai ketinggalan di rumah. Mengapa nama Gadis Misterius
Lebay itu tidak dihapus-hapusnya juga
di HP itu. Itulah sebenarnya yang jadi pangkal masalah, Tentu saja insiden
kecil itu ikut jadi pemicu yang menyebabkan Ayu dari rumah ini. Dengan rasa
malas dimakannya juga nasi bawaan anak angkatnya ini.
Baru saja Abah selesai makan tiba-tiba datang dua orang pendekar
tergesa-gesa. Sayangnya mereka itu bukannya membawa kabar malah menanyakan
kabar yang masuk. Tentu saja itu membuat Julak Idar semakin pusing dan kesal.
“Sebenarnya apa sih yang kalian lakukan? Masa sampai saat ini tak ada
yang dapat informasi itu?” tanya Abah memandang kedua muridnya yang tak berani
mengangkat muka. ”Sebaiknya kalian pergi saja. Yang kuperlukan kabar dari
kalian sekarang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar